MUNAS II
Kamis, 17 Juni 2010 | 09:35 WIB
Tribun Pekanbaru/ Melvinas Priananda
Kampanye PKS di Pekanbaru.
Oleh: Anita Yossihara dan M Zaid Wahyudi
KOMPAS.com — Ada yang berbeda pada Musyawarah Nasional II Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang digelar 16-20 Juni 2010. Inilah kali pertama partai yang dikenal sederhana itu menggelar perhelatan di hotel mewah, Hotel Ritz-Carlton, Jakarta.
PKS pun menjadi partai pertama yang menyewa hotel mewah dengan harga sewa kamar rata-rata 300 dollar AS atau sekitar Rp 3 juta per malam itu. Bisa jadi PKS sengaja memilih hotel mewah untuk mengubah citra partai.
Meski Sekretaris Panitia Pelaksana Munas Yudi Widiana menegaskan, pemilihan hotel mewah itu hanya karena alasan daya tampung yang cukup besar. PKS membutuhkan sebuah ruang pertemuan yang bisa menampung lebih dari 4.000 orang.
Munas memang dijadwalkan dihadiri 2.700 peserta ditambah dengan para penggembira. Perhelatan itu diperkirakan menghabiskan dana hingga Rp 10 miliar yang didapat dari iuran anggota.
Menjelang Pemilu 2014, PKS sepertinya memang ingin mengubah citra. Pada 1999, target PKS (waktu itu bernama Partai Keadilan) hanya mengintegrasikan diri dalam sistem politik dengan menjadi peserta Pemilu 1999. Kemudian Pemilu 2004 dijadikan sebagai masa untuk mengokohkan eksistensi politik PKS dengan kembali mengikuti pemilu. Pada 2009, PKS menargetkan bisa menguasai pangsa pasar partai-partai Islam. "Sekarang sudah tercapai," kata Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta.
Perolehan suara PKS pada Pemilu 2009 memang paling tinggi dibandingkan perolehan partai-partai berideologi dan berbasis massa Islam lain, termasuk yang lolos ke parlemen. PKS memperoleh 7,88 persen dari total suara sah, sementara Partai Amanat Nasional (PAN) hanya memperoleh 6,01 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih 5,32 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meraih 4,94 persen.
Bukan hanya itu, pada saat perolehan suara tiga partai Islam lain menurun, suara PKS justru meningkat meski tidak signifikan. Jika pada Pemilu 2004 PKS meraih 7,34 persen suara, pada Pemilu 2009 suara PKS naik menjadi 7,88 persen. Namun, dalam jumlah perolehan suara justru mengalami penurunan sekitar 200.000 suara.
Atas dasar itulah, PKS mengubah target untuk Pemilu 2014. PKS ingin menguasai pangsa pasar semua partai peserta pemilu. "Pada 2014, PKS tidak lagi menjadi market leader di kalangan partai-partai Islam, tetapi semua partai," ujar Anis.
PKS pun mencoba melepaskan diri dari dikotomi partai Islam dan partai nasionalis yang sejak lama berkembang di masyarakat. Pada dua pemilu pertama pascareformasi, PKS memang tidak bisa menghindar dari isu dikotomi partai Islam dan partai nasionalis. "Voter behaviour di Indonesia masih mudah dikelompokkan dalam dua ideologi (Islam dan nasionalis) itu," ujar Anis.
Pembedaan tersebut justru merugikan partai-partai Islam, termasuk PKS. Partai-partai Islam pun kemudian dikelompokkan lagi menjadi partai Islam tradisional dan modernis sehingga segmennya semakin sempit.
Karena merasa rugi, PKS berupaya keluar dari pemetaan partai Islam versus partai nasionalis. Apalagi saat ini perbedaan antara partai Islam dan nasionalis mulai kabur. Partai nasionalis tak lagi berani memproklamasikan diri sebagai partai sekuler. Mereka mulai mengubah citra dengan membuat lembaga keagamaan, seperti Majelis Zikir Partai Demokrat atau Baitul Muslimin Indonesia milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Anis meyakini, pada Pemilu 2014 tidak akan ada lagi polarisasi partai berdasarkan ideologi. Karena itulah PKS akan lebih menjual program, bukan ideologi. Tawaran program terutama menyangkut konsep mengelola negara ke depan. Langkah itu, menurut Ketua DPP PKS Mahfudz Shiddiq, bukan berarti partai akan meninggalkan ideologi Islam sebagai basis partai. "Kami hanya tidak ingin menjadikan Islam sebagai jualan utama," katanya.
Karena itulah, PKS berupaya mentransformasikan pemikiran Islam yang dianut dalam bentuk program yang bermanfaat bagi masyarakat. PKS akan bertarung dengan mempertaruhkan program atau konsep untuk mengelola negara dan menyejahterakan rakyat.
Standar ganda
Untuk menjadi partai yang menguasai pangsa pasar pemilih, bagi PKS bukanlah persoalan mudah. Kendala terbesar justru muncul dari kondisi internal PKS sendiri yang belum sepenuhnya siap menjadi partai terbuka yang mendorong isu-isu kebangsaan.
Tidak bisa dimungkiri, PKS adalah partai yang lahir dari cita-cita dakwah anak-anak muda kampus pada akhir 1990-an. Kondisi itu membuat PKS menjadi sangat eksklusif, baik dalam paham keagamaan maupun dalam memandang isu-isu kebangsaan.
Eksklusivitas itu ternyata hanya menghasilkan perolehan suara 1,44 juta pada Pemilu 1999. Namun, citra positif yang ditanam para kader partai sebagai bagian dari upaya dakwah plus semakin terbukanya partai dengan isu-isu kebangsaan mampu mendongkrak suara PKS hingga 8,33 juta pada Pemilu 2004. Meroketnya perolehan suara itu membuat gagasan PKS untuk menjadi partai terbuka yang didorong oleh kelompok pragmatis-realistis atau faksi kesejahteraan makin kencang.
Kampanye keterbukaan PKS untuk merangkul semua golongan itu pun diumumkan dalam iklan-iklan. Bahkan, PKS berani menampilkan sosok Presiden Soeharto sebagai salah satu tokoh nasional dalam iklannya pada Hari Pahlawan 2008. Upaya untuk menarik simpatisan Soeharto itu ternyata menimbulkan polemik tidak hanya di internal PKS, tetapi juga kalangan di luar partai.
Sebelumnya, dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS, Februari 2008 di Denpasar, Bali, PKS menegaskan diri sebagai partai terbuka. Wacana itu ternyata juga menimbulkan pro-kontra di kalangan internal PKS.
Ternyata keterbukaan yang dicanangkan tidak berbuah manis. Perolehan suara pada Pemilu 2009 mengalami stagnasi dengan perolehan 8,21 juta suara. Kemandekan itu menjadi alasan bagi kelompok ideologis-idealis atau faksi keadilan di PKS untuk mengingatkan kembali pentingnya partai konsisten dengan tujuan awal partai.
Suara PKS di basis tradisionalnya, yaitu masyarakat perkotaan, terdidik, dan ekonomi menengah atas, juga menurun sebagai respons negatif atas keterbukaan yang dijalankan. Sebaliknya, keterbukaan justru membuat PKS mulai bisa diterima masyarakat pedesaan dan luar Jawa dengan pendidikan dan tingkat ekonomi rendah.
Meski keberadaan faksi-faksi itu dibantah oleh para elite PKS, peneliti Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai, gesekan yang muncul bisa menjadi penghambat bagi PKS sendiri untuk menjadi partai besar. Perbedaan dapat diseimbangkan sehingga PKS tak kehilangan basis massa tradisionalnya, sekaligus menambah ceruk pemilih yang baru. Kebimbangan yang dialami PKS ini juga dialami partai-partai di berbagai negara yang terinspirasi gerakan politik Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Keseimbangan menjadi kunci karena PKS tidak bisa dilepaskan dari kelompok gerakan (harokah) yang menjadi pendiri dan penopang partai. Namun, jika hanya mengandalkan suara mereka, sulit bagi PKS untuk memperluas pengaruhnya. Karena itu, keinginan kelompok partai (hizb) di PKS untuk menjadi partai tengah adalah pilihan realistis.
Namun, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif mengingatkan, PKS tidak akan bisa besar selama sikapnya mendua terkait ide keterbukaannya. Keterbukaan hanya dimaknai PKS untuk bisa menerima suara pemilih dengan latar belakang apa pun. Namun, untuk penentuan calon-calon anggota legislatif, PKS masih menentukan kader-kader dengan paham dan kaderisasi ala PKS saja yang diterima.
"Kecenderungan inklusivitas PKS dalam mengakomodasi suara pemilih seharusnya diimbangi dengan kecenderungan psikologis untuk tidak secara terus-menerus menempatkan model keislaman PKS sebagai satu-satunya ukuran keislaman yang bisa diterima," katanya.
Selama standar ganda itu masih berlaku, PKS diperkirakan sulit menjadi besar. Dalam sistem pemilihan langsung seperti sekarang, kedekatan dan tingkat pengenalan calon anggota legislatif oleh pemilih menjadi salah satu kunci keberhasilan partai untuk mendulang suara. Jadi, selama caleg yang ditawarkan PKS "hanya itu-itu saja", pemilih PKS pun sulit berkembang.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menambahkan, tambahan suara juga bisa diperoleh PKS jika kader-kader partai yang ada di lembaga eksekutif ataupun legislatif menunjukkan kerja yang nyata bagi publik. Hal itu merupakan implementasi langsung dari niat PKS untuk menjadi partai kerja (working party). Kader PKS harus bisa membuktikan bahwa di tangan mereka, nasib rakyat menjadi lebih baik.
KOMPAS.com — Ada yang berbeda pada Musyawarah Nasional II Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang digelar 16-20 Juni 2010. Inilah kali pertama partai yang dikenal sederhana itu menggelar perhelatan di hotel mewah, Hotel Ritz-Carlton, Jakarta.
PKS pun menjadi partai pertama yang menyewa hotel mewah dengan harga sewa kamar rata-rata 300 dollar AS atau sekitar Rp 3 juta per malam itu. Bisa jadi PKS sengaja memilih hotel mewah untuk mengubah citra partai.
Meski Sekretaris Panitia Pelaksana Munas Yudi Widiana menegaskan, pemilihan hotel mewah itu hanya karena alasan daya tampung yang cukup besar. PKS membutuhkan sebuah ruang pertemuan yang bisa menampung lebih dari 4.000 orang.
Munas memang dijadwalkan dihadiri 2.700 peserta ditambah dengan para penggembira. Perhelatan itu diperkirakan menghabiskan dana hingga Rp 10 miliar yang didapat dari iuran anggota.
Menjelang Pemilu 2014, PKS sepertinya memang ingin mengubah citra. Pada 1999, target PKS (waktu itu bernama Partai Keadilan) hanya mengintegrasikan diri dalam sistem politik dengan menjadi peserta Pemilu 1999. Kemudian Pemilu 2004 dijadikan sebagai masa untuk mengokohkan eksistensi politik PKS dengan kembali mengikuti pemilu. Pada 2009, PKS menargetkan bisa menguasai pangsa pasar partai-partai Islam. "Sekarang sudah tercapai," kata Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta.
Perolehan suara PKS pada Pemilu 2009 memang paling tinggi dibandingkan perolehan partai-partai berideologi dan berbasis massa Islam lain, termasuk yang lolos ke parlemen. PKS memperoleh 7,88 persen dari total suara sah, sementara Partai Amanat Nasional (PAN) hanya memperoleh 6,01 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih 5,32 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meraih 4,94 persen.
Bukan hanya itu, pada saat perolehan suara tiga partai Islam lain menurun, suara PKS justru meningkat meski tidak signifikan. Jika pada Pemilu 2004 PKS meraih 7,34 persen suara, pada Pemilu 2009 suara PKS naik menjadi 7,88 persen. Namun, dalam jumlah perolehan suara justru mengalami penurunan sekitar 200.000 suara.
Atas dasar itulah, PKS mengubah target untuk Pemilu 2014. PKS ingin menguasai pangsa pasar semua partai peserta pemilu. "Pada 2014, PKS tidak lagi menjadi market leader di kalangan partai-partai Islam, tetapi semua partai," ujar Anis.
PKS pun mencoba melepaskan diri dari dikotomi partai Islam dan partai nasionalis yang sejak lama berkembang di masyarakat. Pada dua pemilu pertama pascareformasi, PKS memang tidak bisa menghindar dari isu dikotomi partai Islam dan partai nasionalis. "Voter behaviour di Indonesia masih mudah dikelompokkan dalam dua ideologi (Islam dan nasionalis) itu," ujar Anis.
Pembedaan tersebut justru merugikan partai-partai Islam, termasuk PKS. Partai-partai Islam pun kemudian dikelompokkan lagi menjadi partai Islam tradisional dan modernis sehingga segmennya semakin sempit.
Karena merasa rugi, PKS berupaya keluar dari pemetaan partai Islam versus partai nasionalis. Apalagi saat ini perbedaan antara partai Islam dan nasionalis mulai kabur. Partai nasionalis tak lagi berani memproklamasikan diri sebagai partai sekuler. Mereka mulai mengubah citra dengan membuat lembaga keagamaan, seperti Majelis Zikir Partai Demokrat atau Baitul Muslimin Indonesia milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Anis meyakini, pada Pemilu 2014 tidak akan ada lagi polarisasi partai berdasarkan ideologi. Karena itulah PKS akan lebih menjual program, bukan ideologi. Tawaran program terutama menyangkut konsep mengelola negara ke depan. Langkah itu, menurut Ketua DPP PKS Mahfudz Shiddiq, bukan berarti partai akan meninggalkan ideologi Islam sebagai basis partai. "Kami hanya tidak ingin menjadikan Islam sebagai jualan utama," katanya.
Karena itulah, PKS berupaya mentransformasikan pemikiran Islam yang dianut dalam bentuk program yang bermanfaat bagi masyarakat. PKS akan bertarung dengan mempertaruhkan program atau konsep untuk mengelola negara dan menyejahterakan rakyat.
Standar ganda
Untuk menjadi partai yang menguasai pangsa pasar pemilih, bagi PKS bukanlah persoalan mudah. Kendala terbesar justru muncul dari kondisi internal PKS sendiri yang belum sepenuhnya siap menjadi partai terbuka yang mendorong isu-isu kebangsaan.
Tidak bisa dimungkiri, PKS adalah partai yang lahir dari cita-cita dakwah anak-anak muda kampus pada akhir 1990-an. Kondisi itu membuat PKS menjadi sangat eksklusif, baik dalam paham keagamaan maupun dalam memandang isu-isu kebangsaan.
Eksklusivitas itu ternyata hanya menghasilkan perolehan suara 1,44 juta pada Pemilu 1999. Namun, citra positif yang ditanam para kader partai sebagai bagian dari upaya dakwah plus semakin terbukanya partai dengan isu-isu kebangsaan mampu mendongkrak suara PKS hingga 8,33 juta pada Pemilu 2004. Meroketnya perolehan suara itu membuat gagasan PKS untuk menjadi partai terbuka yang didorong oleh kelompok pragmatis-realistis atau faksi kesejahteraan makin kencang.
Kampanye keterbukaan PKS untuk merangkul semua golongan itu pun diumumkan dalam iklan-iklan. Bahkan, PKS berani menampilkan sosok Presiden Soeharto sebagai salah satu tokoh nasional dalam iklannya pada Hari Pahlawan 2008. Upaya untuk menarik simpatisan Soeharto itu ternyata menimbulkan polemik tidak hanya di internal PKS, tetapi juga kalangan di luar partai.
Sebelumnya, dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS, Februari 2008 di Denpasar, Bali, PKS menegaskan diri sebagai partai terbuka. Wacana itu ternyata juga menimbulkan pro-kontra di kalangan internal PKS.
Ternyata keterbukaan yang dicanangkan tidak berbuah manis. Perolehan suara pada Pemilu 2009 mengalami stagnasi dengan perolehan 8,21 juta suara. Kemandekan itu menjadi alasan bagi kelompok ideologis-idealis atau faksi keadilan di PKS untuk mengingatkan kembali pentingnya partai konsisten dengan tujuan awal partai.
Suara PKS di basis tradisionalnya, yaitu masyarakat perkotaan, terdidik, dan ekonomi menengah atas, juga menurun sebagai respons negatif atas keterbukaan yang dijalankan. Sebaliknya, keterbukaan justru membuat PKS mulai bisa diterima masyarakat pedesaan dan luar Jawa dengan pendidikan dan tingkat ekonomi rendah.
Meski keberadaan faksi-faksi itu dibantah oleh para elite PKS, peneliti Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai, gesekan yang muncul bisa menjadi penghambat bagi PKS sendiri untuk menjadi partai besar. Perbedaan dapat diseimbangkan sehingga PKS tak kehilangan basis massa tradisionalnya, sekaligus menambah ceruk pemilih yang baru. Kebimbangan yang dialami PKS ini juga dialami partai-partai di berbagai negara yang terinspirasi gerakan politik Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Keseimbangan menjadi kunci karena PKS tidak bisa dilepaskan dari kelompok gerakan (harokah) yang menjadi pendiri dan penopang partai. Namun, jika hanya mengandalkan suara mereka, sulit bagi PKS untuk memperluas pengaruhnya. Karena itu, keinginan kelompok partai (hizb) di PKS untuk menjadi partai tengah adalah pilihan realistis.
Namun, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif mengingatkan, PKS tidak akan bisa besar selama sikapnya mendua terkait ide keterbukaannya. Keterbukaan hanya dimaknai PKS untuk bisa menerima suara pemilih dengan latar belakang apa pun. Namun, untuk penentuan calon-calon anggota legislatif, PKS masih menentukan kader-kader dengan paham dan kaderisasi ala PKS saja yang diterima.
"Kecenderungan inklusivitas PKS dalam mengakomodasi suara pemilih seharusnya diimbangi dengan kecenderungan psikologis untuk tidak secara terus-menerus menempatkan model keislaman PKS sebagai satu-satunya ukuran keislaman yang bisa diterima," katanya.
Selama standar ganda itu masih berlaku, PKS diperkirakan sulit menjadi besar. Dalam sistem pemilihan langsung seperti sekarang, kedekatan dan tingkat pengenalan calon anggota legislatif oleh pemilih menjadi salah satu kunci keberhasilan partai untuk mendulang suara. Jadi, selama caleg yang ditawarkan PKS "hanya itu-itu saja", pemilih PKS pun sulit berkembang.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menambahkan, tambahan suara juga bisa diperoleh PKS jika kader-kader partai yang ada di lembaga eksekutif ataupun legislatif menunjukkan kerja yang nyata bagi publik. Hal itu merupakan implementasi langsung dari niat PKS untuk menjadi partai kerja (working party). Kader PKS harus bisa membuktikan bahwa di tangan mereka, nasib rakyat menjadi lebih baik.
No comments:
Post a Comment