INILAH.COM Senin, 23 Juni 2008 21:46 WIB
(JAKARTA) - Penerapan otonomi daerah di era reformasi telah memberi implikasi penting, khususnya dalam relasi antara pemerintahan pusat dan daerah. Otonomi yang berimbas pada desentralisasi kekuasaan bahkan sering menimbulkan berbagai penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan.
Ditemukannya peraturan daerah (perda) yang isinya berbenturan dengan undang-undang merupakan contoh dari penyimpangan itu. Implikasinya pun cukup serius. Pasalnya, perda-perda yang muncul dan masuk dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat, di antaranya ekonomi.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia misalnya, mencatat lebih dari 10.000 perda bermasalah yang berpotensi menghambat investasi. Materi perda tersebut pada umumnya berkaitan dengan perizinan dan retribusi. Bagaimana menyikapi perda-perda yang dianggap keblinger seperti itu?
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashiddiqie menegaskan, perlu adanya pengontrolan terhadap perda-perda yang menyimpang tersebut. "Kita lihat UU Nomor 32/2004. Mekanisme mengontrol Perda, dilakukan tidak melalui judicial review. Tapi dilakukan dengan cara executive review. Itu istilah saya," ujarnya.
Penerapan executive review, kata dia, dilakukan sebelum perda disahkan oleh Menteri Dalam Negeri, atas nama presiden sebagai kepala negara yang mengambil peran executive review. "Apabila terdapat perda yang melanggar norma hukum yang lebih tinggi, maka Mendagri bisa membatalkannya," jelas Jimly.
Namun menurut Jimly, jika perda bertentangan dengan UUD 1945, maka Mahkamah Agung (MA) yang berwenang melakukan uji materi terhadap perda. "Karena yang diuji perda, maka diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Kalau bertentangan, maka harus dibatalkan. Kalau tidak bertentangan, maka undang-undangnya yang bermasalah," tandas Jimly.
Menurut anggota Komisi II DPR Andi Yuliani Paris, pemicu munculnya perda bermasalah adalah karena proses pembuatannya tidak mengacu pada UUD 1945 dan undang-undang organik. "Ini karena tidak ada yang melakukan sinkronisasi dan harmonisasi draft perda dan peraturan perundang-undangan," tegas Andi.
Mantan anggota panja revisi UU Pemda ini mengatakan, perda-perda yang bermasalah biasanya terkait dengan masalah restribusi. Pemda, katanya, seringkali terlalu bersemangat dalam menarik sebanyak banyaknya restribusi kepada rakyatnya. "Padahal pajak adalah kewenangan pemerintah pusat," tegasnya.
Dalam periode 1999-2006 lalu Departemen Dalam Negeri telah membatalkan 506 perda. Pembatalan dilakukan karena perda itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni undang-undang dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Pada periode yang sama, Depdagri melakukan pengkajian sebanyak 3.966 perda dinyatakan layak dilaksanakan, 156 perda direvisi, dan 930 perda masuk kategori layak dibatalkan.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Mahfudz Siddiq menegaskan, munculnya perda bermasalah tidak terlepas dari prosedur penyusunan perda yang masih belum tegas. "Fenomena ini tidak terlepas dari prosedural penyusunan yang masih belum tegas diatur," tegasnya Senin (23/6) di Gedung DPR, Jakarta.
Selain itu, munculnya perda bermasalah tidak terlepas dari munculnya ego lokal. Menurut dia hanya karena berambisi untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun perda berbenturan dengan kepentingan nasional.
Mahfudz yang juga anggota Komisi II DPR menegaskan, sepakat dengan gagasan executive review oleh MK. "Executive review salah satu upaya saja, namun perda bermasalah tidak
terlepas dari isu relasi pusat dan daerah," paparnya.
Ihwal belum selesainya persoalan relasi pusat dan daerah kaitannya dengan perda yang bermaslah, Mahfudz Siddiq mengusulkan adanya penanggung jawab dalam pembinaan hukum secara nasional. "Dalam hal ini Depkum HAM harus lebih aktif," tegasnya.
Dalam pandangan Robert Endi Jaweng, peneliti pada Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, pelayanan publik yang sejatinya jadi kewajiban pemerintah justru menjadi lahan perburuan rente dan sumber utama PAD. "Birokrasi tak ubahnya bisnis jasa," tegasnya.
Robert mengusulkan adanya prinsip saling-terkait antarfungsi, baik dalam domain pusat maupun daerah. "Jika pusat lemah dalam meletakkan kerangka kebijakan bagi penyusunan perda, maka akan muncul kesulitan serius dalam fungsi penguatan kapasitas, review, dan monitoring karena tiadanya panduan," tegasnya.
Selain itu, ia mengusulkan agar perda mendapat jaminan kualitas aturan dan dukungan dalam pelaksanaan, sehingga keterlibatan masyarakat adalah mutlak. Pelaku usaha selama ini merasa kurang dilibatkan dalam pembahasan perda.
Aturan relasi pusat dan daerah tampak masih bopeng. Indikasi nyata atas hal tersebut, munculnya perda bermasalah adalah satu dari sekian kebopengan hubungan pusat dan daerah. Upaya-upaya untuk meredam keblingeran harus terus muncul, untuk menyempurnakan hubungan yang ideal.
(j01)
No comments:
Post a Comment