Partai Islam Harus Terbuka
”Berbagai golongan masyarakat di Indonesia sudah biasa saling bercampur, hidup bersama. Ini membuat partai Islam juga harus terbuka dan inklusif,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy dalam diskusi ”Potensi Partai Islam di Pemilu 2014” di Jakarta, Selasa (15/6). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq dan M Qodari dari Indo Barometer.
Menurut Romahurmuziy, masalah lain yang dihadapi partai Islam adalah sulitnya mencari isu yang dapat membedakan dengan partai lain. Isu yang banyak muncul bersifat umum, seperti korupsi dan kemiskinan. Isu seperti halal/haram atau bank syariah sudah tidak begitu menarik. Kondisi itu diperparah makin sedikitnya tokoh Islam yang kuat.
”Beberapa waktu lalu, kita masih punya Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang bisa melontarkan berbagai isu,” ujar Romahurmuziy.
Bagi Qodari, tantangan partai Islam saat ini adalah mengungguli suara Masyumi pada Pemilu 1955 yang mencapai 20 persen. Sampai sekarang, perolehan suara itu merupakan perolehan tertinggi partai Islam di Indonesia.
Suara terbesar partai Islam pada era reformasi diraih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 1999 sekitar 12 persen. Pada Pemilu 2009, tak ada partai Islam yang suaranya di atas 10 persen. ”Sejarah Indonesia modern menunjukkan, belum pernah ada partai Islam yang memenangi pemilu. Pada Pemilu 1955, Masyumi masih dikalahkan PNI,” kata Qodari.
Jumlah perolehan suara partai Islam juga selalu dikalahkan partai nasionalis. Pada Pemilu 1955, perolehan suara partai nasionalis sebesar 51,7 persen, sedangkan partai Islam 43,7 persen.
Pada Pemilu 1999, partai nasionalis mendapat 63,3 persen suara dan gabungan partai sosial Islam (di dalamnya termasuk Partai Amanat Nasional dan PKB), hanya 36,8 persen. Perbandingan ini menjadi 59,5 persen (partai nasionalis) dan 38,1 persen (partai sosial Islam) pada Pemilu 2004. Pada pemilu 2009, perbandingannya adalah 70,8 persen (partai nasionalis) dengan 29,2 persen (partai sosial Islam).
Mahfudz Siddiq mengatakan, meski berbasis Islam, PKS tidak menjadikan Islam sebagai jualan utama. PKS berusaha mentransformasikan Islam dalam kinerjanya hingga Islam di PKS dapat obyektif, inklusif, dan modern. Dengan cara itu, perolehan suara PKS pada Pemilu 2009 tetap bertahan.
Namun, Direktur Eksekutif Reform Institut Yudi Latif di Jakarta, Selasa, mengatakan, upaya PKS memperluas pemilih dengan lebih mengakomodasi gagasan-gagasan kebangsaan dipastikan takkan mudah karena kuatnya hambatan internal partai.
”Kecenderungan PKS untuk inklusif yang terbuka untuk semua harus didukung kecenderungan psikologis untuk tidak menempatkan model keislaman PKS sebagai satu-satunya ukuran keislaman yang bisa diterima di PKS,” katanya.
Jika PKS ingin bertahan, harus memperbarui hubungannya dengan komunitas lain dan tidak hanya mengandalkan basis massa tradisional yang merupakan masyarakat kota terdidik.
No comments:
Post a Comment