Pemda Harus Intensif
Lakukan Pembinaan
Suara Karya
Rabu, 11 Juni 2008
JAKARTA (Suara Karya): Kalangan anggota DPR meminta jajaran pemerintah daerah (pemda) agar menindaklanjuti Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri-Menag-Jaksa Agung tentang aliran keagamaan Ahmadiyah. Menurut mereka, jajaran pemda harus intensif melakukan pembinaan terhadap pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR Hilman Rasyad Syihab, langkah itu niscaya dapat meredam gejolak sosial yang mungkin muncul akibat pro-kontra seputar JAI di tengah masyarakat. "Bila masih mengaku Islam, JAI harus segera mendapatkan pembinaan untuk meluruskan pemahaman mereka yang salah. Daerah harus segera mengimplementasikan pembinaan sebagaimana diperintahkan poin keenam SKB. Jika tidak, dikhawatirkan massa akan main hakim sendiri," katanya di Jakarta, kemarin.
Sementara itu, Ketua Fraksi Pertai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, SKB tentang Ahmadiyah harus diikuti dengan petunjuk teknis agar tidak terjadi salah penafsiran. Menurut dia, ormas-ormas Islam memiliki fungsi pengawasan sosial. Mereka bisa membantu Ahmadiyah menjalankan aturan berdasar petunjuk teknis yang jelas. "Misalnya tempat ibadah Ahmadiyah bagaimana? Ditutup atau tidak? Itu harus dibuat juklaknya supaya tidak mengundang tafsiran macam-macam," ujarnya.
Menurut Mahfudz, pemerintah sebenarnya belum menyelesaikan masalah Ahmadiyah sampai ke akarnya. Dia menilai, politik akomodasi terhadap Ahmadiyah terus berkepanjangan. "Andai umur Ahmadiyah masih baru, pasti mereka lebih gampang (diselesaikan)," katanya.
Sementara Ketua Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf menilai, SKB tentang Ahmadiyah mengakomodasi kepentingan kelompok yang berbeda pendapat. "SKB sudah cukup moderat. Di satu sisi, keinginan umat (Islam) terpenuhi. Tapi di sisi lain, hak-hak yang dijamin UU tidak serta-merta diberangus," kata Slamet.
Menurut Slamet Effendy Yusuf, pascapenerbitan SKB Ahmadiyah, pemerintah dan umat Islam harus menghindari kekerasan dan lebih mengutamakan dialog. "Penganut Ahmadiyah harus dirangkul," ujarnya.
Slamet menyatakan, kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap SKB Ahmadiyah boleh saja menempuh jalur hukum. "Ini negara demokrasi. Yang penting jangan ada anarkisme. Serahkan semua kepada proses hukum," katanya.
Sementara itu, Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo menilai pemerintah telah gagal menjaga kebhinnekaan Indonesia. Menurut dia, keluarnya SKB Ahmadiyah merupakan potret buram kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang menganut falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Ini (SKB Ahmadiyah) adalah potret sebuah pemerintahan yang ketakutan atas bayangannya sendiri. Sungguh sangat memilukan, di tengah karut-marut dan amburadulnya kepercayaan masyarakat akibat kenaikan harga BBM, pemerintah dengan SKB Ahmadiyah ini telah merobek-robek sendi kehidupan dan keutuhan kita," ujarnya.
Menurut Tjahjo, seharusnya pemerintah memberikan kesempatan dialog yang bebas dan objektif tanpa tekanan dalam menuntaskan masalah Ahmadiyah ini. "SKB sendiri adalah cara lama yang hadir kembali di bawah rezim yang berbeda. Saya berharap pemerintah menjelaskan dasar keputusan penerbitan SKB ini. Konstitusi kita memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk melaksanakan keyakinan dengan aman, tenteram dan damai," katanya.
Di lain pihak, FPPP DPR tetap menilai penerbitan SKB Ahmadiyah merupakan langkah tepat. "FPPP meminta masyarakat taat hukum dan mematuhi SKB. Polri dan aparat penegak hukum lain harus memantau dan mengawal pelaksanan SKB agar masyarakat tenang," kata Ketua FPPP DPR Lukman Hakim Saefuddin.
Sementara itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Departemen Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan, SKB Ahmadiyah bisa di tinjau ulang bila umat Ahmadiyah tidak puas. "Mereka bisa mengajukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Konstitusi (MK), apakah SKB masih sesuai dengan konstitusi atau tidak," katanya.
Harkristuti mengaku prihatin terhadap terbitnya SKB Ahmadiyah. Menurut dia, setiap orang bebas beragama, berkeyakinan, dan berkepercayaan. "Anda mau percaya atau tidak dengan keyakinan orang, negara tidak boleh ikut-ikutan," ujarnya.
Seharusnya, menurut Harkristuti, pemerintah melakukan komunikasi sebelum memberi keputusan mengenai Ahmadiyah agar memperoleh solusi terbaik. "Selama tidak menimbulkan konflik, boleh-boleh saja. Seperti kata Yusril (Yusril Ihza Mahendra-mantan Mensesneg), di Iran saja Ahmadiyah dianggap kelompok minoritas, tetapi tidak dilarang," kata Harkristuti.
Insiden Monas, menurut Harkristuti dikeluhkan oleh Kedutaan Besar Swiss. "Mengapa kekerasan? Kenapa polisi tidak bisa mengantisipasi? Intelnya ngapain?" kata Harkristuti mengutip pihak Kedubes Swiss.
Harkristuti menduga, aksi sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI) terhadap anggota AKKBB merupakan tekanan terhadap ketiga menteri tersebut untuk mengeluarkan SKB. "Saya menduga keras demo FPI kemarin merupakan pressure bagi beberapa menteri dan Jaksa Agung untuk menandatangani berkas bubarkan Ahmadiyah dan pemerintah juga tidak memberi solusi alternatif," kata Harkristuti. (M Kardeni/Nefan Kristiono)
No comments:
Post a Comment