Monday, March 31, 2008

Rumusan Capres Tak Tercela di RUU Pilpres Perlu Disempurnakan

Harus Terukur secara Hukum
Indopos, 31/3/08

Rumusan Capres Tak Tercela di RUU Pilpres Perlu Disempurnakan
JAKARTA - Persyaratan capres tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang diatur UU No 23/2003 tentang Pilpres dinilai terlalu normatif. Akibatnya, aturan yang mengategorikan judi, mabuk, penggunaan narkoba, dan zina sebagai perbuatan tercela itu menjadi kurang aplikatif.

Sejalan dengan perumusan RUU Pilpres yang baru di DPR, kini berkembang wacana di sejumlah fraksi untuk menyempurnakan rumusan tersebut.

"Penggunaan klausul apa pun dalam undang-undang harus definitif dalam terminologi hukum," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq di Jakarta kemarin (30/03).

Salah satu alternatif rumusan yang ditawarkan FPKS adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang mendapatkan sanksi pidana. Menurut dia, tanpa menggunakan pendekatan hukum, aturan mengenai perbuatan tercela akan terasa samar dan bias. Bahkan, berpotensi memicu munculnya fitnah.

"Perbuatan tercela bukan sekadar tuduhan, tapi harus bisa dibuktikan di hadapan hukum," tegas Mahfudz.

Tapi, apakah tetap harus menggunakan klausul tidak pernah? Bukankah kita hendak memilih presiden, bukan malaikat? "Kalau ingin menjaga posisi presiden betul-betul sakral, kita tetap harus menggunakan klausul tidak pernah," jawabnya. Dengan demikian, imbuh dia, setiap orang, khususnya yang berniat menjadi pemimpin, secara sadar akan menata hidupnya sejak dini.

Secara terpisah, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung juga meminta syarat itu tetap dipertahankan. Menurut dia, pemimpin harus orang yang benar-benar terpilih. Sebab, persoalan negatif yang melekat pada diri pemimpin pasti akan berimbas kepada negara.

"Tapi, supaya tidak normatif, multitafsir dan memicu fitnah, ukurannya perlu diperjelas," kata Pram, demikian dia akrab disapa.

Untuk itu, Pram mendukung penyempurnaan klausul syarat tersebut dengan memasukkan unsur pembuktian hukum. "Kita memang tidak sedang memilih malaikat. Karena itu, patokannya harus hukum," ujarnya. (pri/mk)

Wednesday, March 26, 2008

Incumbent Harus Mundur

Incumbent Harus Mundur
Rabu, 19/03/2008

Pada pembahasan revisi terbatas UU Pemda mencuat usulan peserta pilkada yang masih menjabat (incumbent) untuk mundur.Namun, tak semua pemimpin daerah menyetujui materi tersebut.

MAHFUDZ SIDDIQ
SAYA menilai usulan pemerintah dalam revisi terbatas Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mewajibkan pejabat incumbent harus mundur sangat tepat. Selama ini incumbent banyak melakukan kecurangan saat mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Melalui usulan itu, pilkada akan berjalan adil dan potensi kecurangan dapat dikurangi. Kita harus mengakui tidak sedikit incumbent yang memanfaatkan posisinya untuk memenangkan pilkada. Saya melihat jika incumbent tidak mundur dalam pesta demokrasi lokal, rakyat akan menilai pilkada tidak jujur. Mundurnya incumbent tidak akan berpengaruh signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah karena masih ada pejabat lainnya, seperti para wakil atau sekretaris masingmasing daerah. Fungsi pemerintahan seperti administrasi dan pelayanan masyarakat itu dapat terlaksana dengan baik. Pasalnya, pejabat publik lainnya mampu mengambil alih peranan kepala daerah yang mundur. Sebab, dalam tugas keseharian mereka memang berkutat membantu tugas kepala daerah. Pejabat incumbent sering melakukan konsolidasi dan kampanye untuk kepentingan mereka.Kondisi ini tidak dapat dilanjutkan terus-menerus karena memiliki dampak buruk terhadap iklim demokrasi di Tanah Air.Saya optimistis kalau incumbent diwajibkan mundur sebelum ikut pilkada, semua berjalan adil.Tidak ada lagi fasilitas negara yang digunakan untuk kepentingan berkampanye mereka.Saya menilai pemerintah membuat langkah maju dalam revisi terbatas UU Pemda. Ini harus disahkan dalam UU Pemda nanti.(eko budiono)


I GEDE WINAS
ATURAN bagi para incumbentyang ikut pilkada harus mundur itu sudah pernah dilakukan judicial review . Dan hasilnya, incumbent tidak perlu mundur. Saya berpendapat kalau incumbent mundur, banyak kerugian yang akan diterima masyarakat di daerah,seperti terganggunya pelayanan publik. Dengan demikian,kepala daerah yang maju dalam pilkada tidak perlu mundur dari jabatannya agar peran dan tugas pemerintah tidak terganggu.Hal yang perlu dilakukan pelaksana pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) adalah menegakkan aturan main dalam pilkada secara tegas. Tujuannya agar kasus pelanggaran dapat dihindari sehingga menciptakan keadilan dalam demokrasi lokal. Selama ini fungsi pengawasan pilkada tidak berjalan baik karena KPUD tidak menegakkan aturan main yang sebenarnya. Saya justru khawatir jika usulan pemerintah soal keharusan incumbent mundur menyebabkan pembangunan di daerah terganggu. Alasannya, fungsi incumbent itu tidak dapat digantikan pejabat lain, termasuk wakil bupati, sekretaris daerah, atau para wakil lainnya. Mengapa saya ngotot? Sebab,yang harus bertanggung jawab ke DPRD nanti adalah kepala daerah,bukan para wakilnya atau pejabat daerah lainnya.Saya menyarankan, incumbent hanya perlu dibatasi dalam pelaksanaan kampanye agar tidak melakukan kecurangan dalam pilkada. Selain itu, incumbent yang ikut pilkada tidak selalu mendapatkan keuntungan, dengan masih menjabat sekaligus berkampanye. Jalan tengahnya,untuk pejabat aktif yang berniat maju pada pilkada cukup mengajukan cuti dari jabatannya sehingga bisa fokus berkampanye tanpa menggunakan fasilitas negara.(eko budiono)

Kasus BLBI Harus Kedepankan Hukum

Kasus BLBI Harus Kedepankan Hukum
Selasa, 25/03/2008

JAKARTA (SINDO) – DPR hari ini kembali menggelar sidang paripurna. Dalam agenda terakhirnya, paripurna berisi tanggapan pengusul dan anggota DPR atas keterangan pemerintah di sidang paripurna interpelasi I Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diselenggarakan pada 12 Februari lalu. Sejumlah fraksi dipastikan bakal meminta pemerintah mengesampingkan pendekatan politik dan mengedepankan proses hukum dalam penyelesaian kasus BLBI. Salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang berharap pascainterpelasi, pemerintah bisa bergerak cepat menuntaskan kasus itu.

Ketua FPKS Mahfudz Siddiq menyatakan memberikan batas waktu tiga bulan kepada pemerintah untuk memproses secara hukum para obligor BLBI. Jika dalam rentang waktu tersebut tidak ada progres positif, FPKS akan menyiapkan langkah politik lanjutan di DPR.’’Bisa hak angket bisa juga yang lain.Namun,kami akan liat progresnya selama tiga bulan terlebih dahulu,” tuturnya saat dihubungi SINDO sebelum pelaksanaan sidang paripurna pukul 09.30 WIB,pagi tadi. Sidang paripurna yang dimulai pukul 10.00 WIB hari ini memiliki tiga agenda. Selain masalah BLBI, paripurna juga mengesahkan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik serta penetapan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Paripurna soal BLBI ini dijadwalkan berlangsung pukul 14.00 WIB. Lebih jauh, Mahfudz Siddiq berpandangan, penyelesaian kasus BLBI oleh pemerintah dengan menggunakan pendekatan politik harus segera diakhiri. Menurut dia,mulai saat ini pemerintah harus menggunakan pendekatan hukum. Jangan sampai kasus ini semakin ’’kabur’’ dan negara terus dirugikan karena menanggung beban utang luar negeri akibat ulah para ’’konglomerat hitam’’ tersebut. ’’Yang lalu biarlah berlalu. Pemerintah sekarang harus membuka lembaran baru.Tidak ada lagi pendekatan politik untuk menuntaskan kasus ini,”paparnya.

Selain mengupayakan proses hukum terhadap para obligor BLBI,Mahfudz juga meminta KPK segera menyelidiki secara tuntas dugaan kasus suap Sjamsul Nursalim terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan. KPK diminta objektif dan tegas mengusut siapa pun yang terlibat, tidak terkecuali para pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung (Kejagung). Pada sidang interpelasi DPR sebelumnya, para wakil rakyat di parlemen sempat dibuat kecewa oleh pemerintah. DPR melakukan protes keras. Penyebabnya, presiden tidak hadir dan jawaban pemerintah tidak ditandatangani langsung kepala negara. Ketika itu,jawaban pemerintah hanya ditandatangani Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Widodo AS.

Mereka yang diutus presiden untuk hadir dalam sidang paripurna I adalah Menko Perekonomian Boediono, Menhukham Andi Mattalatta,Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Menkeu Sri Mulyani, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Mensesneg Hatta Rajasa, dan Kepala BPKP Didi Widayadi. Senada dengan FPKS, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) mendesak pemerintah membuka kembali kasus BLBI yang sempat ditutup Kejagung. Ketua FPAN Zulkifli Hasan menyebut tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK menunjukkan adanya kejanggalan dalam penyelesaian kasus ini. ’’FPAN menuntut pemerintah agar skandal BLBI itu dibuka kembali,” ujarnya kepada SINDO pagi tadi.

Menurut Zulkifli, jika BLBI tidak dibuka kembali, masyarakat akan terus bertanya-tanya. Hal itu akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. Ketidakmampuan pemerintah dalam menuntaskan kasus BLBI ini juga menjadi preseden buruk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). ’’Pemerintah tidak punya pilihan lain,kecuali menuntaskan kasus BLBI ini di tengah sorotan tajam publik. Rakyat sudah mengetahui adanya permainan dari para obligor nakal kasus BLBI itu,”ungkapnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN ini menambahkan, tidak mudah untuk menyelesaikan kasus BLBI.Penyebabnya,kasus BLBI itu sudah lama terjadi. Zulkifli menilai diperlukan kerja keras dari aparat penegak hukum, baik Kejagung atau kepolisian untuk membuktikan terjadinya kerugian negara akibat BLBI.

Sebelumnya, Kejagung menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi BLBI atas obligor Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Alasannya, Kejagung tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo menyatakan, fraksinya akan mengkaji terlebih dahulu jawaban pemerintah atas interpelasi yang disampaikan DPR. FPDIP ingin mengetahui siapa saja yang masuk daftar obligor yang kooperatif dan obligor tidak kooperatif. Bagi obligor yang tidak kooperatif, fraksinya meminta pemerintah bersikap proaktif dengan menggiringnya ke proses hukum.

’’Hal ini sesuai hasil Panja Komisi III DPR (Hukum) dan Komisi IX DPR (sekarang Komisi XI, bidang Keuangan) yang memberikan rekomendasi agar Kejagung memprosesnya,”paparnya. Bagi obligor yang kooperatif, ungkap salah satu Ketua DPP PDIP ini, pemerintah harus bisa menjamin adanya pengembalian aset. Pengembalian aset ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan cara mencicil.’’Intinya, ada goodwilldari para obligor dan political will dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini,”ujarnya. (arif budianto/ eko budiono)

Tuesday, March 25, 2008

Ketua DPR: Hak Angket BLBI Ada Prosedurnya

Ketua DPR: Hak Angket BLBI Ada Prosedurnya
Ramdhan Muhaimin - detikcom
Jakarta - Sejumlah anggota Dewan sudah
menyiapkan hak angket sebagai tindak
lanjut atas jawaban interpelasi BLBI oleh
pemerintah yang dinilai tidak memuaskan.
Namun Ketua DPR Agung Laksono
menyebut, hal itu harus melalui prosedur
yang panjang.
"Hak angket itu kan (sekarang) masih
anggota. Untuk diputuskan menjadi hak
angket DPR ada prosedurnya. Nanti dalam
tatib kita akan alokasikan waktu untuk bicara
dengan fraksi-fraksi," kata Agung, sebelum
memimpin sidang paripurna di Gedung
DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/3/2008).
Agung berharap, jawaban yang disampaikan
pemerintah pada sidang paripurna 12
Februari lalu tidak diabaikan begitu saja
oleh para interpelator BLBI.
"Kita berharap agar kita bisa membangun
demokrasi ini dengan baik. Jawaban
pemerintah jangan diabaikan," kata Wakil
Ketua Umum Golkar ini.
Sementara Ketua FPKS Mahfudz Siddiq
mengungkapkan jika dalam sidang paripurna kali ini, sejumlah anggota DPR
akan berupaya meloloskan hak angket.
"Kalau dalam sidang nanti sebagian besar anggota DPR dan para interpelator
tidak puas dengan jawaban pemerintah sangat mungkin para penggagas hak
angket itu akan memaksakan hak angket hari ini," tutur Mahfudz.
Menurut Mahfudz, munculnya rencana pengajuan hak angket ini terkait
ditangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap dari orang
dekat obligor BLBI Sjamsul Nursalim.
"Hak angket ini kan muncul karena kasus jaksa Urip. Itu menjadi tamparan bagi
pemerintah. Jika ternyata kasus ini terkait BLBI tentu pemerintah harus serius
menyelesaikan. Saya yakin dalam sidang nanti ada pertanyaan-pertanyaan,"
pungkas Mahfudz.

Monday, March 24, 2008

Pemerintah Kecewakan DPR

Pemerintah Kecewakan DPR
Senin, 24/03/2008

JAKARTA(SINDO) – Fraksi-fraksi di DPR menyatakan kecewa terhadap jawaban pemerintah atas hak interpelasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Mereka menilai pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus yang merugikan APBN sekitar Rp60 triliun per tahun tersebut. Sekretaris Fraksi PAN Muhammad Yasin Kara mengaku kecewa dengan proses hukum terhadap para debitor BLBI.Pihaknya mempersoalkan penangkapan Ketua Tim Jaksa BLBI Urip Tri Gunawan oleh KPK.

”Memang belum ada keputusan dari KPK.Tapi,kejadian itu memberi kesan buruk terhadap penegakan hukum. Sebab, penangkapan Urip hanya beberapa hari pasca- Kejaksaan Agung menutup kasus BLBI,” kata Yasin kepada SINDO kemarin.Dia menyatakan, kasus tersebut mengesankan ada sesuatu di balik penghentian kasus BLBI. Anggota Komisi X DPR ini juga mempersoalkan penyelesaian kasus BLBI yang terkesan tegesa-gesa.

Menurut dia, ada sejumlah debitor yang baru menyelesaikan sebagian kecil tanggungannya, tetapi sudah dianggap selesai. Padahal, negara telah memberikan dispensasi melalui Master of Settlement Agreement and Acquisition (MSAA). Dia juga mempersoalkan upaya sejumlah pihak yang memanfaatkan kelemahan MSAA. ”Ada obligor yang punya utang Rp53 triliun diperbolehkan hanya membayar Rp19 trilun.Tapi, baru bayar Rp1 triliun kok sudah dianggap selesai?” katanya heran.

Anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPR ini meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak melempar tanggung jawab meskipun kebijakan tersebut dibuat di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Menurut dia, Presiden SBY harus konsisten mengusut tuntas secara hukum kasus tersebut. Hal senada disampaikan Sekretaris Fraksi PBR Diah Devawati Ande.Menurut dia, kasus dugaan suap terhadap tim jaksa BLBI patut dipertanyakan.

Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR ini mengatakan, kasus BLBI harus tetap ditindaklanjuti hingga tuntas.” Kami tidak mau tahu.Pemerintah harus bertanggung jawab,” kata Diah saat dihubungi SINDO kemarin. Wakil Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Muhammad Zubair mengatakan, proses hukum kasus BLBI sangat mengecewakan. Menurut dia, seharusnya pemerintah bersikap tegas dalam pengusutan kasus tersebut.

”Kalau kasus ini terus dibiarkan, kasihan rakyat. Mereka menanggung beban yang sangat berat,” ujar anggota Komisi VII DPR ini. Zubair menambahkan, dalam rapat paripurna besok (25/3), pihaknya akan menanyakan komitmen pemerintah terkait penegakan hukum. Menurut dia, jawaban pemerintah pada rapat paripurna (12/3) lalu sangat normatif. Bahkan, hampir tidak ada langkah konkret yang akan diambil.

Pihaknya berharap, penanganan BLBI tidak berhenti setelah pemerintah memberikan jawaban. ”Kita butuh langkah konkret, tidak hanya jawaban normatif,” kritiknya. Sementara itu, fraksi-fraksi masih menyusun tanggapan atas jawaban pemerintah. Sebanyak 40 orang anggota DPR mengajukan hak angket BLBI.Hak angket tersebut diajukan berkaitan dengan tertangkapnya Ketua Tim Jaksa BLBI Urip Tri Gunawan oleh KPK.Pengajuan hak angket tersebut diatur dalam Bab XXIV Pasal 176 tata tertib DPR.

Sementara itu, Ketua Fraksi PKS Mahfudz Shiddiq mengaku bisa menerima penjelasan pemerintah.Meski demikian, pihaknya akan tetap mengawal proses hukum kasus BLBI. Menurut dia, pemerintah meminta waktu hingga 2008 untuk menuntaskan kasus tersebut. Jika sampai akhir 2008 proses hukum tidak mengalami perkembangan, PKS mengancam akan mengambil sikap tegas. ”Kita lihat dulu skenario penegakan hukum ala pemerintah. Kalau tidak tuntas,ya kita usulkan hak angket,” ungkapnya. Terkait hak angket yang diajukan 40 anggota DPR, pihaknya akan mempelajari lebih detail.Sebab,PKS tidak ingin hak angket yang diajukan tersebut ditunggangi kepentingan pragmatis. (ahmad baidowi)

Wednesday, March 19, 2008

Hindari Politisasi Calon Gubernur BI

Hindari Politisasi Calon Gubernur BI
Wapres: Penolakan di Komisi XI Belum Final
Jumat, 14 Maret 2008 | 02:23 WIB

Jakarta, Kompas - Meski pemilihan Gubernur Bank Indonesia merupakan proses politik, politisasi dalam proses menetapkan Gubernur BI periode 2008-2013 seyogianya dihindari. Pemilihan seharusnya didasarkan pada kriteria kualitas yang selayaknya dimiliki calon Gubernur BI, antara lain kompeten di bidang moneter, disegani pasar, dan berintegritas tinggi.

Untuk itu, ekonom Faisal Basri menyarankan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjaring seluas-luasnya aspirasi masyarakat, termasuk berkomunikasi dengan DPR dalam menetapkan calon Gubernur BI.

Faisal mengakui, pemilihan Gubernur BI tak bisa dilepaskan dari keputusan politik. ”Namun, keputusan politik yang diambil haruslah patut,” kata Faisal di Jakarta, Kamis (13/3).

Karena itu, kata Faisal, dalam menetapkan calon Gubernur BI berikutnya, Presiden maupun DPR harus memutuskannya dengan mendasarkan pada kriteria antara lain kompeten di bidang moneter, berintegritas tinggi, dan disegani pasar.

Proses pemilihan Gubernur BI yang mendasarkan pada kriteria itu sangat diperlukan mengingat posisi tersebut amat penting bagi kelangsungan perekonomian. Apalagi, tantangan bank sentral kian berat seiring dengan meningkatnya tekanan inflasi dan pengaruh resesi global.

Hasil pemungutan suara di Komisi XI DPR, Rabu malam, menolak dua calon Gubernur BI yang diajukan Presiden. Dua calon tersebut adalah Agus Martowardojo dan Raden Pardede.

Belum final

Menanggapi hasil pemungutan suara di Komisi XI DPR itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan menghormati keputusan itu. Namun, ia menganggap keputusan tersebut belum final.

”Keputusan akhir, kan, lewat Sidang Paripurna DPR. Jadi, segala sesuatu memungkinkan terjadi. Namun, itu tergantung internal DPR. Pemerintah tidak akan ikut campur,” ujar Wapres. Sidang Paripurna DPR akan diselenggarakan hari Selasa (18/3).

Wapres menolak pandangan bahwa penolakan oleh Komisi XI DPR merupakan kegagalan lobi pemerintah terhadap partai-partai yang duduk di DPR. ”Koalisi pemerintah itu, kan, terdiri dari banyak partai politik. Karena itu, sebenarnya tidak akan ada masalah. Tetapi, sekali lagi, ini adalah evaluasi yang ditempuh lewat uji kelayakan,” kata Wapres, yang juga Ketua Umum Partai Golkar.

Menurut Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, jika sidang paripurna menerima keputusan Komisi XI, DPR akan mengirimkan surat kepada Presiden agar segera mengajukan kembali calon Gubernur BI untuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR.

Wapres menyatakan, pemerintah siap mengajukan nama calon lain dua minggu setelah putusan dalam Sidang Paripurna DPR.

Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR Endin AJ Soefihara, jika keputusan yang telah diambil Komisi XI ”dimentahkan” oleh sidang paripurna, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi fraksi-fraksi di DPR.

”Yang ada di komisi itu wakil-wakil fraksi, yang tentu saja membawa aspirasi fraksinya, atau partainya. Kalau kemudian keputusannya tidak dipercaya, apa artinya komisi diberi wewenang melakukan fit and proper test dan mengambil keputusan,” ujarnya.

Endin menyatakan, proses pemilihan Gubernur BI ini menunjukkan sebuah kenyataan politik, bahwa konfigurasi koalisi di kabinet tidak berbanding lurus dengan koalisi di parlemen.

Kambing hitam

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) Suryadharma Ali menegaskan, penolakan terhadap calon Gubernur BI yang diajukan Presiden bukanlah hasil kontribusi dari suara PPP.

”PPP merasa dikambinghitamkan oleh kalangan partai tertentu, seolah PPP memang menolak usulan Presiden,” kata Suryadharma, yang juga Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Suryadharma mengakui, pada rapat internal PPP, Rabu, DPP PPP menginstruksikan kepada Fraksi PPP di DPR untuk memilih Agus Martowardojo. ”Jadi, tidak benar tudingan di berbagai media massa bahwa sikap PPP berseberangan dengan usulan Presiden. PPP tidak akan menolak mentah-mentah para calon Gubernur BI itu,” ujarnya.

Namun, Suryadharma mengakui segalanya bisa terjadi, apalagi pemungutan suara dilakukan tertutup. Tidak seorang pun bisa membuktikan keberpihakan atau penolakan PPP.

”Secara prinsip, PPP tetap berpegang pada kebijakan menyerahkan jabatan Gubernur BI kepada ahlinya. Apabila posisi penting Gubernur BI sebagai cerminan kepentingan nasional dikalahkan oleh kepentingan koalisi politik, pemilihan ini sudah dipolitisasi. Artinya, Gubernur BI tidak independen lagi,” ujar Sekretaris Fraksi PPP Soeharso Monoarfa.

Monoarfa berpendapat, semestinya Presiden terlebih dahulu memanfaatkan forum konsultasi dengan DPR sebelum mengajukan nama-nama calon.

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, dari Fraksi Partai Amanat Nasional, menyatakan, kurang bijak jika DPR mendorong Presiden mengajukan calon Gubernur BI harus dari internal BI. ”Usul itu kurang tepat di tengah penyidikan kasus aliran dana dari BI, termasuk di antaranya kepada anggota DPR,” katanya.

Pendapat berbeda disampaikan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR Mahfudz Siddiq. Menurut dia, penolakan dua calon Gubernur BI oleh Komisi XI DPR menunjukkan kuatnya tuntutan DPR dan sentimen pasar, bahwa Gubernur BI selayaknya diisi calon dari lingkup BI.

Adapun Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan menilai DPR menentukan pilihan personalia berdasarkan kalkulasi politik saja, bukan kompetensi dan kepentingan nasional.

Mantan Ketua DPR Akbar Tandjung menyatakan, penolakan terhadap dua calon yang diajukan pemerintah tidak hanya karena alasan teknis kemampuan, tetapi juga alasan politik. ”Pemerintah harus jeli membaca pesan politik sikap DPR tersebut,” katanya.

PKS Mainkan Kartu S-1

Kamis, 13 Mar 2008,
PKS Mainkan Kartu S-1

Syarat Pendidikan Minimal Capres Warning PDIP
JAKARTA - Pembahasan RUU Pemilihan Presiden 2009 bakal tidak kalah panas dibandingkan dengan pembahasan RUU Pemilu. Salah satu bara pemanas yang, tampaknya, sulit dihindari ialah rencana Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang kembali memainkan syarat pendidikan minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden.

Seperti diketahui, syarat pendidikan minimal capres-cawapres harus S-1 dalam pembahasan RUU Pilpres 2003 empat tahun silam sempat menampar PDI Perjuangan (PDIP). Sebab, itu sama artinya dengan upaya mendepak calon presiden (capres) PDIP Megawati Soekarnoputri lantaran putri Bung Karno itu hanya memegang ijazah SMA.

"Pendidikan minimal S-1 tidak bisa ditawar-tawar lagi," kata anggota Pansus RUU Pilpres dari FPKS Al Muzzammil Yusuf di gedung DPR Senayan, Jakarta, kemarin.

"Tentu saja syarat capres harus sehat dan usia maksimal capres-cawapres 60 tahun tidak bisa ditinggalkan," lanjutnya. Dia menambahkan, fraksinya akan mendorong mekanisme pendalaman visi, misi, dan debat terbuka.

Dia mengatakan, usul FPKS itu tidak dimaksudkan untuk mendepak siapa pun capres-cawapres. Tidak ada niat seperti itu. "Syarat minimal S-1 karena tantangan pemimpin Indonesia ke depan sangatlah berat," katanya.

Muzzammil menyatakan, intelektualitas merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki capres-cawapres. "Setidaknya, syarat pendidikan mereka harus lulus dari perguruan tinggi (S-1, Red)," jelas kader PKS yang sehari-hari di DPR adalah anggota komisi I.

Tanpa hal itu, Indonesia sulit beranjak dari sejumlah persoalan nasional maupun internasional yang terus membelit bangsa ini. "Karena itu, kami juga akan mendorong debat terbuka resmi bagi capres-cawapres yang akan maju," ujarnya.

Pendalaman visi-misi melalui debat terbuka itu, kata dia, untuk mengetahui lebih jauh kemampuan dan kecakapan yang dimiliki calon. "Publik secara umum juga berhak tahu kan?" lanjutnya.

Apakah syarat tersebut sengaja diajukan untuk menjegal salah seorang calon? Muzammil membantah. "Ini murni kebutuhan bangsa ke depan," dalihnya.

Tak pelak, rencana PKS tersebut langsung menuai reaksi. Jika syarat tersebut lolos, capres PDIP Megawati terancam terjegal. "Ini adalah usul tendensius," kata anggota DPR dari Partai Golkar Yuddy Chrisnandi seakan membela PDIP.

Penolakan luas juga muncul saat usul itu sempat dimasukkan pemerintah dalam penyusunan draf RUU Pemilu sekitar Maret 2007. Draf itu pun akhirnya direvisi. "Tidak fair kalau melihat kemampuan capres hanya dari S-1 atau tidak," tambah Yuddy.

Selain itu, PKS berniat mengusung syarat kesehatan dan usia. Menurut Ketua FPKS Mahfudz Siddiq, usia maskimal capres 60 tahun. "Agar presiden RI masih seger," katanya. (dyn/mk)

Penolakan Dua Calon Presiden Masih Kuat

Rabu, 12 Maret 2008 21:16 WIB
Penolakan Dua Calon Presiden Masih Kuat
Reporter : Fardiansah Noor

JAKARTA--MI: Hingga puku 20.00 WIB Rabu (12/3), konstelasi dukungan kepada calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan presiden, Agus Martowardojo dan Raden Pardede masih menunjukkan penolakan.

Dari tiga opsi, menerima Agus Martowardojo, menerima Raden Pardede, atau menolak keduanya, jumlah anggota yang memilih opsi menolak keduanya masih berjumlah 27 orang. Dari 51 anggota Komisi XI 24 menerima Agus Martowardojo. Sedangkan Raden Pardede tidak ada yang memilih.

Tapi, Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin mengaku, setelah mendapat penjelasan dari anggotanya di Komisi XI dari hasil uji kelayakan dan kepatutan telah memerintahkan enam anggota fraksinya untuk memilih Agus Martowardojo.

Hal serupa juga terjadi dengan Fraksi PAN. Ketua Fraksi Zulkifli Hasan menyatakan, lima anggota fraksinya sudah diperintahkan untuk memilih Agus Martowardojo. Enam anggota Fraksi Partai Demokrat solid mendukung pilihan presiden, Agus Martowardojo.

Sisanya, sumber Media Indonesia mengungkapkan Fraksi Partai Golkar sudah diarahkan untuk memilih Agus Martowardojo, walaupun kemudian argumen itu tidak ditolak atau diterima oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso. "Kami memahami bahwa kami jadi penentu. Karena itu kita tunggu saja hasilnya nanti," ujar Priyo.

Tapi, sumber Media Indonesia di Komisi XI menyebutkan, dari hasil lobi yang dilakukan sejak Selasa (11/3) suara fraksi-fraksi pendukung Agus Martowardojo tidak solid. Dari lima anggota Fraksi PAN, tiga orang sudah berikrar untuk menolak kedua calon presiden itu. Hal serupa juga terjadi pada anggota fraksi PPP, tiga anggota fraksinya membelot untuk menolak calon dari presiden.

"Ada juga dari fraksi Partai Golkar yang menolak. Jumlahnya tiga orang. Hasilnya, 27 orang menolak dan 24 menerima," jelas sumber itu.

Dia menjelaskan, pembelotan itu pasti terjadi karena sudah disepakati pemungutan suara dilakukan secara tertutup. Sehingga, teman satu fraksi tidak akan ada yang tahu pilihan apa yang dipilih oleh rekan sefraksinya.

Anggota Komisi XI dari PDIP Emir Moeis menyatakan, fraksi PDI Perjuangan solid menolak calon dari Presiden. Hal senada dikatakan oleh Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq. "Kita solid menolak," tegas Mahfudz. (Far/OL-03)

»

PDIP Tolak Lobi Fraksi Jelang Paripurna soal Gubernur BI
Senin, 17 Maret 2008 | 20:50 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:-Fraksi PDI Perjuangan berpendapat lobi akhir untuk mengubah hasil seleksi calon Gubernur Bank Indonesia menjelang paripurna tidak diperlukan. Alasannya, hasil seleksi Komisi Keuangan dan Perbankan merupakan representasi keputusan DPR.


"Keputusan komisi atas nama DPR, bukan pribadi anggota komisi. DPR tidak bisa menjilat ludahnya sendiri," kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo ketika dihubungi, Senin (17/3).

Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengatakan skenario paripurna baru akan diputuskan setelah lobi fraksi Senin malam (17/3). Namun, dia melanjutkan, Fraksi Partai Golkar menghormati hasil seleksi Komisi Keuangan yang menolak dua calon yang diajukan Presiden Yudhoyono. "Keputusannya setelah pertemuan nanti malam," ujarnya di gedung MPR/DPR, Senin (17/3).

Sebelumnya, Presiden Yudhoyono mengajukan Direktur PT Bank Mandiri Agus Martowardoyo dan Wakil Direktur PT PPA Raden Pardede. Hasil Voting, Agus Martowardoyo memperoleh 21 suara dan pilihan tidak memilih keduanya sebanyak 29 suara. Sedangkan calon lain, Raden Pardede tidak memperoleh satu pun suara.

Menurut Tjahjo, DPR melalui Badan Musyawarah DPR sudah menugaskan Komisi Keuangan dan Perbankan melakukan uji kepatutan dan kelayakan calon Gubernur Bank Indonesia. Keputusan seleksi hanya dilaporkan dalam rapat paripurna. "Dan paripurna menerima keputusan Komisi Keuangan atas nama DPR. Sebagaimana fit and proper di Komisi Luar Negeri (duta besar, Panglima TNI), Komisi Pemerintahan (KPU, Bawaslu), Komisi Hukum (hakim agung, kapolri, hakim konstitusi, Komisi Yudisial)," katanya.

Dia menegaskan anggota DPR hanya mempermalukan lembaga DPR jika mempolitisasi hasil seleksi dalam paripurna Selasa (18/3). Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq mengaku tidak tahu adanya lobi fraksi Senin malam. "Wah nggak tahu," ujarnya melalui pesan singkat.

Pelantikan Syamsul Bahri Tunggu Keputusan Hukum Final

Pelantikan Syamsul Bahri Tunggu Keputusan Hukum Final
Kamis, 13 Mar 2008 | 21:06 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Pelantikan anggota Komisi Pemilihan Umum Syamsul Bahri harus menunggu sikap jaksa terhadap putusan majelis hakim. "Pelantikan harus menunggu putusan hukum yang mengikat. Kecuali, jaksa menerima putusan itu," kata anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi PPP Lena Maryana Mukti ketika dihubungi Tempo, Kamis (14/3).

Syamsul Bahri dibebaskan oleh Majelis Hakim PN Malang karena dinilai tidak terbukti melanggar dakwaan primair dan subsidair, yakni Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang (UU) No 31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui menjadi UU No 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

Lena mengatakan pelantikan Syamsul akan membantu kinerja KPU. Apalagi, katanya, persiapan penyelenggaraan pemilu 2009 sudah mulai dilakukan.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi PKS Mahfudz Siddiq sependapat dengan Lena. Pelantikan Syamsul harus menunggu putusan hukum yang bersifat final.

Apalagi, katanya, Kejaksaan Agung berjanji kasus tersebut selesai awal Maret ini. "Harus dilantik kalau diputuskan bebas. Kecuali, jaksa mengajukan banding," ujarnya di gedung MPR/DPR.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Agus Condro Prayitno mengatakan Syamsul sebaiknya tidak dilantik saat ini. Alasannya, jaksa masih berpeluang mengajukan keberatan atas putusan majelis hakim. "Jika jaksa mengajukan kasasi, Syamsul masih berstatus sebagai terdakwa sampai ada putusan Mahkamah Agung," ujarnya.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi Partai Golkar Ferry Mursyidan Baldan mengatakan Syamsul harus segera dilantik. Syamsul, ujarnya, merupakan calon anggota KPU terpilih.

Alasan penundaan pelantikan Syamsul selama ini adalah memberi kesempatan Syamsul menyelesaikan masalah hukum. Pelantikan itu dapat menghindari potensi politisasi proses hukum. "Pelantikan akan menyelesaikan masalah yang selama ini menggantung," katanya.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi PAN Andi Yuliani Paris meminta Presiden Yudhoyono melantik Syamsul pekan depan. Menurut dia, putusan majelis hakim merupakan landasan bagi presiden melantik Syamsul. "Tetapi dengan catatan jangan ada politisasi lagi ketika beliau sudah dinyatakan bebas," katanya.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Ida Fauziyah mengatakan Syamsul dapat segera dilantik berdasarkan Undang-undang 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Kurniasih Budi

Debat Buta Huruf & Orang Gila

Syarat Sarjana Bagi Capres (1)
Debat Buta Huruf & Orang Gila
Deden Gunawan - detikcom
Jakarta - Dua universitas sudah disinggahi
Megawati dalam menimba ilmu. Tahun 1965
ia berkuliah di Fakultas Pertanian
Universitas Padjajaran, Bandung. Namun
dua tahun kemudian, 1967, ia keluar dan
tidak melanjutkan lagi studinya.
Tiga tahun kemudian, ia kembali ke kampus
dan berkuliah di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Tapi seperti
sebelumnya, di kampus, Yang dulu
berjargon "kampus perjuangan orde baru" ia
hanya duduk selama dua tahun. Aktivis
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), yang kini menjadi Ketua Umum
PDIP, kemudian droup out dari kampus itu
tahun 1972.
"Saya saat itu bukan tidak bisa
menyelesaikan kuliah karena drop out atau
tidak mampu, tapi karena waktu itu tidak
dibolehkan untuk menyelesaikan kuliah,"
ujar Mega saat memberi sambutan di
peresmian kantor DPD PDI Perjuangan
Provinsi Lampung, awal Februari silam.
Ia tidak secara gamblang menjelaskan siapa
pihak yang menghambat kuliahnya itu. Tapi menurutnya, saat ayahnya, Bung
Karno, sudah tidak lagi menjadi presiden, kondisi keluarganya banyak
mengalami tekanan.
Bahkan setelah Bung Karno meninggal dunia, seluruh keluarganya dilarang
untuk berorganisasi, berbisnis, juga kuliah. Akhirnya jenjang pendidikan
tertinggi di Curriculum Vitae Megawati hanya sampai SMA.
Sekalipun kuliahnya tidak tamat, bagi Megawati itu tidak masalah. Alasannya,
Soekarno pernah berpesan padanya, belajar dan menggali ilmu pengetahuan
dan teknologi, bisa dimana saja. Tidak harus dari sekolah. Bisa belajar sendiri
atau otodidak. Pesan itu hingga sekarang masih dipegangnya. Apalagi dalam
perjalanan hidupnya, ia sempat menduduki kursi wapres dan presiden,
sekalipun tidak bergelar sarjana.
Tapi belakangan syarat sarjana S-1 bagi setiap calon presiden kembali muncul
ke permukaan. Dan ketentuan ini bikin ketar-ketir kubu Megawati. Soalnya,
bila usulan ini disepakati maka upaya Megawati merebut kursi presiden dalam
pilpres 2009, bisa bablas.
Usulan yang sama pernah mengemuka tahun 2003, di pembahasan RUU
Pilpres waktu itu, sekarang dirilis ulang oleh Fraksi PAN dan Fraksi PKS
menjelang pembahasan RUU Pilpres yang akan dibahas Juli mendatang.
Kedua fraksi ini menilai, syarat S-1 bagi capres dianggap penting. Setidaknya
untuk menjawab tantangan masa depan bangsa.
"Kita ingin perubahan. Setidaknya kalau dulu capres hanya berijazah SMA
sekarang harus sarjana," jelas Ketua Fraksi PAN, Zulkifi Hasan kepada
detikcom. Selain harus sarjana, FPAN dan FPKS juga mengusulkan syarat
sehat dan muda untuk capres.
Dengan peningkatan strata pendidikan, imbuh Zulkifli, setidaknya bisa
meningkatkan kualitas capres mendatang. "Dalam penerimaan pegawai negeri
saja ada syaratnya. Apalagi presiden,"ujar Zulkifli.
Sekalipun usulan ini baru digadang dua fraksi, sinyal dukungan terhadap
syarat bertoga S-1 bagi capres sudah terlihat. Ketua DPR Agung Laksono
menyambut positif wacana ini. Agung yang juga Wakil Ketua Umum Partai
Golkar melihat, soal strata pendidikan bagi calon presiden harus ada
peningkatan. "Memang seharusnya ada progres dalam syarat menjadi
presiden," kata Agung kepada wartawan di Gedung DPR, pekan lalu.
Secara umum, menurutnya, Golkar menginginkan tidak terlalu banyak
perubahan di RUU Pilpres. "Kalaupun ada perubahan kami menginginkan agar
ada peningkatan dari waktu ke waktu. Jangan SMA turun ke SMP, turun keSD." ungkap Agung. Namun demikian, lanjutnya, Golkar masih perlu
membahas secara detail usulan mereka atas RUU Pilpres.
Tapi pernyataan Agung tidak seiring dengan keinginan kader beringin yang
lain di DPR. Sebab Fraksi Partai Golkar yang terlibat dalam pembahasan RUU
Pilpres mengaku, tidak akan mengusulkan perubahan syarat capres. "Kita tidak
ingin ada kesan menghambat seseorang yang ingin maju di Pilpres 2009,"
jelas Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR dari Golkar, yang jadi Ketua
Pansus RUU Pilpres.
Pihak yang dimaksud Ferry tentu capres dari PDIP. Sebab bila syarat ini
dimunculkan jelas akan mengandaskan keinginan kubu partai belambang
kepala banteng untuk menggadang sang ketua umum, menjadi capres. Sebab
Megawati hanya berijazah SMA.
Apakah gelar sarjana bisa menjamin seseorang memimpin bangsa?
Pertanyaan ini meluncur dari Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo. Dalam
pandangannya, seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa
mempersatukan seluruh komponen bangsa, bukan dilihat dari latar belakang
pendidikannya.
Aria Bima, kader banteng yang lain menimpali, asal tidak buta huruf, setiap
warga negara berhak maju sebagai presiden. Sebab, lanjut Aria, jabatan
Presiden bukan posisi teknis yang memiliki keahlian tertentu. "Seorang
presiden tidak harus sarjana. Tapi punya visi untuk membangun bangsa,"
tegas Aria Bima.
Ia memberi contoh, presiden yang bergelar sarjana, bahkan doktor justru tidak
mampu mengatasi masalah yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Presiden
yang dimaksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang meraih gelar
doktor di bidang pertanian dari IPB, 2 Oktober 2004. Sekalipun ia seorang
doktor di bidang agrobisnis, kata Aria, SBY ternyata tidak mampu mengatasi
kelangkaan minyak goreng dan masalah kedelai.
Aria kemudian menganggap, wacana syarat sarjana bagi capres hanya
sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap pembahasan RUU Pilpres.
Pemerintah melalui partai pendukungnya berupaya menjegal lawan politiknya
di tengah jalan," begitu kata Aria.
Namun Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq membantah kalau usulan fraksinya
bertujuan menjegal lawan politik. Ia berharap, upaya yang dilakukan hanyalah
mencari format pemimpin yang baik.
"Kalau memang sarjana saja tidak ada jaminan, apalagi kalau pendidikannya di
bawah sarjana," ujar Mahfudz. Lanjutnya, bagaimanapun, dengan berbekal
pendidikan formal setidaknya bisa membentuk struktur berpikir dan menjadi
parameter kemampuan dari seorang calon presiden.
Ia juga merasa heran bila batasan yang diusulkan dianggap sebagai upaya
penjegalan. Argumentasi Mahfudz, jika tidak ada pembatasan, berarti seorang
capres bisa berasal dari semua usia. Bahkan orang gila sekalipun bisa
mencalonkan diri sebagai presiden. ( ddg / iy )

PPP: Wajar! Situasi Panas Jelang Pemilu

PPP: Wajar! Situasi Panas Jelang Pemilu
2009
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Pernyataan Presiden SBY
mengenai situasi politik menjelang pemilu
2009 semakin memanas ditanggapi
beragam di DPR. Masalah situasi memanas
ini dianggap sebagai hal yang wajar
sehingga tidak perlu didramatisir.
"Itu biasa dari dulu menjelang pemilu situasi
suhu politik terus meningkat. Karena
persaingan politik yang semakin meningkat
di antara para elit. Jadi biasa saja
menanggapinya," kata Ketua DPP PPP Arief
Mudatsir Mandan di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Rabu (5/3/2008).
Menurut Arief, situasi politik 2009 tidak akan
berpengaruh banyak kepada rakyat
sebagaimana yang dilontarkan SBY. Karena
saat ini rakyat lebih berpikir kebutuhan
dasar, seperti makan dan kebutuhan pokok
lainnya.
"Saat ini perekonomian kan semakin sulit.
Sementara bencana terjadi di mana-mana.
Rakyat akan berpikir bagaimana memenuhi
kebutuhannya. Bukan malah ikut-ikutan
berpolitik," imbuh Arief.
Sementara itu Ketua FPKS Mahfudz Siddiq menilai panasnya suhu politik
diawali sejak pilkada digelar di daerah-daerah, tidak hanya menjelang pemilu
2009.
Yang perlu dicemaskan pemerintah adalah menteri-menteri yang masih
menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Bersatu. Karena, dikhawatirkan
kerjanya tidak fokus akibat konsentrasi mengurus partai menjelang pemilu
2009.
"Panasnya suhu politik sudah dimulai sejak pilkada. Yang patut dicemaskan
adalah kabinet terbengkalai akibat ditinggal para menteri yang berasal dari
parpol yang sibuk mengurusi persiapan pemilu 2009," kata dia.
Mahfudz menambahkan, kecemasan itu patut diwaspadai mengingat dalam
Kabinet Indonesia Bersatu terjadi koalisi besar dari partai-partai, presiden dan
wapres berasal dari parpol yang berbeda. Sementra para menterinya berasal
dari parpol yang berbeda. "Bahkan di antara mereka itu ketua umum partai,"
pungkas dia.
Sebelumnya situasi politik makin panas menjelang Pemilu 2009. Presiden SBY
meminta masyarakat jangan gamang. ( mly / umi )

FPAN Dukung Voting Ulang Calon

FPAN Dukung Voting Ulang Calon
Gubernur BI
Ramdhan Muhaimin - detikcom
Jakarta - Syahwat politik fraksi-fraksi
pendukung Agus Martowardoyo sepertinya
tidak puas dengan keputusan Komisi XI
yang telah menolak cagub BI usulan SBY.
Sidang paripurna yang akan digelar Selasa
(18/3/2008) bakal menjadi arena manuver
mereka untuk mengupayakan voting ulang
cagub BI.
Setelah FPD dan FPG yang mengisyaratkan
menolak keputusan Komisi XI, FPAN pun
ikut mendukung voting ulang cagub BI.
"Sejak awal kita mendukung penuh Agus.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan kita
akan minta voting ulang digelar besok," ujar
Ketua FPAN Zulkifli Hasan kepada detikcom
di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Namun Zulkifli mengatakan, sebelumnya
fraksinya akan meminta dahulu alasan
Komisi XI yang menolak cagub BI usulan
SBY. Jika alasan tersebut dipandang tidak
memuaskan, langkah voting ulang baru
akan dilakukan.
Menurut anggota Komisi VII ini, sebelumnya
belum ada calon usulan presiden yang ditolak DPR seluruhnya. Karena itu,
penolakan Komisi XI dinilainya sangat politis.
"Apalagi figur Agus menurut kami sangat memenuhi syarat sebagai gubernur
BI," cetusnya.
Zulkifli membantah jika seandainya sidang paripurna besok jadi mementahkan
keputusan Komisi XI malah akan menjadi preseden buruk bagi proses legislasi
di parlemen. Sebab perturan persidangan DPR memungkinkan hal tersebut.
"Karena kan ada dalam tatib DPR. Apanya yang salah?" tanya Zulkifli.
Sekjen partai berlambang matahari terbit ini mengungkapkan fraksinya terus
melakukan komunikasi intensif dengan fraksi lain yang sevisi.
"Voting akan dilakukan tertutup jika disetujui. Karenanya kita terus melobi,"
tambah dia.
Sementara Ketua FPKS Mahfudz Siddiq mengatakan, fraksinya akan
mempertahankan keputusan Komisi XI dalam sidang paripurna. Dia berlasan,
keputusan Komisi XI juga merupakan mandat rapat paripurna.
"Komisi XI sudah bekerja berdasarkan mandat paripurna, jadi hasil pleno
komisi XI adalah juga representasi dari paripurna DPR," tegasnya.
Karena itu, menurutnya jika ada upaya mementahkan keputusan Komisi XI,
sama saja dengan mencabut mandat tersebut, dan hal itu belum pernah terjadi
di DPR.
"Apalagi dalam UU tentang BI telah mengatur mekanisme jika calon yang
diajukan presiden ditolak DPR. Jadi kembali saja ke UU," pungkas Mahfudz.
Sidang paripurna akan digelar pukul 09.00 WIB dengan agenda laporan Komisi
XI tentang hasil seleksi gubernur BI dan laporan Komisi III tentang hasil seleksi
hakim MK.
Sebelumnya, dalam voting yang digelar pekan lalu, empat fraksi menyatakan
mendukung pencalonan Agus sebagai gubernur BI. Empat fraksi itu adalah
FPG, FPD, FPPP, dan FPAN. Namun suara mereka kalah dengan suara
fraksi-fraksi lain yang menolak pencalonan Agus dan Raden Pardede. ( rmd /

Pilpres 2009 Perlu Teroboson untuk Munculkan Pemimpin Muda

Minggu, 09 Maret 2008 14:08 WIB
Pilpres 2009 Perlu Teroboson untuk Munculkan Pemimpin Muda
Reporter : Fardiansah Noor
JAKARTA--MI: Indonesia yang menghadapi banyak masalah besar membutuhkan pemimpin muda
yang progresif dan visioner. Untuk itu diperlukan terobosan agar pemilihan presiden 2009
menghasilkan pemimpin dari generasi muda.
Demikian diungkapkan Ketua Fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mahfudz Siddiq kepada
Media Indonesia di Jakarta, Minggu (9/3). Menurut Mahfudz, tren kepemimpinan dunia sekarang ini
memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang tidak hanya berjiwa muda, tapi juga berusia muda.
Terakhir, Rusia dengan pemilihan umum yang baru digelar menghasilkan Presiden Medvedev yang
berusia 43 tahun. "Di dunia bisnis skala dunia juga menampilkan sosok-sosok pemimpin muda dan
mereka bergerak dengan sangat progresif," kata Mahfudz.
Ia menambahkan, setelah 10 tahun transisi demokrasi dan konsolidasinya telah memberikan dua kali
pemilu bagi tokoh-tokon era Orde Baru dan memunculkan empat presiden. Pada 2004 lalu mereka
yang menjadi calon presiden adalah tokoh-tokoh di atas 60 tahun.
"Saatnya Pemilu 2009 memunculkan presiden berusia di bawah 60 tahun, bahkan di bawah 50 tahun,"
cetus Mahfudz. (Far/OL-06)

Tuesday, March 18, 2008

FPKS Siap Pertahankan Keputusan Menolak 2 Cagub BI

Selasa, 18/03/2008 07:01 WIB
FPKS Siap Pertahankan Keputusan Menolak 2 Cagub BI
Ramdhan Muhaimin - detikfinance
Jakarta - Syahwat politik fraksi-fraksi pendukung
Agus Martowardojo sebagai gubernur Bank
Indonesia (BI) masih kuat. Mereka akan
mementahkan keputusan voting Komisi XI yang
menolak dua cagub BI yang diajukan Presiden
SBY. Terhadap upaya ini, FPKS tidak gentar
dan siap bertarung.
Ketua FPKS Mahfudz Siddiq mengatakan,
fraksinya akan mempertahankan keputusan
Komisi XI dalam sidang paripurna yang akan
berlangsung Selasa (18/3/2008). Dia beralasan,
keputusan Komisi XI yang menolak Agus
Martowardojo dan Raden Pardede, juga
merupakan mandat rapat paripurna.
"Komisi XI sudah bekerja berdasarkan mandat
paripurna, jadi hasil pleno komisi XI adalah juga
representasi dari paripurna DPR," tegas dia
kepada detikcom.
Karena itu, menurut dia, jika ada upaya mementahkan keputusan Komisi XI, sama saja
dengan mencabut mandat tersebut, dan hal itu belum pernah terjadi di DPR. "Apalagi
dalam UU tentang BI telah mengatur mekanisme jika calon yang diajukan presiden
ditolak DPR. Jadi kembali saja ke UU," pungkas Mahfudz.
Sidang paripurna akan digelar pukul 09.00 WIB dengan agenda laporan Komisi XI
tentang hasil seleksi gubernur BI dan laporan Komisi III tentang hasil seleksi hakim MK.
Sebelumnya, dalam voting yang digelar pekan lalu, empat fraksi menyatakan mendukung
pencalonan Agus sebagai gubernur BI. Empat fraksi itu adalah FPG, FPD, FPPP, dan
FPAN. Namun suara mereka kalah dengan suara fraksi-fraksi lain yang menolak
pencalonan Agus dan Raden Pardede.
Terhadap upaya pementahan voting ini, tiga fraksi, yaitu FPG, FPD, dan FPAN sudah
terang-terangan akan melakukannya. Namun, FPPP, melalui ketua umumnya
Suryadharma Ali, belum memastikan akan ikut aliran pementahan keputusan XI ini.

Thursday, March 13, 2008

RUU Pilpres Jangan Disetir Parpol

RUU Pilpres Jangan Disetir Parpol
Republika, 12 Maret 2008
Pilpres 2009 selayaknya menjadi panggung calon pemimpin muda.

JAKARTA -- Desakan agar Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) harus berorientasi pada menjawab kepentingan bangsa, terus mengemuka. Sebab, jangan sampai upaya revisi UU Nomor 23/2003 itu disetir kepentingan parpol, misalnya, dengan membuat persyaratan calon presiden (capres) untuk meloloskan figur-figur tertentu.

Tawar-menawar ke arah itu sangat memungkinkan, seperti terjadi pada pembahasan revisi UU Pemilu yang baru disahkan setelah melalui tarik-menarik kepentingan yang alot di DPR. Tapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berjanji tidak akan membangun bargaining untuk kepentingan sempit karena ingin mengedepankan kepentingan bangsa.

''Sangat naif kalau sebuah bangsa yang sudah merdeka sekian puluh tahun dan dalam kondisi terpuruk, hanya membuat undang-undang untuk kepentingan partai saja,'' kata Ketua Fraksi PKS di DPR, Mahfudz Siddiq, Rabu (13/3).

Mahfudz meminta, semua pihak berkaca pada penyusunan UU Pilpres yang lalu, misalnya syarat calon terdakwa tetap lolos dalam pembahasan. ''Itu jangan terjadi lagi pada pembahasan RUU Pilpres sekarang,'' katanya.

Calon muda
Untuk regenerasi, PKS juga mendorong calon dari kalangan muda yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin nasional. ''Panggung politik bagi kalangan senior sudah diberikan pada dua kali pemilu sebelumnya. Sudah waktunya Pilpres 2009 menjadi panggung bagi kepemimpinan kalangan muda,'' imbuh Mahfudz.

Untuk itu, pada RUU Pilpres, PKS akan mengusulkan capres minimal berumur 35 tahun dan maksimal 60 tahun. Selain itu, harus berpendidikan sarjana serta sehat jasmani dam rohani. ''Akan lebih baik figur senior mundur sekarang dengan meninggalkan nama harum,'' katanya.

Stok figur pemimpin muda yang bagus, lanjut Mahfudz, dimiliki banyak parpol seperti Partai Golkar dan PDIP. Ia menyebut di antaranya Ferry Mursyidan Baldan dan Priyo Budi Santoso (Golkar) serta Pramono Anung dan Tjahjo Kumolo PDIP.

''Sekarang ini tinggal kemauan parpol. Kalau parpol mengajukan figur-figur muda, saya kira masyarakat akan menerimanya,'' ujar Mahfudz. Khusus pada Golkar, Mahfudz menyampaikan tantangan untuk memunculkan capres muda. Sementara PKS akan menawarkan figur muda juga untuk posisi cawapresnya.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR, Priyo Budi Santoso, mengapresiasi pernyataan Mahfudz sebagai gagasan orisinal. ''Ide ini bisa menjungkirbalikkan peta politik yang sekarang berkembang,'' katanya.

Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini dinakhodai figur muda, baru akan menentukan sikapnya tentang capres setelah pemilu legislatif. ''PPP belum memikirkan pilpres tetapi PPP mencermatinya. Kita sekarang ini sedang konsentrasi pada persiapan pemilu legislatif 2009,'' kata Ketua Umum PPP, Surya Dharma Ali, yang juga Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
(dwo )

PKS Usul Capres di Bawah 60 Tahun

PKS Usul Capres di Bawah 60 Tahun

JAKARTA - Wacana tentang perlunya mengusung capres (calon presiden) dari kalangan muda terus menggelinding. Kali ini, desakan tersebut dilontarkan jajaran Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Saatnya Pemilu 2009 memunculkan presiden yang berusia di bawah 60 tahun," kata Ketua Fraksi PKS DPR Mahfudz Siddiq ketika dihubungi kemarin (8/3). Menurut dia, periode transisi dan konsolidasi demokrasi pascareformasi 1998 telah berjalan sepuluh tahun. Dalam rentang waktu yang tak layak dianggap singkat itu, Indonesia mengalami dua kali pemilu demokratis yang juga melahirkan sederet nama baru presiden RI.

Mereka adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono. Baik secara terang-terangan maupun malu-malu kucing, ketiganya siap untuk maju lagi pada Pilpres 2009. "Persoalannya, pada 2009 nanti mereka semua berumur di atas 60 tahun," ujar Mahfudz.

SBY yang lahir 9 September 1949 akan berumur 60 tahun pada 2009. Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lahir dari pasangan Soekarno-Fatmawati pada 23 Januari 1947 berusia 62 tahun. Gus Dur yang lahir di Jombang pada 4 Agustus 1940 malah berusia 69 tahun.

Capres lain yang sudah terang-terangan mendeklarasikan diri juga tak jauh berbeda. Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang populer dengan panggilan Bang Yos lahir pada 6 Desember 1944. Artinya, pada 2009 nanti umurnya sudah 65 tahun. Wiranto yang lahir pada 4 April 1947 juga akan berumur 62 tahun pada 2009.

Padahal, jelas Mahfudz, tren kepemimpinan dunia saat ini justru memperlihatkan kebangkitan tokoh-tokoh muda. Contoh yang paling mutakhir adalah terpilihnya Dmitri Medvede yang baru berumur 43 tahun sebagai presiden Rusia menggantikan Vladimir Putin.

"Sebagai negara besar dengan masalah yang juga besar, Indonesia sebenarnya membutuhkan pemimpin muda yang progresif-revolusioner," tandasnya. Tak hanya di ranah politik, imbuh Mahfudz, dunia bisnis global juga terus menampilkan sosok-sosok pemimpin muda. "Maka, bangsa ini perlu terobosan besar agar Pilpres 2009 mampu menghasilkan kepemimpinan muda," tuturnya. (pri/oni)

Perang Berbayang Ketakutan

RUU PEMILU
Perang Berbayang Ketakutan
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:44 WIB

Sidik Pramono

Pertarungan sampai titik terakhir. Itulah yang terjadi dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Alotnya pembahasan menandakan perang kepentingan antarpartai politik yang terlibat dalam pembahasan yang sulit dikompromikan.

Apakah semua terjadi karena bayang-bayang ketakutan bahwa mereka tidak sanggup lagi meraih kursi sebanyak pemilu lalu—terkecuali dengan ”merekayasa” aturan yang menguntungkan?

Naskah RUU diajukan pemerintah 25 Mei 2007.

Rapat kerja Panitia Khusus RUU dengan pemerintah sendiri dimulai sejak 10 Juli 2007 dengan agenda pengantar pemerintah. Tanggal 11 September 2007 mulai dibahas substansi daftar inventarisasi masalah (DIM), dengan diselingi dua kali reses.

Total dibutuhkan 13 kali rapat kerja, termasuk 10 kali untuk membahas DIM. Di Panitia Kerja, total rapat mencapai 16 kali. Sementara hingga laporan Pansus ke rapat paripurna DPR, Kamis (28/2), dilakukan tidak kurang dari 18 kali lobi antarfraksi maupun antarfraksi dengan pemerintah.

Sampai kemudian RUU disetujui, lobi antarpimpinan fraksi terus berjalan. Sebelum rapat paripurna terakhir pada Senin (3/3), malam sebelumnya pimpinan fraksi DPR berkumpul di kediaman Wakil Presiden M Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar.

Hasilnya? Dari dua materi yang belum disepakati, satu berhasil dikompromikan. Alhasil, rapat paripurna Senin itu hanya cukup memutuskan satu hal, soal penghitungan sisa suara.

Kejutan?

Kejutan demi kejutan memang mewarnai pembahasan RUU. Rapat konsultasi ”dadakan” antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi pada Senin (25/2) tengah malam menyepakati mengundurkan rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan atas RUU Pemilu yang sedianya digelar Selasa keesokan harinya.

Lobi antarfraksi DPR yang buntu menjadikan rapat paripurna mesti digelar pada Kamis (28/2). Selanjutnya, informasi yang beredar sejak Kamis siang itu, kesepakatan antarfraksi untuk menggelar voting atas materi krusial yang tersisa malahan ”goyah” karena salah satu fraksi berkehendak agar terjadi kompromi. Dengan kesenjangan yang lebar antarkubu, jalan kompromi sepertinya muskil terjadi.

Namun, sepanjang pembacaan pendapat akhir fraksi, Kamis (28/2), sejumlah petinggi fraksi saling ”mendekat”. Di sudut ruang rapat paripurna, Tjahjo Kumolo (F-PG) dan Ganjar Pranowo (F-PDIP), Zulkifli Hasan (F-PAN), Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP), Syarief Hasan (F-PD) berembuk berbarengan atau terpisah-pisah.

Akhirnya memang pengambilan keputusan pada rapat paripurna itu diundurkan. Materi yang telah disepakati saja yang diputuskan untuk disetujui paripurna. Materi soal penghitungan sisa suara dan penetapan calon terpilih disepakati untuk divoting pada rapat paripurna Senin (3/3).

”Untungnya”, ada satu celah untuk menyelamatkan muka; penataan ulang daerah pemilihan anggota DPR belum rampung. Daerah pemilihan yang menjadi lampiran undang-undang harus ditata ulang, terkait dengan perubahan besaran daerah pemilihan.

Dengan besaran 3-10 kursi, perombakan daerah pemilihan (pada Pemilu 2004 sebanyak 3-12 kursi) harus dilakukan. Belum lagi data kependudukan yang harus diperhatikan karena ada daerah yang penduduknya bertambah, ada pula yang berkurang karena mekarnya provinsi baru.

Meski demikian, Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (F-PG, Jawa Barat II) merasa perlu meluruskan. Menurut dia, soal daerah pemilihan sudah sejak awal disepakati bakal menjadi lampiran undang-undang. Ketentuan dua materi yang belum disepakati juga tidak berpengaruh pada soal penataan ulang daerah pemilihan.

Dengan begitu, alasan soal penataan daerah pemilihan yang belum rampung hanya untuk mengesampingkan kesan macetnya lobi antarpimpinan fraksi.

Kepentingan parpol

Jika dibedah satu demi satu, setiap materi yang alot diperdebatkan, semuanya terkait langsung dengan kepentingan parpol. Alhasil, semua parpol mengusulkan rumusan yang dianggap bakal paling menguntungkan dan setiap parpol pun punya ”harga mati” yang mesti diperjuangkan sampai saat terakhir.

Soal perhitungan sisa suara, misalnya. Partai Kebangkitan Bangsa amat berkepentingan menjadikan perolehan suara sebanding dengan perolehan kursi. Dengan nilai kursi yang begitu timpang antardaerah, dengan kondisi PKB yang amat kuat di provinsi tertentu, mau tidak mau pilihannya adalah menarik sisa suara ke tingkat provinsi, bukan dibagi hasil di daerah pemilihan seperti saat pemilu lalu.

Konsekuensinya, mereka harus berhadapan dengan parpol kelas ”menengah” lainnya yang pada Pemilu 2004 memperoleh banyak kursi dari sisa suara, perhitungan perolehan kursi tahap kedua, di antaranya adalah Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Demokrat.

Penentuan calon terpilih dengan 30 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP) sebenarnya sudah merupakan kemenangan atas usul calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Tapi masih ada rumusan bahwa penentuan calon terpilih, jika ada calon peraih 30 persen BPP lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol, mesti didasarkan pada nomor urut.

Hal ini menunjukkan ketakutan para petinggi parpol jika mereka yang merasa bekerja penuh bagi parpol di tingkat nasional bisa-bisa ditekuk oleh kader daerah yang mengakar di daerah.

Kesibukan para pengurus harian di tingkat nasional dikhawatirkan bakal menjadi kendala untuk memikat calon pemilih ketimbang dengan kader lokal yang setiap saat lebih mudah menghampiri konstituennya.

Ambang parlemen

Sejumlah parpol memperjuangkan ide penyederhanaan sistem kepartaian. Salah satunya dengan mengintrodusir parliamentary threshold, di mana parpol yang perolehan suaranya secara nasional tidak mencapai persentase tertentu tidak disertakan dalam penghitungan perolehan kursi.

Terjadi saling tawar soal besaran persentasenya. Tarik-menarik terhenti di angka 2,5 persen dengan ”barter” bahwa parpol peraih kursi DPR yang tidak memenuhi electoral threshold berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tetap diperkenankan langsung menjadi peserta Pemilu 2009.

Di luar soal peluang menang-kalah dalam pemilu mendatang, soal memberi tanda atau mencoblos di surat suara pun bisa masuk menjadi materi penting dalam lobi antarpimpinan fraksi.

Bagi F-PG, usul yang pertama kali dimunculkan ketua umumnya itu mau tidak mau harus diperjuangkan. Soal efisiensi boleh dikedepankan sebagai alasan sekalipun disanggah dengan argumentasi kubu lain bahwa rakyat telah terbiasa dengan cara mencoblos surat suara.

Ketakutan?

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menyebutkan, kebuntuan pembahasan menunjukkan kecemasan yang sangat tinggi dari parpol yang tidak ingin berkurang peluang suaranya pada Pemilu 2009.

Hal tersebut memperjelas bahwa parpol masih mengedepankan kepentingan sendiri dalam penyusunan RUU dan menggadaikan kepentingan masyarakat banyak, terutama KPU. Terlalu banyak kompromi yang mengorbankan konsistensi pengaturan dalam memper- kuat sistem pemilu dan kepartaian.

Apakah artinya semua ini? Benarkah parpol sedang bertarung melawan ”bayang-bayang” karena hasil Pemilu 2004 seolah menjadi hantu yang menakutkan.

Simulasi intensif dilakukan dengan rujukan hasil pemilu lalu, seolah dalam lima tahun semuanya statis. Seorang kader parpol besar menilai, pertarungan seolah-olah tidak ada perubahan di masyarakat pemilih. Seolah-olah selama ini parpol sama sekali tidak bersaing untuk mendongkrak perolehan suaranya.

Jadi, apakah semua perdebatan menjadi bukti kepintaran memprediksi? Atau memang semua parpol takut tidak lagi mendapatkan kepercayaan memadai dari rakyat? Karena takut pemilih lari sehingga mesti dibuat peraturan agar kursi parlemen bersedia menghampiri?

Uhuy….

Monday, March 10, 2008

Semua Kelompok Harus Terwakili

Semua Kelompok Harus Terwakili
Lebih Banyak Capres, Lebih Baik
Senin, 10 Maret 2008 | 00:30 WIB

Jakarta, Kompas - Syarat angka 30 persen total suara sebagai persyaratan pencalonan presiden oleh partai politik akan menutup peluang kelompok-kelompok masyarakat untuk mencalonkan figurnya masing-masing. Masih terus menjadi polemik berapa kiranya syarat suara sebuah parpol untuk dapat menjadikan calon presiden.

Seperti diberitakan, Partai Golkar sudah mewacanakan bahwa pasangan calon presiden-wakil presiden mesti diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dengan minimal 30 persen suara atau kursi DPR.

”Partai Kebangkitan Bangsa berpendapat, syarat calon presiden cukup 15 persen sampai 17,5 persen,” kata Ketua DPP PKB Hermawi F Taslim di Jakarta, Minggu (9/3).

Menurutnya, dengan syarat seperti yang diusulkan Partai Golkar itu, maka hanya ada tiga capres di Pemilu 2009. ”Artinya itu akan mengingkari kemajemukan dan kebhinnekaan bangsa ini,” katanya.

Di Indonesia, banyak sekali kelompok-kelompok masyarakat sehingga pasti mempunyai figur yang berbeda-beda untuk dicalonkan menjadi presiden. Dengan demikian, angka 30 persen bukan saja tinggi, tetapi juga akan menutup potensi peluang kelompok lainnya. Akibatnya, pesta demokrasi tidak mempresentasikan kelompok masyarakat.

”Saya kira, persyaratan capres tidak usah terlalu jauh dari pemilu lalu, yaitu 15 persen. Angkanya 15 persen sampai 17,5 persen sehingga paling tidak ada lima atau enam capres yang muncul,” jelas dia.

Secara terpisah, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq, Sabtu, mengatakan, fraksinya berpandangan, syarat pengajuan pasangan capres-wapres pada Pemilu 2009 nanti cukup 20 persen total suara sah nasional saja. ”Usul tersebut sejalan dengan penguatan sistem kepartaian dan sistem pemilu legislatif,” katanya.

Mahfudz menilai, usul Partai Golkar baik. Namun, realitas politik menunjukkan, preferensi pemilih kerap kali berbeda antara pilihan terhadap parpol dan pilihan terhadap calon presiden.

Untuk memperkuat pemerintahan hasil Pemilu 2009 diharapkan tidak lagi terjadi anomali di mana presiden berasal dari parpol yang lebih kecil ketimbang parpol pendukung wakil presiden. ”Akan lebih baik jika Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang diprediksi perolehan suaranya lebih dari 20 persen memiliki calon presiden sendiri,” katanya. (SIE/dik)


Wednesday, March 05, 2008

Jangan Asal Menggugat UU Pemilu!

okezone.com 4 maret 2008, JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mengingatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar tidak terburu-buru mengajukan peninjauan kembali (judicial review) terhadap Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru disahkan.

"Jangan kita eforia untuk menggugat UU!" tegas Ketua FPKS Mahfudz Siddiq, di di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/3/2008).

Gugatan tersebut, menurut Mahfudz, sepenuhnya hak anggota DPD sebagai warga negara Indonesia. Namun, dirinya mengingatkan anggota DPD untuk tidak terjebak pada aspirasi pribadi. Pasalnya, pengesahan UU Pemilu telah melalui proses yang cukup panjang dengan menghimpun aspirasi dari berbagai kalangan.

Dalam proses tersebut tentunya ada aspirasi yang terakomodir dan ada pula aspirasi yang tidak terakomodir. "Harusnya ada kemauan untuk menghormati itu. Kecuali bila ditemukan prinsip-prinsip pengaturan yang melampaui rasa keadila. Tetapi kalau hanya sekedar karena ada aspirasi yang tidak terakomodasi?" tanya Mahfudz.

Selain itu, DPD juga harus mempertimbangkan secara matang implikasi dari gugatannya tersebut, mengingat jadwal penyelenggaraan pemilu yang kian mendesak. "Setiap hak yang kita gunakan punya implikasi. Mereka juga harus memperhitungkan jadwal pemilu," tukasnya.

Sebelumnya, DPD telah meminta pendapat akademisi untuk menjaring masukan tentang rencana pengajuan peninjauan kembali pasal-pasal yang tercantum dalam UU Pemilu. Keputusan jadi atau tidaknya pengajuan judicial review tersebut akan diumumkan dalam sidang paripurna DPD 6 Maret mendatang.(pie)

Monday, March 03, 2008

Pengesahan RUU Pemilu Macet

Pengesahan RUU Pemilu Macet
"DPR wajar digebuki."
JAKARTA - Setelah lobi-lobi yang berjalan alot, sidang
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dengan agenda
memutuskan dua materi krusial Rancangan Undang-Undang
Pemilu ditunda sampai Senin pekan depan (3 Maret). Upaya
kompromi menemui jalan buntu, dan para wakil rakyat masih
terbelah dalam kubu berbeda hingga sidang ditutup sekitar
pukul 21.15 WIB.
"Materi penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih
dilakukan dengan voting pada Senin pukul 09.00 WIB," kata
Ketua DPR Agung Laksono, yang memimpin rapat di gedung
DPR kemarin.
Lobi yang dilakukan antarfraksi hingga menjelang akhir
sidang tak membuahkan kata mufakat menyangkut dua hal
itu. Fraksi Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, dan
Partai Amanat Nasional ingin penghitungan sisa suara harus
habis di daerah pemilihan, sementara fraksi lain ingin agar
sisa suara ditarik ke tingkat provinsi.
Mengenai materi penempatan calon terpilih, Fraksi Persatuan
Pembangunan, PAN, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ada
dalam satu kubu. Mereka mengusulkan agar, jika calon
terpilih yang mendapat suara lebih dari 30 persen dari
bilangan pembagi pemilih lebih dari satu orang, penetapan
calon ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Adapun fraksi
lainnya meminta penetapan calon terpilih berdasarkan nomor
urut.
Dalam forum lobi sehari sebelumnya, sebenarnya macetnya
kompromi itu akan diatasi dengan pemungutan suara atau
voting. Namun, rupanya beberapa fraksi tadi malam
mengusulkan agar voting itu pun ditunda.
Menurut Agung Laksono, penundaan pengambilan keputusan
itu karena Panitia Khusus RUU Pemilu belum menyiapkan
lampiran undang-undang tentang daerah pemilihan. "Padahal
materi undang-undang yang telah disepakati disahkan hari
ini."
Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan
menolak tudingan Agung itu. "Soal lampiran daerah
pemilihan, ada atau tidak ada penundaan dikerjakan setelah
itu (disepakati)," katanya.
Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa Effendy Choirie
mengatakan usul penundaan voting pertama kali dilontarkan
oleh Fraksi Demokrat dalam forum lobi. Usul itu lalu
disambut Fraksi Partai Golkar dan beberapa fraksi lainnya.
"Yang ingin voting hari ini hanya PKB, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera," kata
Effendy. Ia menganggap alasan penundaan itu tidak jelas.
Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan DPR
seharusnya malu pada publik dengan penundaan ini.
"Konotasinya mengamankan diri sendiri," katanya. "DPR
memang sangat wajar digebuki," Yasonna Laoly, anggota
Fraksi PDIP lainnya, menambahkan.
Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq mengatakan penundaan itu
menunjukkan partai-partai terlalu mengedepankan
kepentingannya sendiri di atas kepentingan publik yang lebih
luas. "Ada kecemasan yang sangat tinggi dari partai-partai
yang tak ingin berkurang suaranya."
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengatakan pemerintah
menerima penundaan pengambilan keputusan dua materi
krusial tersebut. "Kami ikuti saja," ujarnya. TOMI | DWI
RIYANTO | KURNIASIH
KORAN
Search
@ korantempo

Fraksi Partai Golkar Akan Jadi Penentu

Fraksi Partai Golkar Akan Jadi Penentu
Kompas, Senin, 3 Maret 2008 | 02:03 WIB

Kompas - Kemungkinan pemungutan suara (voting) untuk menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada rapat paripurna DPR hari Senin (3/3) ini masih terbuka. Hingga Minggu malam, kompromi masih diusahakan pimpinan fraksi DPR. Semalam Wakil Presiden M Jusuf Kalla juga bertemu dengan pimpinan fraksi DPR dan sejumlah menteri di rumahnya.

Namun, jika merujuk sikap masing-masing fraksi sampai forum lobi dilaksanakan, Fraksi Partai Golkar (F-PG) dengan anggota terbanyak di DPR akan menjadi penentu.

Seperti diberitakan, keputusan final atas RUU Pemilu akan dilakukan dalam rapat paripurna DPR, Senin ini, terkait materi penghitungan sisa suara dan penetapan calon terpilih. Untuk kedua materi itu terdapat dua kelompok besar yang mengajukan alternatif berbeda.

Ketua F-PG DPR Priyo Budi Santoso mengaku masih menganjurkan jalan kompromi untuk menyelesaikan kebuntuan atas materi RUU. Jika tidak tercapai kompromi, mekanisme pemungutan suara tidak terhindarkan. Soal sikap F-PG, Priyo berujar singkat, ”Tunggu saja.”

Semalam juga belum ada kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan Wapres dengan pimpinan fraksi di DPR. Pertemuan itu juga berlangsung tertutup.

Tidak boleh ditunda

Di Semarang, Jawa Tengah, Minggu, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR Tjahjo Kumolo menegaskan, RUU Pemilu harus bisa diputuskan Senin ini. DPR tak boleh menunda lagi kesepakatan sebab masih banyak pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan, antara lain pembahasan RUU Pemilihan Presiden serta RUU Susunan dan Kedudukan Lembaga Pemerintahan.

”PDI-P bersedia melakukan kompromi politik. Yang terpenting, keputusan jangan sampai ditunda lagi,” ujar Tjahjo.

Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR Effendy Choirie menegaskan, usul menarik sisa suara adalah pendapat F-KB yang tidak bisa dikompromikan. Dengan sikap kelompok fraksi lainnya yang sama kerasnya, memang belum ada jalan untuk berkompromi. Jika voting dilakukan, F-KB optimistis bisa menang karena didukung F-PG, F-PDIP, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), dan fraksi lainnya.

Ketua F-PKS DPR Mahfudz Siddiq menyebutkan, PKS sependapat nuansa ketidakadilan dalam penentuan kursi bisa diatasi lewat UU ini. PKS mempertimbangkan gagasan yang diajukan F-KB. (dik/a05/sie/har)