26/08/2010 - 09:08
Bayu Hermawan
INILAH.COM, Jakarta - Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahterah Mahfudz Siddiq mengatakan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia, tidak hanya menjadi beban dari Menteri Luar Negeri saja. Menurutnya permasalahan utama justru terletak di dalam negeri.
"Jadi persoalan TKI dimulai 80% persoalan di Indonesia. Persoalan di Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dimana para pekerja yang dikirim ke luar negeri mempunyai skill yang kurang dan tidak cukup tahu mengenai masalah hukum," tutur Mahfudz kepada INILAH.COM di Jakarta, Kamis (26/8).
Menurutnya dengan adanya 177 TKI yang terancam hukuman mati, maka hal itu tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke Departemen Luar Negeri. "Sebab sebelumnya kan harus ditangani oleh Dinas tenaga kerja dan BNP2TKI. Jadi kalau banyaknya TKI yang terancam di hukum mati, dan tidak bisa lolos dari hukuman itu, sepenuhnya bukan kesalahan dari Menlu, karena itu masalah 3 lembaga," imbuhnya.
Mahfudz juga mengatakan banyaknya TKI yang terancam hukuman mati juga tidak bisa begitu saja dibebankan ke KBRI yang dinilai kurang bisa memberikan perlindungan hukum bagi TKI tersebut. "Harus diakui jika kerja KBRI mungkin kurang maksimal. Tapi JKBRI juga punya persoalan di dalam hal personel dan anggaran," ujarnya.
Mantan Ketua Fraksi PKS ini juga mengatakan yang menjadi kunci utama adalah mempersiapkan TKI yang akan dikirim ke luar negeri. "Masalah yang ini sudah panjang dan lama, advokasi juga sudah dilakukan, tapi tetap kasus ini tidak berhenti, jadi sebaiknya persiapkan TKI dengan baik sebelum dikirim," tandas Mahfudz. [jib]
Thursday, August 26, 2010
Bahas Insiden Penangkapan Petugas KKP pada Perundingan RI-Malaysia di Kinibalu!
Rabu, 25 Agustus 2010 , 22:29:00 WIB
Ade Mulyana
RMOL. Insiden Tanjung Berakit (13/8) terjadi di wilayah perairan teritorial NKRI. Dengan demikian, berarti Malaysia melakukan pelanggaran wilayah.
Atas dasar itu, Komisi I meminta pemerintah Malaysia untuk segera menyampaikan permohonan maaf.
“Telah terjadi tiga pelanggaran wilayah perairan yang dilakukan Malaysia. Pertama, pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Malaysia yang menangkap ikan di perairan kita. Kedua, pelanggaran wilayah perairan RI oleh Marine Police Diraja Malaysia, dan pelanggaran dalam proses penangkapan tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan oleh Marine Police Diraja Malaysia yang terindikasi terjadi tindak kekerasan,” kata ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq saat membacakan kesimpulan RDPU dengan Menlu dan Duta Besar RI untuk Malaysia.
Komisi I, tambah Mahfudz Siddiq juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas atas pelanggaran-pelanggaran, sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Malaysia yang melecehkan RI.
"Ini untuk menjaga kedaulatan bangsa, harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas terhadap Malaysia dengan mengutamakan kepentingan NKRI secara menyeluruh," ujar Mahfudz Siddiq.
Mahfudz menyebut Komisi I menghargai langkah-langkah yang telah ditempuh Pemerintah (Kemenlu) dalam upaya mengatasi dan meyelesaikan masalah penangkapan tiga petugas DKP. Namun demikian DPR menenggarai bahwa pembebasan tujuh nelayan Malaysia menimbulkan kesan kepada publik bahwa telah terjadi pertukaran.
“Agar di masa mendatang pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi, DPR berpendapat bahwa perundingan penetapan batas wilayah laut antara RI dan Malaysia disejumlah segmen merupakan prioritas nasional. DPR juga mendesak kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan hal tersebut DPR berpendapat perundingan RI-Malaysia tanggal 6 September 2010 di Kota Kinabalu harus digunakan untuk menyampaikan posisi tersebut” imbau Mahfudz. [arp]
Ade Mulyana
RMOL. Insiden Tanjung Berakit (13/8) terjadi di wilayah perairan teritorial NKRI. Dengan demikian, berarti Malaysia melakukan pelanggaran wilayah.
Atas dasar itu, Komisi I meminta pemerintah Malaysia untuk segera menyampaikan permohonan maaf.
“Telah terjadi tiga pelanggaran wilayah perairan yang dilakukan Malaysia. Pertama, pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Malaysia yang menangkap ikan di perairan kita. Kedua, pelanggaran wilayah perairan RI oleh Marine Police Diraja Malaysia, dan pelanggaran dalam proses penangkapan tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan oleh Marine Police Diraja Malaysia yang terindikasi terjadi tindak kekerasan,” kata ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq saat membacakan kesimpulan RDPU dengan Menlu dan Duta Besar RI untuk Malaysia.
Komisi I, tambah Mahfudz Siddiq juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas atas pelanggaran-pelanggaran, sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Malaysia yang melecehkan RI.
"Ini untuk menjaga kedaulatan bangsa, harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas terhadap Malaysia dengan mengutamakan kepentingan NKRI secara menyeluruh," ujar Mahfudz Siddiq.
Mahfudz menyebut Komisi I menghargai langkah-langkah yang telah ditempuh Pemerintah (Kemenlu) dalam upaya mengatasi dan meyelesaikan masalah penangkapan tiga petugas DKP. Namun demikian DPR menenggarai bahwa pembebasan tujuh nelayan Malaysia menimbulkan kesan kepada publik bahwa telah terjadi pertukaran.
“Agar di masa mendatang pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi, DPR berpendapat bahwa perundingan penetapan batas wilayah laut antara RI dan Malaysia disejumlah segmen merupakan prioritas nasional. DPR juga mendesak kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan hal tersebut DPR berpendapat perundingan RI-Malaysia tanggal 6 September 2010 di Kota Kinabalu harus digunakan untuk menyampaikan posisi tersebut” imbau Mahfudz. [arp]
DPR Desak Malaysia Minta Maaf
26/08/2010 - 07:27
Demi Tegakkan Kedaulatan
INILAH.COM, Jakarta - Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Kementerian Luar Negeri menyimpulkan agar pemerintah mendesak Malaysia meminta maaf terkait insiden yang menimpa tiga staf KKP pada 13 Agustus lalu. Satu ikhtiar untuk menegakkan kedaulatan RI.
Rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sepanjang Rabu (25/8) pagi hingga petang menghasilkan enam kesimpulan. Rapat kerja juga dihadiri Menlu Marty Natalegawa, Dubes Malaysia Dai Bachtiar, Konjen Johor Bharu Jonas Tobing serta pejabat eselon I dan II Kementerian Luar Negeri.
Salah satu poin penting yang telah disepakati yakni Komisi I DPR RI mendesak pemerintah untuk menyampaikan tuntutan permohonan maaf dari pihak Malaysia kepada Indonesia terkait dengan tiga pelanggaran.
“Tujuannya agar terjalin hubungan yang setara dan saling menghormati antar kedua negara,” kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq yang membacakan kesimpulan hasil Raker Komisi I DPR dengan Menlu Marty Natalegawa, Rabu (25/8).
Poin lainnya yang disepakati dalam raker pertama kali pasca-insiden di Tanjung Berakit, Bintan Kepulauan Riau ini juga menyepakat bahwa insiden pada 13 Agustus itu merupakan pelanggaran yang dilakukan pihak Malaysia. “Pelanggaran semacam ini tidak dapat dibiarkan terjadi di masa yang akan datang,” tandas Mahfudz.
Selain itu, Komisi I juga mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan mengutamakan kepentingan nasional RI secara keseluruhan dan ketentuan Hukum Internasional, untuk mencegah terulangnya insiden tersebut.
Di bagian lain, Komisi I juga menilai perundingan penetapan batas wilayah laut RI-Malaysia di sejumlah segmen merupakan merupakan prioritas nasional dan mendesak kepada pemerintah mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
“Komisi I berpendapat bahwa perundingan RI-Malaysia pada 6 September 2010 di Kota Kinabalu harus digunakan untuk menyampaikan posisi RI tersebut,” tambahnya.
Sementara, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan pemerintah sudah bertekad untuk menelusuri serta menghimpun berbagai data ketidaknyamanan dan ketidakpatutan yang dialami petugas RI.
“Kita sudah melakukan protes atas insiden penahanan tiga petugas KKP,” ujarnya. Dalam forum tersebut ia mengaku selama 2010 ini, Indonesia telah menyampaikan nota protes kepada Malaysia sebanyak sembilan kali terutama terkait dengan perbatasan wilayah.
Menlu menegaskan pihaknya mengidentifikasi tiga pelanggaran yakni nelayan Malayasia memasuki wilayah perairan RI, pelanggaran wilayah perairan RI oleh Marine Police Diraja Malaysia.
Juga pelanggaran terakhir pihak Malaysia melalui penangkapan 3 petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Patroli Marine Police Diraja Malaysia serta adanya indikasi kemungkinan tindak kekerasan. “Jadi apa yang disampaikan komisi 1 sesuai dengan rencana kita dan apa yang telah kita lakukan,” tutup Marty. [mdr]
Demi Tegakkan Kedaulatan
INILAH.COM, Jakarta - Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Kementerian Luar Negeri menyimpulkan agar pemerintah mendesak Malaysia meminta maaf terkait insiden yang menimpa tiga staf KKP pada 13 Agustus lalu. Satu ikhtiar untuk menegakkan kedaulatan RI.
Rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sepanjang Rabu (25/8) pagi hingga petang menghasilkan enam kesimpulan. Rapat kerja juga dihadiri Menlu Marty Natalegawa, Dubes Malaysia Dai Bachtiar, Konjen Johor Bharu Jonas Tobing serta pejabat eselon I dan II Kementerian Luar Negeri.
Salah satu poin penting yang telah disepakati yakni Komisi I DPR RI mendesak pemerintah untuk menyampaikan tuntutan permohonan maaf dari pihak Malaysia kepada Indonesia terkait dengan tiga pelanggaran.
“Tujuannya agar terjalin hubungan yang setara dan saling menghormati antar kedua negara,” kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq yang membacakan kesimpulan hasil Raker Komisi I DPR dengan Menlu Marty Natalegawa, Rabu (25/8).
Poin lainnya yang disepakati dalam raker pertama kali pasca-insiden di Tanjung Berakit, Bintan Kepulauan Riau ini juga menyepakat bahwa insiden pada 13 Agustus itu merupakan pelanggaran yang dilakukan pihak Malaysia. “Pelanggaran semacam ini tidak dapat dibiarkan terjadi di masa yang akan datang,” tandas Mahfudz.
Selain itu, Komisi I juga mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan mengutamakan kepentingan nasional RI secara keseluruhan dan ketentuan Hukum Internasional, untuk mencegah terulangnya insiden tersebut.
Di bagian lain, Komisi I juga menilai perundingan penetapan batas wilayah laut RI-Malaysia di sejumlah segmen merupakan merupakan prioritas nasional dan mendesak kepada pemerintah mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
“Komisi I berpendapat bahwa perundingan RI-Malaysia pada 6 September 2010 di Kota Kinabalu harus digunakan untuk menyampaikan posisi RI tersebut,” tambahnya.
Sementara, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan pemerintah sudah bertekad untuk menelusuri serta menghimpun berbagai data ketidaknyamanan dan ketidakpatutan yang dialami petugas RI.
“Kita sudah melakukan protes atas insiden penahanan tiga petugas KKP,” ujarnya. Dalam forum tersebut ia mengaku selama 2010 ini, Indonesia telah menyampaikan nota protes kepada Malaysia sebanyak sembilan kali terutama terkait dengan perbatasan wilayah.
Menlu menegaskan pihaknya mengidentifikasi tiga pelanggaran yakni nelayan Malayasia memasuki wilayah perairan RI, pelanggaran wilayah perairan RI oleh Marine Police Diraja Malaysia.
Juga pelanggaran terakhir pihak Malaysia melalui penangkapan 3 petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Patroli Marine Police Diraja Malaysia serta adanya indikasi kemungkinan tindak kekerasan. “Jadi apa yang disampaikan komisi 1 sesuai dengan rencana kita dan apa yang telah kita lakukan,” tutup Marty. [mdr]
Komisi I DPR: Malaysia Jangan Bikin Panas
Polkam / Kamis, 26 Agustus 2010 14:22 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta pemerintah Malaysia tidak membuat panas situasi dengan menyarankan agar warganya tidak melakukan perjalanan ke Indonesia. Negeri Jiran harus memahami akumulasi kekesalan masyarakat Indonesia lewat demonstrasi yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat BENDERA.
"Terlepas dari itu pemerintah Malaysia jangan mengeluarkan reaksi yang semakin bikin panas," pinta Mahfudz di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (26/8).
Mahfudz meminta pemerintah harus semakin sungguh-sungguh mendiskusikan penyelesaian masalah teritorial antara Indonesia-Malaysia. Kedua negara sejauh ini mempunyai kepentingan yang saling timbal balik. Karena itu, Indonesia-Malaysia mesti
mengakomodir penyelesaian masalah yang ada.
"Menurut saya kepentingan Malaysia lebih besar. Boikot memboikot, enggak akan menyelesaikan masalah," tutup dia.(Andhini
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta pemerintah Malaysia tidak membuat panas situasi dengan menyarankan agar warganya tidak melakukan perjalanan ke Indonesia. Negeri Jiran harus memahami akumulasi kekesalan masyarakat Indonesia lewat demonstrasi yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat BENDERA.
"Terlepas dari itu pemerintah Malaysia jangan mengeluarkan reaksi yang semakin bikin panas," pinta Mahfudz di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (26/8).
Mahfudz meminta pemerintah harus semakin sungguh-sungguh mendiskusikan penyelesaian masalah teritorial antara Indonesia-Malaysia. Kedua negara sejauh ini mempunyai kepentingan yang saling timbal balik. Karena itu, Indonesia-Malaysia mesti
mengakomodir penyelesaian masalah yang ada.
"Menurut saya kepentingan Malaysia lebih besar. Boikot memboikot, enggak akan menyelesaikan masalah," tutup dia.(Andhini
Pemerintah Harus Tuntut Malaysia Minta Maaf
Pelanggaran itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi di masa mendatang.
Rabu, 25 Agustus 2010, 21:02 WIB
Ismoko Widjaya, Mohammad Adam
VIVAnews - DPR mendesak pemerintah menyampaikan tuntutan permohonan maaf dari pihak Malaysia kepada Indonesia. DPR sepakat dengan pemerintah bahwa Malaysia telah melakukan tiga pelanggaran dalam insiden Tanjung Berikat 13 Agustus lalu.
"Agar terjalin hubungan yang setara dan saling menghormati antar-kedua negara," kata Ketua Komisi I Bidang Luar Negeri dan Pertahanan DPR, Mahfudz Siddiq usai rapat dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Jakarta, Rabu 25 Agustus 2010.
Komisi I sependapat dengan pemerintah bahwa insiden pelanggaran pada 13 Agustus itu adalah pelanggaran oleh Malaysia. Pelanggaran itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi di masa mendatang.
"Komisi I meminta pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional," kata politisi PKS ini.
Tiga pelanggaran yang dimaksud yakni; pelanggaran wilayah NKRI oleh nelayan Malaysia, pelanggaran wilayah NKRI oleh Police Diraja Malaysia, dan penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh aparat Malaysia.
"Mengenai perundingan, Komisi I memahami perundingan penyelesaian perbatasan merupakan prioritas nasional. Pemerintah segera lakukan hal-hal yang mendorong Malaysia untuk segera dibahas dalam meja perundingan," tegas dia.
Menurut Komisi I, pemerintah tidak perlu menunggu Malaysia untuk menuntaskan permasalahan perbatasan negara itu dengan Singapura.
"Pertemuan di Kinabalu pada 6 September 2010 harus digunakan sebagai kesempatan untuk menentukan posisi," tegasnya.
Pemerintah dituntut harus bersikap tegas kepada Malaysia agar pelanggaran-pelanggaran, sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Malaysia yang melecehkan Indonesia tidak terulang kembali. (sj)
• VIVAnews
Rabu, 25 Agustus 2010, 21:02 WIB
Ismoko Widjaya, Mohammad Adam
VIVAnews - DPR mendesak pemerintah menyampaikan tuntutan permohonan maaf dari pihak Malaysia kepada Indonesia. DPR sepakat dengan pemerintah bahwa Malaysia telah melakukan tiga pelanggaran dalam insiden Tanjung Berikat 13 Agustus lalu.
"Agar terjalin hubungan yang setara dan saling menghormati antar-kedua negara," kata Ketua Komisi I Bidang Luar Negeri dan Pertahanan DPR, Mahfudz Siddiq usai rapat dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Jakarta, Rabu 25 Agustus 2010.
Komisi I sependapat dengan pemerintah bahwa insiden pelanggaran pada 13 Agustus itu adalah pelanggaran oleh Malaysia. Pelanggaran itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi di masa mendatang.
"Komisi I meminta pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional," kata politisi PKS ini.
Tiga pelanggaran yang dimaksud yakni; pelanggaran wilayah NKRI oleh nelayan Malaysia, pelanggaran wilayah NKRI oleh Police Diraja Malaysia, dan penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh aparat Malaysia.
"Mengenai perundingan, Komisi I memahami perundingan penyelesaian perbatasan merupakan prioritas nasional. Pemerintah segera lakukan hal-hal yang mendorong Malaysia untuk segera dibahas dalam meja perundingan," tegas dia.
Menurut Komisi I, pemerintah tidak perlu menunggu Malaysia untuk menuntaskan permasalahan perbatasan negara itu dengan Singapura.
"Pertemuan di Kinabalu pada 6 September 2010 harus digunakan sebagai kesempatan untuk menentukan posisi," tegasnya.
Pemerintah dituntut harus bersikap tegas kepada Malaysia agar pelanggaran-pelanggaran, sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Malaysia yang melecehkan Indonesia tidak terulang kembali. (sj)
• VIVAnews
Wednesday, August 25, 2010
Border incident with Malaysia due to lack of coordination: House
Wednesday, August 25, 2010 23:31 PM
Hans David Tampubolon, The Jakarta Post, Jakarta |
The House of Representatives Commission I on Foreign Affairs says the recent border fiasco with Malaysia is mainly because of the lack of coordination between the country’s own institutions.
The incident revolves around the arrest of three Indonesian officers patrolling the Riau Island waters despite them having official documents from the Maritime Affairs and Fisheries Ministry.
“This lack of coordination caused each institution to make its own decision, and it seemed that these decisions overlapped one another,” the commission chairman, Mahfudz Siddiq from the Prosperous Justice Party (PKS), told reporters at the House in Jakarta on Wednesday.
The lack of coordination was apparent too in the differences of perception between the Foreign Ministry and the Maritime Affairs and Fisheries Ministry over what really happened to the latter’s officers apprehended by Malaysian authorities in Riau Island waters, said Mahfudz.
“The facts clearly show that the officers experienced violence during their detention, however, the Foreign Ministry thought otherwise because it did not receive a comprehensive explanation from the officers,” Mahfudz said.
Hans David Tampubolon, The Jakarta Post, Jakarta |
The House of Representatives Commission I on Foreign Affairs says the recent border fiasco with Malaysia is mainly because of the lack of coordination between the country’s own institutions.
The incident revolves around the arrest of three Indonesian officers patrolling the Riau Island waters despite them having official documents from the Maritime Affairs and Fisheries Ministry.
“This lack of coordination caused each institution to make its own decision, and it seemed that these decisions overlapped one another,” the commission chairman, Mahfudz Siddiq from the Prosperous Justice Party (PKS), told reporters at the House in Jakarta on Wednesday.
The lack of coordination was apparent too in the differences of perception between the Foreign Ministry and the Maritime Affairs and Fisheries Ministry over what really happened to the latter’s officers apprehended by Malaysian authorities in Riau Island waters, said Mahfudz.
“The facts clearly show that the officers experienced violence during their detention, however, the Foreign Ministry thought otherwise because it did not receive a comprehensive explanation from the officers,” Mahfudz said.
Kini Giliran DPR Keluarkan Nota Protes untuk Pemerintah Malaysia
MALAYSIA Vs INDONESIA
Rabu, 25 Agustus 2010 , 16:43:00 WIB
Laporan: Widya Victoria
RMOL. Sore ini pukul 17.00 WIB (Rabu, 25/8), pimpinan Komisi I DPR akan bertemu dengan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.
Demikian dikatakan Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Kata politisi PKS ini, Komisi I DPR akan menyampaikan surat resmi kepada pimpinan DPR yang mendesak DPR mengeluarkan nota protes kepada pemerintah Malaysia terkait penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia.
"Nanti jam 5 pimpinan komisi I DPR akan menemui Wakil Ketua DPR Pak Priyo untuk menyampaikan surat resmi Komisi I agar DPR menyampaikan nota protes resmi kepada pemerintah Malaysia," tegas Mahfudz.
Sebelumnya, pemerintah juga telah mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia melalui dubes Malaysia yang ada di Indonesia. [zul]
Rabu, 25 Agustus 2010 , 16:43:00 WIB
Laporan: Widya Victoria
RMOL. Sore ini pukul 17.00 WIB (Rabu, 25/8), pimpinan Komisi I DPR akan bertemu dengan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.
Demikian dikatakan Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Kata politisi PKS ini, Komisi I DPR akan menyampaikan surat resmi kepada pimpinan DPR yang mendesak DPR mengeluarkan nota protes kepada pemerintah Malaysia terkait penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia.
"Nanti jam 5 pimpinan komisi I DPR akan menemui Wakil Ketua DPR Pak Priyo untuk menyampaikan surat resmi Komisi I agar DPR menyampaikan nota protes resmi kepada pemerintah Malaysia," tegas Mahfudz.
Sebelumnya, pemerintah juga telah mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia melalui dubes Malaysia yang ada di Indonesia. [zul]
'Wajar presiden tegur menteri'
Selasa, 24/08/2010 19:06:30 WIB
Antara
JAKARTA: Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menilai wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur menteri terkait masalah tertentu.
"Teguran tersebut agar para menteri lebih proaktif tapi tetap koordinatif," kata Mahfudz Sidiq di Gedung DPR hari ini.
Mahfudz mencontohkan pada kasus penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh polisi perairan Malaysia pada 8 Agustus lalu.
Menurut dia, banyak pihak memberikan respons atas penangkapan tersebut termasuk dari para menteri.
Namun Mahfudz menyayangkan, di antara para menteri memberikan pernyataan yang berbeda sehingga terlihat berjalan sendiri-sendiri.
"Ada menteri yang mengatakan, tiga petugas KKP menangkap tujuh nelayan Malaysia di wilayah perairan Indonesia, tapi ada juga yang mengatakan di perbatasan bagian luar wilayah perairan Indonesia," katanya.
Dia juga mencontohkan ada menteri yang mengatakan tiga petugas KKP tersebut diperlakukan dengan sikap kurang menghargai, tapi ada juga menteri yang mengatakan mereka menghargai tiga petugas KKP tersebut.
Menurut Mahfudz yang kini Ketua Komisi I DPR RI, hendaknya para menteri bisa satu sikap dan satu bahasa sehingga negara lain menilainya bahwa pemerintahan ini solid.
"Teguran Presiden ini tentu akan menjadi bagian dari evaluasi tahunan Presiden terhadap kinerja para menteri," katanya.
Apalagi, katanya, Presiden juga dibantu oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4R) yang melakukan penilaian terhadap kinerja para menteri dan memberikan laporan secara periodik kepada Presiden.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto juga mengatakan wajar bila Presiden memberi teguran kepada menteri yang tidak memiliki kinerja baik, namun hal itu harus dilanjutkan dengan pergantian atau perombakan kabinet.
"Presiden tentu sangat bijak melakukan evaluasi tanpa perlu merombak kabinetnya dan teguran kepada menteri perlu juga dilakukan," katanya.
Novanto menambahkan, jika diperlukan untuk diganti maka hal itu adalah hak prerogratif Presiden.
Partai Golkar, kata dia, tidak akan ikut campur soal perombakan kabinet karena itu adalah hak prerogratif Presiden.
Terkait dengan kader Golkar yang saat ini menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang sedang mendapat sorotan publik, Novanto mengatakan, Fadel Muhammad masih menjadi yang terbaik dan layak dipertahankan sebagai menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
"Saya lihat Fadel Muhammad tetap mempunyai integritas dan kapabilitas. Saya rasa Fadel layak dipertahankan," katanya.
Kalaupun ada masalah yang terjadi seperti penahanan tiga petugas KKP oleh Polisi Diraja Malaysia, menurut dia, tidak bisa hanya menyalahkan Fadel. (msw)
Antara
JAKARTA: Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menilai wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur menteri terkait masalah tertentu.
"Teguran tersebut agar para menteri lebih proaktif tapi tetap koordinatif," kata Mahfudz Sidiq di Gedung DPR hari ini.
Mahfudz mencontohkan pada kasus penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh polisi perairan Malaysia pada 8 Agustus lalu.
Menurut dia, banyak pihak memberikan respons atas penangkapan tersebut termasuk dari para menteri.
Namun Mahfudz menyayangkan, di antara para menteri memberikan pernyataan yang berbeda sehingga terlihat berjalan sendiri-sendiri.
"Ada menteri yang mengatakan, tiga petugas KKP menangkap tujuh nelayan Malaysia di wilayah perairan Indonesia, tapi ada juga yang mengatakan di perbatasan bagian luar wilayah perairan Indonesia," katanya.
Dia juga mencontohkan ada menteri yang mengatakan tiga petugas KKP tersebut diperlakukan dengan sikap kurang menghargai, tapi ada juga menteri yang mengatakan mereka menghargai tiga petugas KKP tersebut.
Menurut Mahfudz yang kini Ketua Komisi I DPR RI, hendaknya para menteri bisa satu sikap dan satu bahasa sehingga negara lain menilainya bahwa pemerintahan ini solid.
"Teguran Presiden ini tentu akan menjadi bagian dari evaluasi tahunan Presiden terhadap kinerja para menteri," katanya.
Apalagi, katanya, Presiden juga dibantu oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4R) yang melakukan penilaian terhadap kinerja para menteri dan memberikan laporan secara periodik kepada Presiden.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto juga mengatakan wajar bila Presiden memberi teguran kepada menteri yang tidak memiliki kinerja baik, namun hal itu harus dilanjutkan dengan pergantian atau perombakan kabinet.
"Presiden tentu sangat bijak melakukan evaluasi tanpa perlu merombak kabinetnya dan teguran kepada menteri perlu juga dilakukan," katanya.
Novanto menambahkan, jika diperlukan untuk diganti maka hal itu adalah hak prerogratif Presiden.
Partai Golkar, kata dia, tidak akan ikut campur soal perombakan kabinet karena itu adalah hak prerogratif Presiden.
Terkait dengan kader Golkar yang saat ini menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang sedang mendapat sorotan publik, Novanto mengatakan, Fadel Muhammad masih menjadi yang terbaik dan layak dipertahankan sebagai menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
"Saya lihat Fadel Muhammad tetap mempunyai integritas dan kapabilitas. Saya rasa Fadel layak dipertahankan," katanya.
Kalaupun ada masalah yang terjadi seperti penahanan tiga petugas KKP oleh Polisi Diraja Malaysia, menurut dia, tidak bisa hanya menyalahkan Fadel. (msw)
Kronologi Penangkapan Versi Kemlu
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Rabu, 25 Agustus 2010 | 11:41 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memaparkan kronologi insiden penangkapan tiga petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Polisi Marin Diraja Malaysia, Rabu (25/8/2010), dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR.
Kronologi versi Kementerian Luar Negeri diperoleh setelah mengumpulkan informasi dari sejumlah pihak terkait.
Berikut ini kronologi yang dipaparkan Marty secara garis besar:
1. Pada tanggal 13 Agustus 2010 pukul 20.00, tiga orang petugas patroli KKP melakukan tugasnya dengan kapal Dolphin 015. Dalam pelaksanaan tugas ini, mereka menangkap lima buah kapal yang berisi tujuh orang nelayan Malaysia.
"Tujuh nelayan itu kemudian dibawa ke kapal KKP bersama tiga pegawai yang mengawal pada nelayan itu," jelas Marty.
2. Dalam perjalanan membawa nelayan itu ke Pulau Batam, Polisi Marin Diraja Malaysia melakukan pengejaran dan mengeluarkan tembakan. Namun, belum bisa dipastikan apakah tembakan itu berupa peluru atau tembakan suar.
"Berdasarkan keterangan, tembakan itu menimbulkan cahaya terang sehingga kemungkinan itu berupa tembakan dari suar," ujarnya.
3. Setelah itu, lima kapal nelayan yang berisi tiga orang petugas KKP digiring Polisi Marin Diraja Malayisa. Menurut Kementerian Luar Negeri, nelayan dan kepolisian Malaysia melakukan tiga pelanggaran.
Pertama, masuknya kapal nelayan Malaysia ke perairan Indonesia. Kedua, masuknya patroli Polisi Marin Diraja Malaysia ke wilayah Indonesia, dan ketiga, penangkapan terhadap tiga petugas KKP dilakukan di wilayah Indonesia dan diduga ada tindak kekerasan yang dialami para petugas tersebut. Marty membantah sinyalemen bahwa pemerintah lambat melakukan komunikasi untuk membebaskan tiga petugas KKP.
"Kami memastikan keberadaan dan kondisi tiga orang petugas KKP dan berupaya mengembalikan mereka sesegera mungkin ke Indonesia begitu informasi kami terima. Semua tindakan dilakukan secara instan dan real time. Tidak ada satu menit pun yang terlewat hanya karena ada masalah birokrasi," ujar Marty.
Rabu, 25 Agustus 2010 | 11:41 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memaparkan kronologi insiden penangkapan tiga petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Polisi Marin Diraja Malaysia, Rabu (25/8/2010), dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR.
Kronologi versi Kementerian Luar Negeri diperoleh setelah mengumpulkan informasi dari sejumlah pihak terkait.
Berikut ini kronologi yang dipaparkan Marty secara garis besar:
1. Pada tanggal 13 Agustus 2010 pukul 20.00, tiga orang petugas patroli KKP melakukan tugasnya dengan kapal Dolphin 015. Dalam pelaksanaan tugas ini, mereka menangkap lima buah kapal yang berisi tujuh orang nelayan Malaysia.
"Tujuh nelayan itu kemudian dibawa ke kapal KKP bersama tiga pegawai yang mengawal pada nelayan itu," jelas Marty.
2. Dalam perjalanan membawa nelayan itu ke Pulau Batam, Polisi Marin Diraja Malaysia melakukan pengejaran dan mengeluarkan tembakan. Namun, belum bisa dipastikan apakah tembakan itu berupa peluru atau tembakan suar.
"Berdasarkan keterangan, tembakan itu menimbulkan cahaya terang sehingga kemungkinan itu berupa tembakan dari suar," ujarnya.
3. Setelah itu, lima kapal nelayan yang berisi tiga orang petugas KKP digiring Polisi Marin Diraja Malayisa. Menurut Kementerian Luar Negeri, nelayan dan kepolisian Malaysia melakukan tiga pelanggaran.
Pertama, masuknya kapal nelayan Malaysia ke perairan Indonesia. Kedua, masuknya patroli Polisi Marin Diraja Malaysia ke wilayah Indonesia, dan ketiga, penangkapan terhadap tiga petugas KKP dilakukan di wilayah Indonesia dan diduga ada tindak kekerasan yang dialami para petugas tersebut. Marty membantah sinyalemen bahwa pemerintah lambat melakukan komunikasi untuk membebaskan tiga petugas KKP.
"Kami memastikan keberadaan dan kondisi tiga orang petugas KKP dan berupaya mengembalikan mereka sesegera mungkin ke Indonesia begitu informasi kami terima. Semua tindakan dilakukan secara instan dan real time. Tidak ada satu menit pun yang terlewat hanya karena ada masalah birokrasi," ujar Marty.
Indonesia Terjebak!
'Diplomasi Serumpun'
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Rabu, 25 Agustus 2010 | 13:37 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Indonesia diminta tak terjebak dengan pola diplomasi yang diterapkan Pemerintah Malaysia yang selalu mendengungkan "saudara serumpun" sebagai dalih penyelesaian berbagai masalah dengan soft diplomacy.
"Diplomasi Serumpun" dinilai membuat pemerintah terlalu berhati-hati dalam mengambil tindakan jika terjadi masalah dengan Malaysia. "ASEAN solidarity itu hanya ada di elite saja, Pak Menlu. Kalau lagi baik, mereka selalu mengatakan saudara serumpun. Tapi, masyarakatnya selalu menyebut TKI kita sebagai Indon. Tidak menghormati. Sekali-sekali kita perlu keras, jangan terjebak saudara serumpun," kata anggota Komisi I, Sidharto, dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/8/2010).
Hal yang sama juga diungkapkan anggota Komisi I, Tantowi Yahya. Prinsip "zero enemy, millions friends" yang selalu didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dikatakannya, bukan berarti Indonesia harus mengalah demi menghindari permusuhan.
"Zero enemy bukan berarti kita mengalah begitu saja dan lari karena tidak mau bermusuhan. Saat kita diinjak, jangan diam saja. Mereka (Malaysia) memanfaatkan solidaritas kita justru untuk meremehkan kita," ujar Tantowi.
Menjawab pertanyaan dan kritik para anggota Dewan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, dalam membangun hubungan dengan negara tetangga harus dikelola dengan baik, tanpa menanggalkan hal-hal yang prinsipil.
Akan tetapi, dalam penyelesaiannya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, tetap harus menggunakan instrumen-instrumen diplomasi yang ada seperti nota protes dan komunikasi langsung dengan Pemerintah Malaysia.
Anggota Komisi I, Enggartiasto Lukito, melontarkan, jika nota protes pemerintah Indonesia tak ditanggapi, perlu tindakan yang lebih tegas.
"Kalau Menlu saja diabaikan, kami sangat tersinggung. Tidak bisa lagi dengan soft diplomacy. Pak Da'i (Dubes RI untuk Malaysia), tolong jangan kembali ke sanalah, Pak. Di sini saja dulu, tarik saja dubes kita yang ada di Malaysia dan Pak Menlu tolong pulangkan dulu dubes mereka (Malaysia) yang di sini Pak," ujar Enggar.
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Rabu, 25 Agustus 2010 | 13:37 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Indonesia diminta tak terjebak dengan pola diplomasi yang diterapkan Pemerintah Malaysia yang selalu mendengungkan "saudara serumpun" sebagai dalih penyelesaian berbagai masalah dengan soft diplomacy.
"Diplomasi Serumpun" dinilai membuat pemerintah terlalu berhati-hati dalam mengambil tindakan jika terjadi masalah dengan Malaysia. "ASEAN solidarity itu hanya ada di elite saja, Pak Menlu. Kalau lagi baik, mereka selalu mengatakan saudara serumpun. Tapi, masyarakatnya selalu menyebut TKI kita sebagai Indon. Tidak menghormati. Sekali-sekali kita perlu keras, jangan terjebak saudara serumpun," kata anggota Komisi I, Sidharto, dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/8/2010).
Hal yang sama juga diungkapkan anggota Komisi I, Tantowi Yahya. Prinsip "zero enemy, millions friends" yang selalu didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dikatakannya, bukan berarti Indonesia harus mengalah demi menghindari permusuhan.
"Zero enemy bukan berarti kita mengalah begitu saja dan lari karena tidak mau bermusuhan. Saat kita diinjak, jangan diam saja. Mereka (Malaysia) memanfaatkan solidaritas kita justru untuk meremehkan kita," ujar Tantowi.
Menjawab pertanyaan dan kritik para anggota Dewan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, dalam membangun hubungan dengan negara tetangga harus dikelola dengan baik, tanpa menanggalkan hal-hal yang prinsipil.
Akan tetapi, dalam penyelesaiannya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, tetap harus menggunakan instrumen-instrumen diplomasi yang ada seperti nota protes dan komunikasi langsung dengan Pemerintah Malaysia.
Anggota Komisi I, Enggartiasto Lukito, melontarkan, jika nota protes pemerintah Indonesia tak ditanggapi, perlu tindakan yang lebih tegas.
"Kalau Menlu saja diabaikan, kami sangat tersinggung. Tidak bisa lagi dengan soft diplomacy. Pak Da'i (Dubes RI untuk Malaysia), tolong jangan kembali ke sanalah, Pak. Di sini saja dulu, tarik saja dubes kita yang ada di Malaysia dan Pak Menlu tolong pulangkan dulu dubes mereka (Malaysia) yang di sini Pak," ujar Enggar.
Bahas Insiden Penangkapan Petugas KKP pada Perundingan RI-Malaysia di Kinibalu!
Rabu, 25 Agustus 2010 , 22:29:00 WIB
Laporan: Ade Mulyana
RMOL. Insiden Tanjung Berakit (13/8) terjadi di wilayah perairan teritorial NKRI. Dengan demikian, berarti Malaysia melakukan pelanggaran wilayah.
Atas dasar itu, Komisi I meminta pemerintah Malaysia untuk segera menyampaikan permohonan maaf.
“Telah terjadi tiga pelanggaran wilayah perairan yang dilakukan Malaysia. Pertama, pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Malaysia yang menangkap ikan di perairan kita. Kedua, pelanggaran wilayah perairan RI oleh Marine Police Diraja Malaysia, dan pelanggaran dalam proses penangkapan tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan oleh Marine Police Diraja Malaysia yang terindikasi terjadi tindak kekerasan,” kata ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq saat membacakan kesimpulan RDPU dengan Menlu dan Duta Besar RI untuk Malaysia.
Komisi I, tambah Mahfudz Siddiq juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas atas pelanggaran-pelanggaran, sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Malaysia yang melecehkan RI.
"Ini untuk menjaga kedaulatan bangsa, harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas terhadap Malaysia dengan mengutamakan kepentingan NKRI secara menyeluruh," ujar Mahfudz Siddiq.
Mahfudz menyebut Komisi I menghargai langkah-langkah yang telah ditempuh Pemerintah (Kemenlu) dalam upaya mengatasi dan meyelesaikan masalah penangkapan tiga petugas DKP. Namun demikian DPR menenggarai bahwa pembebasan tujuh nelayan Malaysia menimbulkan kesan kepada publik bahwa telah terjadi pertukaran.
“Agar di masa mendatang pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi, DPR berpendapat bahwa perundingan penetapan batas wilayah laut antara RI dan Malaysia disejumlah segmen merupakan prioritas nasional. DPR juga mendesak kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan hal tersebut DPR berpendapat perundingan RI-Malaysia tanggal 6 September 2010 di Kota Kinabalu harus digunakan untuk menyampaikan posisi tersebut” imbau Mahfudz. [arp]
Laporan: Ade Mulyana
RMOL. Insiden Tanjung Berakit (13/8) terjadi di wilayah perairan teritorial NKRI. Dengan demikian, berarti Malaysia melakukan pelanggaran wilayah.
Atas dasar itu, Komisi I meminta pemerintah Malaysia untuk segera menyampaikan permohonan maaf.
“Telah terjadi tiga pelanggaran wilayah perairan yang dilakukan Malaysia. Pertama, pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Malaysia yang menangkap ikan di perairan kita. Kedua, pelanggaran wilayah perairan RI oleh Marine Police Diraja Malaysia, dan pelanggaran dalam proses penangkapan tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan oleh Marine Police Diraja Malaysia yang terindikasi terjadi tindak kekerasan,” kata ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq saat membacakan kesimpulan RDPU dengan Menlu dan Duta Besar RI untuk Malaysia.
Komisi I, tambah Mahfudz Siddiq juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas atas pelanggaran-pelanggaran, sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Malaysia yang melecehkan RI.
"Ini untuk menjaga kedaulatan bangsa, harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas terhadap Malaysia dengan mengutamakan kepentingan NKRI secara menyeluruh," ujar Mahfudz Siddiq.
Mahfudz menyebut Komisi I menghargai langkah-langkah yang telah ditempuh Pemerintah (Kemenlu) dalam upaya mengatasi dan meyelesaikan masalah penangkapan tiga petugas DKP. Namun demikian DPR menenggarai bahwa pembebasan tujuh nelayan Malaysia menimbulkan kesan kepada publik bahwa telah terjadi pertukaran.
“Agar di masa mendatang pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi, DPR berpendapat bahwa perundingan penetapan batas wilayah laut antara RI dan Malaysia disejumlah segmen merupakan prioritas nasional. DPR juga mendesak kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan hal tersebut DPR berpendapat perundingan RI-Malaysia tanggal 6 September 2010 di Kota Kinabalu harus digunakan untuk menyampaikan posisi tersebut” imbau Mahfudz. [arp]
Komisi I: Malaysia Harus Minta Maaf!
Malaysia Berulah
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Rabu, 25 Agustus 2010 | 17:23 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah anggota Komisi I DPR mendesak Pemerintah Malaysia menyampaikan permintaan maaf atas tindakan tak menyenangkan terhadap 3 pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP.
Soal penahanan petugas kita, ini masalah yang serius. Kalau dibiarkan, saya khawatir banyak negatif daripada positifnya. Oleh karena itu, harus ada permintaan maaf dari Malaysia atas tindakannya.
-- Hayono Isman
Pengenaan pakaian tahanan dan pemborgolan terhadap ketiganya saat ditangkap oleh Polis Marin Diraja Malaysia dinilai telah melecehkan Indonesia karena ketiganya merupakan pegawai negara yang tengah melakukan tugasnya.
"Soal penahanan petugas kita, ini masalah yang serius. Kalau dibiarkan, saya khawatir banyak negatif daripada positifnya. Oleh karena itu, harus ada permintaan maaf dari Malaysia atas tindakannya," kata Wakil Ketua Komisi I Hayono Isman dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/8/2010).
Hal yang sama juga dilontarkan Pimpinan Komisi I Agus Gumiwang dan Mahfudz Siddiq. Selain para pimpinan Komisi, sejumlah anggota juga mendesak hal yang sama.
"Permohonan maaf bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Keduanya tetap bisa jalan," kata Agus. Sementara itu, Mahfudz meminta, dalam nota protes yang segera dilayangkan Kementerian Luar Negeri agar menyertakan perkembangan di Tanah Air, di antaranya mengenai adanya desakan permintaan maaf dan penyesalan dari Malaysia atas apa yang mereka lakukan.
Desakan permintaan maaf dari Malaysia juga dimasukkan dalam kesimpulan rapat kerja Komisi I dan Menteri Luar Negeri yang berlangsung sejak pagi tadi.
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Rabu, 25 Agustus 2010 | 17:23 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah anggota Komisi I DPR mendesak Pemerintah Malaysia menyampaikan permintaan maaf atas tindakan tak menyenangkan terhadap 3 pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP.
Soal penahanan petugas kita, ini masalah yang serius. Kalau dibiarkan, saya khawatir banyak negatif daripada positifnya. Oleh karena itu, harus ada permintaan maaf dari Malaysia atas tindakannya.
-- Hayono Isman
Pengenaan pakaian tahanan dan pemborgolan terhadap ketiganya saat ditangkap oleh Polis Marin Diraja Malaysia dinilai telah melecehkan Indonesia karena ketiganya merupakan pegawai negara yang tengah melakukan tugasnya.
"Soal penahanan petugas kita, ini masalah yang serius. Kalau dibiarkan, saya khawatir banyak negatif daripada positifnya. Oleh karena itu, harus ada permintaan maaf dari Malaysia atas tindakannya," kata Wakil Ketua Komisi I Hayono Isman dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/8/2010).
Hal yang sama juga dilontarkan Pimpinan Komisi I Agus Gumiwang dan Mahfudz Siddiq. Selain para pimpinan Komisi, sejumlah anggota juga mendesak hal yang sama.
"Permohonan maaf bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Keduanya tetap bisa jalan," kata Agus. Sementara itu, Mahfudz meminta, dalam nota protes yang segera dilayangkan Kementerian Luar Negeri agar menyertakan perkembangan di Tanah Air, di antaranya mengenai adanya desakan permintaan maaf dan penyesalan dari Malaysia atas apa yang mereka lakukan.
Desakan permintaan maaf dari Malaysia juga dimasukkan dalam kesimpulan rapat kerja Komisi I dan Menteri Luar Negeri yang berlangsung sejak pagi tadi.
Komisi I Panggil Menlu untuk Jelaskan Respon Malaysia atas Nota Protes
Polkam / Rabu, 25 Agustus 2010 10:33 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Setelah memanggil tiga petugas Kementerian Kelautan dan Pariwisata, Komisi I DPR Rabu (25/8) hari ini meminta keterangan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Duta Besar Indonesia di Malaysia Da'i Bahtiar serta Komjen di Johor Baru Thomas Tobing. Komisi yang membidangi hubungan luar negeri, komunikasi dan informasi ini ingin mengetahui bagaimana sikap negeri Jiran pasca Indonesia mengirimkan nota protes.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq sebelum rapat dengar pendapat umum dengan Kementerian Luar Negeri di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (25/8). Mahfudz mengemukakan, pihaknya ingin mengetahui bagaimana langkah diplomasi Indonesia sebenarnya. Sebab, menurut pengakuan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, mereka dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia.
"Kita ingin minta penjelasan soal ini. Termasuk perlakuan tidak senonoh aparat Malaysia kepada tiga petugas negara itu. Kemarin fakta terungkap mereka diperlakukan seperti tahanan dan terjadi tindak kekerasan," jelas Mahfudz.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mengemukakan, DPR sendiri ingin segera masalah perbatasan laut Indonesia-Malaysia. Jangan sampai Indonesia tersandera karena menunggu penyelesaian perbatasan laut antara Malaysia dan Singapura.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman melanjutkan, DPR berharap pemerintah bisa membuat keputusan agar Malaysia meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Saat ini Komisi I DPR belum berfikir untuk mengajukan hak interpelasi. "Kita harus kompak atas pelecehan. Kalau belum apa-apa interplasi tidak elok," tandas dia.(Andhini)
Metrotvnews.com, Jakarta: Setelah memanggil tiga petugas Kementerian Kelautan dan Pariwisata, Komisi I DPR Rabu (25/8) hari ini meminta keterangan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Duta Besar Indonesia di Malaysia Da'i Bahtiar serta Komjen di Johor Baru Thomas Tobing. Komisi yang membidangi hubungan luar negeri, komunikasi dan informasi ini ingin mengetahui bagaimana sikap negeri Jiran pasca Indonesia mengirimkan nota protes.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq sebelum rapat dengar pendapat umum dengan Kementerian Luar Negeri di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (25/8). Mahfudz mengemukakan, pihaknya ingin mengetahui bagaimana langkah diplomasi Indonesia sebenarnya. Sebab, menurut pengakuan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, mereka dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia.
"Kita ingin minta penjelasan soal ini. Termasuk perlakuan tidak senonoh aparat Malaysia kepada tiga petugas negara itu. Kemarin fakta terungkap mereka diperlakukan seperti tahanan dan terjadi tindak kekerasan," jelas Mahfudz.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mengemukakan, DPR sendiri ingin segera masalah perbatasan laut Indonesia-Malaysia. Jangan sampai Indonesia tersandera karena menunggu penyelesaian perbatasan laut antara Malaysia dan Singapura.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman melanjutkan, DPR berharap pemerintah bisa membuat keputusan agar Malaysia meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Saat ini Komisi I DPR belum berfikir untuk mengajukan hak interpelasi. "Kita harus kompak atas pelecehan. Kalau belum apa-apa interplasi tidak elok," tandas dia.(Andhini)
Label:
Komisi 1: Luar negri,
Politik Nasional
Menlu Tegaskan Tak Ada Barter dengan Malaysia
"Sebagai WNI pun saya akan protes petugas kita disamakan dengan nelayan yang melanggar."
Rabu, 25 Agustus 2010, 12:02 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sekali menegaskan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak ditahan aparat Malaysia. Menteri hanya menyatakan ketiganya ditangkap di wilayah Indonesia.
"Saat insiden diketahui, kami telepon (pihak) Malaysia. Kami sampaikan tak bisa terima insiden yang terjadi," kata Marty dalam Rapat Kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu 25 Agustus 2010. "Tak kalah penting, kita juga ingin petugas kita dibebaskan."
Dan penyampaian Indonesia diterima pihak Malaysia. "Bahwa mereka, petugas, dihormati dan bisa kembali ke tanah air," kata Marty. "Mereka bukan diperiksa, bukan ditahan," kata Marty.
Jadi, pembebasan tiga aparat KKP yang masing-masing bernama Seivo Grevo Wewengkang, Asriadi, dan Erwan Masdar itu bukan dibarter dengan pembebasan sejumlah nelayan Malaysia yang ditangkap Indonesia. "Sama sekali tak ada wacana barter. Tak pernah bayangkan sama sekali," ujar Marty.
"Apakah kami akan biarkan tiga petugas KKP yang menjalankan tugas dengan surat jelas ditukar gulingkan atau barterkan dengan nelayan yang menurut pandangan kita melanggar hukum? Tak mungkin," kata Marty. "Sebagai Warga Negara Indonesia pun saya akan protes petugas kita disamakan dengan nelayan yang melanggar."
Tuduhan barter dilontarkan sejumlah politisi di Senayan kemarin. "Komisi I ingin meminta penjelasan apakah upaya diplomasi itu terkait dengan isu yang berkembang politik barter," kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq dalam perbincangan dengan VIVAnews, Selasa malam.
• VIVAnews
Rabu, 25 Agustus 2010, 12:02 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sekali menegaskan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak ditahan aparat Malaysia. Menteri hanya menyatakan ketiganya ditangkap di wilayah Indonesia.
"Saat insiden diketahui, kami telepon (pihak) Malaysia. Kami sampaikan tak bisa terima insiden yang terjadi," kata Marty dalam Rapat Kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu 25 Agustus 2010. "Tak kalah penting, kita juga ingin petugas kita dibebaskan."
Dan penyampaian Indonesia diterima pihak Malaysia. "Bahwa mereka, petugas, dihormati dan bisa kembali ke tanah air," kata Marty. "Mereka bukan diperiksa, bukan ditahan," kata Marty.
Jadi, pembebasan tiga aparat KKP yang masing-masing bernama Seivo Grevo Wewengkang, Asriadi, dan Erwan Masdar itu bukan dibarter dengan pembebasan sejumlah nelayan Malaysia yang ditangkap Indonesia. "Sama sekali tak ada wacana barter. Tak pernah bayangkan sama sekali," ujar Marty.
"Apakah kami akan biarkan tiga petugas KKP yang menjalankan tugas dengan surat jelas ditukar gulingkan atau barterkan dengan nelayan yang menurut pandangan kita melanggar hukum? Tak mungkin," kata Marty. "Sebagai Warga Negara Indonesia pun saya akan protes petugas kita disamakan dengan nelayan yang melanggar."
Tuduhan barter dilontarkan sejumlah politisi di Senayan kemarin. "Komisi I ingin meminta penjelasan apakah upaya diplomasi itu terkait dengan isu yang berkembang politik barter," kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq dalam perbincangan dengan VIVAnews, Selasa malam.
• VIVAnews
Label:
Komisi 1: Luar negri,
Politik Nasional
Indonesia Jamin Keamanan Diplomat Malaysia
"Mana kala ada di luar batas kewajaran, maka aparat tentunya sudah melakukan tindakan."
Rabu, 25 Agustus 2010, 13:31 WIB
Elin Yunita Kristanti, Bayu Galih
VIVAnews - Pemerintah memaklumi adanya perasaan marah di masyarakat terkait hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia.
"Namun tentunya harus ditunjukkan secara proporsional," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah di Kantor Presiden, Rabu 25 Agustus 2010.
Sebagai bagian dalam Konvensi Wina, sebagai pihak tuan rumah, Indonesia harus memberikan jaminan keamanan bagi diplomat asing dan obyek-obyek perwakilan asing di ibu kota.
"Itu sudah kami lakukan, kami koordinasikan dengan instansi kepolisian dan aparat keamanan untuk memastikan keselamatan bagi diplomat Malaysia di Jakarta dan seluruh wilayah Indonesia. Juga keamanan dan keselamatan gedung-gedung mereka di Indonesia," kata Faizasyah.
Itu, tambah dia, adalah bagian dari kewajiban pemerintah. "Ada atau tidak ada permintaan [Malaysia] akan tetap kami berikan," tambah dia.
Dalam pengamanan ini, tambah dia, pihak Kemenlu bekerja sama dengan kepolisian. "Dalam hal ada kondisi-kondisi yang mengancam bagi beroperasinya suatu perwakilan negara asing."
Terkait demo massa Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) yang melemparkan kotoran manusia ke Kedutaan Besar Malaysia, Faizasyah mengatakan, demonstrasi memang dibenarkan oleh sistem negara kita.
"Tapi tentunya ada batas-batas kewajaran. Mana kala ada di luar batas kewajaran, maka aparat hukum di Indonesia tentunya sudah melakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku."
Hubungan Indonesia dan Malaysia kembali memanas pasca insiden penangkapan tiga staf Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di sisi lain Indonesia juga menangkap tujuh nelayan Indonesia yang melanggar batas wilayah.
• VIVAnews
Rabu, 25 Agustus 2010, 13:31 WIB
Elin Yunita Kristanti, Bayu Galih
VIVAnews - Pemerintah memaklumi adanya perasaan marah di masyarakat terkait hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia.
"Namun tentunya harus ditunjukkan secara proporsional," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah di Kantor Presiden, Rabu 25 Agustus 2010.
Sebagai bagian dalam Konvensi Wina, sebagai pihak tuan rumah, Indonesia harus memberikan jaminan keamanan bagi diplomat asing dan obyek-obyek perwakilan asing di ibu kota.
"Itu sudah kami lakukan, kami koordinasikan dengan instansi kepolisian dan aparat keamanan untuk memastikan keselamatan bagi diplomat Malaysia di Jakarta dan seluruh wilayah Indonesia. Juga keamanan dan keselamatan gedung-gedung mereka di Indonesia," kata Faizasyah.
Itu, tambah dia, adalah bagian dari kewajiban pemerintah. "Ada atau tidak ada permintaan [Malaysia] akan tetap kami berikan," tambah dia.
Dalam pengamanan ini, tambah dia, pihak Kemenlu bekerja sama dengan kepolisian. "Dalam hal ada kondisi-kondisi yang mengancam bagi beroperasinya suatu perwakilan negara asing."
Terkait demo massa Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) yang melemparkan kotoran manusia ke Kedutaan Besar Malaysia, Faizasyah mengatakan, demonstrasi memang dibenarkan oleh sistem negara kita.
"Tapi tentunya ada batas-batas kewajaran. Mana kala ada di luar batas kewajaran, maka aparat hukum di Indonesia tentunya sudah melakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku."
Hubungan Indonesia dan Malaysia kembali memanas pasca insiden penangkapan tiga staf Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di sisi lain Indonesia juga menangkap tujuh nelayan Indonesia yang melanggar batas wilayah.
• VIVAnews
Label:
Komisi 1: Luar negri,
Politik Nasional
Menhan: Perbatasan Laut Luas, Apa Tiap Hari Harus di Situ?
Rabu, 25/08/2010 19:45 WIB
Fajar Pratama - detikNews
Jakarta - Ada 6 instansi yang terlibat dalam pengamanan garis perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga. Tetapi tetap tidak semua perbatasan bisa dijaga oleh aparat, mengingat jumlah sumber daya yang tidak sebanding dengan panjang garis perbatasan.
"Kita harus realistis. Perbatasan laut itu luas sekali, apa tiap hari kita harus di situ?" kata Menhan Purnomo Yusgiantoro usai Seminar Pertahanan Nasional Indonesia dalam Perspektif Sosial Budaya, Rabu (25/8/2010), di Gedung LIPI, Jl Gatot Subroto, Jakarta.
Alasan serupa juga membuat tidak setiap pulau terluar wilayah NKRI dijaga oleh aparat keamanan. Di samping pulau tersebut memang tidak dapat dihuni, hanya berfungsi sebagai titik untuk menarik garis batas laut dengan titik lainnya.
Menyinggung tanggung jawab patroli penjagaan garis perbatasan, ada 6 instansi yang terlibat dalam kapasitasnya masing-masing. Selain Polri dan TNI AL, juga ada Bea dan Cukai, Kementerian Kelautan Perikanan dan Kementerian Perhubungan.
Meski terkesan tidak efisien dan tumpang tindih, Poernomo membantah bahwa di antara mereka tidak ada koordinasi sehingga menyebabkan insiden pelanggaran garis batas laut bisa terjadi. "Kita tetap ada koordinasi," tegas dia.
Khusus untuk wilayah Laut Tanjung Berakit, menurutnya masih dalam status sengketa batas laut dengan Malaysia. Ini karena jarak titik pertemuan perbatasan dua negara kurang dari 12 mil laut yang jadi kesepakatan internasional.
"Di sana sempit sekali wilayahnya, jadi rawan overlapping batas wilayah," jelas Poernomo.
(lh/rdf)
Fajar Pratama - detikNews
Jakarta - Ada 6 instansi yang terlibat dalam pengamanan garis perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga. Tetapi tetap tidak semua perbatasan bisa dijaga oleh aparat, mengingat jumlah sumber daya yang tidak sebanding dengan panjang garis perbatasan.
"Kita harus realistis. Perbatasan laut itu luas sekali, apa tiap hari kita harus di situ?" kata Menhan Purnomo Yusgiantoro usai Seminar Pertahanan Nasional Indonesia dalam Perspektif Sosial Budaya, Rabu (25/8/2010), di Gedung LIPI, Jl Gatot Subroto, Jakarta.
Alasan serupa juga membuat tidak setiap pulau terluar wilayah NKRI dijaga oleh aparat keamanan. Di samping pulau tersebut memang tidak dapat dihuni, hanya berfungsi sebagai titik untuk menarik garis batas laut dengan titik lainnya.
Menyinggung tanggung jawab patroli penjagaan garis perbatasan, ada 6 instansi yang terlibat dalam kapasitasnya masing-masing. Selain Polri dan TNI AL, juga ada Bea dan Cukai, Kementerian Kelautan Perikanan dan Kementerian Perhubungan.
Meski terkesan tidak efisien dan tumpang tindih, Poernomo membantah bahwa di antara mereka tidak ada koordinasi sehingga menyebabkan insiden pelanggaran garis batas laut bisa terjadi. "Kita tetap ada koordinasi," tegas dia.
Khusus untuk wilayah Laut Tanjung Berakit, menurutnya masih dalam status sengketa batas laut dengan Malaysia. Ini karena jarak titik pertemuan perbatasan dua negara kurang dari 12 mil laut yang jadi kesepakatan internasional.
"Di sana sempit sekali wilayahnya, jadi rawan overlapping batas wilayah," jelas Poernomo.
(lh/rdf)
Menlu Penuhi Undangan DPR
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan langsung soal insiden di Bintan
Rabu, 25 Agustus 2010, 11:08 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Marty hadir bersama sejumlah staf dan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Dai Bachtiar.
Dalam rapat yang digelar sejak pukul 10.15, Rabu 25 Agustus 2010 itu, Marty berbicara langsung mengenai sejumlah langkah diplomatik yang sudah dilakukan atas insiden 13 Agustus di perairan Bintan, Kepulauan Riau.
Rapat ini dipimpin langsung oleh Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq. Kemarin, Mahfudz menyampaikan, "Komisi I ingin meminta penjelasan apakah upaya diplomasi itu terkait dengan isu yang berkembang politik barter."
Mahfudz ingin mempertanyakan mengenai dugaan adanya barter tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan tujuh orang nelayan Malaysia. Tiga petugas ini ditangkap aparat Malaysia di perairan Indonesia.
Insiden penangkapan terjadi 13 Agustus lalu. (umi)
• VIVAnews
Rabu, 25 Agustus 2010, 11:08 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Marty hadir bersama sejumlah staf dan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Dai Bachtiar.
Dalam rapat yang digelar sejak pukul 10.15, Rabu 25 Agustus 2010 itu, Marty berbicara langsung mengenai sejumlah langkah diplomatik yang sudah dilakukan atas insiden 13 Agustus di perairan Bintan, Kepulauan Riau.
Rapat ini dipimpin langsung oleh Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq. Kemarin, Mahfudz menyampaikan, "Komisi I ingin meminta penjelasan apakah upaya diplomasi itu terkait dengan isu yang berkembang politik barter."
Mahfudz ingin mempertanyakan mengenai dugaan adanya barter tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan tujuh orang nelayan Malaysia. Tiga petugas ini ditangkap aparat Malaysia di perairan Indonesia.
Insiden penangkapan terjadi 13 Agustus lalu. (umi)
• VIVAnews
Label:
Komisi 1: Luar negri,
POLHUKAM,
Politik Nasional
SBY diuji ancaman mati 345 WNI
Wednesday, 25 August 2010 00:02 Waspada Online
R FERDIAN ANDI R
JAKARTA – Komitmen Presiden SBY melindungi warga negaranya kembali diuji. Sedikitnya 345 WNI terancam hukuman mati di negeri jiran Malaysia. Komitmen pemerintah dipertaruhkan.
Pemerintahan SBY-Boediono dalam momentum hari Kemerdekaan RI ini benar-benar tengah diuji. Kali ini soal 345 WNI yang terancam hukuman mati. Tentu, informasi ini bukan sekadar berita biasa. Karena menyangkut nyawa WNI, kepekaan pemerintah menjadi keniscayaan.
Sebelumnya, LSM Migrant Care, Kontras, dan Infid merilis sebanyak 345 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Informasi ini jelas menambah deretan panjang, betapa WNI di mata negeri Jiran Malaysia benar-benar menjadi warga kelas dua.
Terkait informasi tentang 345 WNI yang terancam eksekusi mati, Presiden SBY menegaskan agar persoalan tersebut mendapat keadilan dalam proses hukum. Presiden menginginkan agar persoalan ini diurus secara maksimal.
“Saya mau ini diurus secara gigih. Saya tidak mau bila ada perlakuan tidak adil dalam proses hukum yang dilakukan sepenuhnya oleh Malaysia,” katanya.
Meski demikian, Presiden meminta Kementerian Luar Negeri melakukan klarifikasi atas informasi yang terlanjur keluar ke publik. Selain itu, Presiden menegaskan, pemerintah akan terus memberikan bantuan hukum dan upaya diplomasi. “Tapi karena isu ini sudah muncul, Menlu agar cepat mengklarifikasi berapa jumlah sebenarnya,” tandas Presiden.
Sementara Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku kecewa terhadap kinerja beberapa menteri terkait persoalan yang muncul di Malaysia terhadap para WNI khususnya yang terancam hukuman mati. “Saya kecewa dengan langkah yang tidak membangkitkan kebanggaan bangsa,” tegasnya di Gedung DPR Jakarta.
Ia menyebutkan, tiga kementerian dinilai bertanggungjawab atas munculnya kejadian di Malaysia yakni Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Menlu, Menhan, dan Menakretrans yang salah,” ujarnya.
Ia pun menegaskan ke depan agar menempatkan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia memiliki sosok dengan tingkat nasionalisme yang sangat ultra. Menurut dia, sosok itu yang mampu bertindak secara cepat. “Bukannya Dubes yang sekarang tidak ultra, tapi kita butuh yang cepat bertindak,” ketusnya.
Sementara Komisi I DPR dalam waktu dekat berencana memanggil Menteri Luar Negeri dan akan mempertanyakan informasi tentang 345 WNI yang terancam hukuman mati. “Akan kita tanyakan ke Kemenlu,” ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq.
Komisi I, kata Mahfudz, akan mempertanyakan apa saja yang dilakukan KBRI di Malaysia, termasuk Konsulat Jenderal (Konjen) di Johor, serta apa saja yang dilakukan Kemenlu terkait kasus ini.
“Hal ini akan kita tanyakan. Saya kira akan berkembang banyak masukan dari komisi I DPR,” cetus Mahfudz yang menggantikan Kemal Aziz Stanboel ini sebagai Ketua Komisi.
Sementara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar membantah jika terdapat 345 WNI yang terancam hukuman mati. Ia menyebutkan, hanya 24 WNI yang bakal terancam hukuman mati di Malaysia. “Baru saja kita update data, ada sekitar 24 WNI yang akan dieksekusi mati,” ujarnya di Kantor Presiden.
Belajar dari kasus sebelumnya terkait penangkapan tiga staf Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP) yang banyak mendapat gugatan publik, seharusnya pemerintah bersikap cepat dan tepat dalam menangani rencana eksekusi mati terhadap 345 WNI.
(dat03/inilah)
R FERDIAN ANDI R
JAKARTA – Komitmen Presiden SBY melindungi warga negaranya kembali diuji. Sedikitnya 345 WNI terancam hukuman mati di negeri jiran Malaysia. Komitmen pemerintah dipertaruhkan.
Pemerintahan SBY-Boediono dalam momentum hari Kemerdekaan RI ini benar-benar tengah diuji. Kali ini soal 345 WNI yang terancam hukuman mati. Tentu, informasi ini bukan sekadar berita biasa. Karena menyangkut nyawa WNI, kepekaan pemerintah menjadi keniscayaan.
Sebelumnya, LSM Migrant Care, Kontras, dan Infid merilis sebanyak 345 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Informasi ini jelas menambah deretan panjang, betapa WNI di mata negeri Jiran Malaysia benar-benar menjadi warga kelas dua.
Terkait informasi tentang 345 WNI yang terancam eksekusi mati, Presiden SBY menegaskan agar persoalan tersebut mendapat keadilan dalam proses hukum. Presiden menginginkan agar persoalan ini diurus secara maksimal.
“Saya mau ini diurus secara gigih. Saya tidak mau bila ada perlakuan tidak adil dalam proses hukum yang dilakukan sepenuhnya oleh Malaysia,” katanya.
Meski demikian, Presiden meminta Kementerian Luar Negeri melakukan klarifikasi atas informasi yang terlanjur keluar ke publik. Selain itu, Presiden menegaskan, pemerintah akan terus memberikan bantuan hukum dan upaya diplomasi. “Tapi karena isu ini sudah muncul, Menlu agar cepat mengklarifikasi berapa jumlah sebenarnya,” tandas Presiden.
Sementara Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku kecewa terhadap kinerja beberapa menteri terkait persoalan yang muncul di Malaysia terhadap para WNI khususnya yang terancam hukuman mati. “Saya kecewa dengan langkah yang tidak membangkitkan kebanggaan bangsa,” tegasnya di Gedung DPR Jakarta.
Ia menyebutkan, tiga kementerian dinilai bertanggungjawab atas munculnya kejadian di Malaysia yakni Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Menlu, Menhan, dan Menakretrans yang salah,” ujarnya.
Ia pun menegaskan ke depan agar menempatkan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia memiliki sosok dengan tingkat nasionalisme yang sangat ultra. Menurut dia, sosok itu yang mampu bertindak secara cepat. “Bukannya Dubes yang sekarang tidak ultra, tapi kita butuh yang cepat bertindak,” ketusnya.
Sementara Komisi I DPR dalam waktu dekat berencana memanggil Menteri Luar Negeri dan akan mempertanyakan informasi tentang 345 WNI yang terancam hukuman mati. “Akan kita tanyakan ke Kemenlu,” ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq.
Komisi I, kata Mahfudz, akan mempertanyakan apa saja yang dilakukan KBRI di Malaysia, termasuk Konsulat Jenderal (Konjen) di Johor, serta apa saja yang dilakukan Kemenlu terkait kasus ini.
“Hal ini akan kita tanyakan. Saya kira akan berkembang banyak masukan dari komisi I DPR,” cetus Mahfudz yang menggantikan Kemal Aziz Stanboel ini sebagai Ketua Komisi.
Sementara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar membantah jika terdapat 345 WNI yang terancam hukuman mati. Ia menyebutkan, hanya 24 WNI yang bakal terancam hukuman mati di Malaysia. “Baru saja kita update data, ada sekitar 24 WNI yang akan dieksekusi mati,” ujarnya di Kantor Presiden.
Belajar dari kasus sebelumnya terkait penangkapan tiga staf Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP) yang banyak mendapat gugatan publik, seharusnya pemerintah bersikap cepat dan tepat dalam menangani rencana eksekusi mati terhadap 345 WNI.
(dat03/inilah)
'Presiden SBY Takut Diserang'
24/08/2010 - 13:49
Windi Widia Ningsih
INILAH.COM, Jakarta - Tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstuksikan para menteri untuk tidak diam saja menghadapi tekanan publik menunjukkan SBY takut diserang.
"Aneh seorang Presiden harusnya siap diserang, tapi dia terkesan tidak bisa diserang apalagi jika pribadinya yang diserang," kata pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Adrianus Harsawaskita, kepada INILAH.COM, Jakarta, Selasa (24/8).
Menurut Adrianus, Presiden SBY jadi lebih reaktif. Jika pribadinya diserang langsung bereaksi, namun akan diam saja jika terkait dengan kepentingan publik. "SBY terlalu perasa, harusnya peka malah nggak peka ketika terkait dengan kepentingan publik. Seperti kasus dengan Malaysia, dia hanya diam saja," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden SBY agak menyayangkan sikap beberapa menteri yang lamban dalam merespons berbagai isu yang terkait langsung dengan kementerian yang bersangkutan. [TJ]
Windi Widia Ningsih
INILAH.COM, Jakarta - Tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstuksikan para menteri untuk tidak diam saja menghadapi tekanan publik menunjukkan SBY takut diserang.
"Aneh seorang Presiden harusnya siap diserang, tapi dia terkesan tidak bisa diserang apalagi jika pribadinya yang diserang," kata pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Adrianus Harsawaskita, kepada INILAH.COM, Jakarta, Selasa (24/8).
Menurut Adrianus, Presiden SBY jadi lebih reaktif. Jika pribadinya diserang langsung bereaksi, namun akan diam saja jika terkait dengan kepentingan publik. "SBY terlalu perasa, harusnya peka malah nggak peka ketika terkait dengan kepentingan publik. Seperti kasus dengan Malaysia, dia hanya diam saja," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden SBY agak menyayangkan sikap beberapa menteri yang lamban dalam merespons berbagai isu yang terkait langsung dengan kementerian yang bersangkutan. [TJ]
Sinyal Presiden SBY Rombak Kabinet
24/08/2010 - 17:37
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta - Presiden SBY memberi sinyal akan melakukan perombakan kabinet. Hal ini mencuat saat pembukaan rapat kabinet. SBY menyebut beberapa isu aktual yang memancing perhatian publik seharusnya ditanggapi bukan malah sembunyi. Inikah sinyalemen Presiden akan merombak kabinet?
Pernyataan Presiden SBY agar para menterinya merespon isu aktual tak ubahnya menjadi sinyal awal melakukan perombakan kabinet. Beberapa isu penting yang sempat disinggung presiden yakni soal kontroversi grasi dan remisi, penangkapan nelayan Indonesia oleh Malaysia dan rekening tak wajar sejumlah petinggi Polri.
Selain isu tersebut, sejatinya beberapa persoalan yang muncul di publik juga membutuhkan perhatian serius dari pemerintah sebut saja soal ancaman hukuman mati terhadap 345 WNI di Malaysia.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI M Jafar Hafsah menilai pernyataan Presiden SBY sama sekali bukanlah indikasi reshuflle. Jafar menegaskan pernyataan Presiden SBY wajar sebagai cermin bentuk ketegasan dan peringatan terhadap kinerja anak buahnya.
“Tujuannya agar lebih bekerja serius, baik, serta dapat menjawab tantangan masyarakat,” ujarnya ditemui seusai rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/8).
Lebih lanjut pengganti Anas Urbaningrum ini menyebutkan reshuffle bisa dilakukan jika merasa menteri tidak bisa lagi menjalankan tugas dengan baik. Menurut Jafar, presiden setiap saat bisa mengganti pembantunya. “Tapi itu bukan sinyal reshuffle. Itu hak prerogative presiden,” tambahnya.
Hal senada juga ditegaskan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Setya Novanto. Peringatan berupa teguran terhadap menteri merupakan hal yang wajar sebagai upaya untuk mendorong agar kinerja menteri lebih bagus.
“Evaluasi kinerja perlu. Tapi saya merasa Presiden SBY sangat bijak dalam melakukan evaluasi sehingga tidak mengharuskan perombakan kabinet,” ujarnya seraya menambahkan, perombakan kabinet merupakan hak prerogatif presiden.
Terkait kinerja menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diisi oleh kader Partai Golkar Fadel Muhammad, Setya menilai hingga saat ini dinilai memiliki kinerja bagus.
“Saudara Fadel tetap punya kapasitas dan integritas tinggi. Sebagai manusia wajar jika ada kesalahan. Tapi kami tetap menilai sebagai kader terbaik. Namun segala sesuatunya diserahkan ke presiden,” tandas Setya yang juga Bendahara Umum DPP Partai Golkar itu.
Sementara Wakil Sekjen DPP PKS Mahfudz Siddiq menilai bisa saja pernyataan presiden sebagai upaya untuk mengumpulkan data evaluasi terhadap para menterinya dalam satu tahun bekerja.
“Jadi menurut saya mungkin-mungkin saja (ada reshuffle), yang bertujuan menilai setahun menterinya. Sehingga mau reshuffle atau tidak tergantung nilai kumulatif menteri-menterinya,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mahfudz yang juga Ketua Komisi I DPR ini menegaskan wajar bila Presiden SBY gusar terhadap persoalan yang muncul akhir-akhir ini seperti penangkapan 3 staf KKP serta ancaman eksekusi 345 WNI di Malaysia. “Rata-rata opini publik mayoritas negatif. Jadi pernyataan Presiden SBY menjadi bagian dari kegusaran,” tambahnya.
Sementara Wakil Sekjen DPP PPP Muhammad Romahurmuziy menilai teguran presiden SBY kepada kinerja sejumlah menterinya bisa saja akan berimplikasi pada dua hal yakni sebagai upaya mendorong perbaikan kinerja menteri. “Atau sinyal pergantian kabinet,” katanya.
Romi menegaskan pergantian menteri merupakan kewenangan Presiden. Jika memang akan dilakukan perombakan kabinet, menurut Romi, tidak perlu memancing polemik di publik serta memunculkan dramatisasi dalam proses pergantiannya.
“Pergantian menteri merupakan sepenuhnya otoritas presiden. Ganti saja kapanpun jika merasa tidak sreg. Tidak perlu meminjam tenaga publik untuk menghantam anakbuahnya sendiri. Karena dari sisi kepemimpinan tidak bagus,” tandas Romi. [mdr]
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta - Presiden SBY memberi sinyal akan melakukan perombakan kabinet. Hal ini mencuat saat pembukaan rapat kabinet. SBY menyebut beberapa isu aktual yang memancing perhatian publik seharusnya ditanggapi bukan malah sembunyi. Inikah sinyalemen Presiden akan merombak kabinet?
Pernyataan Presiden SBY agar para menterinya merespon isu aktual tak ubahnya menjadi sinyal awal melakukan perombakan kabinet. Beberapa isu penting yang sempat disinggung presiden yakni soal kontroversi grasi dan remisi, penangkapan nelayan Indonesia oleh Malaysia dan rekening tak wajar sejumlah petinggi Polri.
Selain isu tersebut, sejatinya beberapa persoalan yang muncul di publik juga membutuhkan perhatian serius dari pemerintah sebut saja soal ancaman hukuman mati terhadap 345 WNI di Malaysia.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI M Jafar Hafsah menilai pernyataan Presiden SBY sama sekali bukanlah indikasi reshuflle. Jafar menegaskan pernyataan Presiden SBY wajar sebagai cermin bentuk ketegasan dan peringatan terhadap kinerja anak buahnya.
“Tujuannya agar lebih bekerja serius, baik, serta dapat menjawab tantangan masyarakat,” ujarnya ditemui seusai rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/8).
Lebih lanjut pengganti Anas Urbaningrum ini menyebutkan reshuffle bisa dilakukan jika merasa menteri tidak bisa lagi menjalankan tugas dengan baik. Menurut Jafar, presiden setiap saat bisa mengganti pembantunya. “Tapi itu bukan sinyal reshuffle. Itu hak prerogative presiden,” tambahnya.
Hal senada juga ditegaskan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Setya Novanto. Peringatan berupa teguran terhadap menteri merupakan hal yang wajar sebagai upaya untuk mendorong agar kinerja menteri lebih bagus.
“Evaluasi kinerja perlu. Tapi saya merasa Presiden SBY sangat bijak dalam melakukan evaluasi sehingga tidak mengharuskan perombakan kabinet,” ujarnya seraya menambahkan, perombakan kabinet merupakan hak prerogatif presiden.
Terkait kinerja menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diisi oleh kader Partai Golkar Fadel Muhammad, Setya menilai hingga saat ini dinilai memiliki kinerja bagus.
“Saudara Fadel tetap punya kapasitas dan integritas tinggi. Sebagai manusia wajar jika ada kesalahan. Tapi kami tetap menilai sebagai kader terbaik. Namun segala sesuatunya diserahkan ke presiden,” tandas Setya yang juga Bendahara Umum DPP Partai Golkar itu.
Sementara Wakil Sekjen DPP PKS Mahfudz Siddiq menilai bisa saja pernyataan presiden sebagai upaya untuk mengumpulkan data evaluasi terhadap para menterinya dalam satu tahun bekerja.
“Jadi menurut saya mungkin-mungkin saja (ada reshuffle), yang bertujuan menilai setahun menterinya. Sehingga mau reshuffle atau tidak tergantung nilai kumulatif menteri-menterinya,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mahfudz yang juga Ketua Komisi I DPR ini menegaskan wajar bila Presiden SBY gusar terhadap persoalan yang muncul akhir-akhir ini seperti penangkapan 3 staf KKP serta ancaman eksekusi 345 WNI di Malaysia. “Rata-rata opini publik mayoritas negatif. Jadi pernyataan Presiden SBY menjadi bagian dari kegusaran,” tambahnya.
Sementara Wakil Sekjen DPP PPP Muhammad Romahurmuziy menilai teguran presiden SBY kepada kinerja sejumlah menterinya bisa saja akan berimplikasi pada dua hal yakni sebagai upaya mendorong perbaikan kinerja menteri. “Atau sinyal pergantian kabinet,” katanya.
Romi menegaskan pergantian menteri merupakan kewenangan Presiden. Jika memang akan dilakukan perombakan kabinet, menurut Romi, tidak perlu memancing polemik di publik serta memunculkan dramatisasi dalam proses pergantiannya.
“Pergantian menteri merupakan sepenuhnya otoritas presiden. Ganti saja kapanpun jika merasa tidak sreg. Tidak perlu meminjam tenaga publik untuk menghantam anakbuahnya sendiri. Karena dari sisi kepemimpinan tidak bagus,” tandas Romi. [mdr]
Marty "Saya Tidak Lembek"
12 WNI di Arab Saudi Terancam Hukuman Mati
Jakarta. Pelita
Selain 354 orang warga negara Indonesia (WNI) yang siap digantung di Malaysia, temyata 12 WNI lainnya di Arab Saudi juga menghadapi kasus yang sama.
Menurut Menkumham Patrialis Akbar, untuk verifikasi dan memberikan bantuan hukum, dirinya akan segera berangkat ke Arab Saudi, dan kemungkinan mekanisme yang akan dimanfaatkan adalah kerjasama mutual legal assistance.
"Saya akan berangkat setelah Idul Fitri. Target kita tentu mereka bebas. Karena kejadiannya di Saudi, maka hukum Saudi yang berlaku dan kita tidak bisa intervensi prosesnya.jelas Patrialis.
Belum Jelas dalam kasus apa saja para WNI itu sehingga terjerat hukuman mati. Namun, menurut Patrialis, umumnya karena kasus pembunuhan, malah korbannya ada yang WNI sendiri.
Sebelumnya, saat membuka rapat kabinet paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar instansi terkait memperjuangkan nasib 345 WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia.
Hal itu disampaikan Presiden setelah sebelumnya banyak pihak melemparkan kritik keras kepada pemerintah yang tidak serius dalam memberikan bantuan hukum bagi para WNI itu.
"Saya mau ini diurus secara gigih. Saya tidak mau bila ada perlakuan tidak adil dalam proses hukum yang dilakukan sepenuhnya oleh Malaysia." kata Presiden Yudhoyono. ;
Dia menegaskan, pemeriri-tah akan terus memberikan bantuan hukum dan upaya diplomasi bagi para WNI tersebut. Tapi karena isu ini sudah muncul di mana-mana, maka Mri ih i agar cepat klarifikasi berapa jumlah sebenarnya." terangnya.
Menurut Presiden. Indonesia juga sering menjatuhkan vonis mati kepada WNA. dan dirinya sering sekali diminta oleh kepala negara lain agar mengurangi hukuman.
"Maka kita juga akan menempuh upaya itu. Tapi tetap menghormati sistem hukum berlaku di sana, seperti mere-ka juga hormati sistem hukum di negara kita," tutupnya.
Sementara Ketua DPR Marzuki Alle berpendapat, ancam- an hukuman mati yang dihadapi WNI di Malaysia karena kesalahannya sendiri, itu sebabnya pemerintah tidak bisa intervensi dengan meminta membebaskan WNI bermasalah tersebut.
"Kita bicara negara, itu sistem yang berjalan, kalau di sana ada hukuman mati, apa kita bisa intervensi? Kita harus hargai hukum di negara orang dong." ujar Marzuki.
Menurut Marzuki, khusus WNI yang ketahuan membawa narkoba, hukum di Malaysia memang sudah mengatur hukuman mati. Agar tidak terjerat hukuman mati. WNI diimbau untuk mematuhi hukum tersebut
Minta., pengampunan
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah sendiri mendesak Presiden Yudhoyono untuk meminta pengampunan kepada Malaysia. "Satu-satunya cara adalah memilih prioritas bagaimana Pak SBY secara langsung meminta permohonan pengampunan." katanya.
Anis menambahkan. 345 TKI yang divonis mati berdasarkan data LSM. Kemlu, dan Interpol itu terakumulasi sejak tahun 1990-an dan meningkat pada tahun 1997-1998.
Sementara Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan vonis mati yang menjerat TKI itu rata-rata karena kasus narkoba dan pembunuhan. Seba-gian besar, sekitar 250-an TKI berasal dari Aceh yang dulu menjual ganja di luar negeri untuk kepentingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Agak susah karena secara legal Indonesia masih ada hukuman mati, mungkin (pemerintah) malu kalau bikin pembelaan penjual narkoba." kata Haris.
Pemprov Aceh dan para napi itu. imbuhnya, sudah melakukan diplomasi kecil-kecilan dengan mengirimkan surat ke Presiden. KBRI Malaysia hingga ke Pemerintah Malaysia.
Faktanya hari Ini 345 jum-lahnya, bukan kasuistis lagi tapi sistematis. Ini butuh diplomasi tingkat tinggi." ujar Haris. Bantah lembek
Sementara itu. Selasa (24/ 8) hari ini. Komisi I DPR RI akan memanggil Menlu Marty Natalegawa terkait sejumlah isu khususnya soal hubungan dengan Malaysia yang memanas akhir-akhir ini. termasuk kasus "penculikan" pejabat DKP Indonesia.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menjelaskan, selain memanggil Marty Natalegwa. DPR juga akan memanggil tiga orang petugas DKP yang di-tangkap polisi Malaysia.
Secara terpisah. Menlu Marty Natalegawa menolak dikatakan terlalu lembek dalam diplomasi menghadapi Malaysia. Marty mengaku hanya bisa bekerja keras dalam menyelesaikan masalah itu.
Marty tidak mengetahui penilaian lemah atau tidaknya diplomasi yang dia jalani dalam kasus penangkapan petugas DKP Kepri oleh Malaysia.
"Begini ya, saya tidak tahu bagaimana kita mendefinisikan lemah atau tidak." kata mantan Dubes RI untuk Inggris ini. (cr-14/jon)
Jakarta. Pelita
Selain 354 orang warga negara Indonesia (WNI) yang siap digantung di Malaysia, temyata 12 WNI lainnya di Arab Saudi juga menghadapi kasus yang sama.
Menurut Menkumham Patrialis Akbar, untuk verifikasi dan memberikan bantuan hukum, dirinya akan segera berangkat ke Arab Saudi, dan kemungkinan mekanisme yang akan dimanfaatkan adalah kerjasama mutual legal assistance.
"Saya akan berangkat setelah Idul Fitri. Target kita tentu mereka bebas. Karena kejadiannya di Saudi, maka hukum Saudi yang berlaku dan kita tidak bisa intervensi prosesnya.jelas Patrialis.
Belum Jelas dalam kasus apa saja para WNI itu sehingga terjerat hukuman mati. Namun, menurut Patrialis, umumnya karena kasus pembunuhan, malah korbannya ada yang WNI sendiri.
Sebelumnya, saat membuka rapat kabinet paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar instansi terkait memperjuangkan nasib 345 WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia.
Hal itu disampaikan Presiden setelah sebelumnya banyak pihak melemparkan kritik keras kepada pemerintah yang tidak serius dalam memberikan bantuan hukum bagi para WNI itu.
"Saya mau ini diurus secara gigih. Saya tidak mau bila ada perlakuan tidak adil dalam proses hukum yang dilakukan sepenuhnya oleh Malaysia." kata Presiden Yudhoyono. ;
Dia menegaskan, pemeriri-tah akan terus memberikan bantuan hukum dan upaya diplomasi bagi para WNI tersebut. Tapi karena isu ini sudah muncul di mana-mana, maka Mri ih i agar cepat klarifikasi berapa jumlah sebenarnya." terangnya.
Menurut Presiden. Indonesia juga sering menjatuhkan vonis mati kepada WNA. dan dirinya sering sekali diminta oleh kepala negara lain agar mengurangi hukuman.
"Maka kita juga akan menempuh upaya itu. Tapi tetap menghormati sistem hukum berlaku di sana, seperti mere-ka juga hormati sistem hukum di negara kita," tutupnya.
Sementara Ketua DPR Marzuki Alle berpendapat, ancam- an hukuman mati yang dihadapi WNI di Malaysia karena kesalahannya sendiri, itu sebabnya pemerintah tidak bisa intervensi dengan meminta membebaskan WNI bermasalah tersebut.
"Kita bicara negara, itu sistem yang berjalan, kalau di sana ada hukuman mati, apa kita bisa intervensi? Kita harus hargai hukum di negara orang dong." ujar Marzuki.
Menurut Marzuki, khusus WNI yang ketahuan membawa narkoba, hukum di Malaysia memang sudah mengatur hukuman mati. Agar tidak terjerat hukuman mati. WNI diimbau untuk mematuhi hukum tersebut
Minta., pengampunan
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah sendiri mendesak Presiden Yudhoyono untuk meminta pengampunan kepada Malaysia. "Satu-satunya cara adalah memilih prioritas bagaimana Pak SBY secara langsung meminta permohonan pengampunan." katanya.
Anis menambahkan. 345 TKI yang divonis mati berdasarkan data LSM. Kemlu, dan Interpol itu terakumulasi sejak tahun 1990-an dan meningkat pada tahun 1997-1998.
Sementara Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan vonis mati yang menjerat TKI itu rata-rata karena kasus narkoba dan pembunuhan. Seba-gian besar, sekitar 250-an TKI berasal dari Aceh yang dulu menjual ganja di luar negeri untuk kepentingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Agak susah karena secara legal Indonesia masih ada hukuman mati, mungkin (pemerintah) malu kalau bikin pembelaan penjual narkoba." kata Haris.
Pemprov Aceh dan para napi itu. imbuhnya, sudah melakukan diplomasi kecil-kecilan dengan mengirimkan surat ke Presiden. KBRI Malaysia hingga ke Pemerintah Malaysia.
Faktanya hari Ini 345 jum-lahnya, bukan kasuistis lagi tapi sistematis. Ini butuh diplomasi tingkat tinggi." ujar Haris. Bantah lembek
Sementara itu. Selasa (24/ 8) hari ini. Komisi I DPR RI akan memanggil Menlu Marty Natalegawa terkait sejumlah isu khususnya soal hubungan dengan Malaysia yang memanas akhir-akhir ini. termasuk kasus "penculikan" pejabat DKP Indonesia.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menjelaskan, selain memanggil Marty Natalegwa. DPR juga akan memanggil tiga orang petugas DKP yang di-tangkap polisi Malaysia.
Secara terpisah. Menlu Marty Natalegawa menolak dikatakan terlalu lembek dalam diplomasi menghadapi Malaysia. Marty mengaku hanya bisa bekerja keras dalam menyelesaikan masalah itu.
Marty tidak mengetahui penilaian lemah atau tidaknya diplomasi yang dia jalani dalam kasus penangkapan petugas DKP Kepri oleh Malaysia.
"Begini ya, saya tidak tahu bagaimana kita mendefinisikan lemah atau tidak." kata mantan Dubes RI untuk Inggris ini. (cr-14/jon)
Label:
Komisi 1: Luar negri,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Mahfudz Kecewa dengan Tiga Lembaga Penegak Hukum
Selasa, 24 Agustus 2010 , 15:10:00
Dianggap Tak Punya Itikad Baik
JAKARTA - Anggota Tim Pengawas (Timwas) skandal dana talangan Bank Century Mahfudz Siddiq, mengaku kecewa atas pembatalan pertemuan tiga lembaga penegak hukum (KPK, kepolisian dan kejaksaan), guna menyampaikan progress report penyelesaian hukum kasus Bank Century.
"Dari jauh-jauh hari sudah dirancang dan disetujui, bahwa besok (Rabu 25/8, Red) adalah jadwal rapat bersama antara KPK, kepolisian dan kejaksaan, dengan Timwas DPR. Anehnya, laporan tertulis hingga saat ini belum masuk," kata Mahfudz, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/8).
Menurut Mahfudz, belum masuknya progress report ini sangat mengecewakan. Pasalnya katanya, ujung-ujungnya pertemuan tiga lembaga penegak hukum tersebut dengan sendirinya tidak akan terselenggara sebagaimana yang telah direncanakan.
"Kalau saja tiga lembaga penegak hukum itu punya itikad baik, akan lebih bermanfaat apabila ketiganya minimal bisa menyampaikan laporan tertulis. (Tapi) yang terjadi sebaliknya. Laporan tidak masuk, pihak mereka juga tidak bisa datang," ujar Mahfudz, yang juga adalah Ketua Komisi I DPR RI itu.
"Sepertinya mereka sedang kebingungan menyelesaikan kasus ini. Ditambah lagi mereka sendiri sedang sibuk dengan perkara internal mereka. Kalau lembaga hukum bingung, penyelesaiannya bisa nggak jelas," tandasnya.
Padahal, kata Mahfud lagi, tiga lembaga penegak hukum itu telah berjanji untuk menyampaikan progress report dalam waktu dua bulan. Dan pada saat itu pula, Timwas Century akan melakukan uji silang. "Sampai kemarin saya memperoleh informasi, KPK berhalangan hadir karena ada sosialisasi di kantornya. Kapolri juga berhalangan. Kejaksaan Agung tidak tahu," tegasnya. (fas/jpnn)
Dianggap Tak Punya Itikad Baik
JAKARTA - Anggota Tim Pengawas (Timwas) skandal dana talangan Bank Century Mahfudz Siddiq, mengaku kecewa atas pembatalan pertemuan tiga lembaga penegak hukum (KPK, kepolisian dan kejaksaan), guna menyampaikan progress report penyelesaian hukum kasus Bank Century.
"Dari jauh-jauh hari sudah dirancang dan disetujui, bahwa besok (Rabu 25/8, Red) adalah jadwal rapat bersama antara KPK, kepolisian dan kejaksaan, dengan Timwas DPR. Anehnya, laporan tertulis hingga saat ini belum masuk," kata Mahfudz, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/8).
Menurut Mahfudz, belum masuknya progress report ini sangat mengecewakan. Pasalnya katanya, ujung-ujungnya pertemuan tiga lembaga penegak hukum tersebut dengan sendirinya tidak akan terselenggara sebagaimana yang telah direncanakan.
"Kalau saja tiga lembaga penegak hukum itu punya itikad baik, akan lebih bermanfaat apabila ketiganya minimal bisa menyampaikan laporan tertulis. (Tapi) yang terjadi sebaliknya. Laporan tidak masuk, pihak mereka juga tidak bisa datang," ujar Mahfudz, yang juga adalah Ketua Komisi I DPR RI itu.
"Sepertinya mereka sedang kebingungan menyelesaikan kasus ini. Ditambah lagi mereka sendiri sedang sibuk dengan perkara internal mereka. Kalau lembaga hukum bingung, penyelesaiannya bisa nggak jelas," tandasnya.
Padahal, kata Mahfud lagi, tiga lembaga penegak hukum itu telah berjanji untuk menyampaikan progress report dalam waktu dua bulan. Dan pada saat itu pula, Timwas Century akan melakukan uji silang. "Sampai kemarin saya memperoleh informasi, KPK berhalangan hadir karena ada sosialisasi di kantornya. Kapolri juga berhalangan. Kejaksaan Agung tidak tahu," tegasnya. (fas/jpnn)
Label:
Angket Bank Century,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Tuesday, August 24, 2010
Komisi I Tak Target Interpelasi Kasus Bintan
"Posisi Komisi I adalah mencari kejelasan informasi dan duduk perkara."
Senin, 23 Agustus 2010, 16:27 WIB
VIVAnews - Penangkapan petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh patroli Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Bintan, beberapa waktu lalu, menyisakan kejengkelan dan kegeraman bagi sebagian kalangan. Sejumlah anggota DPR pun mulai menggulirkan usul hak interpelasi (hak bertanya) kepada pemerintah terkait insiden Bintan tersebut.
Namun Ketua Komisi I DPR yang membidangi pertahanan keamanan dan hubungan luar negeri, Mahfudz Siddiq, menegaskan bahwa Komisi I tidak membidik hak interpelasi dalam soal Bintan.
"Tidak (ke sana arahnya). Posisi Komisi I adalah mencari kejelasan informasi dan duduk perkara (tentang insiden Bintan)," kata Mahfudz Siddiq di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 23 Agustus 2010. Menurutnya, klarifikasi mutlak diperlukan karena banyaknya versi cerita dan isu yang berkembang seputar insiden itu.
Oleh karena itu, kata Mahfudz, Komisi I tetap akan menunggu penjelasan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa terkait insiden Bintan, termasuk bagaimana Kementerian Luar Negeri menyelesaikan kendala-kendala teknis terkait insiden tersebut melalui jalur diplomasi.
Secara terpisah, Ketua DPR Marzuki Alie juga tidak sepakat apabila hak interpelasi digulirkan tanpa terlebih dahulu mendengarkan penjelasan Menlu. "Minta penjelasan Menlu dulu. Masak tiba-tiba interpelasi. Masalah perbatasan harus dilihat secara jelas," kata Marzuki.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sebelumnya juga menegaskan tak mendukung interpelasi atas insiden Bintan. Menurut PPP, yang diperlukan kebijakan nyata dalam bentuk penganggaran.
"Dalam Insiden Tanjung Berakit, Bintan, bukan interpelasi yang diperlukan. Insiden itu disebabkan karena nir-eksistensi sarana dan prasarana," kata Sekretaris Fraksi PPP M Romahurmuziy.
"Karenanya, yang dibutuhkan adalah keberpihakan dan dukungan anggaran seluruh pemangku kepentingan, baik di eksekutif maupun legislatif," ujarnya secara tertulis ke VIVAnews, Senin 23 Agustus 2010. (umi)
• VIVAnews
Senin, 23 Agustus 2010, 16:27 WIB
VIVAnews - Penangkapan petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh patroli Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Bintan, beberapa waktu lalu, menyisakan kejengkelan dan kegeraman bagi sebagian kalangan. Sejumlah anggota DPR pun mulai menggulirkan usul hak interpelasi (hak bertanya) kepada pemerintah terkait insiden Bintan tersebut.
Namun Ketua Komisi I DPR yang membidangi pertahanan keamanan dan hubungan luar negeri, Mahfudz Siddiq, menegaskan bahwa Komisi I tidak membidik hak interpelasi dalam soal Bintan.
"Tidak (ke sana arahnya). Posisi Komisi I adalah mencari kejelasan informasi dan duduk perkara (tentang insiden Bintan)," kata Mahfudz Siddiq di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 23 Agustus 2010. Menurutnya, klarifikasi mutlak diperlukan karena banyaknya versi cerita dan isu yang berkembang seputar insiden itu.
Oleh karena itu, kata Mahfudz, Komisi I tetap akan menunggu penjelasan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa terkait insiden Bintan, termasuk bagaimana Kementerian Luar Negeri menyelesaikan kendala-kendala teknis terkait insiden tersebut melalui jalur diplomasi.
Secara terpisah, Ketua DPR Marzuki Alie juga tidak sepakat apabila hak interpelasi digulirkan tanpa terlebih dahulu mendengarkan penjelasan Menlu. "Minta penjelasan Menlu dulu. Masak tiba-tiba interpelasi. Masalah perbatasan harus dilihat secara jelas," kata Marzuki.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sebelumnya juga menegaskan tak mendukung interpelasi atas insiden Bintan. Menurut PPP, yang diperlukan kebijakan nyata dalam bentuk penganggaran.
"Dalam Insiden Tanjung Berakit, Bintan, bukan interpelasi yang diperlukan. Insiden itu disebabkan karena nir-eksistensi sarana dan prasarana," kata Sekretaris Fraksi PPP M Romahurmuziy.
"Karenanya, yang dibutuhkan adalah keberpihakan dan dukungan anggaran seluruh pemangku kepentingan, baik di eksekutif maupun legislatif," ujarnya secara tertulis ke VIVAnews, Senin 23 Agustus 2010. (umi)
• VIVAnews
DPR akan Panggil Menlu Marty Terkait Malaysia
Senin, 23/08/2010 16:45 WIB
Fajar - detikNews
Jakarta - Komisi I DPR akan memangil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa terkait masalah penangkapan petugas DKP oleh kepolisian Malaysia. Komisi I ingin mengetahui detil persoalan itu sehingga tidak terlulang lagi.
"Kita akan minta penjelasan seputar penculikan mereka (petugas DKP). Kita juga ingin mendorong ketegasan Menlu dalam diplomasinya terhadap Malaysia," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Mahfudz menjelaskan, selain memanggil Marty Natalegwa, DPR juga akan memanggil tiga orang petugas DKP yang ditangkap polisi Malaysia.
"Kita panggil tiga petugas DKP Kepri, Selasa besok. Setelah itu kita rapat dengan Menlu, kalau bisa Selasa sore atau malam," katanya.
Namun jika pertanyaan kepada 3 petugas memakan waktu seharian, Menlu akan dipanggil pada hari Rabu. "Kalau tidak bisa, ya Rabu. Yang jelas kita akan melakukan pemanggilan," tutupnya.
Fajar - detikNews
Jakarta - Komisi I DPR akan memangil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa terkait masalah penangkapan petugas DKP oleh kepolisian Malaysia. Komisi I ingin mengetahui detil persoalan itu sehingga tidak terlulang lagi.
"Kita akan minta penjelasan seputar penculikan mereka (petugas DKP). Kita juga ingin mendorong ketegasan Menlu dalam diplomasinya terhadap Malaysia," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Mahfudz menjelaskan, selain memanggil Marty Natalegwa, DPR juga akan memanggil tiga orang petugas DKP yang ditangkap polisi Malaysia.
"Kita panggil tiga petugas DKP Kepri, Selasa besok. Setelah itu kita rapat dengan Menlu, kalau bisa Selasa sore atau malam," katanya.
Namun jika pertanyaan kepada 3 petugas memakan waktu seharian, Menlu akan dipanggil pada hari Rabu. "Kalau tidak bisa, ya Rabu. Yang jelas kita akan melakukan pemanggilan," tutupnya.
DPR Panggil Menlu
Hubungan Ri-Malaysia
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Senin, 23 Agustus 2010 | 13:57 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pertahanan dan Luar Negeri (Komisi I) DPR menjadwalkan rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri pada Selasa (24/8/2010) besok. Rapat akan secara khusus membahas persoalan hubungan Indonesia dan Malaysia yang memanas dalam dua pekan terakhir.
Penangkapan tiga pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia dinilai sebagai persoalan yang serius. "Besok kami mengundang Kementerian Luar Negeri dan tengah mengupayakan juga menghadirkan tiga petugas KKP agar mendapat penjelasan dari keduanya," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, seusai rapat internal komisi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Pemerintah harus mampu menjelaskan upaya diplomasi yang telah dilakukannya. Sebab, dalam kasus dengan Malaysia, pemerintah dinilai memiliki posisi yang lemah. "Secara makro, kasus ini harus jadi momentum untuk membedah masalah kebijakan dan manajemen pengelolaan daerah perbatasan," ujar anggota Fraksi PKS ini.
Ke depannya, akan dibahas apakah perlu dibentuk panitia kerja khusus yang membahas wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Sedangkan secara mikro, Dewan berpandangan kasus dengan Malaysia harus dituntaskan.
Mengenai adanya wacana interpelasi terkait sikap pemerintah terhadap Malaysia, Mahfudz mengatakan, tak perlu direspons terburu-buru. DPR dalam posisi mengumpulkan berbagai informasi mengenai peristiwa itu.
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Senin, 23 Agustus 2010 | 13:57 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pertahanan dan Luar Negeri (Komisi I) DPR menjadwalkan rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri pada Selasa (24/8/2010) besok. Rapat akan secara khusus membahas persoalan hubungan Indonesia dan Malaysia yang memanas dalam dua pekan terakhir.
Penangkapan tiga pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia dinilai sebagai persoalan yang serius. "Besok kami mengundang Kementerian Luar Negeri dan tengah mengupayakan juga menghadirkan tiga petugas KKP agar mendapat penjelasan dari keduanya," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, seusai rapat internal komisi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Pemerintah harus mampu menjelaskan upaya diplomasi yang telah dilakukannya. Sebab, dalam kasus dengan Malaysia, pemerintah dinilai memiliki posisi yang lemah. "Secara makro, kasus ini harus jadi momentum untuk membedah masalah kebijakan dan manajemen pengelolaan daerah perbatasan," ujar anggota Fraksi PKS ini.
Ke depannya, akan dibahas apakah perlu dibentuk panitia kerja khusus yang membahas wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Sedangkan secara mikro, Dewan berpandangan kasus dengan Malaysia harus dituntaskan.
Mengenai adanya wacana interpelasi terkait sikap pemerintah terhadap Malaysia, Mahfudz mengatakan, tak perlu direspons terburu-buru. DPR dalam posisi mengumpulkan berbagai informasi mengenai peristiwa itu.
SBY Diuji Ancaman Mati 345 WNI
24/08/2010 - 09:02
INILAH.COM, Jakarta – Komitmen Presiden SBY melindungi warga negaranya kembali diuji. Sedikitnya 345 WNI terancam hukuman mati di negeri jiran Malaysia. Komitmen pemerintah dipertaruhkan.
Pemerintahan SBY-Boediono dalam momentum hari Kemerdekaan RI ini benar-benar tengah diuji. Kali ini soal 345 WNI yang terancam hukuman mati. Tentu, informasi ini bukan sekadar berita biasa. Karena menyangkut nyawa WNI, kepekaan pemerintah menjadi keniscayaan.
Sebelumnya, LSM Migrant Care, Kontras, dan Infid merilis sebanyak 345 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Informasi ini jelas menambah deretan panjang, betapa WNI di mata negeri Jiran Malaysia benar-benar menjadi warga kelas dua.
Terkait informasi tentang 345 WNI yang terancam eksekusi mati, Presiden SBY menegaskan agar persoalan tersebut mendapat keadilan dalam proses hukum. Presiden menginginkan agar persoalan ini diurus secara maksimal.
“Saya mau ini diurus secara gigih. Saya tidak mau bila ada perlakuan tidak adil dalam proses hukum yang dilakukan sepenuhnya oleh Malaysia,” katanya saat membuka rapat kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (23/8).
Meski demikian, Presiden meminta Kementerian Luar Negeri melakukan klarifikasi atas informasi yang terlanjur keluar ke publik. Selain itu, Presiden menegaskan, pemerintah akan terus memberikan bantuan hukum dan upaya diplomasi. “Tapi karena isu ini sudah muncul, Menlu agar cepat mengklarifikasi berapa jumlah sebenarnya,” tandas Presiden.
Sementara Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku kecewa terhadap kinerja beberapa menteri terkait persoalan yang muncul di Malaysia terhadap para WNI khususnya yang terancam hukuman mati. “Saya kecewa dengan langkah yang tidak membangkitkan kebanggaan bangsa,” tegasnya di Gedung DPR Jakarta.
Ia menyebutkan, tiga kementerian dinilai bertanggungjawab atas munculnya kejadian di Malaysia yakni Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Menlu, Menhan, dan Menakretrans yang salah,” ujarnya.
Ia pun menegaskan ke depan agar menempatkan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia memiliki sosok dengan tingkat nasionalisme yang sangat ultra. Menurut dia, sosok itu yang mampu bertindak secara cepat. “Bukannya Dubes yang sekarang tidak ultra, tapi kita butuh yang cepat bertindak,” ketusnya.
Sementara Komisi I DPR dalam waktu dekat berencana memanggil Menteri Luar Negeri dan akan mempertanyakan informasi tentang 345 WNI yang terancam hukuman mati. “Akan kita tanyakan ke Kemenlu,” ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq.
Komisi I, kata Mahfudz, akan mempertanyakan apa saja yang dilakukan KBRI di Malaysia, termasuk Konsulat Jenderal (Konjen) di Johor, serta apa saja yang dilakukan Kemenlu terkait kasus ini.
“Hal ini akan kita tanyakan. Saya kira akan berkembang banyak masukan dari komisi I DPR,” cetus Mahfudz yang menggantikan Kemal Aziz Stanboel ini sebagai Ketua Komisi.
Sementara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar membantah jika terdapat 345 WNI yang terancam hukuman mati. Ia menyebutkan, hanya 24 WNI yang bakal terancam hukuman mati di Malaysia. “Baru saja kita update data, ada sekitar 24 WNI yang akan dieksekusi mati,” ujarnya di Kantor Presiden.
Belajar dari kasus sebelumnya terkait penangkapan tiga staf Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP) yang banyak mendapat gugatan publik, seharusnya pemerintah bersikap cepat dan tepat dalam menangani rencana eksekusi mati terhadap 345 WNI. [mdr]
INILAH.COM, Jakarta – Komitmen Presiden SBY melindungi warga negaranya kembali diuji. Sedikitnya 345 WNI terancam hukuman mati di negeri jiran Malaysia. Komitmen pemerintah dipertaruhkan.
Pemerintahan SBY-Boediono dalam momentum hari Kemerdekaan RI ini benar-benar tengah diuji. Kali ini soal 345 WNI yang terancam hukuman mati. Tentu, informasi ini bukan sekadar berita biasa. Karena menyangkut nyawa WNI, kepekaan pemerintah menjadi keniscayaan.
Sebelumnya, LSM Migrant Care, Kontras, dan Infid merilis sebanyak 345 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Informasi ini jelas menambah deretan panjang, betapa WNI di mata negeri Jiran Malaysia benar-benar menjadi warga kelas dua.
Terkait informasi tentang 345 WNI yang terancam eksekusi mati, Presiden SBY menegaskan agar persoalan tersebut mendapat keadilan dalam proses hukum. Presiden menginginkan agar persoalan ini diurus secara maksimal.
“Saya mau ini diurus secara gigih. Saya tidak mau bila ada perlakuan tidak adil dalam proses hukum yang dilakukan sepenuhnya oleh Malaysia,” katanya saat membuka rapat kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (23/8).
Meski demikian, Presiden meminta Kementerian Luar Negeri melakukan klarifikasi atas informasi yang terlanjur keluar ke publik. Selain itu, Presiden menegaskan, pemerintah akan terus memberikan bantuan hukum dan upaya diplomasi. “Tapi karena isu ini sudah muncul, Menlu agar cepat mengklarifikasi berapa jumlah sebenarnya,” tandas Presiden.
Sementara Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku kecewa terhadap kinerja beberapa menteri terkait persoalan yang muncul di Malaysia terhadap para WNI khususnya yang terancam hukuman mati. “Saya kecewa dengan langkah yang tidak membangkitkan kebanggaan bangsa,” tegasnya di Gedung DPR Jakarta.
Ia menyebutkan, tiga kementerian dinilai bertanggungjawab atas munculnya kejadian di Malaysia yakni Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Menlu, Menhan, dan Menakretrans yang salah,” ujarnya.
Ia pun menegaskan ke depan agar menempatkan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia memiliki sosok dengan tingkat nasionalisme yang sangat ultra. Menurut dia, sosok itu yang mampu bertindak secara cepat. “Bukannya Dubes yang sekarang tidak ultra, tapi kita butuh yang cepat bertindak,” ketusnya.
Sementara Komisi I DPR dalam waktu dekat berencana memanggil Menteri Luar Negeri dan akan mempertanyakan informasi tentang 345 WNI yang terancam hukuman mati. “Akan kita tanyakan ke Kemenlu,” ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq.
Komisi I, kata Mahfudz, akan mempertanyakan apa saja yang dilakukan KBRI di Malaysia, termasuk Konsulat Jenderal (Konjen) di Johor, serta apa saja yang dilakukan Kemenlu terkait kasus ini.
“Hal ini akan kita tanyakan. Saya kira akan berkembang banyak masukan dari komisi I DPR,” cetus Mahfudz yang menggantikan Kemal Aziz Stanboel ini sebagai Ketua Komisi.
Sementara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar membantah jika terdapat 345 WNI yang terancam hukuman mati. Ia menyebutkan, hanya 24 WNI yang bakal terancam hukuman mati di Malaysia. “Baru saja kita update data, ada sekitar 24 WNI yang akan dieksekusi mati,” ujarnya di Kantor Presiden.
Belajar dari kasus sebelumnya terkait penangkapan tiga staf Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP) yang banyak mendapat gugatan publik, seharusnya pemerintah bersikap cepat dan tepat dalam menangani rencana eksekusi mati terhadap 345 WNI. [mdr]
Besok, Komisi I DPR Panggil Menlu Marty Natalegawa
Senin, 23 Agustus 2010 - 15:44 wi
Ferdinan - Okezone
JAKARTA - Komisi I DPR akan meminta keterangan dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa, besok. Komisi I akan membahas insiden ditangkapnya tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia oleh polisi Diraja Malaysia.
“Besok kita akan undang Menlu Marty Natalegawa untuk mengetahui secara persis kejadiannya seperti apa,” ujar Ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Mahfudz menilai, pemerintah bersikap lemah merespons insiden yang mencoreng kedaulatan Indonesia itu. “Mudah-mudahan Selasa besok jelas mengenai masalah perbatasan yang melibatkan banyak instansi tersebut,” tegasnya.
Politisi PKS ini berpendapat, kasus penangkapan tiga petugas DKP harus dijadikan tumpuan untuk mempercepat pembahasan aturan batas laut yang dimiliki Indonesia.
“Ini momentum mempertegas batas wilayah perairan Indonesia-Malaysia,” pungkasnya.
(lsi)
Ferdinan - Okezone
JAKARTA - Komisi I DPR akan meminta keterangan dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa, besok. Komisi I akan membahas insiden ditangkapnya tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia oleh polisi Diraja Malaysia.
“Besok kita akan undang Menlu Marty Natalegawa untuk mengetahui secara persis kejadiannya seperti apa,” ujar Ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Mahfudz menilai, pemerintah bersikap lemah merespons insiden yang mencoreng kedaulatan Indonesia itu. “Mudah-mudahan Selasa besok jelas mengenai masalah perbatasan yang melibatkan banyak instansi tersebut,” tegasnya.
Politisi PKS ini berpendapat, kasus penangkapan tiga petugas DKP harus dijadikan tumpuan untuk mempercepat pembahasan aturan batas laut yang dimiliki Indonesia.
“Ini momentum mempertegas batas wilayah perairan Indonesia-Malaysia,” pungkasnya.
(lsi)
Monday, August 23, 2010
Pemerintah Harusnya Ajukan Proses Hukum atas Penangkapan Petugas KKP
Rabu, 18 Agustus 2010, 10:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum atas penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) oleh petugas patroli Malaysia. Meski kemarin ketiganya sudah dilepas, bukan berarti pemerintah boleh berdiam diri menanggapi insiden tersebut.
Anggota Komisi I DPR, Mahfudz Shiddiq, mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum terhadap penangkapan tiga petugas KKP. Wasekjen PKS itu beralasan Malaysia sudah mengakui kalau penangkapan terjadi di perairan Indonesia. ''Kan Malaysia sudah mengakui masuk perairan Indonesia, ya harus diproses hukum,'' kata Mahfudz, Rabu (18/7). Bahkan, Mahfudz menganggap Malaysia bisa dituntut karena sudah melanggar ketertiban di negara lain.
Mahfudz menyesalkan pula pertukaran pelepasan petugas KKP dengan pelepasan nelayan Malaysia sebagai solusi dari insiden. Menurut Mahfudz, solusi barter hanya akan menjadi pola lanjutan yang berulang di kemudian hari. Padahal sepanjang tahun ini saja sudah terjadi lebih dari 10 insiden di perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Solusi itu juga membuat kedaulatan Indonesia terasa tidak jelas. ''Sementara faktanya ada tiga kesalahan Malaysia, pertama melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dua patrol Malaysia memasuki wilayah Indonesia, dan tiga mereka menembaki dan menyandera petugas patrol KKP,''’ tutur Mahfudz.
Red: Budi Raharjo
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum atas penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) oleh petugas patroli Malaysia. Meski kemarin ketiganya sudah dilepas, bukan berarti pemerintah boleh berdiam diri menanggapi insiden tersebut.
Anggota Komisi I DPR, Mahfudz Shiddiq, mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum terhadap penangkapan tiga petugas KKP. Wasekjen PKS itu beralasan Malaysia sudah mengakui kalau penangkapan terjadi di perairan Indonesia. ''Kan Malaysia sudah mengakui masuk perairan Indonesia, ya harus diproses hukum,'' kata Mahfudz, Rabu (18/7). Bahkan, Mahfudz menganggap Malaysia bisa dituntut karena sudah melanggar ketertiban di negara lain.
Mahfudz menyesalkan pula pertukaran pelepasan petugas KKP dengan pelepasan nelayan Malaysia sebagai solusi dari insiden. Menurut Mahfudz, solusi barter hanya akan menjadi pola lanjutan yang berulang di kemudian hari. Padahal sepanjang tahun ini saja sudah terjadi lebih dari 10 insiden di perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Solusi itu juga membuat kedaulatan Indonesia terasa tidak jelas. ''Sementara faktanya ada tiga kesalahan Malaysia, pertama melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dua patrol Malaysia memasuki wilayah Indonesia, dan tiga mereka menembaki dan menyandera petugas patrol KKP,''’ tutur Mahfudz.
Red: Budi Raharjo
DPR Geram TKI Ditawari Status Warga Negara Malaysia
MA Hailuki
(inilah.com/Agus Priatna)
INILAH.COM, Jakarta - Kalangan Komisi I DPR geram mendengar kabar TKI ditawari status warga negara oleh pemerintah Malaysia.
Anggota Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia melakukan pengecekan tentang informasi tersebut.
"KBRI harus segera cek, apa benar ada seperti itu. Apakah KTP itu cuma sekadar mendata atau untuk kewarganegaraan juga," ujar Mahfudz kepada INILAH.COM Sabtu (21/8).
Menurut politisi PKS ini, tidak dibenarkan jika TKI memiliki status warga negara ganda Indonesia dan Malaysia.
"Kalau cuma untuk mendata TKI sih tidak masalah tapi kalau untuk kepentingan politik itu tidak dibenarkan," ujar Mahfudz.
Pemberian Identity Card (IC) alias KTP dan status warga negara dari pemerintah Malaysia kepada para TKI dimaksudkan untuk tujuan politik.
Sebelumnya diberitakan, seorang TKI di Kuala Lumpur bernama Sulis mengatakan, pemerintah Malaysia menawari pembuatan KTP dan status warga negara kepada para TKI. Jika memiliki KTP Malaysia maka para TKI bisa menggunakan hak pilih mengikuti pemilihan raya atau pemilu di Malaysia.
"Jadi kita bisa ikut nyoblos seperti Pemilu di Indonesia begitu," ujar Sulis kepada INILAH.COM Minggu (21/8). [mah]
(inilah.com/Agus Priatna)
INILAH.COM, Jakarta - Kalangan Komisi I DPR geram mendengar kabar TKI ditawari status warga negara oleh pemerintah Malaysia.
Anggota Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia melakukan pengecekan tentang informasi tersebut.
"KBRI harus segera cek, apa benar ada seperti itu. Apakah KTP itu cuma sekadar mendata atau untuk kewarganegaraan juga," ujar Mahfudz kepada INILAH.COM Sabtu (21/8).
Menurut politisi PKS ini, tidak dibenarkan jika TKI memiliki status warga negara ganda Indonesia dan Malaysia.
"Kalau cuma untuk mendata TKI sih tidak masalah tapi kalau untuk kepentingan politik itu tidak dibenarkan," ujar Mahfudz.
Pemberian Identity Card (IC) alias KTP dan status warga negara dari pemerintah Malaysia kepada para TKI dimaksudkan untuk tujuan politik.
Sebelumnya diberitakan, seorang TKI di Kuala Lumpur bernama Sulis mengatakan, pemerintah Malaysia menawari pembuatan KTP dan status warga negara kepada para TKI. Jika memiliki KTP Malaysia maka para TKI bisa menggunakan hak pilih mengikuti pemilihan raya atau pemilu di Malaysia.
"Jadi kita bisa ikut nyoblos seperti Pemilu di Indonesia begitu," ujar Sulis kepada INILAH.COM Minggu (21/8). [mah]
Masyarakat Daerah Belum Paham Peranan Pers
Pembunuhan Wartawan MNC
MA Hailuki
(inilah.com/Agus Priatna)
INILAH.COM, Jakarta - Maraknya pembunuhan terhadap insan pers dikarenakan beberapa penyebab. Salah satunya belum pahamnya masyarakat tentang mekanisme pemberitaan.
Anggota Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan masyarakat perlu sosialisasi tentang mekanisme pemberitaan yang ada. Selain itu, budaya masyarakat juga belum bisa mengimbangi era keterbukaan pers saat ini.
"Masyarakat perlu disosialisasikan bahwa jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang, jika ada pemberitaan yang tidak tepat bisa diselesaikan sesuai mekanisme yang ada," ujar Mahfudz kepada INILAH.COM Sabtu (21/8).
Faktor penyebab lainnya menurut Mahfudz adalah lemahnya perlindungan aparat keamanan terhadap para jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan.
"Di sisi lain, pers juga perlu melakukan evaluasi dan meningkatkan profesionalitas agar tidak menimbulkan ekses di masyarakat," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Ridwan Salamun wartawan SUN TV (group MNC), Wilayah Tual Maluku Tenggara, tewas saat meliput tawuran warga, Sabtu (21/8). saat itu Ridwan sedang meliput bentrokan antara warga komplek Banda Eli dan warga dusun Mangun, Desa Fiditan, Tual. Salah satu kelompok warga yang bertikai mendatangi Ridwan dan mengroyoknya hingga tewas. [mah]
MA Hailuki
(inilah.com/Agus Priatna)
INILAH.COM, Jakarta - Maraknya pembunuhan terhadap insan pers dikarenakan beberapa penyebab. Salah satunya belum pahamnya masyarakat tentang mekanisme pemberitaan.
Anggota Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan masyarakat perlu sosialisasi tentang mekanisme pemberitaan yang ada. Selain itu, budaya masyarakat juga belum bisa mengimbangi era keterbukaan pers saat ini.
"Masyarakat perlu disosialisasikan bahwa jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang, jika ada pemberitaan yang tidak tepat bisa diselesaikan sesuai mekanisme yang ada," ujar Mahfudz kepada INILAH.COM Sabtu (21/8).
Faktor penyebab lainnya menurut Mahfudz adalah lemahnya perlindungan aparat keamanan terhadap para jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan.
"Di sisi lain, pers juga perlu melakukan evaluasi dan meningkatkan profesionalitas agar tidak menimbulkan ekses di masyarakat," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Ridwan Salamun wartawan SUN TV (group MNC), Wilayah Tual Maluku Tenggara, tewas saat meliput tawuran warga, Sabtu (21/8). saat itu Ridwan sedang meliput bentrokan antara warga komplek Banda Eli dan warga dusun Mangun, Desa Fiditan, Tual. Salah satu kelompok warga yang bertikai mendatangi Ridwan dan mengroyoknya hingga tewas. [mah]
Kegiatan Ilegal Perairan Rugikan Negara Ratusan Triliun
Sabtu, 21 Agustus 2010 14:16 WIB
Penulis : Mario Aristo
JAKARTA--MI: Nilai kegiatan ilegal dan penyelundupan melalui laut mencapai sekitar sepertempat nilai penerimaan negara 2011. Hal itu dinyatakan anggota Komisi I DPR asal fraksi Partai Keadilan Sosial Mahfudz Siddiq. Untuk itu, pemerintah diharapkan bertindak tegas dan merubah konsep pengawasan yang berpusat di darat menjadi di laut.
"Kerugian penangkapan ikan ilegal mencapai Rp40 triliun. Penyelundupan pasir Rp72 triliun, penyelundupan BBM (bahan bakar minyak) Rp50 triliun, dan aktivitas penyelundupan hasil pembalakan liar melalui laut Rp 30 triliun per tahunnya," ungkap Mahfudz dalam dialog bertajuk Indonesia-Malaysia, Serumpun Tapi Tak Rukun, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (21/8).
"Kalau dihitung-hitung, seperempat penerimaan negara dalam APBN bisa diraih melalui pengamanan kelautan kita," tambahnya.
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011, pemerintah menganggarkan penerimaan sebesar Rp1.086,4 triliun. Untuk itu menurutnya, Indonesia harus mempertegas orientasi reformasi pembangunannya, menjadi tidak hanya berkonsentrasi di daratan. Penyelesaian berbagai masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga juga mendesak untuk dilakukan karena sering menjadi pemicu konflik.
"Ubah ke sektor maritim. Kekayaan alam kita masih sangat besar untuk dimanfaatkan di sektor maritim," ujar Mahfudz. (Mar/OL-04)
Penulis : Mario Aristo
JAKARTA--MI: Nilai kegiatan ilegal dan penyelundupan melalui laut mencapai sekitar sepertempat nilai penerimaan negara 2011. Hal itu dinyatakan anggota Komisi I DPR asal fraksi Partai Keadilan Sosial Mahfudz Siddiq. Untuk itu, pemerintah diharapkan bertindak tegas dan merubah konsep pengawasan yang berpusat di darat menjadi di laut.
"Kerugian penangkapan ikan ilegal mencapai Rp40 triliun. Penyelundupan pasir Rp72 triliun, penyelundupan BBM (bahan bakar minyak) Rp50 triliun, dan aktivitas penyelundupan hasil pembalakan liar melalui laut Rp 30 triliun per tahunnya," ungkap Mahfudz dalam dialog bertajuk Indonesia-Malaysia, Serumpun Tapi Tak Rukun, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (21/8).
"Kalau dihitung-hitung, seperempat penerimaan negara dalam APBN bisa diraih melalui pengamanan kelautan kita," tambahnya.
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011, pemerintah menganggarkan penerimaan sebesar Rp1.086,4 triliun. Untuk itu menurutnya, Indonesia harus mempertegas orientasi reformasi pembangunannya, menjadi tidak hanya berkonsentrasi di daratan. Penyelesaian berbagai masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga juga mendesak untuk dilakukan karena sering menjadi pemicu konflik.
"Ubah ke sektor maritim. Kekayaan alam kita masih sangat besar untuk dimanfaatkan di sektor maritim," ujar Mahfudz. (Mar/OL-04)
Keamanan Laut Lemah Indonesia Merugi Rp 152 T
Tribunnews.com - Sabtu, 21 Agustus 2010 11:58 WIB
"Penyelundupan pasir kita dirugikan 72 triliun rupiah, penyelundupan BBM melalui laut negara rugi 50 triliun rupiah, Illegal Logging 30 triliun rupiah. Ini angka yang tidak main-main hampir seperempat APBN, "
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akibat lemahnya masalah keamanan di laut, Indonesia dirugikan sebesar Rp 152 triliun. Hal itu akibat adanya pengambilan sumber daya alam nusantara seperti illegal logging, penambangan pasir illegal dan penyelundupan BBM melalui laut.
"Penyelundupan pasir kita dirugikan 72 triliun rupiah, penyelundupan BBM melalui laut negara rugi 50 triliun rupiah, Illegal Logging 30 triliun rupiah. Ini angka yang tidak main-main hampir seperempat APBN, " ujar Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Siddiq saat acara diskusi polemik bertajuk "Serumpun Tapi Tak Rukun" di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (21/8/2010).
Karena itulah Mahfudz meminta masalah-masalah yang ada kaitannya dengan keamanan laut dan maritim harus dibenahi kembali.
Sementara itu, Direktur The National Maritim Institute, Siswanto Rusdi mengatakan, harus ada perubahan pola pemikiran, dimana selama ini banyak masyarakat yang berpikiran masalah daratan yang paling penting dari maritim.
"Harus ada perubahan pemikiran dari daratan ke maritim, " tandasnya.
Penulis : Willy_Widianto
Editor : johnson_simanjuntak
"Penyelundupan pasir kita dirugikan 72 triliun rupiah, penyelundupan BBM melalui laut negara rugi 50 triliun rupiah, Illegal Logging 30 triliun rupiah. Ini angka yang tidak main-main hampir seperempat APBN, "
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akibat lemahnya masalah keamanan di laut, Indonesia dirugikan sebesar Rp 152 triliun. Hal itu akibat adanya pengambilan sumber daya alam nusantara seperti illegal logging, penambangan pasir illegal dan penyelundupan BBM melalui laut.
"Penyelundupan pasir kita dirugikan 72 triliun rupiah, penyelundupan BBM melalui laut negara rugi 50 triliun rupiah, Illegal Logging 30 triliun rupiah. Ini angka yang tidak main-main hampir seperempat APBN, " ujar Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Siddiq saat acara diskusi polemik bertajuk "Serumpun Tapi Tak Rukun" di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (21/8/2010).
Karena itulah Mahfudz meminta masalah-masalah yang ada kaitannya dengan keamanan laut dan maritim harus dibenahi kembali.
Sementara itu, Direktur The National Maritim Institute, Siswanto Rusdi mengatakan, harus ada perubahan pola pemikiran, dimana selama ini banyak masyarakat yang berpikiran masalah daratan yang paling penting dari maritim.
"Harus ada perubahan pemikiran dari daratan ke maritim, " tandasnya.
Penulis : Willy_Widianto
Editor : johnson_simanjuntak
PKS: Indonesia Sudah Beri Celah Kepada Malaysia
Tribunnews.com - Selasa, 17 Agustus 2010 16:24 WIB
"Mestinya kalau pemerintah yakin pihak Malaysia yang salah, apakah itu nelayannya dan petugas patroli Malaysia yang salah, ya diproses secara hukum saja,"
Mahfudz Siddiq
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Barter tahanan antara tiga orang petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditangkap di perairan Indonesia, menurut anggota Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, berarti Indonesia telah memberi celah kepada Malaysia untuk melakukan hal yang serupa.
Meskipun menurut Mahfudz apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia demi kebaikan di bulan ramadhan tapi tidak menjamin kasus serupa tidak akan terulang lagi.
"Mestinya kalau pemerintah yakin pihak Malaysia yang salah, apakah itu nelayannya dan petugas patroli Malaysia yang salah, ya diproses secara hukum saja," jelas Mahfudz saat dihubungi wartawan, Selasa (17/8/2010).
Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia melepas tujuh nelayan Malaysia menurut politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, pemerintah Indonesia menunjukan toleransinya yaitu akan membuka celah terulangnya kasus-kasus serupa.
"Kewibawaan dan kedaulatan Indonesia semakin turun dengan kejadian kasus-kasus semacam ini," ujarnya.
Menurutnya Komisi I DPR RI harus mendorong melakukan RDP dengan pemerintah yang diwakili unsur TNI, Polisi, KKP, imigrasi, dan kehutanan serta instansi yang memiliki unit-unit patroli untuk menjalin koordinasi yang baik di wilayah perbatasan baik darat maupun laut sehingga kita bisa mengantisipasi sekecil mungkin terjadinya kasus-kasus illegal logging dan fishing.
Saat ditanya apakah maslah ini perseteruan Indonesia dan Malaysia sudah clear dengan dibebaskannya tujuh nelayan dan dibebaskan tiga petugas KKP, menurut Mahfudz hal tersebut masih patut dipertanyakan.
"Seharusnya itu tetap dipertanyakan, model penyelesaian masaalahnya seperti apa," imbuhnya.
Karena ini kejadian yang terus berulang dan toleransi yang ditunjukan oleh pemerintah Indonesia tidak akan banyak menyelesaikan persoalan, justru sebaliknya Malaysia akan semakin arogan.
"Bukan lagi provokasi bagi saya tapi konfrontasi," ucap Mahfudz.
Sebagai penyelesaiaan supaya tidak ada lagi kejadian serupa, maka pemerintah Indonesia harus melakukan pembicaraan dengan pemerintah Malaysia mengenai kejelasan atas batas wilayah laut dan darat yang selama ini sering dipersengketakan.
"Malaysai selalu berdalih bahwa pembicaraan perbatasan kedua negara baru akan dibicarakan kalau masalah mereka (Malaysia)dengan Singapura sudah selesai," lanjut Mahfudz.
Selain itu, menurutnya Indonesia perlu memperkuat koordinasi pengamanan wilayah perbatasan yang melibatkan TNI, polisi, imigrasi dan kelautan dan kehutanan.
"Saya usulkan pemanggilan Menlu dan pihak-pihak terkait pekan-pekan ini untuk menyelesaikan banyak persoalan," tukasnya.
"Mestinya kalau pemerintah yakin pihak Malaysia yang salah, apakah itu nelayannya dan petugas patroli Malaysia yang salah, ya diproses secara hukum saja,"
Mahfudz Siddiq
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Barter tahanan antara tiga orang petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditangkap di perairan Indonesia, menurut anggota Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, berarti Indonesia telah memberi celah kepada Malaysia untuk melakukan hal yang serupa.
Meskipun menurut Mahfudz apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia demi kebaikan di bulan ramadhan tapi tidak menjamin kasus serupa tidak akan terulang lagi.
"Mestinya kalau pemerintah yakin pihak Malaysia yang salah, apakah itu nelayannya dan petugas patroli Malaysia yang salah, ya diproses secara hukum saja," jelas Mahfudz saat dihubungi wartawan, Selasa (17/8/2010).
Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia melepas tujuh nelayan Malaysia menurut politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, pemerintah Indonesia menunjukan toleransinya yaitu akan membuka celah terulangnya kasus-kasus serupa.
"Kewibawaan dan kedaulatan Indonesia semakin turun dengan kejadian kasus-kasus semacam ini," ujarnya.
Menurutnya Komisi I DPR RI harus mendorong melakukan RDP dengan pemerintah yang diwakili unsur TNI, Polisi, KKP, imigrasi, dan kehutanan serta instansi yang memiliki unit-unit patroli untuk menjalin koordinasi yang baik di wilayah perbatasan baik darat maupun laut sehingga kita bisa mengantisipasi sekecil mungkin terjadinya kasus-kasus illegal logging dan fishing.
Saat ditanya apakah maslah ini perseteruan Indonesia dan Malaysia sudah clear dengan dibebaskannya tujuh nelayan dan dibebaskan tiga petugas KKP, menurut Mahfudz hal tersebut masih patut dipertanyakan.
"Seharusnya itu tetap dipertanyakan, model penyelesaian masaalahnya seperti apa," imbuhnya.
Karena ini kejadian yang terus berulang dan toleransi yang ditunjukan oleh pemerintah Indonesia tidak akan banyak menyelesaikan persoalan, justru sebaliknya Malaysia akan semakin arogan.
"Bukan lagi provokasi bagi saya tapi konfrontasi," ucap Mahfudz.
Sebagai penyelesaiaan supaya tidak ada lagi kejadian serupa, maka pemerintah Indonesia harus melakukan pembicaraan dengan pemerintah Malaysia mengenai kejelasan atas batas wilayah laut dan darat yang selama ini sering dipersengketakan.
"Malaysai selalu berdalih bahwa pembicaraan perbatasan kedua negara baru akan dibicarakan kalau masalah mereka (Malaysia)dengan Singapura sudah selesai," lanjut Mahfudz.
Selain itu, menurutnya Indonesia perlu memperkuat koordinasi pengamanan wilayah perbatasan yang melibatkan TNI, polisi, imigrasi dan kelautan dan kehutanan.
"Saya usulkan pemanggilan Menlu dan pihak-pihak terkait pekan-pekan ini untuk menyelesaikan banyak persoalan," tukasnya.
Label:
Komisi 1: Luar negri,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Ditolak Lili Wahid, Mahfudz Siddiq Resmi Pimpin Komisi I
23 Aug 2010 12:37
Jurnal Parlemen
Senayan-Rapat penetapan pimpinan Komisi I DPR RI yang berlangsung Senin (23/8) pagi, sempat diwarnai interupsi anggota Komisi I DPR Lili Chodidjah Wahid. Meski demikian, Mahfudz Siddiq akhirnya resmi ditetapkan sebagai Ketua Komisi I DPR, menggantikan Kemal Azis Stamboel.
Rapat itu dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso. Setelah rapat dibuka, Lili Wahid langsung menginterupsi dan meminta rapat ditunda.
"Karena ada baiknya, jabatan ini tidak dijabat oleh yang baru datang, tapi memang ini tidak lazim, karena ini merupakan dari fraksi. Tapi ini bisa dinego.Karena ini merupakan ritme di komisi. Kalau dari yang sudah menjabat, maka tidak perlu ada adaptasi. Saya meminta maaf kepada siapa pun yang dicalonkan PKS, bukan meragukankemampuan dari yang dicalonkan dari PKS, ini hanya demi kelancaran di Komisi I," papar Lili.
Tapi, Priyo menyatakan bahwa sudah menjadi peraturan bahwa posisi Ketua diserahkan kepada masing-masing fraksi. "Kepemimpinan di sini, kolektif kolegial. Jadi saling menutup, saling membantu," kata Priyo.
Wakil Ketua Komisi I dari F-PDIP TB Hasanuddin memperkuat pernyataan Priyo. "Kalau ditunda, saya khawatir nanti terbengkalai.jadi menurut saya dilanjutkan saja. Mohon ini Teh. Saya khawatir akan membuang-buang waktu," kata TB Hasanuddin, yang lalu diamini anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) Ramadhan Pohan.
Tanpa buang waktu, Priyo pun langsung meminta persetujuan anggota Komisi I dalam hal penetapan Mahfudz sebagai Ketua Komisi I DPR.
Jurnal Parlemen
Senayan-Rapat penetapan pimpinan Komisi I DPR RI yang berlangsung Senin (23/8) pagi, sempat diwarnai interupsi anggota Komisi I DPR Lili Chodidjah Wahid. Meski demikian, Mahfudz Siddiq akhirnya resmi ditetapkan sebagai Ketua Komisi I DPR, menggantikan Kemal Azis Stamboel.
Rapat itu dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso. Setelah rapat dibuka, Lili Wahid langsung menginterupsi dan meminta rapat ditunda.
"Karena ada baiknya, jabatan ini tidak dijabat oleh yang baru datang, tapi memang ini tidak lazim, karena ini merupakan dari fraksi. Tapi ini bisa dinego.Karena ini merupakan ritme di komisi. Kalau dari yang sudah menjabat, maka tidak perlu ada adaptasi. Saya meminta maaf kepada siapa pun yang dicalonkan PKS, bukan meragukankemampuan dari yang dicalonkan dari PKS, ini hanya demi kelancaran di Komisi I," papar Lili.
Tapi, Priyo menyatakan bahwa sudah menjadi peraturan bahwa posisi Ketua diserahkan kepada masing-masing fraksi. "Kepemimpinan di sini, kolektif kolegial. Jadi saling menutup, saling membantu," kata Priyo.
Wakil Ketua Komisi I dari F-PDIP TB Hasanuddin memperkuat pernyataan Priyo. "Kalau ditunda, saya khawatir nanti terbengkalai.jadi menurut saya dilanjutkan saja. Mohon ini Teh. Saya khawatir akan membuang-buang waktu," kata TB Hasanuddin, yang lalu diamini anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) Ramadhan Pohan.
Tanpa buang waktu, Priyo pun langsung meminta persetujuan anggota Komisi I dalam hal penetapan Mahfudz sebagai Ketua Komisi I DPR.
Mahfudz Siddiq: Nilai Kegiatan Ilegal dan Penyeludupan Seperempat Dari Penerimaan Negara 2011
21 Agustus 2010 | 14:34 wib | Nasional
Jakarta, CyberNews. Anggota Komisi I DPR asal fraksi Partai Keadilan Sosial Mahfudz Siddiq menyatakan nilai kegiatan ilegal dan penyelundupan melalui laut mencapai sekitar seperempat nilai penerimaan negara 2011.
Untuk itu, pemerintah diharapkan bertindak tegas dan merubah konsep pengawasan yang berpusat di darat menjadi di laut. Selain itu, Mahfudz juga mengungkapkan, kerugian penangkapan ikan ilegal mencapai Rp40 triliun.
"Untuk penyelundupan pasir Rp72 triliun, penyelundupan BBM (bahan bakar minyak) Rp50 triliun, dan aktivitas penyelundupan hasil pembalakan liar melalui laut Rp 30 triliun per tahunnya," ungkapnya.
Mahfudz juga menambahkan, jika dihitung-hitung, seperempat penerimaan negara dalam APBN bisa diraih melalui pengamanan kelautan kita. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011, pemerintah menganggarkan penerimaan sebesar Rp 1.086,4 triliun.
Untuk itu menurutnya, Indonesia harus mempertegas orientasi reformasi pembangunannya, menjadi tidak hanya berkonsentrasi di daratan. Penyelesaian berbagai masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga juga mendesak untuk dilakukan karena sering menjadi pemicu konflik.
"Ubah ke sektor maritim. Kekayaan alam kita masih sangat besar untuk dimanfaatkan di sektor maritim," ujar Mahfudz.
( MIOL /CN26 )
Jakarta, CyberNews. Anggota Komisi I DPR asal fraksi Partai Keadilan Sosial Mahfudz Siddiq menyatakan nilai kegiatan ilegal dan penyelundupan melalui laut mencapai sekitar seperempat nilai penerimaan negara 2011.
Untuk itu, pemerintah diharapkan bertindak tegas dan merubah konsep pengawasan yang berpusat di darat menjadi di laut. Selain itu, Mahfudz juga mengungkapkan, kerugian penangkapan ikan ilegal mencapai Rp40 triliun.
"Untuk penyelundupan pasir Rp72 triliun, penyelundupan BBM (bahan bakar minyak) Rp50 triliun, dan aktivitas penyelundupan hasil pembalakan liar melalui laut Rp 30 triliun per tahunnya," ungkapnya.
Mahfudz juga menambahkan, jika dihitung-hitung, seperempat penerimaan negara dalam APBN bisa diraih melalui pengamanan kelautan kita. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011, pemerintah menganggarkan penerimaan sebesar Rp 1.086,4 triliun.
Untuk itu menurutnya, Indonesia harus mempertegas orientasi reformasi pembangunannya, menjadi tidak hanya berkonsentrasi di daratan. Penyelesaian berbagai masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga juga mendesak untuk dilakukan karena sering menjadi pemicu konflik.
"Ubah ke sektor maritim. Kekayaan alam kita masih sangat besar untuk dimanfaatkan di sektor maritim," ujar Mahfudz.
( MIOL /CN26 )
Mahfudz Siddiq Resmi Menjabat Ketua Komisi I DPR
Senin, 23 Agustus 2010 - 13:09 wib
Ferdinan - Okezone
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi DPR Priyo Santoso hari ini melantik Mahfudz Siddiq sebagai Ketua Komisi I DPR yang baru. Mahfud menggantikan posisi rekan separtainya, Kemal Azis Stamboel.
“Kami sudah mendapat surat pergantian dari fraksi PKS, kini pergantian dapat dilaksanakan,” kata Priyo saat memimpin penetapan Ketua Komisi I di Gedung Nusantara III, DPR, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Sebelumnya, penolakan terhadap Mahfud mengemuka. Beberapa anggota Komisi I menilai Mahfud tidak mumpuni memimpin komisi yang membidangi pertahanan, urusan luar negeri, dan komunikasi informatika.
Susunan pimpinan Komisi I yakni Wakil Ketua diduduki oleh Hayono Isman dari Fraksi Partai Demokrat, Agus Gumiwang Kartasasmita dari Fraksi Partai Golkar, dan TB Hasanuddin dari fraksi PDI Perjuangan.
Sebelumnya, PKS melakukan pergantian atau rotasi pimpinan komisi di DPR termasuk merotasi Ketua Komisi I yang diduduki Kemal Azis Stamboel.
Sempat ada “aksi” dari anggota Komisi I DPR untuk mempertahankan Kemal Azis sebagai Ketua. Sekira 25 anggota Komisi I melayangkan mosi untuk mempertahankan Kemal tetap berada di posisinya.
Mereka menganggap Kemal mampu berjiwa mumpuni dan enak diajak berbicara untuk menyatukan para anggota Komisi I, mengingat di komisi ini banyak diduduki oleh orang baru.
(lsi)
Ferdinan - Okezone
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi DPR Priyo Santoso hari ini melantik Mahfudz Siddiq sebagai Ketua Komisi I DPR yang baru. Mahfud menggantikan posisi rekan separtainya, Kemal Azis Stamboel.
“Kami sudah mendapat surat pergantian dari fraksi PKS, kini pergantian dapat dilaksanakan,” kata Priyo saat memimpin penetapan Ketua Komisi I di Gedung Nusantara III, DPR, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Sebelumnya, penolakan terhadap Mahfud mengemuka. Beberapa anggota Komisi I menilai Mahfud tidak mumpuni memimpin komisi yang membidangi pertahanan, urusan luar negeri, dan komunikasi informatika.
Susunan pimpinan Komisi I yakni Wakil Ketua diduduki oleh Hayono Isman dari Fraksi Partai Demokrat, Agus Gumiwang Kartasasmita dari Fraksi Partai Golkar, dan TB Hasanuddin dari fraksi PDI Perjuangan.
Sebelumnya, PKS melakukan pergantian atau rotasi pimpinan komisi di DPR termasuk merotasi Ketua Komisi I yang diduduki Kemal Azis Stamboel.
Sempat ada “aksi” dari anggota Komisi I DPR untuk mempertahankan Kemal Azis sebagai Ketua. Sekira 25 anggota Komisi I melayangkan mosi untuk mempertahankan Kemal tetap berada di posisinya.
Mereka menganggap Kemal mampu berjiwa mumpuni dan enak diajak berbicara untuk menyatukan para anggota Komisi I, mengingat di komisi ini banyak diduduki oleh orang baru.
(lsi)
PKS Usul Fraksi di DPR Minimal Harus Beranggotakan 44 Orang
Selasa, 10/08/2010 12:17 WIB
Muhammad Nur Hayid - detikNews
Jakarta - Pembentukan fraksi di DPR selama ini dinilai kurang efektif, jika hanya membatasi pada partai yang lolos PT di parlemen. Ke depan PKS mengusulkan agar fraksi dibentuk dengan sedikitnya 44 anggota, agar tugas kedewanan bisa lebih efektif dan maksimal.
"Ini gagasan lama saya. Sebuah fraksi baru bisa efektif kalau minimal setiap komisi ada 4 orang. Di tengah citra DPR yang semakin amburadul, fraksi juga dikonsolidasi. Minimal untuk membuat 1 fraksi, perlu sekitar 44 anggota. Itu kalau asumsinya jumlah komisi masih 11 buah," kata Wasekjen PKS Mahfudz Siddiq, kepada detikcom, Selasa (10/8/2010).
Sebenarnya jumlah 4 orang di setiap komisi ini masih terlalu sedikit. Karena pengalaman PKS pada periode lalu, jumlah 4 ini masih cukup menyita waktu dan tugas yang sangat banyak di DPR.
"4 orang itu pun masih pontang-panting. Ini semua demi mengkonsolidasikan citra dan fungsi pengawasan DPR agar semakin lebih efektif," terangnya.
Namun, Mahfudz tidak setuju gagasannya itu dilakukan saat ini. Cara baru ini harus menunggu hasil pemilu 2014 mendatang. Aturan fraksi di UU MD3 dan tata tertib DPR juga harus diubah.
"Jangan diberlakukan untuk sekarang, itu namanya membunuh orang. Nanti setelah ada penerapan kalau PT 5 persen. Jadi harus mengubah UU dan tatib DPR dulu," tegasnya.
Saat ini, untuk membuat satu fraksi di DPR, tidak diatur jumlah minimal anggota. Tetapi, pembentukan fraksi diserahkan pada partai yang lolos parliamentary threshold 2,5 persen pada pemilu 2009. Sehingga, jumlah anggota pada masing-masing fraksi berbeda. Misalnya, Fraksi Hanura hanya punya 17 anggota, sementara FPD juga satu fraksi tapi anggotanya 148 orang.
(yid/fay)
Muhammad Nur Hayid - detikNews
Jakarta - Pembentukan fraksi di DPR selama ini dinilai kurang efektif, jika hanya membatasi pada partai yang lolos PT di parlemen. Ke depan PKS mengusulkan agar fraksi dibentuk dengan sedikitnya 44 anggota, agar tugas kedewanan bisa lebih efektif dan maksimal.
"Ini gagasan lama saya. Sebuah fraksi baru bisa efektif kalau minimal setiap komisi ada 4 orang. Di tengah citra DPR yang semakin amburadul, fraksi juga dikonsolidasi. Minimal untuk membuat 1 fraksi, perlu sekitar 44 anggota. Itu kalau asumsinya jumlah komisi masih 11 buah," kata Wasekjen PKS Mahfudz Siddiq, kepada detikcom, Selasa (10/8/2010).
Sebenarnya jumlah 4 orang di setiap komisi ini masih terlalu sedikit. Karena pengalaman PKS pada periode lalu, jumlah 4 ini masih cukup menyita waktu dan tugas yang sangat banyak di DPR.
"4 orang itu pun masih pontang-panting. Ini semua demi mengkonsolidasikan citra dan fungsi pengawasan DPR agar semakin lebih efektif," terangnya.
Namun, Mahfudz tidak setuju gagasannya itu dilakukan saat ini. Cara baru ini harus menunggu hasil pemilu 2014 mendatang. Aturan fraksi di UU MD3 dan tata tertib DPR juga harus diubah.
"Jangan diberlakukan untuk sekarang, itu namanya membunuh orang. Nanti setelah ada penerapan kalau PT 5 persen. Jadi harus mengubah UU dan tatib DPR dulu," tegasnya.
Saat ini, untuk membuat satu fraksi di DPR, tidak diatur jumlah minimal anggota. Tetapi, pembentukan fraksi diserahkan pada partai yang lolos parliamentary threshold 2,5 persen pada pemilu 2009. Sehingga, jumlah anggota pada masing-masing fraksi berbeda. Misalnya, Fraksi Hanura hanya punya 17 anggota, sementara FPD juga satu fraksi tapi anggotanya 148 orang.
(yid/fay)
PKS Tolak Penyederhanaan Parpol ala Akbar Tandjung
Selasa, 10/08/2010 16:06 WIB
Lia Harahap - detikNews
Jakarta - Wasekjen DPP PKS Mahfudz Siddik menilai gagasan Akbar Tandjung menyederhanakan parpol hanya menjadi 5 buah tidak bisa dilakukan serta-merta. Meski sepakat dari sisi penyederhanaan, namun caranya jangan sampai membatasi menjadi 5 saja, tetapi biarkan natural sesuai dengan pengaturan parliamentary threshold (PT) yang disepakati.
"Konsolidasi demokrasi di Indonesia memang harus diikuti proses konsolidasi parpol. Indikatornya multi partai sederhana. Tetapi jangan bicara hasilnya, atur dulu caranya menjadi sederhana melalui PT. Terserah setalah itu hasilnya 4 atau 6 partai," papar Mahfudz kepada detikcom, Selasa (10/8/2010).
Menurut mantan Ketua FPKS ini, partainya tidak keberatan jika memang PT untuk Pemilu 2014 dinaikkan menjadi 5 persen. Sebab, untuk mengawal demokrasi tetap sehat dan stabil memang diperlukan parpol yang kuat dan dapat dipercaya.
"Kalau wacana PT dinaikkan kami bisa terima. Gagasan yang berkembang 5 persen, kita nggak masalah. Yang penting jangan bicara hasilnya dulu, tapi bicara dulu aturan mainnya bagaimana," tegasnya.
Sementara itu, Sekjen PKS Anis Matta menilai gagasan penyederhanaan parpol dengan cara mematok jumlahnya menjadi 5 akan susah dijalankan. "Kita tidak bisa menutup peluang partisipasi orang untuk menyederhanakan partai," paparnya.
Menurut Anis, penyederhanaan parpol boleh saja dilakukan dengan syarat harus memegang 3 prinsip. "Yang harus dilakukan yaitu tidak boleh menghambat partisipasi politik, melakukan hal itu di luar agenda natural, dan tidak boleh merugikan parpol," tegasnya.
(lia/nrl)
Lia Harahap - detikNews
Jakarta - Wasekjen DPP PKS Mahfudz Siddik menilai gagasan Akbar Tandjung menyederhanakan parpol hanya menjadi 5 buah tidak bisa dilakukan serta-merta. Meski sepakat dari sisi penyederhanaan, namun caranya jangan sampai membatasi menjadi 5 saja, tetapi biarkan natural sesuai dengan pengaturan parliamentary threshold (PT) yang disepakati.
"Konsolidasi demokrasi di Indonesia memang harus diikuti proses konsolidasi parpol. Indikatornya multi partai sederhana. Tetapi jangan bicara hasilnya, atur dulu caranya menjadi sederhana melalui PT. Terserah setalah itu hasilnya 4 atau 6 partai," papar Mahfudz kepada detikcom, Selasa (10/8/2010).
Menurut mantan Ketua FPKS ini, partainya tidak keberatan jika memang PT untuk Pemilu 2014 dinaikkan menjadi 5 persen. Sebab, untuk mengawal demokrasi tetap sehat dan stabil memang diperlukan parpol yang kuat dan dapat dipercaya.
"Kalau wacana PT dinaikkan kami bisa terima. Gagasan yang berkembang 5 persen, kita nggak masalah. Yang penting jangan bicara hasilnya dulu, tapi bicara dulu aturan mainnya bagaimana," tegasnya.
Sementara itu, Sekjen PKS Anis Matta menilai gagasan penyederhanaan parpol dengan cara mematok jumlahnya menjadi 5 akan susah dijalankan. "Kita tidak bisa menutup peluang partisipasi orang untuk menyederhanakan partai," paparnya.
Menurut Anis, penyederhanaan parpol boleh saja dilakukan dengan syarat harus memegang 3 prinsip. "Yang harus dilakukan yaitu tidak boleh menghambat partisipasi politik, melakukan hal itu di luar agenda natural, dan tidak boleh merugikan parpol," tegasnya.
(lia/nrl)
Mahfudz Siddik Resmi Jabat Ketua Komisi I
Senin, 23/08/2010 13:50 WIB
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Politisi PKS Mahfudz Siddik resmi menjabat Ketua Komisi I DPR menggantikan Kemal Stamboel. Mahfudz langsung akan memimpin rapat-rapat di Komisi yang terkait dengan luar negeri, pertahanan, dan informasi.
"Dengan demikian posisi pimpinan Komisi I DPR yakni, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik, Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hassanudin, Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman," ujar Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, melantik Mahfudz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Semua anggota Komisi I DPR yang sebelumnya mewacanakan mosi percaya terhadap penggantian Kemal pun setuju. Tak satupun anggota Komisi I DPR menolak. "Apakah Bu Lili setuju?" goda Priyo, disambut anggukan Lily Wahid sebanyak tiga kali.
Priyo berpesan agar Mahfudz segera melanjutkan tugas Komisi I DPR mengusut lemahnya diplomasi Indonesia terhadap Malaysia. Priyo berharap Komisi I DPR menyampaikan amanat rakyat agar martabat Indonesia dikembalikan.
"Saya harap langsung tancap gas dan langsung mengambil langkah cepat memanggil Menlu yang tidak tegas dalam hal ini," terang Priyo.
(van/yid)
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Politisi PKS Mahfudz Siddik resmi menjabat Ketua Komisi I DPR menggantikan Kemal Stamboel. Mahfudz langsung akan memimpin rapat-rapat di Komisi yang terkait dengan luar negeri, pertahanan, dan informasi.
"Dengan demikian posisi pimpinan Komisi I DPR yakni, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik, Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hassanudin, Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman," ujar Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, melantik Mahfudz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/8/2010).
Semua anggota Komisi I DPR yang sebelumnya mewacanakan mosi percaya terhadap penggantian Kemal pun setuju. Tak satupun anggota Komisi I DPR menolak. "Apakah Bu Lili setuju?" goda Priyo, disambut anggukan Lily Wahid sebanyak tiga kali.
Priyo berpesan agar Mahfudz segera melanjutkan tugas Komisi I DPR mengusut lemahnya diplomasi Indonesia terhadap Malaysia. Priyo berharap Komisi I DPR menyampaikan amanat rakyat agar martabat Indonesia dikembalikan.
"Saya harap langsung tancap gas dan langsung mengambil langkah cepat memanggil Menlu yang tidak tegas dalam hal ini," terang Priyo.
(van/yid)
Thursday, August 19, 2010
FPKS: Pidato SBY Normatif
Jumat, 14/08/2009 11:30 WIB
Reza Yunanto - detikNews
Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menilai pidato kenegaraan yang
disampaikan Presiden SBY sangat normatif. Pidato SBY tidak menggambarkan kebijakan pemerintahan 5 tahun ke depan.
"Ini pidato kenegaraan masih sangat normatif dan reflektif ke depan. Kita tidak dapat gambaran ke depan kebijakan pemerintah SBY seperti apa," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq sambil meninggalkan ruang paripurna Gedung DPR, Jakarta, Jumat (14/8/2009).
Mahfudz berpendapat pidato yang disampaikan SBY ini sifatnya seremonial
dan belum menggambarkan proyeksi ke depan. Padahal SBY hampir dipastikan kembali memimpin pemerintahan 5 tahun ke depan.
"Walaupun dijelaskan program ke depan tapi tidak ada point of execellentnya," papar Mahfudz.
Mahfudz pun menilai prestasi-prestasi pemerintahan yang disampaikan SBY dalam pidato kali ini sangat wajar. Namun hal itu sulit dikritisi lantaran pidato SBY hanya bersifat reflektif.
Mahfudz terlihat meninggalkan ruang paripurna sebelum pidato SBY usai.
Namun, kata dia, dirinya mendapat panggilan darurat sehingga terpaksa
meninggalkan paripurna.
(Rez/aan)
Reza Yunanto - detikNews
Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menilai pidato kenegaraan yang
disampaikan Presiden SBY sangat normatif. Pidato SBY tidak menggambarkan kebijakan pemerintahan 5 tahun ke depan.
"Ini pidato kenegaraan masih sangat normatif dan reflektif ke depan. Kita tidak dapat gambaran ke depan kebijakan pemerintah SBY seperti apa," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq sambil meninggalkan ruang paripurna Gedung DPR, Jakarta, Jumat (14/8/2009).
Mahfudz berpendapat pidato yang disampaikan SBY ini sifatnya seremonial
dan belum menggambarkan proyeksi ke depan. Padahal SBY hampir dipastikan kembali memimpin pemerintahan 5 tahun ke depan.
"Walaupun dijelaskan program ke depan tapi tidak ada point of execellentnya," papar Mahfudz.
Mahfudz pun menilai prestasi-prestasi pemerintahan yang disampaikan SBY dalam pidato kali ini sangat wajar. Namun hal itu sulit dikritisi lantaran pidato SBY hanya bersifat reflektif.
Mahfudz terlihat meninggalkan ruang paripurna sebelum pidato SBY usai.
Namun, kata dia, dirinya mendapat panggilan darurat sehingga terpaksa
meninggalkan paripurna.
(Rez/aan)
PKS Usul Fraksi di DPR Minimal Harus Beranggotakan 44 Orang
Selasa, 10/08/2010 12:17 WIB
Muhammad Nur Hayid - detikNews
Jakarta - Pembentukan fraksi di DPR selama ini dinilai kurang efektif, jika hanya membatasi pada partai yang lolos PT di parlemen. Ke depan PKS mengusulkan agar fraksi dibentuk dengan sedikitnya 44 anggota, agar tugas kedewanan bisa lebih efektif dan maksimal.
"Ini gagasan lama saya. Sebuah fraksi baru bisa efektif kalau minimal setiap komisi ada 4 orang. Di tengah citra DPR yang semakin amburadul, fraksi juga dikonsolidasi. Minimal untuk membuat 1 fraksi, perlu sekitar 44 anggota. Itu kalau asumsinya jumlah komisi masih 11 buah," kata Wasekjen PKS Mahfudz Siddiq, kepada detikcom, Selasa (10/8/2010).
Sebenarnya jumlah 4 orang di setiap komisi ini masih terlalu sedikit. Karena pengalaman PKS pada periode lalu, jumlah 4 ini masih cukup menyita waktu dan tugas yang sangat banyak di DPR.
"4 orang itu pun masih pontang-panting. Ini semua demi mengkonsolidasikan citra dan fungsi pengawasan DPR agar semakin lebih efektif," terangnya.
Namun, Mahfudz tidak setuju gagasannya itu dilakukan saat ini. Cara baru ini harus menunggu hasil pemilu 2014 mendatang. Aturan fraksi di UU MD3 dan tata tertib DPR juga harus diubah.
"Jangan diberlakukan untuk sekarang, itu namanya membunuh orang. Nanti setelah ada penerapan kalau PT 5 persen. Jadi harus mengubah UU dan tatib DPR dulu," tegasnya.
Saat ini, untuk membuat satu fraksi di DPR, tidak diatur jumlah minimal anggota. Tetapi, pembentukan fraksi diserahkan pada partai yang lolos parliamentary threshold 2,5 persen pada pemilu 2009. Sehingga, jumlah anggota pada masing-masing fraksi berbeda. Misalnya, Fraksi Hanura hanya punya 17 anggota, sementara FPD juga satu fraksi tapi anggotanya 148 orang.
(yid/fay)
Muhammad Nur Hayid - detikNews
Jakarta - Pembentukan fraksi di DPR selama ini dinilai kurang efektif, jika hanya membatasi pada partai yang lolos PT di parlemen. Ke depan PKS mengusulkan agar fraksi dibentuk dengan sedikitnya 44 anggota, agar tugas kedewanan bisa lebih efektif dan maksimal.
"Ini gagasan lama saya. Sebuah fraksi baru bisa efektif kalau minimal setiap komisi ada 4 orang. Di tengah citra DPR yang semakin amburadul, fraksi juga dikonsolidasi. Minimal untuk membuat 1 fraksi, perlu sekitar 44 anggota. Itu kalau asumsinya jumlah komisi masih 11 buah," kata Wasekjen PKS Mahfudz Siddiq, kepada detikcom, Selasa (10/8/2010).
Sebenarnya jumlah 4 orang di setiap komisi ini masih terlalu sedikit. Karena pengalaman PKS pada periode lalu, jumlah 4 ini masih cukup menyita waktu dan tugas yang sangat banyak di DPR.
"4 orang itu pun masih pontang-panting. Ini semua demi mengkonsolidasikan citra dan fungsi pengawasan DPR agar semakin lebih efektif," terangnya.
Namun, Mahfudz tidak setuju gagasannya itu dilakukan saat ini. Cara baru ini harus menunggu hasil pemilu 2014 mendatang. Aturan fraksi di UU MD3 dan tata tertib DPR juga harus diubah.
"Jangan diberlakukan untuk sekarang, itu namanya membunuh orang. Nanti setelah ada penerapan kalau PT 5 persen. Jadi harus mengubah UU dan tatib DPR dulu," tegasnya.
Saat ini, untuk membuat satu fraksi di DPR, tidak diatur jumlah minimal anggota. Tetapi, pembentukan fraksi diserahkan pada partai yang lolos parliamentary threshold 2,5 persen pada pemilu 2009. Sehingga, jumlah anggota pada masing-masing fraksi berbeda. Misalnya, Fraksi Hanura hanya punya 17 anggota, sementara FPD juga satu fraksi tapi anggotanya 148 orang.
(yid/fay)
Wednesday, August 18, 2010
Pemerintah Harusnya Ajukan Proses Hukum atas Penangkapan Petugas KKP
Rabu, 18 Agustus 2010, 10:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum atas penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) oleh petugas patroli Malaysia. Meski kemarin ketiganya sudah dilepas, bukan berarti pemerintah boleh berdiam diri menanggapi insiden tersebut.
Anggota Komisi I DPR, Mahfudz Shiddiq, mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum terhadap penangkapan tiga petugas KKP. Wasekjen PKS itu beralasan Malaysia sudah mengakui kalau penangkapan terjadi di perairan Indonesia. ''Kan Malaysia sudah mengakui masuk perairan Indonesia, ya harus diproses hukum,'' kata Mahfudz, Rabu (18/7). Bahkan, Mahfudz menganggap Malaysia bisa dituntut karena sudah melanggar ketertiban di negara lain.
Mahfudz menyesalkan pula pertukaran pelepasan petugas KKP dengan pelepasan nelayan Malaysia sebagai solusi dari insiden. Menurut Mahfudz, solusi barter hanya akan menjadi pola lanjutan yang berulang di kemudian hari. Padahal sepanjang tahun ini saja sudah terjadi lebih dari 10 insiden di perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Solusi itu juga membuat kedaulatan Indonesia terasa tidak jelas. ''Sementara faktanya ada tiga kesalahan Malaysia, pertama melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dua patrol Malaysia memasuki wilayah Indonesia, dan tiga mereka menembaki dan menyandera petugas patrol KKP,''’ tutur Mahfudz.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum atas penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) oleh petugas patroli Malaysia. Meski kemarin ketiganya sudah dilepas, bukan berarti pemerintah boleh berdiam diri menanggapi insiden tersebut.
Anggota Komisi I DPR, Mahfudz Shiddiq, mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan proses hukum terhadap penangkapan tiga petugas KKP. Wasekjen PKS itu beralasan Malaysia sudah mengakui kalau penangkapan terjadi di perairan Indonesia. ''Kan Malaysia sudah mengakui masuk perairan Indonesia, ya harus diproses hukum,'' kata Mahfudz, Rabu (18/7). Bahkan, Mahfudz menganggap Malaysia bisa dituntut karena sudah melanggar ketertiban di negara lain.
Mahfudz menyesalkan pula pertukaran pelepasan petugas KKP dengan pelepasan nelayan Malaysia sebagai solusi dari insiden. Menurut Mahfudz, solusi barter hanya akan menjadi pola lanjutan yang berulang di kemudian hari. Padahal sepanjang tahun ini saja sudah terjadi lebih dari 10 insiden di perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Solusi itu juga membuat kedaulatan Indonesia terasa tidak jelas. ''Sementara faktanya ada tiga kesalahan Malaysia, pertama melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dua patrol Malaysia memasuki wilayah Indonesia, dan tiga mereka menembaki dan menyandera petugas patrol KKP,''’ tutur Mahfudz.
Label:
Komisi 1: Luar negri,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Barter Bukti Diplomasi RI Lemah
INTERNASIONAL - ASIA
Rabu, 18 Agustus 2010 , 03:30:00
Kasus RI-Malaysia Harus Diselesaikan secara Hukum
JAKARTA - Insiden penahanan petugas patroli Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri oleh Polisi Malaysia dinilai sebagai penghinaan terhadap NKRI. Terlebih pembebasan mereka dilakukan dengan barter terhadap nelayan Malaysia yang ditahan oleh aparat polisi Indonesia.
“Ini bukti bahwa kedaulatan negeri ini telah dinjak-injak. Masak, untuk urusan pelanggaran perbatasan yang jelas-jelas salah dilakukan oleh orang Malaysia, malah kita yang harus melakukan barter terhadap nelayan mereka yang salah,” kata anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq kepada INDOPOS (grup JPNN), Selasa (17/8) malam.
Menurut Mahfudz, seharusnya di umur kemerdekaan yang sudah semakin tua, pemerintahan negeri ini harus semakin matang dalam menjaga kedaulatan. “Meski mengaku terbawa ombak, tetapi seluruh nelayan Malaysia yang ditangkap oleh petugas DKP dan aparat perbatasan RI sudah mengakui bahwa mereka mengaku salah karena sengaja memasuki perairan Indonesia. Tetapi petugas DKP yang ditangkap oleh polisi Malaysia itu justru berada di perairan Indonesia. Ini berarti merekalah yang salah dan menculik orang kita di negeri sendiri. Jadi kenapa harus dibebaskan dengan syarat?” tegas calon ketua Komisi I DPR itu.
Karenanya Mahfudz mendesak agar koordinasi antara petugas DKP, polisi air, TNI AL semakin diintensifkan agar ilegal fishing ataupun yang dilakukan oleh warga asing tidak terjadi lagi. “Untuk urusan kedaulatan harus diselesaikan secara hukum, bukan lagi lobi-lobi barter. Terlebih jika mereka (warga asing) melakukan kegiatan pencurian ikan ataupun hutan di perbatasan. Harus ada kordinasi keamanan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga harus tegas,” tandasnya.
Berbagai protes lain pun terus bermunculan dikarenakan pemerintah terlihat lembek atas kasus di perbatasan. Pendapat serupa datang dari Sekretaris Fraksi Partai Hanura, Saleh Husin. Menurutnya, Presiden SBY harus berani mengeluarkan nota protes secara keras kepada pemerintah Malaysia.
“Dengan nota protes itu menunjukan bahwa pemerintah RI punya harga diri. Terlebih kasus penangkapan petugas DKP oleh polisi Malaysia itu dilakukan di perairan RI, bukan di perairan Malaysia,” ujarnya.
Saleh juga mengaku kecewa dengan pernyataan Menlu dan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang terlalu meremehkan masalah ini. Menurut Saleh, kejadian ini telah mencoreng NKRI tepat di hari ulang tahun yang ke 65.
“Pemerintah mengecewakan dan semua komentarnya bernada minder tidak solutif. Malaysia tidak hanya menghina tapi memprovokasi memasuki wilayah Indonesia,” kecam Saleh.
Semangat pemerintah menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan diplomasi memang layak diapresiasi. Tapi Saleh tak yakin masalah ini tidak terulang lagi, tanpa ketegasan pemerintah. “Saya kecewa dengan Menlu yang menyatakan bahwa sudah ada saling pengertian. Tapi masalahnya bukan itu, mereka melakukan penembakan di wilayah laut kita,” kritik Saleh.
Saleh berharap pemerintah mengambil langkah konkret terhadap kasus ini. Hal ini penting untuk menjaga martabat Indonesia di mata dunia internasional. “Pemerintah harus tegas, tidak hanya dengan diplomasi saja tetapi harus ada langkah konkret yang menjamin hal ini tidak terjadi lagi, misalnya dengan perjanjian kedua negara. Jangan sampai Malaysia menganggap bahwa negeri kita hanya sebagai negeri penyuplai pembantu rumah tangga,” pungkasnya. (dil)
Rabu, 18 Agustus 2010 , 03:30:00
Kasus RI-Malaysia Harus Diselesaikan secara Hukum
JAKARTA - Insiden penahanan petugas patroli Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri oleh Polisi Malaysia dinilai sebagai penghinaan terhadap NKRI. Terlebih pembebasan mereka dilakukan dengan barter terhadap nelayan Malaysia yang ditahan oleh aparat polisi Indonesia.
“Ini bukti bahwa kedaulatan negeri ini telah dinjak-injak. Masak, untuk urusan pelanggaran perbatasan yang jelas-jelas salah dilakukan oleh orang Malaysia, malah kita yang harus melakukan barter terhadap nelayan mereka yang salah,” kata anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq kepada INDOPOS (grup JPNN), Selasa (17/8) malam.
Menurut Mahfudz, seharusnya di umur kemerdekaan yang sudah semakin tua, pemerintahan negeri ini harus semakin matang dalam menjaga kedaulatan. “Meski mengaku terbawa ombak, tetapi seluruh nelayan Malaysia yang ditangkap oleh petugas DKP dan aparat perbatasan RI sudah mengakui bahwa mereka mengaku salah karena sengaja memasuki perairan Indonesia. Tetapi petugas DKP yang ditangkap oleh polisi Malaysia itu justru berada di perairan Indonesia. Ini berarti merekalah yang salah dan menculik orang kita di negeri sendiri. Jadi kenapa harus dibebaskan dengan syarat?” tegas calon ketua Komisi I DPR itu.
Karenanya Mahfudz mendesak agar koordinasi antara petugas DKP, polisi air, TNI AL semakin diintensifkan agar ilegal fishing ataupun yang dilakukan oleh warga asing tidak terjadi lagi. “Untuk urusan kedaulatan harus diselesaikan secara hukum, bukan lagi lobi-lobi barter. Terlebih jika mereka (warga asing) melakukan kegiatan pencurian ikan ataupun hutan di perbatasan. Harus ada kordinasi keamanan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga harus tegas,” tandasnya.
Berbagai protes lain pun terus bermunculan dikarenakan pemerintah terlihat lembek atas kasus di perbatasan. Pendapat serupa datang dari Sekretaris Fraksi Partai Hanura, Saleh Husin. Menurutnya, Presiden SBY harus berani mengeluarkan nota protes secara keras kepada pemerintah Malaysia.
“Dengan nota protes itu menunjukan bahwa pemerintah RI punya harga diri. Terlebih kasus penangkapan petugas DKP oleh polisi Malaysia itu dilakukan di perairan RI, bukan di perairan Malaysia,” ujarnya.
Saleh juga mengaku kecewa dengan pernyataan Menlu dan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang terlalu meremehkan masalah ini. Menurut Saleh, kejadian ini telah mencoreng NKRI tepat di hari ulang tahun yang ke 65.
“Pemerintah mengecewakan dan semua komentarnya bernada minder tidak solutif. Malaysia tidak hanya menghina tapi memprovokasi memasuki wilayah Indonesia,” kecam Saleh.
Semangat pemerintah menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan diplomasi memang layak diapresiasi. Tapi Saleh tak yakin masalah ini tidak terulang lagi, tanpa ketegasan pemerintah. “Saya kecewa dengan Menlu yang menyatakan bahwa sudah ada saling pengertian. Tapi masalahnya bukan itu, mereka melakukan penembakan di wilayah laut kita,” kritik Saleh.
Saleh berharap pemerintah mengambil langkah konkret terhadap kasus ini. Hal ini penting untuk menjaga martabat Indonesia di mata dunia internasional. “Pemerintah harus tegas, tidak hanya dengan diplomasi saja tetapi harus ada langkah konkret yang menjamin hal ini tidak terjadi lagi, misalnya dengan perjanjian kedua negara. Jangan sampai Malaysia menganggap bahwa negeri kita hanya sebagai negeri penyuplai pembantu rumah tangga,” pungkasnya. (dil)
Label:
Komisi 1: Luar negri,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Barter, Bukti Diplomasi Lemah
Rabu, 18 Agustus 2010 | 04:48 WIB
JAKARTA - Insiden penahanan petugas patroli Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau (Kepri) oleh Marine Police Malaysia (MPM) pada Jumat malam (13/8) dinilai sebagai penghinaan terhadap NKRI. Terlebih, pembebasan mereka dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditangkap DKP dan Ditpolair Polda Kepri pada hari yang sama.
’’Itu bukti bahwa kedaulatan negeri ini telah diinjak-injak. Selain itu, diplomasi kita lemah. Masak untuk urusan pelanggaran perbatasan yang jelas-jelas salah dilakukan oleh orang Malaysia, malah kita yang harus melakukan barter terhadap nelayan mereka yang salah,” kata anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS Mahfudz Siddiq tadi malam (17/8).
Menurut Mahfudz, seharusnya di usia kemerdekaan yang sudah semakin tua, 65 tahun, maka pemerintahan negeri ini harus semakin matang dalam hal menjaga kedaulatan. ’’Meski mengaku terbawa ombak, seluruh nelayan Malaysia yang ditangkap petugas DKP dan aparat perbatasan RI sudah mengakui bahwa mereka salah karena sengaja memasuki perairan Indonesia,” katanya.
Tetapi, tiga petugas DKP yakni Asriadi (40), Erwan (37), dan Seivo Grevo Wewengkang (26) yang ditangkap MPM justru berada di perairan Indonesia. ’’Ini berarti merekalah yang salah dan menculik orang kita di negeri sendiri. Jadi kenapa harus dibebaskan dengan syarat?” tegas calon ketua Komisi I DPR itu.
Mahfudz mendesak agar koordinasi diintensifkan antara petugas DKP, polisi air, TNI, ataupun polisi hutan yang ada di perbatasan agar illegal fishing ataupun illegal logging yang dilakukan warga asing tidak terjadi lagi.
’’Untuk urusan kedaulatan harus diselesaikan secara hukum, bukan lagi lobi-lobi barter. Terlebih jika mereka (warga asing) melakukan kegiatan pencurian ikan ataupun hutan di perbatasan. Harus ada koordinasi keamanan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga harus tegas,” tandasnya.
Berbagai protes lain pun terus bermunculan dikarenakan pemerintah terlihat lembek atas kasus di perbatasan. Pendapat serupa datang dari Sekretaris Fraksi Partai Hanura Saleh Husin. Menurutnya, Presiden SBY harus berani mengeluarkan nota protes secara keras kepada pemerintah Malaysia. ’’Dengan nota protes itu menunjukkan bahwa pemerintah RI punya harga diri. Terlebih, kasus penangkapan petugas DKP oleh polisi Malaysia itu dilakukan di perairan RI, bukan di perairan Malaysia,” ujarnya.
Dibentak dan Terjatuh ke Laut
Tiga petugas DKP Kepri, Asriadi, Erwan, dan Seivo, tiba di Pelabuhan Internasional Batam Center, Batam, kemarin (17/8) sekitar pukul 14.35 WIB. Mereka menumpang kapal feri Indomas bersama Minister Counselor KJRI Suryana Sastradiredja serta anggota tim DKP, Bambang Nugroho dan Happy Simanjuntak.
Asriadi mengenakan kemeja hijau dan celana panjang bahan hitam. Seivo memakai kemeja biru langit dan celana hitam. Asriadi menggunakan kemeja krem kecoklatan. Erwan dan Seivo bergegas berjalan bersama sambil melemparkan senyum ke sejumlah media. Sementara Asriadi didampingi Direktur Penanganan Pelanggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, Nugroho Aji. Dia berjalan cepat. Terlihat kepalanya dibungkus perban putih. Ketika ditanya apa yang terjadi dengan kepalanya, Asriadi mengatakan tidak apa-apa. ’’O.. hanya luka, terjatuh di laut saat kejadian kemarin,” ujarnya sambil bergegas menyusul kedua rekannya yang berjalan jauh di depan.
Setelah menghadiri jumpa pers di lantai tiga ruang KKP, Asriadi dkk. diboyong ke Planet Holiday Hotel untuk beristirahat. Setelah menghubungi Kepala DKP Batam, Yulisbar dan meminta persetujuan Minister Counselor KJRI Suryana dan Kepala Satuan Kerja DKP Indonesia Pontianak wilayah Kepri, Bambang Nugroho, wartawan koran ini mendapat kesempatan mewawancarai Asriadi dkk. Wawancara di kamar 628 itu hanya berlangsung 10 menit.
Erwan, Asriadi, dan Seivo bergantian menceritakan kronologis penangkapan mereka di perairan Tanjung Berakit Bintan, Jumat malam (13/8). ”Sebenarnya saat itu kami sedang bermanuver di perairan Tanjung Berakit karena mendengar ada kapal nelayan asing menjarah ikan di perairan kita. Itu terbukti. Namun saat hendak membawa lima kapal warga Malaysia dan tujuh nelayannya, kapal kami tiba-tiba dipepet kapal Police Malaysia,” ujar Asriadi.
Kapal yang ditumpangi Asriadi dkk. tetap mengarungi perairan sambil menghadang kapal nelayan Malaysia dengan peralatan seadanya tanpa dilengkapi persenjataan. Satu per satu nelayan Malaysia masuk ke kapal Doplhin 015. Kemudian, kapal Doplhin 015 melaju menuju perairan Batam.
Asriadi dkk. sempat adu argumentasi ketika dipaksa masuk ke kapal polisi Malaysia. Tiba-tiba salah satu dari enam anggota MPM melepaskan dua kali tembakan suar ke atas. ”Tembakan suar untuk memberi penerangan karena memang saat itu pukul 21.30 WIB sangat gelap dan ombak lumayan tinggi,” ujar Asriadi. Akhirnya Asriadi dkk. dengan terpaksa masuk ke kapal polisi Malaysia. Saat pindah kapal tersebut, Asriadi jatuh dan terantuk tubuh kapal.
”Kita dibentak dan terlihat juga wajah mereka kesal kepada kita. Khawatir juga waktu itu. Namun saat ditanyai di dalam kapal, kita jelaskan bahwa kita juga menjalankan tugas baru mereka melunak dan tetap membawa kami ke Malaysia,” timpal Seivo.
Polisi Malaysia membawa mereka ke Tanjung Pengerik terlebih dahulu, baru ke Balai Pengerang. Di sana, Asriadi yang sudah terluka dan berlumur darah di bagian kepala dilarikan ke nalai pengobatan.
Jumat hingga Sabtu siang mereka berada di Pengerang, Selanjutnya Sabtu sore dibawa ke Ibu Pejabat Police Kota Tinggi (Polres Kota Tinggi). Di sana ketiganya diinterogasi terkait kejadian di perairan Tanjung Berakit. ”Kami menjelaskan apa adanya, dan tetap pada pernyataan itu masih bagian perairan Indonesia,” jelas Asriadi.
Dua hari dipenuhi rasa khawatir, akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mendapat kunjungan dari staf KJRI dan Dirjen Kelautan dan Perikanan Indonesia Johor. ”Di situ kami yakin, kami pasti bebas,” kata Seivo.
Dua jam setelah tiba di Batam, Asriadi dkk. belum sempat bertemu keluarga masing-masing. ”Ini mau bertemu, mereka masih dalam perjalan kesini,” ungkap kata Asriadi. Hari ini ketiganya akan bertolak ke Jakarta berjumpa Kemenlu untuk mendapat penghargaan langsung dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. (jpnn/ewi)
JAKARTA - Insiden penahanan petugas patroli Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau (Kepri) oleh Marine Police Malaysia (MPM) pada Jumat malam (13/8) dinilai sebagai penghinaan terhadap NKRI. Terlebih, pembebasan mereka dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditangkap DKP dan Ditpolair Polda Kepri pada hari yang sama.
’’Itu bukti bahwa kedaulatan negeri ini telah diinjak-injak. Selain itu, diplomasi kita lemah. Masak untuk urusan pelanggaran perbatasan yang jelas-jelas salah dilakukan oleh orang Malaysia, malah kita yang harus melakukan barter terhadap nelayan mereka yang salah,” kata anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS Mahfudz Siddiq tadi malam (17/8).
Menurut Mahfudz, seharusnya di usia kemerdekaan yang sudah semakin tua, 65 tahun, maka pemerintahan negeri ini harus semakin matang dalam hal menjaga kedaulatan. ’’Meski mengaku terbawa ombak, seluruh nelayan Malaysia yang ditangkap petugas DKP dan aparat perbatasan RI sudah mengakui bahwa mereka salah karena sengaja memasuki perairan Indonesia,” katanya.
Tetapi, tiga petugas DKP yakni Asriadi (40), Erwan (37), dan Seivo Grevo Wewengkang (26) yang ditangkap MPM justru berada di perairan Indonesia. ’’Ini berarti merekalah yang salah dan menculik orang kita di negeri sendiri. Jadi kenapa harus dibebaskan dengan syarat?” tegas calon ketua Komisi I DPR itu.
Mahfudz mendesak agar koordinasi diintensifkan antara petugas DKP, polisi air, TNI, ataupun polisi hutan yang ada di perbatasan agar illegal fishing ataupun illegal logging yang dilakukan warga asing tidak terjadi lagi.
’’Untuk urusan kedaulatan harus diselesaikan secara hukum, bukan lagi lobi-lobi barter. Terlebih jika mereka (warga asing) melakukan kegiatan pencurian ikan ataupun hutan di perbatasan. Harus ada koordinasi keamanan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga harus tegas,” tandasnya.
Berbagai protes lain pun terus bermunculan dikarenakan pemerintah terlihat lembek atas kasus di perbatasan. Pendapat serupa datang dari Sekretaris Fraksi Partai Hanura Saleh Husin. Menurutnya, Presiden SBY harus berani mengeluarkan nota protes secara keras kepada pemerintah Malaysia. ’’Dengan nota protes itu menunjukkan bahwa pemerintah RI punya harga diri. Terlebih, kasus penangkapan petugas DKP oleh polisi Malaysia itu dilakukan di perairan RI, bukan di perairan Malaysia,” ujarnya.
Dibentak dan Terjatuh ke Laut
Tiga petugas DKP Kepri, Asriadi, Erwan, dan Seivo, tiba di Pelabuhan Internasional Batam Center, Batam, kemarin (17/8) sekitar pukul 14.35 WIB. Mereka menumpang kapal feri Indomas bersama Minister Counselor KJRI Suryana Sastradiredja serta anggota tim DKP, Bambang Nugroho dan Happy Simanjuntak.
Asriadi mengenakan kemeja hijau dan celana panjang bahan hitam. Seivo memakai kemeja biru langit dan celana hitam. Asriadi menggunakan kemeja krem kecoklatan. Erwan dan Seivo bergegas berjalan bersama sambil melemparkan senyum ke sejumlah media. Sementara Asriadi didampingi Direktur Penanganan Pelanggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, Nugroho Aji. Dia berjalan cepat. Terlihat kepalanya dibungkus perban putih. Ketika ditanya apa yang terjadi dengan kepalanya, Asriadi mengatakan tidak apa-apa. ’’O.. hanya luka, terjatuh di laut saat kejadian kemarin,” ujarnya sambil bergegas menyusul kedua rekannya yang berjalan jauh di depan.
Setelah menghadiri jumpa pers di lantai tiga ruang KKP, Asriadi dkk. diboyong ke Planet Holiday Hotel untuk beristirahat. Setelah menghubungi Kepala DKP Batam, Yulisbar dan meminta persetujuan Minister Counselor KJRI Suryana dan Kepala Satuan Kerja DKP Indonesia Pontianak wilayah Kepri, Bambang Nugroho, wartawan koran ini mendapat kesempatan mewawancarai Asriadi dkk. Wawancara di kamar 628 itu hanya berlangsung 10 menit.
Erwan, Asriadi, dan Seivo bergantian menceritakan kronologis penangkapan mereka di perairan Tanjung Berakit Bintan, Jumat malam (13/8). ”Sebenarnya saat itu kami sedang bermanuver di perairan Tanjung Berakit karena mendengar ada kapal nelayan asing menjarah ikan di perairan kita. Itu terbukti. Namun saat hendak membawa lima kapal warga Malaysia dan tujuh nelayannya, kapal kami tiba-tiba dipepet kapal Police Malaysia,” ujar Asriadi.
Kapal yang ditumpangi Asriadi dkk. tetap mengarungi perairan sambil menghadang kapal nelayan Malaysia dengan peralatan seadanya tanpa dilengkapi persenjataan. Satu per satu nelayan Malaysia masuk ke kapal Doplhin 015. Kemudian, kapal Doplhin 015 melaju menuju perairan Batam.
Asriadi dkk. sempat adu argumentasi ketika dipaksa masuk ke kapal polisi Malaysia. Tiba-tiba salah satu dari enam anggota MPM melepaskan dua kali tembakan suar ke atas. ”Tembakan suar untuk memberi penerangan karena memang saat itu pukul 21.30 WIB sangat gelap dan ombak lumayan tinggi,” ujar Asriadi. Akhirnya Asriadi dkk. dengan terpaksa masuk ke kapal polisi Malaysia. Saat pindah kapal tersebut, Asriadi jatuh dan terantuk tubuh kapal.
”Kita dibentak dan terlihat juga wajah mereka kesal kepada kita. Khawatir juga waktu itu. Namun saat ditanyai di dalam kapal, kita jelaskan bahwa kita juga menjalankan tugas baru mereka melunak dan tetap membawa kami ke Malaysia,” timpal Seivo.
Polisi Malaysia membawa mereka ke Tanjung Pengerik terlebih dahulu, baru ke Balai Pengerang. Di sana, Asriadi yang sudah terluka dan berlumur darah di bagian kepala dilarikan ke nalai pengobatan.
Jumat hingga Sabtu siang mereka berada di Pengerang, Selanjutnya Sabtu sore dibawa ke Ibu Pejabat Police Kota Tinggi (Polres Kota Tinggi). Di sana ketiganya diinterogasi terkait kejadian di perairan Tanjung Berakit. ”Kami menjelaskan apa adanya, dan tetap pada pernyataan itu masih bagian perairan Indonesia,” jelas Asriadi.
Dua hari dipenuhi rasa khawatir, akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mendapat kunjungan dari staf KJRI dan Dirjen Kelautan dan Perikanan Indonesia Johor. ”Di situ kami yakin, kami pasti bebas,” kata Seivo.
Dua jam setelah tiba di Batam, Asriadi dkk. belum sempat bertemu keluarga masing-masing. ”Ini mau bertemu, mereka masih dalam perjalan kesini,” ungkap kata Asriadi. Hari ini ketiganya akan bertolak ke Jakarta berjumpa Kemenlu untuk mendapat penghargaan langsung dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. (jpnn/ewi)
Mahfudz Siddiq: Kocok Ulang PKS Tidak Main-main
Selasa, 17 Agustus 2010 , 16:04:00 WIB
Laporan: Widya Victoria
RMOL. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap akan merotasi kadernya yang saat ini duduk di pimpinan komisi I DPR.
Dari itu, PKS menegaskan tidak akan terpengaruh dengan adanya sikap dari sebagian anggota Komisi I yang ingin mempertahankan Kemal Azis Stamboel sebagai ketua komisi I DPR.
"Ah nggak ngaruh itu. Itu cuma main-main saja," ujar Wakil Sekjen DPP PKS Mahfud Siddiq kepada wartawan di Jakarta (Selasa, 17/8).
Setelah dirombak, Mahfud menjelaskan, Kemal Aziz kemudian akan menjadi anggota Komisi XI DPR.
"Mutasinya sudah di Komisi XI, tapi sekarang masih menunggu serah terima," imbuhnya.
Sedangkan kursi ketua komisi I DPR yang ditinggalkan Kemal akan diduduki oleh Mahfudz sendiri.
"Ya sampai hari ini keputusannya seperti itu," tandasnya. [zul]
Laporan: Widya Victoria
RMOL. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap akan merotasi kadernya yang saat ini duduk di pimpinan komisi I DPR.
Dari itu, PKS menegaskan tidak akan terpengaruh dengan adanya sikap dari sebagian anggota Komisi I yang ingin mempertahankan Kemal Azis Stamboel sebagai ketua komisi I DPR.
"Ah nggak ngaruh itu. Itu cuma main-main saja," ujar Wakil Sekjen DPP PKS Mahfud Siddiq kepada wartawan di Jakarta (Selasa, 17/8).
Setelah dirombak, Mahfud menjelaskan, Kemal Aziz kemudian akan menjadi anggota Komisi XI DPR.
"Mutasinya sudah di Komisi XI, tapi sekarang masih menunggu serah terima," imbuhnya.
Sedangkan kursi ketua komisi I DPR yang ditinggalkan Kemal akan diduduki oleh Mahfudz sendiri.
"Ya sampai hari ini keputusannya seperti itu," tandasnya. [zul]
Monday, August 16, 2010
Kemenlu serta Kementerian Kelautan dan Perikanan Protes Keras Pemerintah Malaysia
[ Senin, 16 Agustus 2010 ]JawaPOs.co.id
Kemenlu Berupaya Bebaskan Tiga Petugas DKP
JAKARTA - Penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau (DKP Kepri) yang berpatroli di perbatasan laut oleh Pasukan Gerak Marin atau Marine Police Malaysia (MPM) berbuntut. Kemenlu serta Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia memprotes keras pemerintah Malaysia.
Indonesia menilai penangkapan itu tidak relevan. Sebab, para petugas DKP tersebut ditodong senjata dan disandera patroli kesatuan di bawah Polis Diraja Malaysia (PDRM) itu saat mengamankan tujuh nelayan Malaysia yang mencuri ikan dan menerobos batas laut Indonesia.
Hingga tadi malam (15/8), Kemenlu berupaya membebaskan mereka. Menlu Marty Natalegawa juga telah berkomunikasi dan menginstruksi KBRI Kuala Lumpur maupun KJRI Johor Bahru untuk menangani kasus tersebut.
"Saat ini kami mengupayakan akses kekonsuleran bagi tiga petugas itu dalam waktu dekat," ujar Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah kemarin (15/8).
Selain upaya pembebasan, Faizasyah menyatakan bahwa Kemenlu menyampaikan nota protes kepada Malaysia jika terbukti penangkapan itu melanggar prosedur. Saat ini Kemenlu masih menunggu data koordinat tempat peristiwa tersebut untuk memperkuat bukti bahwa penangkapan terjadi di wilayah Indonesia.
Seperti diberitakan kemarin, tiga petugas DKP itu ditangkap di perairan Tanjung Berakit, Bintan, Jumat malam (13/8). Mereka adalah Asriadi, 40; Erwan,37; dan Seivo Grevo Wewengkang, 26. Penangkapan tersebut terjadi ketika mereka berpatroli di perbatasan laut Indonesia-Malaysia.
Insiden berlangsung tidak lama setelah petugas DKP menahan tujuh nelayan Malaysia karena praktik illegal fishing (pencurian ikan) di perairan Indonesia. Saat itu enam petugas DKP berpatroli dengan kapal Dolphin 015 di perairan Tanjung Berakit dan memergoki lima kapal Malaysia mencuri ikan.
Selanjutnya, tujuh nelayan Malaysia digiring ke Batam untuk diperiksa. Dalam perjalanan itu, kapal patroli MPM menghadang dan minta tujuh nelayan Malaysia dibebaskan. Karena petugas DKP menolak, terjadi ketegangan.
Lantas, MPM melepaskan tembakan peringatan. Karena tidak dibekali senjata, petugas DKP terpaksa menyerah dan dibawa paksa oleh MPM. Selanjutnya, MPM membawa mereka ke Johor. Sedangkan tiga petugas DKP lainnya membawa tujuh nelayan asal Malaysia ke Batam dan menyerahkan mereka kepada Ditpolair Kepri.
Sejauh ini, nasib tiga petugas DKP yang ditangkap itu belum jelas. Menurut informasi, mereka ditahan di Pengerang, wilayah ujung bagian tenggara Johor atau sekitar 120 km dari Kota Johor Bahru.
"Kami belum tahu kapan mereka dibebaskan. Itu sudah menjadi masalah G to G (antar pemerintah, Red). Kami mendapatkan info bahwa sampai sekarang tiga petugas satuan kerja DKP tersebut masih ditahan di kawasan Pengerang, Johor," ujar Direktur Polair Polda Kepri AKBP M. Yassin Kosasih kepada Batam Pos (Jawa Pos Group) kemarin.
Hermanto, kepala Satuan Kerja DKP Tanjung Balai, Karimun, Kepri, yang ikut dalam patroli dan mengamankan nelayan Malaysia tersebut, menceritakan lagi penangkapan itu. Dia menuturkan, salah seorang anggota MPM Johor dengan nada arogan memaksa nelayan Malaysia dilepaskan.
Selain itu, papar dia, MPM meminta petugas DKP segera menyingkir karena mengklaim perairan dekat Tanjung Berakit tersebut milik Malaysia. Karena Hermanto membantah dan membalas pernyataan tersebut, polisi Malaysia melepaskan tembakan peringatan dua kali ke arah kapal Dolphin 015 yang ditumpangi enam anggota DKP Batam dan Karimun.
"Masak kami diminta menyingkir dari rumah sendiri? Itu tidak mungkin. Mereka yang tidak tahu batas teritorialnya di mana. Mereka selalu menginjak kedaulatan tanah air Indonesia," tegasnya saat menyelesaikan laporan kronologi penangkapan di Polda Kepri, Batam, kemarin.
Hermanto langsung menunjukkan tempat mereka menangkap nelayan Malaysia di perairan Tanjung Berakit. Dia mengatakan, kapal patroli Dolphin 015 menangkap kapal KLA JHF 6532 (kapal nelayan Malaysia) pada posisi 01-22-3906 lintang utara (LU) dan 104-28-8681 bujur timur (BT). Sedangkan kapal KLA JHF 8442 dihadang saat berada pada posisi 01-22-2186 LU dan 104-31-3188 BT.
Kapal JHF 6367 dibekuk pada posisi 01-21-0436 LU dan 104-3009437 BT. Lantas, kapal JHF 5320 berada pada posisi 01-20-0187 LU dan 104-29-4183 BT ketika diringkus. Sementara itu, kapal JHF 5280 diamankan pada posisi 01-16-8937 LU dan 104-27-8178 BT.
Sekitar pukul 21.15 WIB, saat kapal Dolphin 015 menangkap lima kapal nelayan Malaysia pada posisi tersebut, tiba-tiba kapal patroli polisi perairan Johor menghadang. "Seharusnya, polisi perbatasan negara sudah tahu tentang peta perbatasan. Kami sudah jelaskan, tapi mereka ngotot," terang Hermanto.
Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, dan Kehutanan (KP2K) Kota Batam Suhartini menyebutkan sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. "Besok (hari ini, Red) mereka bertolak ke Johor untuk menyelesaikan masalah dan membebaskan staf saya tersebut," ujarnya.
Yassin menambahkan, Polda Kepri akan ikut andil dalam upaya pembebasan tiga anggota DKP yang ditahan di Malaysia itu. "Pemerintah lewat Kemenlu serta Kementerian Kelautan dan Perikanan akan turun tangan. Namun, kami juga bakal membantu dengan langsung bertolak ke Johor," terang dia.
Soal tujuh nelayan Malaysia, Yassin menyatakan bahwa mereka saat ini berada di lantai 2 Ditpolair Polda Kepri karena masih diperiksa. "Belum ditetapkan sebagai tersangka dan tidak ditahan dalam sel. Mereka masih diperiksa," jelas Yassin.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Fadel Muhammad mengecam keras penangkapan itu. Menurut Fadel, berdasar laporan di lapangan, yang dilakukan oleh petugas DKP sudah benar. Saat bertugas malam itu, mereka menangkap nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. "Mereka (nelayan Malaysia, Red) kurang ajar dan memasuki wilayah kita. Sebagai petugas, mereka (staf DKP, Red) wajib bertindak keras," ucap Fadel.
Mantan gubernur Gorontalo itu mengatakan, saat ini KKP mengirimkan tim untuk menuntaskan kasus tersebut. Alasannya, jika dibiarkan, insiden tersebut menjadi preseden buruk pada masa mendatang. "Saya sudah kirim orang ke Johor dan minta masalah itu diselesaikan," tegas dia.
Fadel belum memastikan apakah tujuh nelayan Malaysia itu akan ditukar dengan tiga petugas DKP tersebut. Dia beralasan masalah itu masih menunggu proses diplomasi Indonesia-Malaysia. "Besok pagi (pagi ini, Red) saya bertemu Dubes Malaysia (di Jakarta, Red) untuk membahas rencana pengembalian petugas kita," paparnya.
Dia memastikan tiga warga Indonesia tersebut bakal kembali dengan selamat dalam waktu maksimal tujuh hari. Sedangkan nelayan Malaysia yang ditangkap akan dideportasi sesuai dengan hukum internasional. Tetapi, kapal mereka akan disita.
Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso membenarkan adanya tembakan peringatan dalam penangkapan itu. "Tetapi, tidak ada penembakan terhadap petugas kita. Hanya tembakan peringatan kepada petugas yang berpatroli," papar dia.
Menko Polhukam Djoko Suyanto menegaskan bahwa pemerintah akan menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan kasus penangkapan tiga pegawai DKP tersebut. "Itu kini diselesaikan di antara dua negara. Menlu sudah bekerja, Kementerian KKP juga berusaha menyelesaikan masalah itu," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Djoko pun menyampaikan bahwa Presiden SBY sudah mengetahui peristiwa tersebut. Presiden berharap persoalan tersebut dituntaskan secara baik-baik. "Nanti kita ikuti prosesnya," terang Djoko.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq merespons keras tindakan patroli Malaysia yang menembaki kapal DKP di perairan Indonesia tersebut. "Itu bukan lagi provokasi, melainkan sudah konfrontasi," tegasnya.
Menurut dia, pemerintah Indonesia harus segera bertindak dengan mengumpulkan fakta dan bukti. Mahfudz juga meminta Kemenlu mengajukan protes resmi. "Pemerintah Malaysia harus meminta maaf kepada Indonesia," ujarnya. (sof/zul/pri/cha/jpnn/c11/dwi)
Kemenlu Berupaya Bebaskan Tiga Petugas DKP
JAKARTA - Penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau (DKP Kepri) yang berpatroli di perbatasan laut oleh Pasukan Gerak Marin atau Marine Police Malaysia (MPM) berbuntut. Kemenlu serta Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia memprotes keras pemerintah Malaysia.
Indonesia menilai penangkapan itu tidak relevan. Sebab, para petugas DKP tersebut ditodong senjata dan disandera patroli kesatuan di bawah Polis Diraja Malaysia (PDRM) itu saat mengamankan tujuh nelayan Malaysia yang mencuri ikan dan menerobos batas laut Indonesia.
Hingga tadi malam (15/8), Kemenlu berupaya membebaskan mereka. Menlu Marty Natalegawa juga telah berkomunikasi dan menginstruksi KBRI Kuala Lumpur maupun KJRI Johor Bahru untuk menangani kasus tersebut.
"Saat ini kami mengupayakan akses kekonsuleran bagi tiga petugas itu dalam waktu dekat," ujar Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah kemarin (15/8).
Selain upaya pembebasan, Faizasyah menyatakan bahwa Kemenlu menyampaikan nota protes kepada Malaysia jika terbukti penangkapan itu melanggar prosedur. Saat ini Kemenlu masih menunggu data koordinat tempat peristiwa tersebut untuk memperkuat bukti bahwa penangkapan terjadi di wilayah Indonesia.
Seperti diberitakan kemarin, tiga petugas DKP itu ditangkap di perairan Tanjung Berakit, Bintan, Jumat malam (13/8). Mereka adalah Asriadi, 40; Erwan,37; dan Seivo Grevo Wewengkang, 26. Penangkapan tersebut terjadi ketika mereka berpatroli di perbatasan laut Indonesia-Malaysia.
Insiden berlangsung tidak lama setelah petugas DKP menahan tujuh nelayan Malaysia karena praktik illegal fishing (pencurian ikan) di perairan Indonesia. Saat itu enam petugas DKP berpatroli dengan kapal Dolphin 015 di perairan Tanjung Berakit dan memergoki lima kapal Malaysia mencuri ikan.
Selanjutnya, tujuh nelayan Malaysia digiring ke Batam untuk diperiksa. Dalam perjalanan itu, kapal patroli MPM menghadang dan minta tujuh nelayan Malaysia dibebaskan. Karena petugas DKP menolak, terjadi ketegangan.
Lantas, MPM melepaskan tembakan peringatan. Karena tidak dibekali senjata, petugas DKP terpaksa menyerah dan dibawa paksa oleh MPM. Selanjutnya, MPM membawa mereka ke Johor. Sedangkan tiga petugas DKP lainnya membawa tujuh nelayan asal Malaysia ke Batam dan menyerahkan mereka kepada Ditpolair Kepri.
Sejauh ini, nasib tiga petugas DKP yang ditangkap itu belum jelas. Menurut informasi, mereka ditahan di Pengerang, wilayah ujung bagian tenggara Johor atau sekitar 120 km dari Kota Johor Bahru.
"Kami belum tahu kapan mereka dibebaskan. Itu sudah menjadi masalah G to G (antar pemerintah, Red). Kami mendapatkan info bahwa sampai sekarang tiga petugas satuan kerja DKP tersebut masih ditahan di kawasan Pengerang, Johor," ujar Direktur Polair Polda Kepri AKBP M. Yassin Kosasih kepada Batam Pos (Jawa Pos Group) kemarin.
Hermanto, kepala Satuan Kerja DKP Tanjung Balai, Karimun, Kepri, yang ikut dalam patroli dan mengamankan nelayan Malaysia tersebut, menceritakan lagi penangkapan itu. Dia menuturkan, salah seorang anggota MPM Johor dengan nada arogan memaksa nelayan Malaysia dilepaskan.
Selain itu, papar dia, MPM meminta petugas DKP segera menyingkir karena mengklaim perairan dekat Tanjung Berakit tersebut milik Malaysia. Karena Hermanto membantah dan membalas pernyataan tersebut, polisi Malaysia melepaskan tembakan peringatan dua kali ke arah kapal Dolphin 015 yang ditumpangi enam anggota DKP Batam dan Karimun.
"Masak kami diminta menyingkir dari rumah sendiri? Itu tidak mungkin. Mereka yang tidak tahu batas teritorialnya di mana. Mereka selalu menginjak kedaulatan tanah air Indonesia," tegasnya saat menyelesaikan laporan kronologi penangkapan di Polda Kepri, Batam, kemarin.
Hermanto langsung menunjukkan tempat mereka menangkap nelayan Malaysia di perairan Tanjung Berakit. Dia mengatakan, kapal patroli Dolphin 015 menangkap kapal KLA JHF 6532 (kapal nelayan Malaysia) pada posisi 01-22-3906 lintang utara (LU) dan 104-28-8681 bujur timur (BT). Sedangkan kapal KLA JHF 8442 dihadang saat berada pada posisi 01-22-2186 LU dan 104-31-3188 BT.
Kapal JHF 6367 dibekuk pada posisi 01-21-0436 LU dan 104-3009437 BT. Lantas, kapal JHF 5320 berada pada posisi 01-20-0187 LU dan 104-29-4183 BT ketika diringkus. Sementara itu, kapal JHF 5280 diamankan pada posisi 01-16-8937 LU dan 104-27-8178 BT.
Sekitar pukul 21.15 WIB, saat kapal Dolphin 015 menangkap lima kapal nelayan Malaysia pada posisi tersebut, tiba-tiba kapal patroli polisi perairan Johor menghadang. "Seharusnya, polisi perbatasan negara sudah tahu tentang peta perbatasan. Kami sudah jelaskan, tapi mereka ngotot," terang Hermanto.
Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, dan Kehutanan (KP2K) Kota Batam Suhartini menyebutkan sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. "Besok (hari ini, Red) mereka bertolak ke Johor untuk menyelesaikan masalah dan membebaskan staf saya tersebut," ujarnya.
Yassin menambahkan, Polda Kepri akan ikut andil dalam upaya pembebasan tiga anggota DKP yang ditahan di Malaysia itu. "Pemerintah lewat Kemenlu serta Kementerian Kelautan dan Perikanan akan turun tangan. Namun, kami juga bakal membantu dengan langsung bertolak ke Johor," terang dia.
Soal tujuh nelayan Malaysia, Yassin menyatakan bahwa mereka saat ini berada di lantai 2 Ditpolair Polda Kepri karena masih diperiksa. "Belum ditetapkan sebagai tersangka dan tidak ditahan dalam sel. Mereka masih diperiksa," jelas Yassin.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Fadel Muhammad mengecam keras penangkapan itu. Menurut Fadel, berdasar laporan di lapangan, yang dilakukan oleh petugas DKP sudah benar. Saat bertugas malam itu, mereka menangkap nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. "Mereka (nelayan Malaysia, Red) kurang ajar dan memasuki wilayah kita. Sebagai petugas, mereka (staf DKP, Red) wajib bertindak keras," ucap Fadel.
Mantan gubernur Gorontalo itu mengatakan, saat ini KKP mengirimkan tim untuk menuntaskan kasus tersebut. Alasannya, jika dibiarkan, insiden tersebut menjadi preseden buruk pada masa mendatang. "Saya sudah kirim orang ke Johor dan minta masalah itu diselesaikan," tegas dia.
Fadel belum memastikan apakah tujuh nelayan Malaysia itu akan ditukar dengan tiga petugas DKP tersebut. Dia beralasan masalah itu masih menunggu proses diplomasi Indonesia-Malaysia. "Besok pagi (pagi ini, Red) saya bertemu Dubes Malaysia (di Jakarta, Red) untuk membahas rencana pengembalian petugas kita," paparnya.
Dia memastikan tiga warga Indonesia tersebut bakal kembali dengan selamat dalam waktu maksimal tujuh hari. Sedangkan nelayan Malaysia yang ditangkap akan dideportasi sesuai dengan hukum internasional. Tetapi, kapal mereka akan disita.
Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso membenarkan adanya tembakan peringatan dalam penangkapan itu. "Tetapi, tidak ada penembakan terhadap petugas kita. Hanya tembakan peringatan kepada petugas yang berpatroli," papar dia.
Menko Polhukam Djoko Suyanto menegaskan bahwa pemerintah akan menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan kasus penangkapan tiga pegawai DKP tersebut. "Itu kini diselesaikan di antara dua negara. Menlu sudah bekerja, Kementerian KKP juga berusaha menyelesaikan masalah itu," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Djoko pun menyampaikan bahwa Presiden SBY sudah mengetahui peristiwa tersebut. Presiden berharap persoalan tersebut dituntaskan secara baik-baik. "Nanti kita ikuti prosesnya," terang Djoko.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq merespons keras tindakan patroli Malaysia yang menembaki kapal DKP di perairan Indonesia tersebut. "Itu bukan lagi provokasi, melainkan sudah konfrontasi," tegasnya.
Menurut dia, pemerintah Indonesia harus segera bertindak dengan mengumpulkan fakta dan bukti. Mahfudz juga meminta Kemenlu mengajukan protes resmi. "Pemerintah Malaysia harus meminta maaf kepada Indonesia," ujarnya. (sof/zul/pri/cha/jpnn/c11/dwi)
Subscribe to:
Posts (Atom)