Monday, August 02, 2010

KPK Temukan Angpao Pernikahan Pejabat Rp 2 M

Laporan Gratifikasi Tiap Tahun Meningkat

Senin, 02 Agustus 2010 , 10:30:00 WIB

Jakarta, RMOL. Duit dan barang gratifikasi yang diterima pejabat negara meningkat terus. Pada 2005 saja jumlahnya mencapai Rp 5 miliar. Padahal, pejabat negara yang melapor ke KPK saat menerima gratifikasi, jumlahnya masih sedikit.

Praktek percobaan suap terhadap pejabat negara, lewat pemberian gratifikasi makin marak. Berdasarkan laporan KPK, sejak 2004-2010 pejabat ne­gara yang melaporkan seka­li­gus mengembalikan uang atau ba­rang gratifikasi ke KPK meningkat terus.

Tengok saja, pada 2005 angka setoran gratifikasi yang masuk ke KPK cuma senilai Rp 78,2 juta, lalu pada 2006 gratifikasi yang diterima pejabat negara dan disetorkan ke KPK nyaris senilai Rp 1 miliar. Pada 2007 ter­dong­krak lagi hingga Rp 3 miliar. Be­rikutnya pada 2008, melonjak drastis hinggap Rp 5 miliar dan 2009 turun tipis Rp 2,2 miliar. Pada 2010 berdasarkan data per Juli sudah mencapai Rp 1 miliar.

Angka tersebut setelah diteliti KPK dan ditetapkan sebagai gratifikasi. Sejatinya, duit atau barang yang diduga gra­tifikasi yang disetor ke KPK jumlahnya lebih fantastis lagi.

“Setoran gratifikasi itu semua kebanyakan datang dari pejabat di pusat, pejabat daerah banyak yang tidak melapor,” kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar.

Menurut Haryono, sejatinya banyak pejabat daerah yang menerima gratifikasi namun tidak melapor ke KPK. Dibeberkan Haryono, saat dia berkunjung ke Manado, ada pegawai Pemda yang melapor mendapatkan gratifikasi ketika penikahan anaknya.

Haryono menilai, tingkat lapo­ran pejabat negara yang me­nerima gratifikasi masih rendah.Tahun 2010 ini saja baru 128 laporan penerimaan gratifikasi yang masuk ke KPK. Jumlah itu pun kebanyakan gratifikasi yang diterima saat penyelenggaraan pesta pernikahan.

“Padahal gratifikasi adalah starting point orang melakukan korupsi. Gara-gara orang mem­beri sesuatu kan jadi baik, ka­dang-kadang kita menilai se­seorang baik itu dari suka memberinya,” imbuhnya.

Haryono menegaskan, un­dang-undang tidak melarang gratifikasi selama tidak meng­arah kepada suap. Namun untuk menghindari praktek korupsi, semua pegawai negeri wajib lapor dalam waktu 30 hari kerja ke KPK jika menerima gratifikasi.

“Nah, daripada nanti keasyikan menerima nggak tahunya suap, mendingan langsung lapor. Jika langsung lapor sesuai undang-undang maka langsung gugur tuduhan suapnya,” tambahnya.

Laporan dugaan gratifikasi yang diterima diteliti KPK apakah masuk kategori gratifikasi atau tidak. Jika termasuk gratifikasi, duit atau barang yang diterima disita, jika tidak maka akan dikem­balikan kepada pejabat penerima.

Tak jarang, pegawai negeri kerap menerima gratifikasi tanpa sadar pemberian itu berkaitan dengan jabatannya. Jika demikian itu masuk kategori suap.

“Saat nikahan misalnya ada pengusaha yang memberi angpao Rp 2 miliar yang tentunya punya motif tertentu terkait jabatan. Nah, inilah yang disebut suap dan kalau terbukti akan dipenjara 20 tahun,” katanya.

Untuk membangun kesadaran pejabat negara agar mau mela­porkan gratifikasi, KPK be­ren­cana membangun pusat pela­poran gratifikasi di tiap instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Pusat pelaporan itu hanya me­ne­rima laporan saja, sedang peme­riksaannya tetap dilakukan KPK.

Selama enam tahun KPK berdiri, dibeberkan Haryono, baru bekas Kabareskrim Ko­misaris Jenderal Susno Duaji saja yang terjerat kasus gra­tifikasi.

Sekarang, Pejabat Terima Suap Lewat Jalur ‘Udara’

Pemberian gratifikasi kepada pejabat negara, menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Tran­spa­ransi Anggaran (Fitra), Arif Nur Alam, tak hanya saat hajat per­nikahan keluarga pejabat negara saja.

Arif bilang, sudah bukan ra­hasia lagi jika saat ini banyak pejabat negara yang menerima gratifikasi. Di DPR misalnya, dibeberkan Arif, pemberian gra­tifikasi kepada anggota dewan sa­lah satunya, dalam bentuk kun­jungan kerja, dibungkus lewat agenda sosialisasi undang-undang.

Penerimaan gratifikasi secara langsung dengan amplop adalah cara kuno. Berdasarka laporan dari beberapa anggota dewan, dibeberkan Arif, anggota dewan saat ini menerima gratifikasi lewat jalur ‘udara’ yakni melalui re­kening bank.

“Biasanya pejabat publik banyak rekening ilegalnya, untuk memu­dahkan mengamankan penerimaan gratifikasi,” ung­kapnya.

Modus lainnya untuk meraup duit gratifikasi adalah dengan jalan menginisiasi RUU pada item-item tertentu, memanipulasi laporan keuangan di suatu depar­te­men, kongkalikong dengan auditor, korupsi kebijakan publik dan kick back (pengembalian duit proyek).

“Atau dengan jalan mem­be­rikan proyek pengadaan barang dan jasa kepada perusahaan milik pejabat tersebut, kroninya atau perantaranya (calo),” ungkapnya.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi (Kompak) Fadjroel Rahman menilai, ketiadaan sanksi bagi pejabat negara yang tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, men­jadi pemicu rendahnya kesadaran pejabat publik untuk melaporkan gratifikasi.

“Ketua DPR Marzuki Alie saja sampai nyerah saat diminta mengimbau anak buahnya agar melaporkan harta kekayaan kepada KPK,” katanya.

Padahal, lanjut Fadjroel, jika ada sanksi tegas, misalnya lima tahun pidana penjara bagi pejabat negara yang tidak melaporkan gratifikasi, pasti semua pejabat akan patuh.

Karena Takut Suap, DPR Dikasih Plakat

Beragam tanggapan dil­ontar­kan wakil rakyat saat ditanya seputar gratifikasi. Ang­gota Fraksi PDIP, Aria Bima eng­gan berkomentar panjang ter­kait gratifikasi. Menurut dia, urusan menyetor gratifikasi ke KPK adalah tanggung jawab masing-masing individu.

“Karena (menerima) gra­ti­fikasi itu jelas dilarang menurut un­dang-undang. Saya pribadi nggak mau pamer kalau berbuat ke­baikan (mengembalikan gra­tifikasi, red),” katanya.

Bekas Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq punya ko­men­tar sendiri terkait gratifikasi. Me­nurut dia, sejak banyak ang­gota DPR terjerat korupsi, kini wakil rakyat mulai berhati-hati, termasuk ketika menerima sesuatu saat melakukan kun­ju­ngan kerja ke daerah.

Mitra kerja DPR, lanjut Mah­fudz, sekarang sudah mengerti ba­hayanya gratifikasi, makanya saat memberi kenang-kenangan kepada anggota DPR, cuma berbentuk plakat.

Sementara itu, kolega Mah­fudz di Fraksi PKS, Zulkieflie­manysah sempat berbagi cerita. Dia mengaku, saat kali pertama men­jadi anggota dewan pada periode 2004-2009 pernah me­nerima gratifikasi.

“Ketika baru masuk Komisi VII saya diminta ke Korea Selatan untuk studi banding ma­sa­lah nuklir. Sebelum be­rang­kat kita mempertanyakan status tiket pesawat kami kepada KPK, apakah itu termasuk gratifikasi atau bukan, dan KPK bilang itu termasuk, maka kami mengembalikan uang tiket pesawat tersebut,” katanya.

Lebih lanjut, saat ditanya apakah anggota DPR periode 2009-2014 sudah ada yang mengembalikan gratifikasi? Zulkiefliemansyah meng­ung­kapkan belum ada,”Karena KPK saat ini tidak proaktif seperti dulu. Kalau dulu KPK sering mendatangi setiap fraksi untuk sosialisasi masalah gratifikasi.”

Sementara itu, anggota Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesa­tyo menyangkal jika Undang-Undang Antigratifikasi dika­takan berbelit-belit.

Menurut dia, kebingungan para pejabat publik dalam me­nentukan apakah duit atau ba­rang yang diterimanya termasuk gra­tifikasi atau bukan, itu karena minimnya pemahaman ter­hadap undang-undang tersebut.

Saat ditanya, apakah dirinya pernah menerima gratifikasi, dengan tegas pria yang akrab disapa Bamsoet ini menjawab, tidak pernah.

“Saya selalu menolak. Tapi kalau dijemput dengan mobil dinas itu beda yah, kan itu sudah termasuk protokoler pejabat negara,” akunya. [RM]

No comments: