Monday, January 05, 2009

Masa Pembahasan RUU Harus Dibatasi

Fajar.co.id Minggu, 04-01-09 | 10:35 | 111
Masa Pembahasan RUU Harus Dibatasi

JAKARTA -- Proses legislasi atau pembahasan undang-undang di parlemen sangat lamban. Di antara 284 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk prolegnas (program legislasi nasional) periode 2004�2009, sampai awal 2009 ini baru 155 RUU yang disahkan menjadi undang-undang (UU).

Agar kondisi itu tidak terus terulang, DPR harus berani mengambil terobosan progresif. Misal, membuat aturan yang membatasi jatah waktu pembahasan suatu undang-undang. Aturan tersebut bisa disisipkan dengan merevisi UU No10/ 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Selama ini, memang tidak ada perintah di UU No 10/2004 yang mengharuskan suatu RUU tuntas maksimal dalam jangka waktu tertentu," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia Andrinoff Chaniago kepada Jawa Pos, 3 Januari 2009.

Karena DPR tidak mempunyai target dan sistem kerja yang jelas, lanjut dia, banyak RUU yang pembahasannya berlarut-larut atau menghabiskan waktu lama. UU Minerba, contohnya, baru rampung setelah dibahas 3 tahun 7 bulan.

Keterlambatan itu bisa jadi disengaja dengan pertimbangan kepentingan politik. Mungkin juga ada motivasi ekonomi untuk menghabiskan anggaran. "Padahal, kepentingan politik itu seharusnya tidak boleh sampai mengorbankan hak publik. Kalau memang harus voting ya nggak apa-apa. Jangan diulur-ulur terus," kritik direktur CIRUS Surveyors Group itu.

Berapa idealnya jatah waktu maksimal pembahasan RUU? "Saya kira dua tahun. Nggak masuk akal rasanya kalau satu RUU dibahas sampai lebih dari dua tahun," jawabnya.

Terpisah, Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq mengakui tidak semua pembahasan RUU berjalan efektif. Faktor kehadiran anggota menjadi salah satu kendalanya. Apalagi, sejak Juli 2008 banyak wakil rakyat yang sibuk berkampanye di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Terlepas dari faktor kehadiran itu, menurut dia, beban RUU yang harus dibahas di prolegnas memang terlalu bertumpuk. Mahfudz menyarankan, ada pembatasan yang lebih selektif. "Secara rasional setiap tahun DPR mestinya hanya menyelesaikan 20-30 RUU saja," ujarnya.

Dia mengingatkan bahwa kapasitas DPR sangat tidak memadai apabila dibandingkan jumlah RUU yang harus diselesaikan setiap tahun. Apalagi, tidak semua RUU sudah disiapkan secara komprehensif. Di antaranya, didukung naskah akademik yang baik, partisipasi stakeholder yang intensif sejak penyusunan draf RUU, dan didukung law center DPR yang kuat.

"Tanpa dukungan semua itu akan berpeluang menghasilkan UU yang tambal sulam dan penuh kompromi kepentingan jangka pendek,�� kata Mahfudz.

Bagaimana dengan prolegnas 2009 yang menargetkan 82 RUU? "Mau tidak mau, DPR harus memilih RUU yang paling penting dan paling urgen untuk dituntaskan," tuturnya. Misal, RUU Tipikor, RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Susduk, revisi UU Pemda, dan RUU Produk Halal. (pri)

No comments: