Jakarta (ANTARA) – Mantan Ketua Pansus Bank Century yang kini menjabat Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan sangat mungkin ada skenario di balik `pelesiran` Gayus Tambunan ke Bali, awal November ini.
Ia mengatakan itu kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat, sehubungan berkembangnya komentar terkait “Gayus Pelesiran” yang diduga dimainkan orang-orang dekat kekuasaan untuk pengalihan isu antara lain obral saham BUMN Strategis PT Krakatau Steel.
“Yah, sangat mungkin itu terjadi. Ada skenario mengalihkan isu `Krakatau Steel` (Kras),” tandas politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Ia menambahkan, skenario itu dibuat sedemikian rupa dengan merekayasa kepergian si mafia pajak Gayus Halomoan Tambanan ke Bali.
“Karena itu, dugaan skandal di balik Kras juga harus terus diselidiki biar semuanya terbongkar dan jelas,” ujar Mahfudz Siddiq.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mendesak Kapolri membongkar siapa `dalang` pelesiran Gayus Tambunan selama ini.
Ia mengatakan itu terkait adanya dugaan sebanyak 68 kali Gayus Tambunan keluar Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, termasuk `pelesiran` ke Pulau Dewata, Bali selama dua hari, awal November ini.
“Siapa pemberi perintah (keluar Rutan) itulah yang perlu diungkap Kapolri,” tandas Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini.
Pengungkapan kegiatan `Gayus pelesiran` itu dinyatakannya sangat penting untuk membongkar praktik mafia hukum yang diduga kuat melibatkan orang-orang dekat kekuasaan.
Menurut Bambang, pembongkaran aksi pelesiran ke luar Rutan itu perlu sebab beberapa di antaranya, terutama ketika bepergian ke Bali, diduga bukan karena kemauan Gayus Halomoan Tambunan.
“Dari penelusuran kami, didapat keterangan bahwa Kepala Rutan Mako Brimob Kelapa Dua tidak bertindak karena kemauannya sendiri, atau berdasarkan kesepakatannya dengan Gayus,” ungkapnya.
Diduga, tambahnya, ada perintah dari perwira di atasnya di lingkungan Polri.
“Nah, sekali lagi kami nyatakan, siapa pemberi perintah itulah yang perlu diungkap Kapolri. Tidak sulit kok. Karena Kapolri bisa mengoreknya dilangsung dari Kepala Rutan yang kini (sudah) ditahan,” tandasnya.
Desakan Kader Golkar
Karenanya, demikian Bambang Soesatyo, kader Partai Golkar mendesak Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk mengungkap motif kasus ini.
“Mengingat Partai Golkar paling dirugikan oleh kasus `Gayus Pelesiran` ke Bali. Di ruang publik, dalam beberapa hari terakhir ini, telah dikembangkan cerita dan asumsi yang sangat memojokkan Partai Golkar. Dan itu kami yakini dilakukan oleh pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan,” ujarnya.
Bambang Soesatyo juga meyakini, kisah `Gayus Pelesiran` itu dilakukan oleh pihak-pihak dekat kekuasaan tersebut sebagai pengalihan isu `perampokan saham Krakatau Steel` oleh kelompok tertentu.
“Malahan, kami juga mendengar ada pihak yang berinisial “Y”, salah satu jubir pejabat tinggi negara yang pertama kali menghembuskan berita `Gayus Pelesiran` lalu dikaitkan kehadiran Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie di Bali.
Untuk itu, ia menegaskan, pihaknya minta yang bersangkutan memberikan klarifikasi apa motifnya.
“Lebih dari itu, bagi kami, pengakuan Gayus tentang foto keberadaanya di Bali di Pengadilan, sesungguhnya belum menuntaskan persoalan. Kini Polisi harus bisa mengungkap siapa yang menyuruh dan mengatur perjalanan Gayus ke Bali, serta apa motif utamanya, selain menonton pertandingan tenis,” kata Bambang Soesatyo lagi.
sumber : id.news.yahoo
Friday, November 26, 2010
DPR Pertanyakan Kesungguhan KPK
Kamis, 25 November 2010 | 03:31 WIB
Jakarta, Kompas - Tim Pengawas Dewan Perwakilan Rakyat untuk Penuntasan Kasus Bank Century mempertanyakan keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut kasus itu. Sebab, KPK belum juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian dan penggunaan dana talangan senilai Rp 6,7 miliar untuk Bank Century itu.
Pertanyaan ini muncul saat Tim Pengawas DPR untuk Bank Century bertemu dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono, dan pimpinan KPK, Rabu (24/11) di Jakarta. Pertemuan itu dipimpin Wakil Ketua DPR Anis Matta.
Timur menjelaskan, ada 28 berkas perkara terkait kasus Bank Century yang disidik Polri. Sepuluh perkara di antaranya sudah divonis di pengadilan.
Darmono menambahkan, kejaksaan masih berusaha untuk mengembalikan aset Bank Century di luar negeri.
Sebaliknya, Wakil Ketua KPK M Jasin menuturkan, lembaganya sudah meminta keterangan dari 137 orang. Namun, hingga kini KPK belum menemukan dugaan korupsi dalam kasus Bank Century.
”Kami belum menemukan ada niat jahat dalam kasus Bank Century. Keputusan bail out (pemberian dana talangan) harus ada niat jahatnya. Dalam kasus Bank Century, lebih banyak ditemukan dugaan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang bukan wewenang KPK,” ujar Jasin.
Chairuman Harahap, anggota Tim Pengawas dari Fraksi Partai Golkar, mempertanyakan belum ditemukannya niat buruk ini karena, menurut dia, itu sudah jelas. Niat buruk bisa dilihat, misalnya, dari sikap Bank Indonesia menurunkan persyaratan rasio kecukupan modal agar Bank Century bisa menerima bantuan.
Mahfudz Siddiq, anggota Tim Pengawas dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pun mempertanyakan KPK. ”Ada apa dengan KPK?” ucapnya. (nwo)
Jakarta, Kompas - Tim Pengawas Dewan Perwakilan Rakyat untuk Penuntasan Kasus Bank Century mempertanyakan keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut kasus itu. Sebab, KPK belum juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian dan penggunaan dana talangan senilai Rp 6,7 miliar untuk Bank Century itu.
Pertanyaan ini muncul saat Tim Pengawas DPR untuk Bank Century bertemu dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono, dan pimpinan KPK, Rabu (24/11) di Jakarta. Pertemuan itu dipimpin Wakil Ketua DPR Anis Matta.
Timur menjelaskan, ada 28 berkas perkara terkait kasus Bank Century yang disidik Polri. Sepuluh perkara di antaranya sudah divonis di pengadilan.
Darmono menambahkan, kejaksaan masih berusaha untuk mengembalikan aset Bank Century di luar negeri.
Sebaliknya, Wakil Ketua KPK M Jasin menuturkan, lembaganya sudah meminta keterangan dari 137 orang. Namun, hingga kini KPK belum menemukan dugaan korupsi dalam kasus Bank Century.
”Kami belum menemukan ada niat jahat dalam kasus Bank Century. Keputusan bail out (pemberian dana talangan) harus ada niat jahatnya. Dalam kasus Bank Century, lebih banyak ditemukan dugaan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang bukan wewenang KPK,” ujar Jasin.
Chairuman Harahap, anggota Tim Pengawas dari Fraksi Partai Golkar, mempertanyakan belum ditemukannya niat buruk ini karena, menurut dia, itu sudah jelas. Niat buruk bisa dilihat, misalnya, dari sikap Bank Indonesia menurunkan persyaratan rasio kecukupan modal agar Bank Century bisa menerima bantuan.
Mahfudz Siddiq, anggota Tim Pengawas dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pun mempertanyakan KPK. ”Ada apa dengan KPK?” ucapnya. (nwo)
Label:
Angket Bank Century,
POLHUKAM,
Politik Nasional
KPK Tidak Temukan Pidana Korupsi, Timwas Century Kecewa
Kamis, 25 November 2010 - 7:39 WIB
JAKARTA (Pos Kota) – Tim Pengawas Century DPR kecewa terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum menemukan tindak pidana korupsi dalam kasus penggelontoran dana Rp6,7 triliun terhadap Bank Century.
“Kami kecewa berat, sebab rekomendasi DPR berdasarkan hasil audit BPK menunjukkan adanya tindak pidana korupsi dalam proses bailout Rp 6,7 triliun. Sekarang kok KPK mencoba membalik temuan itu dengan tidak ada korupsi,” kata Fahri Hamzah pada rapat Timwas Century dengan Kapolri Komjen Timur Pradopo, Plt Jaksa Agung Darmono, dan pimpinan KPK, Rabu, 24/11.
Sebelumnya, dalam paparannya, Ketua KPK M Yassin menyatakan memang belum menemukan tindak pidana korupsi. “Yang kami temukan tindak pidana perbankan, bukan korupsi.”
BOLA PANAS POLITIK
Anggota tim lainnya, Mahfudz Siddiq menyatakan, sejauh ini Polri dan Kejaksaan Agung sudah lebih maju. ”Kalau dalam kasus Rafat Ali Rizvi dan Hesyan Al Warraq dituntut tindak pidana korupsi, kenapa KPK tidak menemukan korupsi itu,” katanya.
Sementara itu, anggota Timwas I Made Pasek Suardika dari F Demokrat menyatakan, sebaiknya KPK menjelaskan kesimpulan akhir agar tidak menjadi bola panas politik. ”Sudahlah, KPK jangan takut, katakan tidak ada tindak pidana korupsi, kalau memang tidak ada, daripada jadi bola panas politik.”
(winoto/us/o)
JAKARTA (Pos Kota) – Tim Pengawas Century DPR kecewa terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum menemukan tindak pidana korupsi dalam kasus penggelontoran dana Rp6,7 triliun terhadap Bank Century.
“Kami kecewa berat, sebab rekomendasi DPR berdasarkan hasil audit BPK menunjukkan adanya tindak pidana korupsi dalam proses bailout Rp 6,7 triliun. Sekarang kok KPK mencoba membalik temuan itu dengan tidak ada korupsi,” kata Fahri Hamzah pada rapat Timwas Century dengan Kapolri Komjen Timur Pradopo, Plt Jaksa Agung Darmono, dan pimpinan KPK, Rabu, 24/11.
Sebelumnya, dalam paparannya, Ketua KPK M Yassin menyatakan memang belum menemukan tindak pidana korupsi. “Yang kami temukan tindak pidana perbankan, bukan korupsi.”
BOLA PANAS POLITIK
Anggota tim lainnya, Mahfudz Siddiq menyatakan, sejauh ini Polri dan Kejaksaan Agung sudah lebih maju. ”Kalau dalam kasus Rafat Ali Rizvi dan Hesyan Al Warraq dituntut tindak pidana korupsi, kenapa KPK tidak menemukan korupsi itu,” katanya.
Sementara itu, anggota Timwas I Made Pasek Suardika dari F Demokrat menyatakan, sebaiknya KPK menjelaskan kesimpulan akhir agar tidak menjadi bola panas politik. ”Sudahlah, KPK jangan takut, katakan tidak ada tindak pidana korupsi, kalau memang tidak ada, daripada jadi bola panas politik.”
(winoto/us/o)
Label:
Angket Bank Century,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Thursday, November 25, 2010
WNI di Korea Harus Segera Dievakuasi!
Rabu, 24 November 2010 , 12:09:00 WIB
Laporan: Sugeng Triono
RMOL. Pemerintah Indonesia seharusnya bisa memainkan peran diplomasinya untuk mendamaikan ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang kembali memanas baru-baru ini.
Namun yang terpenting, warga negara Indonesia yang ada di dua negara bertikai itu dapat segera dievakuasi.
"KBRI disana harus mengambil langkah-langkah evakuasi," papar Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq kepada wartawan di area Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, siang ini (Rabu, 24/11).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengingatkan, konflik antar dua negara di Semenanjung Korea itu bukan hanya soal perbatasan tapi juga menyangkut nuklir. Kondisi ini bisa berkembang menjadi konflik kawasan.
"Secara ekonomi, dampaknya akan terasa kalau perang ini terus berjalan, kan yang rugi Asia Tenggaranya akan kena dampaknya," tukas dia.
Ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan di Semenanjung Korea kembali memanas setelah militer Korea Utara menembakkan puluhan peluru artileri ke sebuah pulau di perbatasan Korea Selatan pada Selasa (23/11) kemarin. Pulau tersebut bernama Yeonpyeong dan memang sedang menjadi sengketa antara Korea Utara dan Korea Selatan. Serangan Korea Utara tersebut menyebabkan seorang militer Korea Selatan tewas sementara itu 13 orang lainnya mengalami luka-luka dan beberapa rumah rusak parah. [wid]
Laporan: Sugeng Triono
RMOL. Pemerintah Indonesia seharusnya bisa memainkan peran diplomasinya untuk mendamaikan ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang kembali memanas baru-baru ini.
Namun yang terpenting, warga negara Indonesia yang ada di dua negara bertikai itu dapat segera dievakuasi.
"KBRI disana harus mengambil langkah-langkah evakuasi," papar Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq kepada wartawan di area Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, siang ini (Rabu, 24/11).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengingatkan, konflik antar dua negara di Semenanjung Korea itu bukan hanya soal perbatasan tapi juga menyangkut nuklir. Kondisi ini bisa berkembang menjadi konflik kawasan.
"Secara ekonomi, dampaknya akan terasa kalau perang ini terus berjalan, kan yang rugi Asia Tenggaranya akan kena dampaknya," tukas dia.
Ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan di Semenanjung Korea kembali memanas setelah militer Korea Utara menembakkan puluhan peluru artileri ke sebuah pulau di perbatasan Korea Selatan pada Selasa (23/11) kemarin. Pulau tersebut bernama Yeonpyeong dan memang sedang menjadi sengketa antara Korea Utara dan Korea Selatan. Serangan Korea Utara tersebut menyebabkan seorang militer Korea Selatan tewas sementara itu 13 orang lainnya mengalami luka-luka dan beberapa rumah rusak parah. [wid]
Label:
Komisi 1: Luar negri,
POLHUKAM,
Politik Nasional
Lagi, Mahfudz Serukan Stop Kirim TKI ke Luar Negeri
Rabu, 24 November 2010 , 12:51:00 WIB
Laporan: Sugeng Triono
RMOL. Belajar dari pengalaman yang sudah ada termasuk kasus kekerasan yang dialami Sumiati di Arab Saudi, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sebenarnya lebih banyak mudarat.
Pandangan ini dikemukakan Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq saat ditemui wartawan di area Gedung Nusantara I Senayan, Jakarta, siang ini (Rabu, 24/11).
Atas dasar itulah, Mahfudz yang juga Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera kembali menekankan agar pemerintah menghentikan pengiriman TKI untuk menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri.
"Pemerintah jangan hanya mementingkan bisnis. Stop pengiriman TKI. Ini demi harga diri bangsa juga," tegas dia. [wid]
Laporan: Sugeng Triono
RMOL. Belajar dari pengalaman yang sudah ada termasuk kasus kekerasan yang dialami Sumiati di Arab Saudi, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sebenarnya lebih banyak mudarat.
Pandangan ini dikemukakan Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq saat ditemui wartawan di area Gedung Nusantara I Senayan, Jakarta, siang ini (Rabu, 24/11).
Atas dasar itulah, Mahfudz yang juga Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera kembali menekankan agar pemerintah menghentikan pengiriman TKI untuk menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri.
"Pemerintah jangan hanya mementingkan bisnis. Stop pengiriman TKI. Ini demi harga diri bangsa juga," tegas dia. [wid]
Tuesday, November 23, 2010
Hentikan Pengiriman TKI sebagai Pembantu
Senin, 22 November 2010 | 22:13 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq meminta pemerintah menghentikan pengiriman TKI sebagai pembantu rumah tangga. Kekerasan majikan terhadap PRT Indonesia di luar negeri sudah kerap sekali terjadi, tetapi para majikan tersebut kerap kali bebas begitu saja.
Saya minta agar pengiriman PRT ke luar negeri dilakukan jika ada jaminan keselamatan dari negara tujuan. Pemerintah juga harus memastikan PRT yang dikirim benar-benar memiliki cukup keahlian, bukan hanya karena kebutuhan ekonomi saja.
-- Mahfudz Siddiq
"Saya minta agar pengiriman PRT ke luar negeri dilakukan jika ada jaminan keselamatan dari negara tujuan. Pemerintah juga harus memastikan PRT yang dikirim benar-benar memiliki cukup keahlian, bukan hanya karena kebutuhan ekonomi saja," ujar Mahfudz di Jakarta, Senin (22/11/2010).
Rekan sefraksi Mahfudz, dari Fraksi PKS lainnya, Yoyoh Yusroh, mengatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi para pekerja yang berada di luar negeri. "Perlakuan kasar dan penganiayaan atas Sumiati oleh majikannya di Arab Saudi telah melanggar hak asasi manusia. Bahkan, ini bisa dikategorikan menjadi kejahatan negara karena membiarkan warganya melakukan kekerasan. Kami minta Pemerintah Indonesia all out melakukan perlindungan," katanya.
Yoyoh melanjutkan, kewajiban menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja di luar negeri adalah amanat UUD 1945.
"Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan itu juga harus dilakukan berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan jender, anti-diskriminasi, dan anti-perdagangan manusia," ujarnya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq meminta pemerintah menghentikan pengiriman TKI sebagai pembantu rumah tangga. Kekerasan majikan terhadap PRT Indonesia di luar negeri sudah kerap sekali terjadi, tetapi para majikan tersebut kerap kali bebas begitu saja.
Saya minta agar pengiriman PRT ke luar negeri dilakukan jika ada jaminan keselamatan dari negara tujuan. Pemerintah juga harus memastikan PRT yang dikirim benar-benar memiliki cukup keahlian, bukan hanya karena kebutuhan ekonomi saja.
-- Mahfudz Siddiq
"Saya minta agar pengiriman PRT ke luar negeri dilakukan jika ada jaminan keselamatan dari negara tujuan. Pemerintah juga harus memastikan PRT yang dikirim benar-benar memiliki cukup keahlian, bukan hanya karena kebutuhan ekonomi saja," ujar Mahfudz di Jakarta, Senin (22/11/2010).
Rekan sefraksi Mahfudz, dari Fraksi PKS lainnya, Yoyoh Yusroh, mengatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi para pekerja yang berada di luar negeri. "Perlakuan kasar dan penganiayaan atas Sumiati oleh majikannya di Arab Saudi telah melanggar hak asasi manusia. Bahkan, ini bisa dikategorikan menjadi kejahatan negara karena membiarkan warganya melakukan kekerasan. Kami minta Pemerintah Indonesia all out melakukan perlindungan," katanya.
Yoyoh melanjutkan, kewajiban menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja di luar negeri adalah amanat UUD 1945.
"Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan itu juga harus dilakukan berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan jender, anti-diskriminasi, dan anti-perdagangan manusia," ujarnya.
Monday, November 22, 2010
PKS: Ketua DPR Bukan Bos Bagi Anggota Dewan
Karena itu tidak selayaknya Ketua DPR mengembangkan wacana sendiri.
Minggu, 13 September 2009, 10:18 WIB
Siswanto, Anggi Kusumadewi
VIVAnews – Wakil Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal, mengingatkan bahwa peran Ketua DPR yang akan datang ialah sebagai juru bicara parlemen (speaker of the house), bukan bos atau atasan bagi anggota dewan.
Karena itu Mustafa menyatakan tidak selayaknya Ketua DPR mengembangkan wacana sendiri karena dia harus berbicara atas nama institusi.
Ketua DPR dinilai harus mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di lembaga yang dipimpinnya, sebelum melemparkan komentar ke publik.
Hal ini dinilai penting karena tiap-tiap komentar yang dikeluarkan oleh Ketua DPR sekaligus akan menjadi sikap resmi parlemen dalam menanggapi berbagai persoalan.
Oleh karena itu, Mustafa menekankan agar Ketua DPR terus menjaga komunikasi dan memperbarui informasi dengan seluruh Ketua Komisi yang ada di DPR.
PKS menilai pimpinan DPR mendatang memiliki peluang yang besar untuk membangun budaya politik yang lebih baik, transparan, dan profesional. Dengan demikian, performa DPR diharapkan dapat meningkat berkali lipat selama lima tahun ke depan.
Untuk itu, menurut anggota Fraksi Golkar, Yuddy Chrisnandi, diperlukan sosok Ketua DPR yang bersih, kompeten, visioner, berpegalaman, dan merakyat.
"Kualitas-kualitas itu diperlukan, karena Ketua DPR harus berperan sebagai penerang bagi lorong-lorong gelap DPR," kataYuddy.
Yuddy berpendapat sebaiknya calon Ketua DPR minimal memiliki pengalaman memimpin di Komisi DPR, Alat Kelengkapan DPR, atau Fraksi DPR.
"Idealnya Ketua DPR adalah seorang tokoh senior yang telah malang melintang di DPR, dan mempunyai pengalaman serta jam terbang cukup lama di berbagai organisasi lain," kata Yuddy.
Yuddy kurang sepakat apabila Ketua DPR 2009-2014 diambil dari wajah baru di parlemen. Alasannya, pendatang baru belum mampu memahami sisi-sisi gelap yang ada di lembaga legislatif tersebut.
Namun Ketua DPP PDIP, Effendi Simbolon, sedikit berbeda pandangan dengan Yuddy. Menurut Effendi yang terpilih kembali menjadi anggota DPR lima tahun ke depan, Ketua DPR tidak selalu harus berasal dari tokoh senior yanng telah lama berkecimpung di parlemen, karena banyak pula tokoh-tokoh berkualitas yang menimba banyak pengalaman di luar parlemen.
Dia menekankan kriteria terpenting yang harus dimiliki oleh Ketua DPR adalah mampu melaksanakan segala tugas-tugas keparlemenan dengan baik.
"Jika syarat menjadi Ketua DPR selengkap yang disebutkan Yuddy, maka hampir tak ada figur yang memenuhi semua kriteria tersebut," kata dia.
Menanggapi hal itu Yuddy mengusulkan agar SBY sebagai patron partai politik terbesar yang berhak mendapat kursi Ketua DPR, mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan partai-partai lain guna menetapkan kriteria Ketua DPR sekaligus wakil-wakilnya.
Bagaimanapun, PKS tidak terlalu khawatir dengan persoalan pimpinan DPR ini. PKS memilih untuk bersikap terbuka dan menghargai siapapun calon Ketua DPR yang diajukan Demokrat, serta calon-calon Wakil Ketua DPR yang diajukan partai-partai lain.
"Jika performa tokoh tersebut ternyata rendah, maka partainya sendirilah yang akan dirugikan," ujar Mustafa.
Oleh karena itu, dia yakin tiap partai tidak akan sembarangan dalam memilih kadernya guna ditempatkan di posisi pimpinan parlemen.
• VIVAnews
Minggu, 13 September 2009, 10:18 WIB
Siswanto, Anggi Kusumadewi
VIVAnews – Wakil Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal, mengingatkan bahwa peran Ketua DPR yang akan datang ialah sebagai juru bicara parlemen (speaker of the house), bukan bos atau atasan bagi anggota dewan.
Karena itu Mustafa menyatakan tidak selayaknya Ketua DPR mengembangkan wacana sendiri karena dia harus berbicara atas nama institusi.
Ketua DPR dinilai harus mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di lembaga yang dipimpinnya, sebelum melemparkan komentar ke publik.
Hal ini dinilai penting karena tiap-tiap komentar yang dikeluarkan oleh Ketua DPR sekaligus akan menjadi sikap resmi parlemen dalam menanggapi berbagai persoalan.
Oleh karena itu, Mustafa menekankan agar Ketua DPR terus menjaga komunikasi dan memperbarui informasi dengan seluruh Ketua Komisi yang ada di DPR.
PKS menilai pimpinan DPR mendatang memiliki peluang yang besar untuk membangun budaya politik yang lebih baik, transparan, dan profesional. Dengan demikian, performa DPR diharapkan dapat meningkat berkali lipat selama lima tahun ke depan.
Untuk itu, menurut anggota Fraksi Golkar, Yuddy Chrisnandi, diperlukan sosok Ketua DPR yang bersih, kompeten, visioner, berpegalaman, dan merakyat.
"Kualitas-kualitas itu diperlukan, karena Ketua DPR harus berperan sebagai penerang bagi lorong-lorong gelap DPR," kataYuddy.
Yuddy berpendapat sebaiknya calon Ketua DPR minimal memiliki pengalaman memimpin di Komisi DPR, Alat Kelengkapan DPR, atau Fraksi DPR.
"Idealnya Ketua DPR adalah seorang tokoh senior yang telah malang melintang di DPR, dan mempunyai pengalaman serta jam terbang cukup lama di berbagai organisasi lain," kata Yuddy.
Yuddy kurang sepakat apabila Ketua DPR 2009-2014 diambil dari wajah baru di parlemen. Alasannya, pendatang baru belum mampu memahami sisi-sisi gelap yang ada di lembaga legislatif tersebut.
Namun Ketua DPP PDIP, Effendi Simbolon, sedikit berbeda pandangan dengan Yuddy. Menurut Effendi yang terpilih kembali menjadi anggota DPR lima tahun ke depan, Ketua DPR tidak selalu harus berasal dari tokoh senior yanng telah lama berkecimpung di parlemen, karena banyak pula tokoh-tokoh berkualitas yang menimba banyak pengalaman di luar parlemen.
Dia menekankan kriteria terpenting yang harus dimiliki oleh Ketua DPR adalah mampu melaksanakan segala tugas-tugas keparlemenan dengan baik.
"Jika syarat menjadi Ketua DPR selengkap yang disebutkan Yuddy, maka hampir tak ada figur yang memenuhi semua kriteria tersebut," kata dia.
Menanggapi hal itu Yuddy mengusulkan agar SBY sebagai patron partai politik terbesar yang berhak mendapat kursi Ketua DPR, mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan partai-partai lain guna menetapkan kriteria Ketua DPR sekaligus wakil-wakilnya.
Bagaimanapun, PKS tidak terlalu khawatir dengan persoalan pimpinan DPR ini. PKS memilih untuk bersikap terbuka dan menghargai siapapun calon Ketua DPR yang diajukan Demokrat, serta calon-calon Wakil Ketua DPR yang diajukan partai-partai lain.
"Jika performa tokoh tersebut ternyata rendah, maka partainya sendirilah yang akan dirugikan," ujar Mustafa.
Oleh karena itu, dia yakin tiap partai tidak akan sembarangan dalam memilih kadernya guna ditempatkan di posisi pimpinan parlemen.
• VIVAnews
Mundur di Tengah Kecaman
22 November 2010. Tempo online
Surat yang dinanti jajaran Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia akhirnya datang pada Jumat dua pekan lalu. Isinya bukan berita bahagia, apalagi rencana pemberian bonus akhir tahun, melainkan pemberitahuan rencana pemberhentian anggota Dewan Pengawas, yang jumlahnya lima orang. Surat yang ditandatangani Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso itu menyebut bahwa keberadaan Dewan Pengawas merupakan pemicu munculnya sejumlah persoalan di lembaga penyiaran pelat merah tersebut.
Toh, surat selembar itu tak menyebut detail "dosa-dosa" Dewan Pengawas di mata para wakil rakyat. "DPR salah tulis pula dengan menyebut Dewan Pengawas periode 2007-2011, padahal yang benar 2006-2011," kata Hazairin Sitepu, Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI, Selasa pekan lalu. Surat itu juga menyebut Hazairin dan empat koleganya, yang masa tugasnya akan selesai dalam hitungan bulan, tak menjalankan tugas dengan baik, "Sehingga kinerja TVRI secara keseluruhan kurang maksimal."
Surat tersebut merupakan kelanjutan dari rapat dengar pendapat Komisi Informasi DPR RI dengan Dewan Pengawas TVRI, pertengahan Oktober lalu. Ketika itu, berdasarkan rekomendasi panitia kerja TVRI yang dibentuk Komisi, pemimpin Komisi menyampaikan rencana pemberhentian jajaran Dewan Pengawas. Di luar dugaan, anggota Dewan Pengawas sepakat menyatakan pengunduran diri. "Kami terkejut dengan respons tersebut," kata Max Sopacua, anggota Komisi Informasi yang juga ketua panitia kerja TVRI.
Hazairin Sitepu mengatakan pengunduran diri berjemaah tersebut merupakan bentuk kekecewaan jajaran Dewan Pengawas terhadap sikap Komisi Informasi yang ujuk-ujuk mengabarkan rencana pemberhentian mereka. Komisi sebenarnya hanya bisa memberikan rekomendasi untuk memberhentikan Dewan Pengawas dengan memberi waktu untuk membela diri dalam jangka satu bulan. Setelah Dewan Pengawas menyampaikan pembelaan, Komisi punya waktu dua bulan untuk mengkaji dan mengirim hasilnya kepada Presiden.
Anggota Dewan Pengawas, Robik Mukav, mengatakan lebih memilih mundur ketimbang diberhentikan tanpa alasan jelas. "Kami berlima tidak pernah mendapat alasan rencana pemberhentian tersebut. Lebih terhormat mengundurkan diri," kata Robik. Anggota lainnya, Retno Intani, menyatakan Komisi Informasi mencederai semangat transparansi, akuntabilitas, dan etika politik. Sebab, tak seorang pun anggota Komisi yang memberikan jawaban tentang alasan pemberhentian Dewan Pengawas. "Tidak ada penjelasan itu," katanya.
Meski sudah menyatakan mundur, sampai saat ini anggota Dewan Pengawas kompak tetap berkantor di lantai empat Gedung Penunjang Operasional TVRI, Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta. "Kami akan tetap bekerja sesuai dengan amanat undang-undang, sampai surat keputusan presiden keluar," katanya. Anggota Dewan Pengawas memang diangkat presiden. Karena itu, Hazairin mengatakan telah mengirim surat pengunduran diri ke Istana. "Kami masih menunggu respons surat pengunduran tersebut," ujarnya.
Nah, sambil menunggu jawaban Istana, Hazairin tetap menagih janji Komisi Informasi untuk menjelaskan alasan pemberhentian tersebut. Apalagi selama ini tak ada peringatan atau teguran dari�para wakil rakyat tersebut. Ketua Komisi Mahfudz Siddiq mengatakan rencana pemberhentian itu diambil merujuk pada laporan panitia kerja yang menyebutkan bahwa�kinerja Dewan Pengawas tidak baik. "Selama ini ada persoalan antara Dewan Pengawas dan DPR," katanya, tanpa memerinci, kepada Aswidityo Nedwika dari Tempo.
Rabu pagi dua pekan lalu, kantor Dewan Pengawas TVRI tampak lengang. Tak seperti lazimnya kantor yang riuh dengan kesibukan karyawan, hanya seorang petugas kebersihan melintas, dan seorang pegawai perempuan duduk di belakang meja sambil main game di komputernya. Padahal jam menunjukkan pukul 09.30. "Banyak yang belum datang," kata Hazairin, mantan Pemimpin Redaksi Fajar di Makassar, yang pada pemilihan presiden 2004 menjadi anggota tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Meski legawa dengan pilihan pengunduran diri tersebut, Hazairin tak habis pikir dengan rencana Komisi Informasi DPR yang ngotot menyampaikan rencana pemberhentian Dewan Pengawas. "Padahal kondisi TVRI sekarang jauh lebih baik dibanding sebelum kami masuk," katanya. Apalagi surat undangan rapat dengar pendapat mencantumkan bahwa agenda pertemuan dengan Komisi adalah membicarakan masalah Forum Komunikasi Karyawan TVRI. "Kok, tiba-tiba jadi pemberhentian Dewan Pengawas?" ujarnya.
Dewan Pengawas TVRI dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2005 tentang TVRI. Peraturan tersebut sekaligus mengubah status TVRI dari perseroan menjadi lembaga penyiaran publik. Untuk menjaga independensi stasiun televisi tersebut, dibentuklah jabatan dewan pengawas yang anggotanya mewakili unsur masyarakat, pemerintah, dan TVRI. Pemilihan anggota dewan pengawas melalui seleksi dan uji kelayakan di Komisi Informasi DPR, dan ditetapkan melalui keputusan presiden.
Selain Hazairin, yang mewakili unsur masyarakat, Robik Mukav (pemerintah), dan Retno Intani (TVRI), dua lagi anggota Dewan Pengawas adalah Abraham Isnan (TVRI) dan Musa Asyarie (pemerintah). Beda dengan peran komisaris di perusahaan yang hanya membuat kebijakan, Peraturan Nomor 13 memberi Dewan Pengawas kewenangan ikut serta dalam pengendalian operasional TVRI. Nah, cawe-cawe anggota Dewan Pengawas di tataran operasional inilah yang dianggap DPR menimbulkan aneka masalah di TVRI.
Ketua panitia kerja TVRI, Max Sopacua, mengatakan dua masalah yang muncul akibat rajinnya anggota Dewan Pengawas mencampuri urusan operasional adalah tak kunjung selesainya pembangunan menara pemancar setinggi 300 meter di Joglo, Jakarta Barat, sejak tiga tahun lalu. Pembangunan menara tersebut terhambat, antara lain, karena penentangan warga sekitar yang menganggap gelombang transmisi bakal mengancam kesehatan. "Jangan sampai nanti bila digunakan tapi sudah ketinggalan teknologi," kata Max.
Selain itu, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan panitia, diperoleh informasi bahwa Dewan Pengawas sangat superior hingga melangkahi kewenangan direktur sebagai pelaksana kebijakan. "Dewan pengawas seharusnya hanya membuat dan mengawasi kebijakan," kata Tantowi Yahya, anggota panitia kerja. Ia mengatakan indikasi adanya campur tangan Dewan Pengawas yang terlalu jauh adalah terjadinya empat kali pergantian dewan direksi TVRI sejak 2006. "Ada apa? Kok, main pecat," kata presenter kondang itu.
Ihwal wewenang yang terlalu besar, Hazairin berkilah hal itu merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor13 tadi. Ia mencontohkan, untuk mendapatkan pinjaman bank, Dewan Pengawas harus memberikan jaminan. "Itu adalah permintaan bank," katanya. Karena peranan Dewan Pengawas sangat penting, Hazairin tak ingin meninggalkan kantor, meski telah mengundurkan diri. "Saya menunggu keputusan presiden. Kalau kami langsung meninggalkan tugas operasional, TVRI bisa terganggu," ujarnya.
Hazairin mengatakan tuduhan bahwa kinerja Dewan Pengawas tak baik sebenarnya terbantahkan dengan kondisi TVRI yang kini lebih baik dibanding empat tahun lalu. Sebagai contoh, jangkauan wilayah siaran pada 2010 mencapai�36 persen, naik dari 26,1. Adapun penduduk Indonesia yang dapat menikmati siaran mencapai 62 persen, naik dari 32 persen. Waktu siaran pun meningkat dari 19 jam per hari menjadi 21,5 jam pada 2010. "Fakta ini kami sampaikan ke Presiden sebagai klarifikasi," katanya.
Adek Media, Rosalina
Surat yang dinanti jajaran Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia akhirnya datang pada Jumat dua pekan lalu. Isinya bukan berita bahagia, apalagi rencana pemberian bonus akhir tahun, melainkan pemberitahuan rencana pemberhentian anggota Dewan Pengawas, yang jumlahnya lima orang. Surat yang ditandatangani Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso itu menyebut bahwa keberadaan Dewan Pengawas merupakan pemicu munculnya sejumlah persoalan di lembaga penyiaran pelat merah tersebut.
Toh, surat selembar itu tak menyebut detail "dosa-dosa" Dewan Pengawas di mata para wakil rakyat. "DPR salah tulis pula dengan menyebut Dewan Pengawas periode 2007-2011, padahal yang benar 2006-2011," kata Hazairin Sitepu, Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI, Selasa pekan lalu. Surat itu juga menyebut Hazairin dan empat koleganya, yang masa tugasnya akan selesai dalam hitungan bulan, tak menjalankan tugas dengan baik, "Sehingga kinerja TVRI secara keseluruhan kurang maksimal."
Surat tersebut merupakan kelanjutan dari rapat dengar pendapat Komisi Informasi DPR RI dengan Dewan Pengawas TVRI, pertengahan Oktober lalu. Ketika itu, berdasarkan rekomendasi panitia kerja TVRI yang dibentuk Komisi, pemimpin Komisi menyampaikan rencana pemberhentian jajaran Dewan Pengawas. Di luar dugaan, anggota Dewan Pengawas sepakat menyatakan pengunduran diri. "Kami terkejut dengan respons tersebut," kata Max Sopacua, anggota Komisi Informasi yang juga ketua panitia kerja TVRI.
Hazairin Sitepu mengatakan pengunduran diri berjemaah tersebut merupakan bentuk kekecewaan jajaran Dewan Pengawas terhadap sikap Komisi Informasi yang ujuk-ujuk mengabarkan rencana pemberhentian mereka. Komisi sebenarnya hanya bisa memberikan rekomendasi untuk memberhentikan Dewan Pengawas dengan memberi waktu untuk membela diri dalam jangka satu bulan. Setelah Dewan Pengawas menyampaikan pembelaan, Komisi punya waktu dua bulan untuk mengkaji dan mengirim hasilnya kepada Presiden.
Anggota Dewan Pengawas, Robik Mukav, mengatakan lebih memilih mundur ketimbang diberhentikan tanpa alasan jelas. "Kami berlima tidak pernah mendapat alasan rencana pemberhentian tersebut. Lebih terhormat mengundurkan diri," kata Robik. Anggota lainnya, Retno Intani, menyatakan Komisi Informasi mencederai semangat transparansi, akuntabilitas, dan etika politik. Sebab, tak seorang pun anggota Komisi yang memberikan jawaban tentang alasan pemberhentian Dewan Pengawas. "Tidak ada penjelasan itu," katanya.
Meski sudah menyatakan mundur, sampai saat ini anggota Dewan Pengawas kompak tetap berkantor di lantai empat Gedung Penunjang Operasional TVRI, Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta. "Kami akan tetap bekerja sesuai dengan amanat undang-undang, sampai surat keputusan presiden keluar," katanya. Anggota Dewan Pengawas memang diangkat presiden. Karena itu, Hazairin mengatakan telah mengirim surat pengunduran diri ke Istana. "Kami masih menunggu respons surat pengunduran tersebut," ujarnya.
Nah, sambil menunggu jawaban Istana, Hazairin tetap menagih janji Komisi Informasi untuk menjelaskan alasan pemberhentian tersebut. Apalagi selama ini tak ada peringatan atau teguran dari�para wakil rakyat tersebut. Ketua Komisi Mahfudz Siddiq mengatakan rencana pemberhentian itu diambil merujuk pada laporan panitia kerja yang menyebutkan bahwa�kinerja Dewan Pengawas tidak baik. "Selama ini ada persoalan antara Dewan Pengawas dan DPR," katanya, tanpa memerinci, kepada Aswidityo Nedwika dari Tempo.
Rabu pagi dua pekan lalu, kantor Dewan Pengawas TVRI tampak lengang. Tak seperti lazimnya kantor yang riuh dengan kesibukan karyawan, hanya seorang petugas kebersihan melintas, dan seorang pegawai perempuan duduk di belakang meja sambil main game di komputernya. Padahal jam menunjukkan pukul 09.30. "Banyak yang belum datang," kata Hazairin, mantan Pemimpin Redaksi Fajar di Makassar, yang pada pemilihan presiden 2004 menjadi anggota tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Meski legawa dengan pilihan pengunduran diri tersebut, Hazairin tak habis pikir dengan rencana Komisi Informasi DPR yang ngotot menyampaikan rencana pemberhentian Dewan Pengawas. "Padahal kondisi TVRI sekarang jauh lebih baik dibanding sebelum kami masuk," katanya. Apalagi surat undangan rapat dengar pendapat mencantumkan bahwa agenda pertemuan dengan Komisi adalah membicarakan masalah Forum Komunikasi Karyawan TVRI. "Kok, tiba-tiba jadi pemberhentian Dewan Pengawas?" ujarnya.
Dewan Pengawas TVRI dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2005 tentang TVRI. Peraturan tersebut sekaligus mengubah status TVRI dari perseroan menjadi lembaga penyiaran publik. Untuk menjaga independensi stasiun televisi tersebut, dibentuklah jabatan dewan pengawas yang anggotanya mewakili unsur masyarakat, pemerintah, dan TVRI. Pemilihan anggota dewan pengawas melalui seleksi dan uji kelayakan di Komisi Informasi DPR, dan ditetapkan melalui keputusan presiden.
Selain Hazairin, yang mewakili unsur masyarakat, Robik Mukav (pemerintah), dan Retno Intani (TVRI), dua lagi anggota Dewan Pengawas adalah Abraham Isnan (TVRI) dan Musa Asyarie (pemerintah). Beda dengan peran komisaris di perusahaan yang hanya membuat kebijakan, Peraturan Nomor 13 memberi Dewan Pengawas kewenangan ikut serta dalam pengendalian operasional TVRI. Nah, cawe-cawe anggota Dewan Pengawas di tataran operasional inilah yang dianggap DPR menimbulkan aneka masalah di TVRI.
Ketua panitia kerja TVRI, Max Sopacua, mengatakan dua masalah yang muncul akibat rajinnya anggota Dewan Pengawas mencampuri urusan operasional adalah tak kunjung selesainya pembangunan menara pemancar setinggi 300 meter di Joglo, Jakarta Barat, sejak tiga tahun lalu. Pembangunan menara tersebut terhambat, antara lain, karena penentangan warga sekitar yang menganggap gelombang transmisi bakal mengancam kesehatan. "Jangan sampai nanti bila digunakan tapi sudah ketinggalan teknologi," kata Max.
Selain itu, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan panitia, diperoleh informasi bahwa Dewan Pengawas sangat superior hingga melangkahi kewenangan direktur sebagai pelaksana kebijakan. "Dewan pengawas seharusnya hanya membuat dan mengawasi kebijakan," kata Tantowi Yahya, anggota panitia kerja. Ia mengatakan indikasi adanya campur tangan Dewan Pengawas yang terlalu jauh adalah terjadinya empat kali pergantian dewan direksi TVRI sejak 2006. "Ada apa? Kok, main pecat," kata presenter kondang itu.
Ihwal wewenang yang terlalu besar, Hazairin berkilah hal itu merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor13 tadi. Ia mencontohkan, untuk mendapatkan pinjaman bank, Dewan Pengawas harus memberikan jaminan. "Itu adalah permintaan bank," katanya. Karena peranan Dewan Pengawas sangat penting, Hazairin tak ingin meninggalkan kantor, meski telah mengundurkan diri. "Saya menunggu keputusan presiden. Kalau kami langsung meninggalkan tugas operasional, TVRI bisa terganggu," ujarnya.
Hazairin mengatakan tuduhan bahwa kinerja Dewan Pengawas tak baik sebenarnya terbantahkan dengan kondisi TVRI yang kini lebih baik dibanding empat tahun lalu. Sebagai contoh, jangkauan wilayah siaran pada 2010 mencapai�36 persen, naik dari 26,1. Adapun penduduk Indonesia yang dapat menikmati siaran mencapai 62 persen, naik dari 32 persen. Waktu siaran pun meningkat dari 19 jam per hari menjadi 21,5 jam pada 2010. "Fakta ini kami sampaikan ke Presiden sebagai klarifikasi," katanya.
Adek Media, Rosalina
Friday, November 19, 2010
Stop Pengiriman TKI ke Luar Negeri!
18/11/2010 11:40 Melly Febrida
Liputan.com, Jakarta: Kekerasan terhadap Sumiati bukanlah yang pertama kali yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) . Untuk mencegah kejadian serupa, pengiriman TKI hendaknya dihentikan.
"Solusinya cuma satu. Stop pengiriman PRT. Batasi TKI hanya tenaga kerja non PRT," kata Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/11).
Menurut Mahfudz, kasus-kasus serupa akan terus terjadi selama yang dikirim TKI PRT tidak berpendidikan dan tak berketrampilan cukup. "Dan Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Karena itu, ia sekali lagi mengingatkan Pemerintah, agar hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketrampilan khusus. "Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara memenuhi itu, sehingga mereka tak jauh-jauh ke luar negeri untuk menjadi PRT yang sering dihina dan disiksa," katanya.
Ditambahkan, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI PRT sudah melebihi zaman perbudakan. "Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tegas Mahfudz Siddiq.
Hal yang sama disampaikan jurubicara Fraksi Partai Golkar Paskalis Kossay. Pihaknya juga mengajukan satu solusi kepada pemerintah. "Yakni melarang pengiriman TKI ke negara itu dan menarik pulang semua TKI yang ada di sana, kemudian mengevaluasi hubungan diplomatik dengan negara itu, apakah perlu dipertahankan atau tidak," kata Paskalis Kossay lagi.
Kebijakan diplomatik ini, menurutnya, juga harus diberlakukan secara tegas dengan negara-negara lain yang sering terjadi kasus penistaan atas TKI."Artinya, kita perlu sikap gertak, jangan selalu mau diinjak-injak serta direndahkan harkat martabatnya. Kita ini sama-sama manusia yang bermartabat kan," tegas Paskalis Kossay.
Belajar dari kasus Sumiyati, TKI di LN, tidak ada pilihan lain, kecuali Pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. "Ini demi harga diri bangsa," tandasnya. (Ant)
Liputan.com, Jakarta: Kekerasan terhadap Sumiati bukanlah yang pertama kali yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) . Untuk mencegah kejadian serupa, pengiriman TKI hendaknya dihentikan.
"Solusinya cuma satu. Stop pengiriman PRT. Batasi TKI hanya tenaga kerja non PRT," kata Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/11).
Menurut Mahfudz, kasus-kasus serupa akan terus terjadi selama yang dikirim TKI PRT tidak berpendidikan dan tak berketrampilan cukup. "Dan Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Karena itu, ia sekali lagi mengingatkan Pemerintah, agar hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketrampilan khusus. "Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara memenuhi itu, sehingga mereka tak jauh-jauh ke luar negeri untuk menjadi PRT yang sering dihina dan disiksa," katanya.
Ditambahkan, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI PRT sudah melebihi zaman perbudakan. "Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tegas Mahfudz Siddiq.
Hal yang sama disampaikan jurubicara Fraksi Partai Golkar Paskalis Kossay. Pihaknya juga mengajukan satu solusi kepada pemerintah. "Yakni melarang pengiriman TKI ke negara itu dan menarik pulang semua TKI yang ada di sana, kemudian mengevaluasi hubungan diplomatik dengan negara itu, apakah perlu dipertahankan atau tidak," kata Paskalis Kossay lagi.
Kebijakan diplomatik ini, menurutnya, juga harus diberlakukan secara tegas dengan negara-negara lain yang sering terjadi kasus penistaan atas TKI."Artinya, kita perlu sikap gertak, jangan selalu mau diinjak-injak serta direndahkan harkat martabatnya. Kita ini sama-sama manusia yang bermartabat kan," tegas Paskalis Kossay.
Belajar dari kasus Sumiyati, TKI di LN, tidak ada pilihan lain, kecuali Pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. "Ini demi harga diri bangsa," tandasnya. (Ant)
Paskalis Kossay: Tarik Saja Semua TKI
Kamis, 18 November 2010 14:38
Lintas berita
Paskalis Kossay menegaskan, pihaknya juga mengajukan satu solusi bagi Pemerintah RI.
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Setelah masa reses berakhir awal pekan depan, Komisi I dan Komisi IX DPR akan segera memanggil Menteri Luar Negeri serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait kasus penyiksaan TKI, Sumiati, di Arab Saudi.
"Rapat kerja bersama dua komisi dengan dua menteri itu, merupakan forum rakyat untuk meminta keseriusan serta ketegasan badan-badan Pemerintah guna mengakhiri segala bentuk penistaan warga negara kita di luar negeri oleh pihak asing," tegas Anggota Komisi I DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf (Fraksi Partai Demokrat), di Jakarta, Kamis.
Rapat itu, menurutnya, juga akan menghadirkan unsur-unsur badan terkait, termasuk BNP2TKI, karena merekalah yang paling bertanggungjawab dalam proses perekrutan serta pengiriman TKI ke luar negeri.
"Artinya, mereka jangan cuma mau bicara tentang mana setoran uang asuransi TKI itu, juga menarik biaya-biaya administrasi lainnya, lalu tak punya empati untuk mengatasi berbagai kemungkinan peristiwa seperti yang dialami Sumiati. Selalu saja reaksioner sikapnya," katanya.
Sebelumnya, Nurhayati Ali Assegaf atasnama fraksinya bersama dua anggota lainnya dari fraksi berbeda, yakni Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) dan Paskalis Kossay (Fraksi Partai Golkar), sama-sama sepakat menyatakan agar Pemerintah menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi maupun ke beberapa negara lain akibat seringnya kasus penyiksaan oleh majikan.
Pendapat ketiga fraksi melalui para anggotanya tersebut, masih terkait penyiksaan atas TKI bernama Sumiati (asal Dompu, NTB) oleh majikannya di Arab Saudi, sehingga mengakibatkan sekujur tubuh yang bersangkutan luka-luka, bahkan mulut bagian atasnya digunting.
"Penarikan Dubes RI dari Arab Saudi sebagai sikap protes keras kita kepada mereka, mungkin tidak relevan. Yang harus dilakukan segera, ialah, hentikan saja pengiriman TKI ke Saudi," tandas Nurhayati Ali Assegaf.
Ia menambahkan, kejadian seperti yang dialami Sumiati tidak baru sekarang.
"Juga tidak baru sekali. Tetapi, tetap saja itu berulang, bukan hanya di Saudi, tetapi juga di Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Malah ada yang lebih tragis, yakni TKI kita sampai bunuh diri dengan menjatuhkan badannya dari apartemen lantai atas karena tidak tahan disiksa serta dinista, bahkan ada yang diperkosa," ungkapnya.
Nurhayati Ali Assegaf juga menilai, sejumlah badan Negara yang bertugas untuk melindungi dan mengadvokasi TKI di luar negeri sepertinya selalu lambat bereaksi.
"Tetapi kalau mengurus asuransi atau berbagai iuran dari TKI rajin mereka," katanya.
Stop Pengiriman PRT
Sementara itu, secara terpisah Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) menyatakan, saatnya kita menyetop pengiriman TKW jenis pembantu rumah tangga (PRT).
"Solusinya cuma satu. Stop pengiriman PRT. Batasi TKI hanya tenaga kerja non PRT," tandasnya.
Sedangkan jurubicara Fraksi Partai Golkar di komisi yang sama, Paskalis Kossay menegaskan, pihaknya juga mengajukan satu solusi bagi Pemerintah RI.
"Yakni melarang pengiriman TKI ke negara itu dan menarik pulang semua TKI yang ada di sana, kemudian mengevaluasi hubungan diplomatik dengan negara itu, apakah perlu dipertahankan atau tidak," kata Paskalis Kossay lagi.
Kebijakan diplomatik ini, menurutnya, juga harus diberlakukan secara tegas dengan negara-negara lain yang sering terjadi kasus penistaan atas TKI.
"Artinya, kita perlu sikap gertak, jangan selalu mau diinjak-injak dan dinista, serta direndahkan harkat martabatnya. Kita ini sama-sama manusia yang bermartabat kan," tegas Paskalis Kossay.
Demi Harga Diri
Hal hampir senada dinyatakan juga oleh Mahfudz Siddiq, dengan menambahkan, demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI, tidak ada jalan lain, segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri.
"Belajar dari kasus Sumiyati, TKI di LN, tidak ada pilihan lain, kecuali Pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. Ini demi harga diri bangsa," tandasnya.
Dikatakan, selama yang dikirim TKI PRT tidak berpendidikan mumpuni, dan tak berketrampilan cukup, pasti kasus-kasus serupa akan terus terjadi.
"Dan sudah jadi realitas bertubi-tubi, Pemerintah (melalui berbagai badannya), tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Karena itu, ia sekali lagi mengingatkan Pemerintah, agar hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketrampilan khusus.
"soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara memenuhi itu (bagi semua WNI), sehingga mereka tak jauh-jauh ke luar negeri untuk menjadi PRT yang sering dihina dan disiksa," katanya.
Ditambahkan, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKW PRT sudah melebihi zaman perbudakan.
"Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tegas Mahfudz Siddiq.
Sementara itu, pemerintah harus mengambil langkah fundamental dan strategi untuk memastikan agar penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia dapat diakhiri, kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.
"Meski upaya pemerintah untuk mengembalikan Sumiati perlu diapresiasi, namun pemerintah harus mengambil langkah fundamental dan strategis untuk memastikan agar penganiayaan terhadap para tenaga kerja Indonesia (TKI) diakhiri," kata Hikmahanto, di Jakarta.
Menurutnya, paling tidak ada tiga langkah fundamental dan strategis, pertama perwakilan Indonesia di luar negeri yang menjadi tujuan para TKI harus benar-benar memantau proses hukum atas tindakan tidak manusiawi para majikan yang melakukan penganiayaan, bahkan berujung pada kematian.
Pemantauan sangat penting agar penganiayaan mendapat ganjaran dan menjadi efek pencegah bagi para majikan lain.
Kedua, pemerintah harus secara serius menangani Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang bertindak sebagai agen pengirim TKI.
PJTKI, katanya, harus dipastikan tidak mengirim tenaga kerja seadanya karena tenaga kerja demikian berpotensi untuk dianiaya sebagai akibat dari kekesalan majikan.
Ketiga, pemerintah harus mampu menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima para TKI.
Perjanjian bilateral ini mengakomodasi ketentuan-ketentuan dari Konvensi Perlindungan atas Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya.
Konvensi Buruh Migran sendiri tidak akan bermanfaat meski Indonesia berkeinginan meratifikasi mengingat negara penerima TKI tidak meratifikasi.
Bila merujuk pada nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani antara Indonesia dan Malaysia maka MoU tersebut masih sangat jauh dalam memberi perlindungan dibandingkan dengan Konvensi Buruh Migran. (fn/a2nt) www.suaramedia.com
Lintas berita
Paskalis Kossay menegaskan, pihaknya juga mengajukan satu solusi bagi Pemerintah RI.
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Setelah masa reses berakhir awal pekan depan, Komisi I dan Komisi IX DPR akan segera memanggil Menteri Luar Negeri serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait kasus penyiksaan TKI, Sumiati, di Arab Saudi.
"Rapat kerja bersama dua komisi dengan dua menteri itu, merupakan forum rakyat untuk meminta keseriusan serta ketegasan badan-badan Pemerintah guna mengakhiri segala bentuk penistaan warga negara kita di luar negeri oleh pihak asing," tegas Anggota Komisi I DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf (Fraksi Partai Demokrat), di Jakarta, Kamis.
Rapat itu, menurutnya, juga akan menghadirkan unsur-unsur badan terkait, termasuk BNP2TKI, karena merekalah yang paling bertanggungjawab dalam proses perekrutan serta pengiriman TKI ke luar negeri.
"Artinya, mereka jangan cuma mau bicara tentang mana setoran uang asuransi TKI itu, juga menarik biaya-biaya administrasi lainnya, lalu tak punya empati untuk mengatasi berbagai kemungkinan peristiwa seperti yang dialami Sumiati. Selalu saja reaksioner sikapnya," katanya.
Sebelumnya, Nurhayati Ali Assegaf atasnama fraksinya bersama dua anggota lainnya dari fraksi berbeda, yakni Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) dan Paskalis Kossay (Fraksi Partai Golkar), sama-sama sepakat menyatakan agar Pemerintah menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi maupun ke beberapa negara lain akibat seringnya kasus penyiksaan oleh majikan.
Pendapat ketiga fraksi melalui para anggotanya tersebut, masih terkait penyiksaan atas TKI bernama Sumiati (asal Dompu, NTB) oleh majikannya di Arab Saudi, sehingga mengakibatkan sekujur tubuh yang bersangkutan luka-luka, bahkan mulut bagian atasnya digunting.
"Penarikan Dubes RI dari Arab Saudi sebagai sikap protes keras kita kepada mereka, mungkin tidak relevan. Yang harus dilakukan segera, ialah, hentikan saja pengiriman TKI ke Saudi," tandas Nurhayati Ali Assegaf.
Ia menambahkan, kejadian seperti yang dialami Sumiati tidak baru sekarang.
"Juga tidak baru sekali. Tetapi, tetap saja itu berulang, bukan hanya di Saudi, tetapi juga di Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Malah ada yang lebih tragis, yakni TKI kita sampai bunuh diri dengan menjatuhkan badannya dari apartemen lantai atas karena tidak tahan disiksa serta dinista, bahkan ada yang diperkosa," ungkapnya.
Nurhayati Ali Assegaf juga menilai, sejumlah badan Negara yang bertugas untuk melindungi dan mengadvokasi TKI di luar negeri sepertinya selalu lambat bereaksi.
"Tetapi kalau mengurus asuransi atau berbagai iuran dari TKI rajin mereka," katanya.
Stop Pengiriman PRT
Sementara itu, secara terpisah Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) menyatakan, saatnya kita menyetop pengiriman TKW jenis pembantu rumah tangga (PRT).
"Solusinya cuma satu. Stop pengiriman PRT. Batasi TKI hanya tenaga kerja non PRT," tandasnya.
Sedangkan jurubicara Fraksi Partai Golkar di komisi yang sama, Paskalis Kossay menegaskan, pihaknya juga mengajukan satu solusi bagi Pemerintah RI.
"Yakni melarang pengiriman TKI ke negara itu dan menarik pulang semua TKI yang ada di sana, kemudian mengevaluasi hubungan diplomatik dengan negara itu, apakah perlu dipertahankan atau tidak," kata Paskalis Kossay lagi.
Kebijakan diplomatik ini, menurutnya, juga harus diberlakukan secara tegas dengan negara-negara lain yang sering terjadi kasus penistaan atas TKI.
"Artinya, kita perlu sikap gertak, jangan selalu mau diinjak-injak dan dinista, serta direndahkan harkat martabatnya. Kita ini sama-sama manusia yang bermartabat kan," tegas Paskalis Kossay.
Demi Harga Diri
Hal hampir senada dinyatakan juga oleh Mahfudz Siddiq, dengan menambahkan, demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI, tidak ada jalan lain, segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri.
"Belajar dari kasus Sumiyati, TKI di LN, tidak ada pilihan lain, kecuali Pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. Ini demi harga diri bangsa," tandasnya.
Dikatakan, selama yang dikirim TKI PRT tidak berpendidikan mumpuni, dan tak berketrampilan cukup, pasti kasus-kasus serupa akan terus terjadi.
"Dan sudah jadi realitas bertubi-tubi, Pemerintah (melalui berbagai badannya), tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Karena itu, ia sekali lagi mengingatkan Pemerintah, agar hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketrampilan khusus.
"soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara memenuhi itu (bagi semua WNI), sehingga mereka tak jauh-jauh ke luar negeri untuk menjadi PRT yang sering dihina dan disiksa," katanya.
Ditambahkan, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKW PRT sudah melebihi zaman perbudakan.
"Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tegas Mahfudz Siddiq.
Sementara itu, pemerintah harus mengambil langkah fundamental dan strategi untuk memastikan agar penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia dapat diakhiri, kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.
"Meski upaya pemerintah untuk mengembalikan Sumiati perlu diapresiasi, namun pemerintah harus mengambil langkah fundamental dan strategis untuk memastikan agar penganiayaan terhadap para tenaga kerja Indonesia (TKI) diakhiri," kata Hikmahanto, di Jakarta.
Menurutnya, paling tidak ada tiga langkah fundamental dan strategis, pertama perwakilan Indonesia di luar negeri yang menjadi tujuan para TKI harus benar-benar memantau proses hukum atas tindakan tidak manusiawi para majikan yang melakukan penganiayaan, bahkan berujung pada kematian.
Pemantauan sangat penting agar penganiayaan mendapat ganjaran dan menjadi efek pencegah bagi para majikan lain.
Kedua, pemerintah harus secara serius menangani Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang bertindak sebagai agen pengirim TKI.
PJTKI, katanya, harus dipastikan tidak mengirim tenaga kerja seadanya karena tenaga kerja demikian berpotensi untuk dianiaya sebagai akibat dari kekesalan majikan.
Ketiga, pemerintah harus mampu menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima para TKI.
Perjanjian bilateral ini mengakomodasi ketentuan-ketentuan dari Konvensi Perlindungan atas Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya.
Konvensi Buruh Migran sendiri tidak akan bermanfaat meski Indonesia berkeinginan meratifikasi mengingat negara penerima TKI tidak meratifikasi.
Bila merujuk pada nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani antara Indonesia dan Malaysia maka MoU tersebut masih sangat jauh dalam memberi perlindungan dibandingkan dengan Konvensi Buruh Migran. (fn/a2nt) www.suaramedia.com
Thursday, November 18, 2010
Politikus PKS: Stop Kirim TKI ke Luar Negeri
Politik
"Kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI sudah melebihi zaman perbudakan," ujar Mahfudz
Kamis, 18 November 2010, 10:36 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Mahfudz Siddiq, menyatakan pemerintah mesti belajar dari peristiwa yang dialami Sumiati, tenaga kerja Indonesia yang diduga disiksa majikannya di Arab Saudi. Menurut Mahfudz, demi harga diri bangsa ini, sebaiknya pemerintah menghentikan pengiriman TKI untuk menjadi pembantu rumah tangga ke luar negeri.
"Tidak ada pilihan lain kecuali pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan pembantu rumah tangga ke luar negeri," kata Mahfudz dalam pesan tertulis ke VIVAnews, Kamis 18 November 2010. "Ini demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI," kata Mahfudz.
Sebab, lanjut Mahfudz, selama yang dikirim adalah TKI yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan cukup, kasus-kasus serupa akan terus terjadi dan pada kenyataannya pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Kekejaman, kekerasan, dan penyiksaan yang dilakukan majikan di luar negeri itu, menurut Mahfudz, sudah tidak dapat ditolerir lagi. Pemerintah sebaiknya menghentikan eksploitasi TKI demi pemasukan negara atau devisa semata.
"Kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI sudah melebihi zaman perbudakan. Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," kata Mahfudz.
Kemudian, mengenai problem pekerjaan bagi calon TKI yang dilarang ke luar, Mahfudz menambahkan bahwa memang sudah menjadi tugas dan kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi warga. "Pemerintah hanya batasi, pengiriman TKI diutamakan yang terdidik dan berketerampilan khusus. Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara penuhi itu," kata Mahfudz.
• VIVAnews
"Kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI sudah melebihi zaman perbudakan," ujar Mahfudz
Kamis, 18 November 2010, 10:36 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Mahfudz Siddiq, menyatakan pemerintah mesti belajar dari peristiwa yang dialami Sumiati, tenaga kerja Indonesia yang diduga disiksa majikannya di Arab Saudi. Menurut Mahfudz, demi harga diri bangsa ini, sebaiknya pemerintah menghentikan pengiriman TKI untuk menjadi pembantu rumah tangga ke luar negeri.
"Tidak ada pilihan lain kecuali pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan pembantu rumah tangga ke luar negeri," kata Mahfudz dalam pesan tertulis ke VIVAnews, Kamis 18 November 2010. "Ini demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI," kata Mahfudz.
Sebab, lanjut Mahfudz, selama yang dikirim adalah TKI yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan cukup, kasus-kasus serupa akan terus terjadi dan pada kenyataannya pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Kekejaman, kekerasan, dan penyiksaan yang dilakukan majikan di luar negeri itu, menurut Mahfudz, sudah tidak dapat ditolerir lagi. Pemerintah sebaiknya menghentikan eksploitasi TKI demi pemasukan negara atau devisa semata.
"Kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI sudah melebihi zaman perbudakan. Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," kata Mahfudz.
Kemudian, mengenai problem pekerjaan bagi calon TKI yang dilarang ke luar, Mahfudz menambahkan bahwa memang sudah menjadi tugas dan kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi warga. "Pemerintah hanya batasi, pengiriman TKI diutamakan yang terdidik dan berketerampilan khusus. Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara penuhi itu," kata Mahfudz.
• VIVAnews
Tiga Fraksi: Hentikan Pengiriman TKI ke Arab Saudi
Republika OnLine » Breaking News » Nasional
Kamis, 18 November 2010, 00:50 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Tiga fraksi di Komisi I DPR RI melalui anggotanya mendesak Pemerintah agar menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi dan beberapa negara lainnya yang sering menjadikan warga Indonesia jadi korban penyiksaan serta penistaan. Permintaan ini dinyatakan kepada ANTARA di Jakarta, Rabu malam, masing-masing oleh Mahfudz Siddiq (Ketua Komisi/Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Nurhayati Ali Assegaf (Fraksi Partai Demokrat) dan Paskalis Kossay (Fraksi Partai Golkar).
Mereka menyatakan pendapat fraksi masing-masing, terkait penyiksaan atas TKI bernama Sumiati (asal Dompu, NTB) oleh majikannya di Arab Saudi, sehingga mengakibatkan sekujur tubuh yang bersangkutan luka-luka, termasuk mulut bagian atasnya digunting. "Penarikan Dubes RI dari Arab Saudi sebagai sikap protes keras kita kepada mereka, mungkin tidak relevan. Yang harus dilakukan segera, ialah, hentikan saja pengiriman TKI ke Saudi," tandas Nurhayati Ali Assegaf.
Ia menambahkan, kejadian seperti yang dialami Sumiati tidak baru sekarang. "Juga tidak baru sekali. Tetapi, tetap saja itu berulang, bukan hanya di Saudi, tetapi juga di Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Malah ada yang lebih tragis, yakni TKI kita sampai bunuh diri dengan menjatuhkan badannya dari apartemen lantai atas, karena tidak tahan disiksa serta dinista, bahkan ada yang diperkosa," ungkapnya.
Nurhayati Ali Assegaf juga menilai, sejumlah badan Negara yang bertugas untuk melindungi dan mengadvokasi TKI di luar negeri sepertinya selalu lambat bereaksi. "Tetapi kalau mengurus asuransi atau berbagai iuran dari TKI rajin mereka," katanya.
Stop Pengiriman PRT
Sementara itu, secara terpisah Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) menyatakan, saatnya kita menyetop pengiriman TKW jenis pembantu rumah tangga (PRT). "Solusinya cuma satu. Stop pengiriman PRT. Batasi TKI hanya tenaga kerja non PRT," tandasnya.
Sedangkan jurubicara Fraksi Partai Golkar di komisi yang sama, Paskalis Kossay menegaskan, pihaknya juga mengajukan satu solusi bagi Pemerintah RI. "Yakni melarang pengiriman TKI ke negara itu dan menarik pulang semua TKI yang ada di sana, kemudian mengevaluasi hubungan diplomatik dengan negara itu, apakah perlu dipertahankan atau tidak," kata Paskalis Kossay lagi.
Kebijakan diplomatik ini, menurutnya, juga harus diberlakukan secara tegas dengan negara-negara lain yang sering terjadi kasus penistaan atas TKI. "Artinya, kita perlu sikap gertak, jangan selalu mau diinjak-injak dan dinista, serta direndahkan harkat martabatnya. Kita ini sama-sama manusia yang bermartabat kan," tegas Paskalis Kossay.
Demi Harga Diri
Hal hampir senada dinyatakan juga oleh Mahfudz Siddiq, dengan menambahkan, demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI, tidak ada jalan lain, segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. "Belajar dari kasus Sumiyati, TKI di LN, tidak ada pilihan lain, kecuali Pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. Ini demi harga diri bangsa," tandasnya.
Dikatakan, selama yang dikirim TKI PRT tidak berpendidikan mumpuni, dan tak berketerampilan cukup, pasti kasus-kasus serupa akan terus terjadi. "Sudah jadi realitas bertubi-tubi, Pemerintah (melalui berbagai badannya), tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Karena itu, ia sekali lagi mengingatkan Pemerintah, agar hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketrampilan khusus. "Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara memenuhi itu (bagi semua WNI), sehingga mereka tak jauh-jauh ke luar negeri untuk menjadi PRT yang sering dihina dan disiksa," katanya.
Ditambahkan, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKW PRT sudah melebihi zaman perbudakan. "Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tegas Mahfudz Siddiq.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant
Kamis, 18 November 2010, 00:50 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Tiga fraksi di Komisi I DPR RI melalui anggotanya mendesak Pemerintah agar menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi dan beberapa negara lainnya yang sering menjadikan warga Indonesia jadi korban penyiksaan serta penistaan. Permintaan ini dinyatakan kepada ANTARA di Jakarta, Rabu malam, masing-masing oleh Mahfudz Siddiq (Ketua Komisi/Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Nurhayati Ali Assegaf (Fraksi Partai Demokrat) dan Paskalis Kossay (Fraksi Partai Golkar).
Mereka menyatakan pendapat fraksi masing-masing, terkait penyiksaan atas TKI bernama Sumiati (asal Dompu, NTB) oleh majikannya di Arab Saudi, sehingga mengakibatkan sekujur tubuh yang bersangkutan luka-luka, termasuk mulut bagian atasnya digunting. "Penarikan Dubes RI dari Arab Saudi sebagai sikap protes keras kita kepada mereka, mungkin tidak relevan. Yang harus dilakukan segera, ialah, hentikan saja pengiriman TKI ke Saudi," tandas Nurhayati Ali Assegaf.
Ia menambahkan, kejadian seperti yang dialami Sumiati tidak baru sekarang. "Juga tidak baru sekali. Tetapi, tetap saja itu berulang, bukan hanya di Saudi, tetapi juga di Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Malah ada yang lebih tragis, yakni TKI kita sampai bunuh diri dengan menjatuhkan badannya dari apartemen lantai atas, karena tidak tahan disiksa serta dinista, bahkan ada yang diperkosa," ungkapnya.
Nurhayati Ali Assegaf juga menilai, sejumlah badan Negara yang bertugas untuk melindungi dan mengadvokasi TKI di luar negeri sepertinya selalu lambat bereaksi. "Tetapi kalau mengurus asuransi atau berbagai iuran dari TKI rajin mereka," katanya.
Stop Pengiriman PRT
Sementara itu, secara terpisah Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) menyatakan, saatnya kita menyetop pengiriman TKW jenis pembantu rumah tangga (PRT). "Solusinya cuma satu. Stop pengiriman PRT. Batasi TKI hanya tenaga kerja non PRT," tandasnya.
Sedangkan jurubicara Fraksi Partai Golkar di komisi yang sama, Paskalis Kossay menegaskan, pihaknya juga mengajukan satu solusi bagi Pemerintah RI. "Yakni melarang pengiriman TKI ke negara itu dan menarik pulang semua TKI yang ada di sana, kemudian mengevaluasi hubungan diplomatik dengan negara itu, apakah perlu dipertahankan atau tidak," kata Paskalis Kossay lagi.
Kebijakan diplomatik ini, menurutnya, juga harus diberlakukan secara tegas dengan negara-negara lain yang sering terjadi kasus penistaan atas TKI. "Artinya, kita perlu sikap gertak, jangan selalu mau diinjak-injak dan dinista, serta direndahkan harkat martabatnya. Kita ini sama-sama manusia yang bermartabat kan," tegas Paskalis Kossay.
Demi Harga Diri
Hal hampir senada dinyatakan juga oleh Mahfudz Siddiq, dengan menambahkan, demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI, tidak ada jalan lain, segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. "Belajar dari kasus Sumiyati, TKI di LN, tidak ada pilihan lain, kecuali Pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri. Ini demi harga diri bangsa," tandasnya.
Dikatakan, selama yang dikirim TKI PRT tidak berpendidikan mumpuni, dan tak berketerampilan cukup, pasti kasus-kasus serupa akan terus terjadi. "Sudah jadi realitas bertubi-tubi, Pemerintah (melalui berbagai badannya), tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Karena itu, ia sekali lagi mengingatkan Pemerintah, agar hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketrampilan khusus. "Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara memenuhi itu (bagi semua WNI), sehingga mereka tak jauh-jauh ke luar negeri untuk menjadi PRT yang sering dihina dan disiksa," katanya.
Ditambahkan, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKW PRT sudah melebihi zaman perbudakan. "Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tegas Mahfudz Siddiq.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant
Mahfudz: Ini Lebih dari Zaman Budak
JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus penyiksaan Sumiati di Arab Saudi dinilai sudah melebihi zaman perbudakan. Maraknya perlakuan tak wajar yang dialami para tenaga kerja Indonesia di luar negeri menunjukkan pengabaian terhadap hak asasi manusia yang sebenarnya sudah dijunjung hampir semua negara di dunia.
"Kasus-kasus kekerasan yang dialami tenaga kerja wanita pembantu rumah tangga sudah melebihi zaman perbudakan. Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," ungkap Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Kamis(18/11/2010).
Belajar dari kasus Sumiati, politikus PKS itu mengatakan, pemerintah tak memiliki pilihan lain selain menghentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan pembantu rumah tangga ke luar negeri, terutama mereka yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Pasalnya, terhadap tenaga-tenaga kerja yang demikian, kasus-kasus serupa mungkin sekali berulang dan pemerintah dinilai selalu saja abai terhadap nasib TKI.
"Ini demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI. Selama yang dikirim TKI PRT yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan cukup, kasus-kasus serupa akan terus terjadi, dan pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketerampilan khusus," ujarnya.
"Kasus-kasus kekerasan yang dialami tenaga kerja wanita pembantu rumah tangga sudah melebihi zaman perbudakan. Pemerintah tidak boleh abai dengan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," ungkap Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Kamis(18/11/2010).
Belajar dari kasus Sumiati, politikus PKS itu mengatakan, pemerintah tak memiliki pilihan lain selain menghentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan pembantu rumah tangga ke luar negeri, terutama mereka yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Pasalnya, terhadap tenaga-tenaga kerja yang demikian, kasus-kasus serupa mungkin sekali berulang dan pemerintah dinilai selalu saja abai terhadap nasib TKI.
"Ini demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI. Selama yang dikirim TKI PRT yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan cukup, kasus-kasus serupa akan terus terjadi, dan pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah hanya batasi pengiriman TKI terdidik dan berketerampilan khusus," ujarnya.
Mahfudz Siddiq: Hentikan Pengiriman PRT ke Luar Negeri
Kamis, 18/11/2010 09:38 WIB
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik mendesak pemerintah menghentikan pengiriman TKI untuk menjadi PRT ke luar negeri. Pekerjaan yang sepele ditambah perlakuan majikan yang keji makin memaklukan bangsa Indonesia.
"Belajar dari kasus Sumiati, TKI di luar negeri, tidak ada pilihan lain kecuali pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri," ujar Mahfudz kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/11/2010)
Menurut Mahfudz, kekerasan majikan PRT Indonesia di luar negeri sudah kerap sekali terjadi. Namun demikian majikan tersebut kerap kali bebas begitu saja.
"Ini demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI," terang Mahfudz.
Pemerintah dapat melanjutkan pengiriman PRT ke luar negeri jika ada jaminan keselamatan dari negara tujuan. Pemerintah juga harus memastikan PRT yang dikirim benar-benar memiliki cukup keahlian.
"Selama yang dikirim TKI PRT yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan cukup, kasus-kasus serupa akan terus terjadi, dan pemerintah tak bisa berbuat apa," imbau Mahfudz.
Mahfudz berharap pemerintah hanya batasi pengiriman TKI dan PRT terdidik dan berketrampilan khusus. Sehingga tidak hanya karena kebutuhan ekonomi kemudian orang mendaftar dan dikirim sebagai PRT ke luar negeri.
"Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara penuhi itu. Kasus-kasus kekerasan yang dialami TKW PRT sudah melebihi zaman perbudakan. Pemerintah tidak boleh abai degan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tandasnya. (van/mad)
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik mendesak pemerintah menghentikan pengiriman TKI untuk menjadi PRT ke luar negeri. Pekerjaan yang sepele ditambah perlakuan majikan yang keji makin memaklukan bangsa Indonesia.
"Belajar dari kasus Sumiati, TKI di luar negeri, tidak ada pilihan lain kecuali pemerintah segera hentikan pengiriman TKI untuk pekerjaan PRT ke luar negeri," ujar Mahfudz kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/11/2010)
Menurut Mahfudz, kekerasan majikan PRT Indonesia di luar negeri sudah kerap sekali terjadi. Namun demikian majikan tersebut kerap kali bebas begitu saja.
"Ini demi harga diri bangsa dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap WNI," terang Mahfudz.
Pemerintah dapat melanjutkan pengiriman PRT ke luar negeri jika ada jaminan keselamatan dari negara tujuan. Pemerintah juga harus memastikan PRT yang dikirim benar-benar memiliki cukup keahlian.
"Selama yang dikirim TKI PRT yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan cukup, kasus-kasus serupa akan terus terjadi, dan pemerintah tak bisa berbuat apa," imbau Mahfudz.
Mahfudz berharap pemerintah hanya batasi pengiriman TKI dan PRT terdidik dan berketrampilan khusus. Sehingga tidak hanya karena kebutuhan ekonomi kemudian orang mendaftar dan dikirim sebagai PRT ke luar negeri.
"Soal kebutuhan ekonomi, adalah tugas kewajiban negara penuhi itu. Kasus-kasus kekerasan yang dialami TKW PRT sudah melebihi zaman perbudakan. Pemerintah tidak boleh abai degan berlindung pada sebutan TKI sebagai pahlawan devisa," tandasnya. (van/mad)
Friday, November 12, 2010
Banyak Relawan Rogoh Kocek Sendiri
Merapi Meletus
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
Rabu, 10 November 2010 | 10:20 WIb
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan, banyak relawan yang membantu para pengungsi di Gunung Merapi bekerja dengan kocek sendiri.
"Aksi-aksi tanggap darurat yang menjadi wewenang dan tanggung jawab BNPB, sangat terbantu oleh kiprah TNI, Basarnas, PMI dan organisasi-organisasi relawan. Sementara mereka bekerja secara swadana," kata Mahfudz kepada wartawan, Rabu (10/11/2010).
Mahfudz bersama tim Komisi I DPR memantau lapangan selama tiga hari di kawasan Magelang, Muntilan, Sleman, Yogyakarta, Klaten, dan Boyolali.
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
Rabu, 10 November 2010 | 10:20 WIb
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan, banyak relawan yang membantu para pengungsi di Gunung Merapi bekerja dengan kocek sendiri.
"Aksi-aksi tanggap darurat yang menjadi wewenang dan tanggung jawab BNPB, sangat terbantu oleh kiprah TNI, Basarnas, PMI dan organisasi-organisasi relawan. Sementara mereka bekerja secara swadana," kata Mahfudz kepada wartawan, Rabu (10/11/2010).
Mahfudz bersama tim Komisi I DPR memantau lapangan selama tiga hari di kawasan Magelang, Muntilan, Sleman, Yogyakarta, Klaten, dan Boyolali.
Gus Dur Tetap Pahlawan Rakyat
Jumat, 12 November 2010 | 09:56 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bapak pluralisme
JAKARTA, KOMPAS.com--Meski pemerintah tidak menetapkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pahlawan nasional, Fraksi PKB DPR RI mengaku tidak kecewa. Menurut Ketua Fraksi PKB DPR RI Marwan Djafar, kepahlawanan Gus Dur tetap diakui oleh bangsa Indonesia dan dunia.
"Gus Dur sudah menjadi pahlawan di mata rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di mata dunia internasional," ungkapnya kepada Kompas.com.
Menurut Marwan, pemberian gelar pahlawan nasional secara formal hanyalah tambahan formalitas saja.Sejatinya, lanjut Anggota Komisi V DPR RI, Gus Dur sudah menjadi pahlawan bagi bangsa ini.
Sementara itu, Wakil Sekjend PKS Mahfudz Siddiq mengatakan Indonesia memiliki tokoh-tokoh besar yang justru belum mendapat gelar pahlawan nasional.
Ketua Komisi I DPR RI ini meminta pemerintah untuk memetakan benar-benar tokoh-tokoh yang berjasa bagi bangsa dan negara. "Jangan sampai nanti ada yang tidak pantas yang malah jadi pahlawan," katanya.
Terkait nama mantan Presiden Soeharto yang juga tidak disebutkan, Mahfudz mengatakan PKS tidak kecewa karena secara organisasi tidak pernah mencalonkannya.
Namun, lanjutnya, pemberian gelar bagi almarhum Soeharto penting untuk rekonsiliasi nasional karena sejarah Indonesia yang penuh konflik. "Dan ingat, tidak ada tokoh yang sempurna. Kalau ada yang berjasa dalam bidang tertentu, kita harus berbesar hati memberikan gelar itu," tambahnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bapak pluralisme
JAKARTA, KOMPAS.com--Meski pemerintah tidak menetapkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pahlawan nasional, Fraksi PKB DPR RI mengaku tidak kecewa. Menurut Ketua Fraksi PKB DPR RI Marwan Djafar, kepahlawanan Gus Dur tetap diakui oleh bangsa Indonesia dan dunia.
"Gus Dur sudah menjadi pahlawan di mata rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di mata dunia internasional," ungkapnya kepada Kompas.com.
Menurut Marwan, pemberian gelar pahlawan nasional secara formal hanyalah tambahan formalitas saja.Sejatinya, lanjut Anggota Komisi V DPR RI, Gus Dur sudah menjadi pahlawan bagi bangsa ini.
Sementara itu, Wakil Sekjend PKS Mahfudz Siddiq mengatakan Indonesia memiliki tokoh-tokoh besar yang justru belum mendapat gelar pahlawan nasional.
Ketua Komisi I DPR RI ini meminta pemerintah untuk memetakan benar-benar tokoh-tokoh yang berjasa bagi bangsa dan negara. "Jangan sampai nanti ada yang tidak pantas yang malah jadi pahlawan," katanya.
Terkait nama mantan Presiden Soeharto yang juga tidak disebutkan, Mahfudz mengatakan PKS tidak kecewa karena secara organisasi tidak pernah mencalonkannya.
Namun, lanjutnya, pemberian gelar bagi almarhum Soeharto penting untuk rekonsiliasi nasional karena sejarah Indonesia yang penuh konflik. "Dan ingat, tidak ada tokoh yang sempurna. Kalau ada yang berjasa dalam bidang tertentu, kita harus berbesar hati memberikan gelar itu," tambahnya.
Rabu, 10 Februari 2010
Sungai Duit di Mana Ujungnya
HASAN Bisri menelusuri deretan angka di depannya. Matanya naik-turun mengikuti ujung telunjuk yang menari di atas kertas. Kamis sore pekan lalu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan ini sibuk mempelajari berkas dokumen di ruang kerjanya, lantai delapan gedung BPK, persis di seberang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta. Di hadapan Hasan, bundel tebal laporan pemeriksaan investigasi atas kasus Bank Century terbentang lebar.
”Lihat ini,” katanya menunjuk sederet angka. Hasan memperlihatkan sebuah tabel yang menunjukkan total dana yang masuk ke Bank Century pada November 2008 sampai Agustus 2009— masa setelah bailout Century dilakukan dan manajemen bank itu diganti.
Jumlahnya mencapai Rp 6,79 triliun. ”Padahal dana penyertaan modal sementara dari Lembaga Penjamin Simpanan yang masuk dalam periode itu hanya Rp 5,3 triliun,” kata Hasan. Artinya? Hasan terdiam. ”Menelusuri aliran dana bailout Century itu tidak semudah yang dibayangkan orang,” katanya lirih.
Mudah atau tidak, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas aliran dana kasus Bank Century harus rampung pekan ini. ”Kami sudah minta sejak tiga pekan lalu,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Angket Bank Century, Gayus Lumbuun. ”Hasil audit itu sangat penting untuk merumuskan rekomendasi akhir Panitia Khusus,” kata politikus Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Kata Gayus Lumbuun, Panitia Khusus sudah sepakat meminta BPK membuat terang dugaan kongkalikong diantara pihak-pihak yang membuat aturan penyelamatan Century dan mereka yang menangguk fulus dari kebijakan itu. ”Jelas ada pihak yang diuntungkan dari bailout Century—setidaknya Robert Tantular,” katanya. Selain itu, Panitia Khusus mencurigai ada dana yang bocor ke pundi-pundi mereka yang tidak berhak. Nah, audit inilah yang ditunggu-tunggu untuk memastikan sejumlah kecurigaan.
Pengungkapan aliran dana bailout Bank Century ini akan menjadi keping terakhir yang melengkapi teka-teki di balik penyelamatan bank salah urus ini. Sebelumnya, BPK telah menelisik proses merger Century yang tidak wajar, pengucuran fasilitas pendanaan jangka pendek untuk Century yang didahului proses perubahan Peraturan Bank Indonesia, dan perdebatan keras di rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada saat penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. ”Sampai sekarang, semua fakta temuan kami itu tidak dibantah,” kata Hasan Bisri. ”Hanya kesimpulan kami yang dipersalahkan. Tapi soal fakta, memang itu yang terjadi kan?”
BADAN Pemeriksa Keuangan pertama kali menerima permintaan Panitia Khusus menelisik data aliran dana bailout pada awal Januari lalu. Lewat sepucuk surat, Panitia Khusus meminta aliran dana yang keluar dari Bank Century—terutama setelah suntikan dana talangan—ditelusuri sampai ke ujung. ”Fokusnya pada bagaimana pemanfaatan dana talangan itu, apakah sesuai dengan peraturan atau tidak. Lalu ke mana saja dana mengalir,” kata Ketua Panitia Khusus, politikus Fraksi Golkar, Idrus Marham, ketika itu.
Selanjutnya ->
Sungai Duit di Mana Ujungnya
HASAN Bisri menelusuri deretan angka di depannya. Matanya naik-turun mengikuti ujung telunjuk yang menari di atas kertas. Kamis sore pekan lalu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan ini sibuk mempelajari berkas dokumen di ruang kerjanya, lantai delapan gedung BPK, persis di seberang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta. Di hadapan Hasan, bundel tebal laporan pemeriksaan investigasi atas kasus Bank Century terbentang lebar.
”Lihat ini,” katanya menunjuk sederet angka. Hasan memperlihatkan sebuah tabel yang menunjukkan total dana yang masuk ke Bank Century pada November 2008 sampai Agustus 2009— masa setelah bailout Century dilakukan dan manajemen bank itu diganti.
Jumlahnya mencapai Rp 6,79 triliun. ”Padahal dana penyertaan modal sementara dari Lembaga Penjamin Simpanan yang masuk dalam periode itu hanya Rp 5,3 triliun,” kata Hasan. Artinya? Hasan terdiam. ”Menelusuri aliran dana bailout Century itu tidak semudah yang dibayangkan orang,” katanya lirih.
Mudah atau tidak, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas aliran dana kasus Bank Century harus rampung pekan ini. ”Kami sudah minta sejak tiga pekan lalu,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Angket Bank Century, Gayus Lumbuun. ”Hasil audit itu sangat penting untuk merumuskan rekomendasi akhir Panitia Khusus,” kata politikus Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Kata Gayus Lumbuun, Panitia Khusus sudah sepakat meminta BPK membuat terang dugaan kongkalikong diantara pihak-pihak yang membuat aturan penyelamatan Century dan mereka yang menangguk fulus dari kebijakan itu. ”Jelas ada pihak yang diuntungkan dari bailout Century—setidaknya Robert Tantular,” katanya. Selain itu, Panitia Khusus mencurigai ada dana yang bocor ke pundi-pundi mereka yang tidak berhak. Nah, audit inilah yang ditunggu-tunggu untuk memastikan sejumlah kecurigaan.
Pengungkapan aliran dana bailout Bank Century ini akan menjadi keping terakhir yang melengkapi teka-teki di balik penyelamatan bank salah urus ini. Sebelumnya, BPK telah menelisik proses merger Century yang tidak wajar, pengucuran fasilitas pendanaan jangka pendek untuk Century yang didahului proses perubahan Peraturan Bank Indonesia, dan perdebatan keras di rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada saat penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. ”Sampai sekarang, semua fakta temuan kami itu tidak dibantah,” kata Hasan Bisri. ”Hanya kesimpulan kami yang dipersalahkan. Tapi soal fakta, memang itu yang terjadi kan?”
BADAN Pemeriksa Keuangan pertama kali menerima permintaan Panitia Khusus menelisik data aliran dana bailout pada awal Januari lalu. Lewat sepucuk surat, Panitia Khusus meminta aliran dana yang keluar dari Bank Century—terutama setelah suntikan dana talangan—ditelusuri sampai ke ujung. ”Fokusnya pada bagaimana pemanfaatan dana talangan itu, apakah sesuai dengan peraturan atau tidak. Lalu ke mana saja dana mengalir,” kata Ketua Panitia Khusus, politikus Fraksi Golkar, Idrus Marham, ketika itu.
Selanjutnya ->
Sungai Duit di Mana Ujungnya (2)
tempointeraktif.com
Data tentang aliran dana ini sebelumnya sudah ditelusuri oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Namun Panitia Khusus membutuhkan data pembanding. ”Kami khawatir, data yang diberikan PPATK kepada kami sudah dihaluskan,” kata Hendrawan Supratikno, politikus Fraksi PDI Perjuangan, akhir pekan lalu.
BPK bergerak. ”Tim saya sudah turun ke lapangan,” kata Hasan Bisri, tanpa memerinci berapa auditor yang dia kerahkan untuk melacak kucuran dana Rp 6,7 triliun dari Bank Century. Tapi Hasan menekankan, penelusuran ini akan membutuhkan waktu. ”Dana yang masuk ke Century saat Simpanan,” katanya.
Hasan menyodorkan analogi sebuah karung raksasa yang digerojoki beras dari berbagai sumber. ”Sampai di dalam, ya semuanya campur jadi satu,” katanya. Memilah mana dana keluar yang berasal dari LPS, pinjaman antarbank, fasilitas Bank Indonesia, atau penempatan dana pihak ketiga, bukan pekerjaan mudah.
Soal kerahasiaan bank adalah kesulitan berikutnya. Untung, pejabat sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution sudah memberikan surat pengantar yang bisa membuat BPK bisa menerobos halangan ini. Tanpa surat Darmin, ”Meskipun Anda todongkan pistol di kepala pimpinan bank, mereka tak akan memberikan data itu,” kata
Hasan. Menurut Undang-Undang Perbankan, data mengenai rekening nasabah tidak bisa dibuka sembarangan.
”Berbekal surat BI, kami bisa masuk ke semua bank.” Namun ini baru babak pertama. Jalan berikutnya masih berliku. Setelah semua data terhampar di depan mata, auditor BPK harus menentukan rekening mana yang akan diperiksa duluan.
Soalnya, ada lebih dari 65 ribu nasabah di Bank Century. Seorang nasabah ada yang punya lebih dari satu rekening. BPK lalu membagi nasabah menjadi dua: high risk dan low risk. Nasabah dengan jumlah simpanan jumbo jadi prioritas dipelototi dengan kaca pembesar.
Sampai di sini penelusuran BPK mulai tersendat. Taruhlah BPK mengikuti aliran dana di satu rekening. Fulus dari rekening Bank Century ke bank lain akan bercampur dengan uang lain di rekening tujuan. ”Apalagi jika si pemilik rekening pengusaha yang menerima setoran dari mana-mana,” kata Hasan. Memilah alur perjalanan duit Century dalam satu rekening saja bisa menghabiskan waktu berhari-hari.
Proses yang rumit ini tambah berisiko karena bisa membuat si pemilik rekening murka. Soalnya, secara hukum uang dalam rekening nasabah sah milik mereka meski berasal dari dana talangan LPS. Karena itu, meski BPK curiga ada dana talangan LPS mengucur ke pihak yang tak berhak, pembuktiannya tidak semudah membalik telapak tangan. ”Kalau nasabah itu memindah dana dari Bank Century ke bank lain lalu diambil pakai karung, itu sudah tak bisa kami lacak,” kata Hasan. Pada titik ini, polisi atau Komisi berantasan Korupsilah yang berkewajiban mengambil alih persoalan.
Sungai Duit di Mana Ujungnya (3)
tempointeraktif.com
Audit Bank Century memang tak sama dengan pelacakan dana gelap Bank Bali pada 1999. Waktu itu aliran dana Rp 546 miliar dari Bank Bali ke PT Era Giat Prima milik buron Djoko S. Tjandra bisa dilacak hingga rekening orang-orang di lingkaran dekat Presiden B.J. Habibie. Hasan Bisri adalah orang yang kala itu terlibat dalam proses auditing. ”Waktu itu audit hanya terhadap satu rekening,” katanya.
Sementara Badan Pemeriksa Keuangan harus berjibaku menyelesaikan audit, anggota Panitia Khusus sepanjang pekan lalu sibuk memastikan apakah mereka bisa mengakses dan membeberkan dokumen hasil audit BPK itu kelak. Soalnya, data audit akan bertabur informasi rahasia. Undang-Undang Perbankan melarang siapa pun mengumumkan data itu, kecuali untuk kepentingan penyidikan pidana umum atau pidana pajak.
Tak hanya hasil audit, Panitia Khusus juga mengincar kertas kerja pemeriksaan yang ada di BPK. Kertas kerja itu adalah semua bahan audit yang menjadi dasar pemeriksaan investigasi atas kasus Bank Century—di antaranya transkrip dan rekaman audio visual rapat di Bank Indonesia serta Departemen Keuangan dan nota dinas.
Panitia Khusus sebenarnya sudah meminta semua dokumen itu dari pemilik aslinya: Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Namun mereka merasa memerlukan data pembanding. ”Siapa tahu ada transkrip yang tidak lengkap atau ada rekaman yang terpotong,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus, Mahfudz Siddiq, pekan lalu. Selain itu, sebagian dokumen yang disediakan pemerintah diberi cap seragam: ”tidak bisa dijadikan alat bukti”. Ini yang membuat politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu bertanya-tanya. ”Kenapa tidak diberikan yang otentik? Kami ingin punya pembanding,” katanya.
Sayangnya, permintaan ini pagi-pagi sudah ditolak BPK. ”Kertas kerja itu adalah rahasia auditor, yang tak bisa kami serahkan kecuali kepada pihak yang diaudit,” kata Hasan Bisri. Aturan itu adalah bagian dari kode etik auditor. Tak mau hilang akal, Senin pekan lalu, pemimpin Panitia Khusus menemui Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa. Dari Mahkamah, Panitia mendapat tawaran solusi: penetapan pengadilan.
”Dengan berbekal surat penetapan pengadilan, kami bisa menyalin semua dokumen yang kami butuhkan dari BPK,” kata Gayus Lumbuun. Pekan ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan mendatangi BPK dengan surat penetapan itu. ”Kami sedang proses suratnya,” kata Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syahrial Sidik.
BAGAIMANA jika hasil audit BPK tidak selesai pekan ini? Sebagian politikus di Panitia Khusus masih punya harapan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pekan lalu, lima pemimpin Komisi berdiskusi empat jam lebih dengan Panitia Khusus. ”Kalau KPK juga tidak bisa, ya sudah, goodbye my love,” kata Hendrawan Supratikno, anggota Panitia Khusus dari Fraksi PDIP.
BPK sendiri berjanji akan berusaha sekuat tenaga. ”Kalau Indonesia ini perusahaan besar, pemegang sahamnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Badan Pemeriksa Keuangan adalah auditor eksternalnya,” kata Hasan Bisri. ”Tentu saja, auditor harus memenuhi apa pun permintaan pemegang saham.”
Wahyu Dhyatmika, Munawwaroh
Audit Bank Century memang tak sama dengan pelacakan dana gelap Bank Bali pada 1999. Waktu itu aliran dana Rp 546 miliar dari Bank Bali ke PT Era Giat Prima milik buron Djoko S. Tjandra bisa dilacak hingga rekening orang-orang di lingkaran dekat Presiden B.J. Habibie. Hasan Bisri adalah orang yang kala itu terlibat dalam proses auditing. ”Waktu itu audit hanya terhadap satu rekening,” katanya.
Sementara Badan Pemeriksa Keuangan harus berjibaku menyelesaikan audit, anggota Panitia Khusus sepanjang pekan lalu sibuk memastikan apakah mereka bisa mengakses dan membeberkan dokumen hasil audit BPK itu kelak. Soalnya, data audit akan bertabur informasi rahasia. Undang-Undang Perbankan melarang siapa pun mengumumkan data itu, kecuali untuk kepentingan penyidikan pidana umum atau pidana pajak.
Tak hanya hasil audit, Panitia Khusus juga mengincar kertas kerja pemeriksaan yang ada di BPK. Kertas kerja itu adalah semua bahan audit yang menjadi dasar pemeriksaan investigasi atas kasus Bank Century—di antaranya transkrip dan rekaman audio visual rapat di Bank Indonesia serta Departemen Keuangan dan nota dinas.
Panitia Khusus sebenarnya sudah meminta semua dokumen itu dari pemilik aslinya: Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Namun mereka merasa memerlukan data pembanding. ”Siapa tahu ada transkrip yang tidak lengkap atau ada rekaman yang terpotong,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus, Mahfudz Siddiq, pekan lalu. Selain itu, sebagian dokumen yang disediakan pemerintah diberi cap seragam: ”tidak bisa dijadikan alat bukti”. Ini yang membuat politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu bertanya-tanya. ”Kenapa tidak diberikan yang otentik? Kami ingin punya pembanding,” katanya.
Sayangnya, permintaan ini pagi-pagi sudah ditolak BPK. ”Kertas kerja itu adalah rahasia auditor, yang tak bisa kami serahkan kecuali kepada pihak yang diaudit,” kata Hasan Bisri. Aturan itu adalah bagian dari kode etik auditor. Tak mau hilang akal, Senin pekan lalu, pemimpin Panitia Khusus menemui Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa. Dari Mahkamah, Panitia mendapat tawaran solusi: penetapan pengadilan.
”Dengan berbekal surat penetapan pengadilan, kami bisa menyalin semua dokumen yang kami butuhkan dari BPK,” kata Gayus Lumbuun. Pekan ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan mendatangi BPK dengan surat penetapan itu. ”Kami sedang proses suratnya,” kata Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syahrial Sidik.
BAGAIMANA jika hasil audit BPK tidak selesai pekan ini? Sebagian politikus di Panitia Khusus masih punya harapan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pekan lalu, lima pemimpin Komisi berdiskusi empat jam lebih dengan Panitia Khusus. ”Kalau KPK juga tidak bisa, ya sudah, goodbye my love,” kata Hendrawan Supratikno, anggota Panitia Khusus dari Fraksi PDIP.
BPK sendiri berjanji akan berusaha sekuat tenaga. ”Kalau Indonesia ini perusahaan besar, pemegang sahamnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Badan Pemeriksa Keuangan adalah auditor eksternalnya,” kata Hasan Bisri. ”Tentu saja, auditor harus memenuhi apa pun permintaan pemegang saham.”
Wahyu Dhyatmika, Munawwaroh
PKS Maklumi Tifatul Salami Michelle Obama
inilah.com
Headline
Oleh: Santi Andriani
Nasional - Kamis, 11 November 2010 | 04:30 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memaklumi sentuhan tangan antara Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring dengan ibu negara Amerika Serikat, Michelle Obama. PKS mahfum kejadian itu bisa saja terjadi kapan pun dan tidak bisa ditolak.
"Karena itu hal yang situasional saja. Nanti kalau tidak salaman menimbulkan masalah, eh salaman juga ternyata bermasalah. Hal itu bisa saja terjadi, tidak hanya di acara kemarin," ujar Ketua DPP PKS, Mahfudz Siddiq ketika dihubungi INILAH.COM, Rabu (10/11/2010) malam.
Sebelumnya, saat perkenalan Obama dengan jajaran anggota Kabinet INdonesia Bersatu II di Istana Merdeka, Selasa (9/11/2010), Tifatul menjabat tangan Michelle Obama dengan dua tangan. Peristiwa itu menjadi sorotan karena Tifatul terbiasa tidak bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrim.
Namun Tifatul tidak mau disalahkan, dalam account twitternya, dia malah terkesan menyalahkan Michelle.
"Saya mencoba untuk mencegah (disentuh), tapi Mrs Michelle tangannya terlalu jauh ke arahku (jadi) kita bersentuhan," ujarnya kepada puluhan ribu pengikutnya di Twitter.
Mahfudz menyamakan dengan misalnya ketika Menkominfo melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah lalu banyak warga masyarakat yang ingin berjabat tangan sebagai tanda penghormatan. Menurut Mahfudz, hal itu tidak bisa ditolak.
Karenanya, lanjut Mahfudz, terhadap tindakan mantan Presiden PKS itu, partai tidak akan mengambil sikap atau langkah-langkah tegas lainnya. Partai, menurut Mahfudz, menganggap peristiwa itu tidak terlalu penting dan menjamin tidak akan berpengaruh kepada citra PKS sebagai partai politik yang berdasar agama.
"Itu bukan soal besar, partai tidak akan mengambil langkah apa-apa. Tidak perlu ditanggapi serius," ujarnya santai. [mah]
Headline
Oleh: Santi Andriani
Nasional - Kamis, 11 November 2010 | 04:30 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memaklumi sentuhan tangan antara Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring dengan ibu negara Amerika Serikat, Michelle Obama. PKS mahfum kejadian itu bisa saja terjadi kapan pun dan tidak bisa ditolak.
"Karena itu hal yang situasional saja. Nanti kalau tidak salaman menimbulkan masalah, eh salaman juga ternyata bermasalah. Hal itu bisa saja terjadi, tidak hanya di acara kemarin," ujar Ketua DPP PKS, Mahfudz Siddiq ketika dihubungi INILAH.COM, Rabu (10/11/2010) malam.
Sebelumnya, saat perkenalan Obama dengan jajaran anggota Kabinet INdonesia Bersatu II di Istana Merdeka, Selasa (9/11/2010), Tifatul menjabat tangan Michelle Obama dengan dua tangan. Peristiwa itu menjadi sorotan karena Tifatul terbiasa tidak bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrim.
Namun Tifatul tidak mau disalahkan, dalam account twitternya, dia malah terkesan menyalahkan Michelle.
"Saya mencoba untuk mencegah (disentuh), tapi Mrs Michelle tangannya terlalu jauh ke arahku (jadi) kita bersentuhan," ujarnya kepada puluhan ribu pengikutnya di Twitter.
Mahfudz menyamakan dengan misalnya ketika Menkominfo melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah lalu banyak warga masyarakat yang ingin berjabat tangan sebagai tanda penghormatan. Menurut Mahfudz, hal itu tidak bisa ditolak.
Karenanya, lanjut Mahfudz, terhadap tindakan mantan Presiden PKS itu, partai tidak akan mengambil sikap atau langkah-langkah tegas lainnya. Partai, menurut Mahfudz, menganggap peristiwa itu tidak terlalu penting dan menjamin tidak akan berpengaruh kepada citra PKS sebagai partai politik yang berdasar agama.
"Itu bukan soal besar, partai tidak akan mengambil langkah apa-apa. Tidak perlu ditanggapi serius," ujarnya santai. [mah]
Thursday, November 11, 2010
Roy Suryo: Michelle-Tifatul Jangan Dilihat Berlebihan
Sosbud / Kamis, 11 November 2010 08:01 WIB
Metrotvnews.com, Ambon: Anggota DPR Roy Suryo Notodiprojo menilai jabat tangan antara Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dengan Ibu Negara Amerika Serikat Michelle Obama di Istana Negara sebagai hal wajar. Ia berharap salam tersebut tidak dilihat berlebihan.
"Saya melihat melalui siaran langsung beberapa televisi nasional yang meliput acara tersebut dari istana Negara, dan adegan itu benar terjadi apa adanya," terang Roy di Ambon, Maluku, Rabu (10/11) malam.
Pakar telematika melihat upaya Michelle kala mendampingi Barack Hussein Obama ke Indonesia, Selasa malam, sebagai bentuk penghormatan terhadap pejabat Tanah Air.
"Kalau memang sebelumnya sudah diketahui, Michelle Obama kemungkinan hanya bersikap hormat dengan menutup kedua tangan di depan dada," tutur Roy.
Anggota Fraksi Partai Demokrat itu pun ogah menganalisa tayangan tersebut secara berlebihan. Baginya, itu cuma berpotensi memperluas silang pendapat.
"..itulah yang terjadi, Menteri Tifatul Sembiring berjabatan tangan dengan Michele Obama," lanjut ia.
Jabat tangan Tifatul-Michelle menarik perhatian tak hanya media nasional tetapi juga internasional. Sejumlah media menulis, "Kendati Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagian besar mempraktikkan bentuk moderat dari keimanannya."
Selain di media cetak, tayangan yang memperlihatkan Tifatul Sembiring berjabatan tangan dengan Michelle Obama ramai menghiasi berbagai situs jejaring sosial termasuk Twitter dan Facebook. (Ant/*****)
Metrotvnews.com, Ambon: Anggota DPR Roy Suryo Notodiprojo menilai jabat tangan antara Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dengan Ibu Negara Amerika Serikat Michelle Obama di Istana Negara sebagai hal wajar. Ia berharap salam tersebut tidak dilihat berlebihan.
"Saya melihat melalui siaran langsung beberapa televisi nasional yang meliput acara tersebut dari istana Negara, dan adegan itu benar terjadi apa adanya," terang Roy di Ambon, Maluku, Rabu (10/11) malam.
Pakar telematika melihat upaya Michelle kala mendampingi Barack Hussein Obama ke Indonesia, Selasa malam, sebagai bentuk penghormatan terhadap pejabat Tanah Air.
"Kalau memang sebelumnya sudah diketahui, Michelle Obama kemungkinan hanya bersikap hormat dengan menutup kedua tangan di depan dada," tutur Roy.
Anggota Fraksi Partai Demokrat itu pun ogah menganalisa tayangan tersebut secara berlebihan. Baginya, itu cuma berpotensi memperluas silang pendapat.
"..itulah yang terjadi, Menteri Tifatul Sembiring berjabatan tangan dengan Michele Obama," lanjut ia.
Jabat tangan Tifatul-Michelle menarik perhatian tak hanya media nasional tetapi juga internasional. Sejumlah media menulis, "Kendati Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagian besar mempraktikkan bentuk moderat dari keimanannya."
Selain di media cetak, tayangan yang memperlihatkan Tifatul Sembiring berjabatan tangan dengan Michelle Obama ramai menghiasi berbagai situs jejaring sosial termasuk Twitter dan Facebook. (Ant/*****)
SBY Diminta Manfaatkan Betul Pertemuan dengan Obama
Polkam / Selasa, 9 November 2010 11:43 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memanfaatkan pertemuan dengan Presiden Barack Hussein Obama. Sebelum ke Indonesia, Selasa (9/11) ini, Obama sempat melawat ke India.
"Sebenarnya bagi obama, kunjungan ke Indonesia hanyalah sambilan saja sebelum menuju Korsel. Jadi tidak akan banyak pembicaraan strategis dan komprehensif antarkedua pemimpin negara," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq kepada Metrotvnews.com, Selasa (9/11).
Mahfudz berharap SBY bisa menyampaikan isu penting seperti masalah Papua dan Otonomi Khusus termasuk sikap pemerintah soal itu. Pertemuan SBY-Obama diharapkan menghasilkan solusi.
"Juga soal TNI yang terus reformasi dan kebijakan pengembangan industri pertahanan nasional di mana AS harus terbuka soal itu," ujarnya.(Andhini)
Metrotvnews.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memanfaatkan pertemuan dengan Presiden Barack Hussein Obama. Sebelum ke Indonesia, Selasa (9/11) ini, Obama sempat melawat ke India.
"Sebenarnya bagi obama, kunjungan ke Indonesia hanyalah sambilan saja sebelum menuju Korsel. Jadi tidak akan banyak pembicaraan strategis dan komprehensif antarkedua pemimpin negara," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq kepada Metrotvnews.com, Selasa (9/11).
Mahfudz berharap SBY bisa menyampaikan isu penting seperti masalah Papua dan Otonomi Khusus termasuk sikap pemerintah soal itu. Pertemuan SBY-Obama diharapkan menghasilkan solusi.
"Juga soal TNI yang terus reformasi dan kebijakan pengembangan industri pertahanan nasional di mana AS harus terbuka soal itu," ujarnya.(Andhini)
PKS Harap Ulah Tifatul Tak Timbulkan Polemik
INILAH.COM, Jakarta- Pernyataan Menkominfo, Tifatul Sembiring yang seolah menyalahkan ibu negara, Michelle Obama menimbulkan banyak kritikan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menghimbau agar Tifatul dalam memberikan klarifikasi berhati-hati.
"Kalau soal pernyataan atau klarifikasi tentu diserahkan kepada yang bersangkutan (Tifatul). Ya mungkin tinggal caranya saja bagaimana menjelaskan tapi tidak justru menimbulkan polemik baru atau kritikan lagi," ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Mahfudz Siddiq Rabu(10/11/2010) malam.
Seperti diberitakan, dalam penyambutan kedatangan Presiden AS Barack Obama dan rombongan di Istana Merdeka, Tifatul bersalaman dengan Michelle Obama, wanita yang bukan muhrimnya. Namun Tifatul tidak mau disalahkan, dalam account twitternya, dia malah terkesan menyalahkan Michelle.
"Saya mencoba untuk mencegah (disentuh), tapi Mrs Michelle tangannya terlalu jauh ke arahku (jadi) kita bersentuhan," ujarnya kepada puluhan ribu pengikutnya di Twitter.
Soal sentuhan tangan itu pun juga ramai di pemberitaan media massa di luar negeri dan juga menimbulkan kritik terhadap mantan Presiden PKS itu.
Namun demikian, menurut Mahfudz, peristiwa yang dialami Tifatul itu bukan masalah besar yang harus disikapi PKS. PKS bahkan memaklumi kalau kejadian itu tidak bisa ditolak oleh kadernya itu dan menjamin dampak dari peristiwa itu akan berpengaruh pada citra partai sebagai citra partai Islam.
"Peristiwa itu kan tidak bisa dicegah, bisa saja terjadi karena ini situsional. Menurut saya ini sekedar berita selingan,beberapa hari nanti juga sudah reda," ujar Mahfudz yakin. [mah]
"Kalau soal pernyataan atau klarifikasi tentu diserahkan kepada yang bersangkutan (Tifatul). Ya mungkin tinggal caranya saja bagaimana menjelaskan tapi tidak justru menimbulkan polemik baru atau kritikan lagi," ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Mahfudz Siddiq Rabu(10/11/2010) malam.
Seperti diberitakan, dalam penyambutan kedatangan Presiden AS Barack Obama dan rombongan di Istana Merdeka, Tifatul bersalaman dengan Michelle Obama, wanita yang bukan muhrimnya. Namun Tifatul tidak mau disalahkan, dalam account twitternya, dia malah terkesan menyalahkan Michelle.
"Saya mencoba untuk mencegah (disentuh), tapi Mrs Michelle tangannya terlalu jauh ke arahku (jadi) kita bersentuhan," ujarnya kepada puluhan ribu pengikutnya di Twitter.
Soal sentuhan tangan itu pun juga ramai di pemberitaan media massa di luar negeri dan juga menimbulkan kritik terhadap mantan Presiden PKS itu.
Namun demikian, menurut Mahfudz, peristiwa yang dialami Tifatul itu bukan masalah besar yang harus disikapi PKS. PKS bahkan memaklumi kalau kejadian itu tidak bisa ditolak oleh kadernya itu dan menjamin dampak dari peristiwa itu akan berpengaruh pada citra partai sebagai citra partai Islam.
"Peristiwa itu kan tidak bisa dicegah, bisa saja terjadi karena ini situsional. Menurut saya ini sekedar berita selingan,beberapa hari nanti juga sudah reda," ujar Mahfudz yakin. [mah]
Monday, November 08, 2010
PKS Bela Gubernur Sumbar
SENIN, 08 NOVEMBER 2010 | 01:18 WITA |
JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera atau tidak diam saat salah seorang kadernya diancam sanksi oleh Presiden SBY. Menurut Wakil Sekjen PKS Mahfudz Siddiq, tidak ada alasan menjatuhkan sanksi kepada Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Irwan Prayitno hanya karena tak minta izin ke persiden saat berkunjung ke Jerman.
Irwan adalah kader senior PKS. Dia menjadi sorotan karena berangkat ke luar negeri saat Mentawai yang masuk teritorial Sumbar diterjang tsunami. Istana langsung marah. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyebut kepergian Irwan itu tanpa izin. Irwan pun akan diancam sanksi.
Mahfudz menilai, alasan Sudi tak berdasar. "Mau beri sanksi apa, itu tidak ada dasar hukumnya," jelas Mahfud kemarin.
Dijelaskan, keberangkatan Irwan ke Jerman memiliki dasar dan alasan yang jelas. Yakni, terkait ketertarikan investor Jerman atas potensi pariwisata hijau, termasuk dukungan untuk merealisasikan pembangkit listrik energi panas bumi di Sumbar. Investor juga tertarik membantu pembangunan jalur kereta api ke Solok. "Di sana Pak Irwan menandatangani nota kesepakatan kerja sama," kata Mahfudz.
Kepergian Irwan, terang dia, juga berdasar kesepakatan pemda setempat. Sebagai gubernur, Irwan harus berangkat dengan waktu kunjungan yang dipersingkat menjadi satu setengah hari. Irwan sama sekali tidak lupa memantau penanganan pascatsunami Mentawai. "Koordinasi sementara diwakilkan ke Wagub (wakil gubernur, Red). Sekarang (kemarin, Red) Pak Irwan sudah terjun langsung," tegasnya.
Mahfudz menyayangkan gencarnya pemberitaan negatif atas keberangkatan Irwan. Menurut dia, pascatsunami yang berlangsung 26 Oktober lalu, sudah ada penanganan tanggap darurat yang dikoordinasikan oleh Irwan. "Yang ribut itu cuma di sini (media, Red), masyarakat Sumbar justru menerima Pak Irwan,"tandasnya.
Sebelumnya, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq juga mengkritik rencana pemberian sanksi oleh pemerintah pusat kepada Irwan. Menurut dia, Irwan sebagai gubernur memiliki alasan kuat bertolak ke Jerman. Apalagi hasil kepergiannya bisa dipertanggungjawabkan. "Sudah ada pembagian tugas berdasar kesepakatan internal daerah," tegas Luthfi.
Luthfi menyayangkan sikap pengamat yang terkesan melebih-lebihkan saat berkomentar. Padahal, Irwan dan PKS sejak awal sudah berbuat banyak dalam membantu korban maupun pengungsi gempa dan tsunami Mentawai. "PKS sudah mengirimkan 2 ribu relawannya ke Mentawai," tandasnya. (jpnn)
JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera atau tidak diam saat salah seorang kadernya diancam sanksi oleh Presiden SBY. Menurut Wakil Sekjen PKS Mahfudz Siddiq, tidak ada alasan menjatuhkan sanksi kepada Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Irwan Prayitno hanya karena tak minta izin ke persiden saat berkunjung ke Jerman.
Irwan adalah kader senior PKS. Dia menjadi sorotan karena berangkat ke luar negeri saat Mentawai yang masuk teritorial Sumbar diterjang tsunami. Istana langsung marah. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyebut kepergian Irwan itu tanpa izin. Irwan pun akan diancam sanksi.
Mahfudz menilai, alasan Sudi tak berdasar. "Mau beri sanksi apa, itu tidak ada dasar hukumnya," jelas Mahfud kemarin.
Dijelaskan, keberangkatan Irwan ke Jerman memiliki dasar dan alasan yang jelas. Yakni, terkait ketertarikan investor Jerman atas potensi pariwisata hijau, termasuk dukungan untuk merealisasikan pembangkit listrik energi panas bumi di Sumbar. Investor juga tertarik membantu pembangunan jalur kereta api ke Solok. "Di sana Pak Irwan menandatangani nota kesepakatan kerja sama," kata Mahfudz.
Kepergian Irwan, terang dia, juga berdasar kesepakatan pemda setempat. Sebagai gubernur, Irwan harus berangkat dengan waktu kunjungan yang dipersingkat menjadi satu setengah hari. Irwan sama sekali tidak lupa memantau penanganan pascatsunami Mentawai. "Koordinasi sementara diwakilkan ke Wagub (wakil gubernur, Red). Sekarang (kemarin, Red) Pak Irwan sudah terjun langsung," tegasnya.
Mahfudz menyayangkan gencarnya pemberitaan negatif atas keberangkatan Irwan. Menurut dia, pascatsunami yang berlangsung 26 Oktober lalu, sudah ada penanganan tanggap darurat yang dikoordinasikan oleh Irwan. "Yang ribut itu cuma di sini (media, Red), masyarakat Sumbar justru menerima Pak Irwan,"tandasnya.
Sebelumnya, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq juga mengkritik rencana pemberian sanksi oleh pemerintah pusat kepada Irwan. Menurut dia, Irwan sebagai gubernur memiliki alasan kuat bertolak ke Jerman. Apalagi hasil kepergiannya bisa dipertanggungjawabkan. "Sudah ada pembagian tugas berdasar kesepakatan internal daerah," tegas Luthfi.
Luthfi menyayangkan sikap pengamat yang terkesan melebih-lebihkan saat berkomentar. Padahal, Irwan dan PKS sejak awal sudah berbuat banyak dalam membantu korban maupun pengungsi gempa dan tsunami Mentawai. "PKS sudah mengirimkan 2 ribu relawannya ke Mentawai," tandasnya. (jpnn)
Thursday, November 04, 2010
DPR Berharap Obama tidak Bahas Masalah Papua
Jumat, 29 Oktober 2010 13:30 WIB
JAKARTA--MICOM: Ketua Komisi I DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq berharap Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak membahas persoalan Papua dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia pada November 2010.
Ia mengatakan, masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus. "Indonesia harus tegas terhadap Amerika Serikata soal Papua karena masalah Papua sudah selesai. Pemerintah Amerika Serikat harus menghargai apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia," kata Mahfudz di Jakarta, Jumat (29/10).
Ia mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua. "Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk Amerika Serikat," tegasnya.
Mahfudz pada kesempatan itu jua meminta pemerintah Indonesia untuk menegaskankan kembali komitmen AS untuk membantu meningkatkan kapasitas militer dan industri pertahanan dalam negeri. "Indonesia harus meminta kepada Amerika Serikat agar bagaimana ke depan, AS bisa memberikan kebijakan yang lebih baik dan kuat terhadap masalah pertahanan Indonesia," kata Ketua Komisi I DPR itu. (Ant/OL-8)
JAKARTA--MICOM: Ketua Komisi I DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq berharap Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak membahas persoalan Papua dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia pada November 2010.
Ia mengatakan, masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus. "Indonesia harus tegas terhadap Amerika Serikata soal Papua karena masalah Papua sudah selesai. Pemerintah Amerika Serikat harus menghargai apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia," kata Mahfudz di Jakarta, Jumat (29/10).
Ia mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua. "Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk Amerika Serikat," tegasnya.
Mahfudz pada kesempatan itu jua meminta pemerintah Indonesia untuk menegaskankan kembali komitmen AS untuk membantu meningkatkan kapasitas militer dan industri pertahanan dalam negeri. "Indonesia harus meminta kepada Amerika Serikat agar bagaimana ke depan, AS bisa memberikan kebijakan yang lebih baik dan kuat terhadap masalah pertahanan Indonesia," kata Ketua Komisi I DPR itu. (Ant/OL-8)
Komisi I DPR: Obama Diharap Tak Bahas Papua
Jakarta, 29 Oktober 2010 14:36
Gatra.com
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengharapkan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua, dalam kunjungannya ke Indonesia, November 2010.
Di Jakarta, Jumat, ia mengatakan, masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus.
"Indonesia harus tegas terhadap Amerika Serikata soal Papua karena masalah Papua sudah selesai. Pemerintah Amerika Serikat harus menghargai apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia," kata Mahfudz.
Ia mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua.
"Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk Amerika Serikat," ujarnya.
Mahfudz pada kesempatan itu jua meminta Pemerintah Indonesia untuk menegaskankan kembali komitmen AS untuk membantu meningkatkan kapasitas militer dan industri pertahanan dalam negeri.
"Indonesia harus meminta kepada Amerika Serikat agar bagaimana ke depan, AS bisa memberikan kebijakan yang lebih baik dan kuat terhadap masalah pertahanan Indonesia," kata politisi PKS itu.
Hubungan Islam-Barat
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Indonesia harus kembali mengingatkan Amerika Serikat terkait dengan kemerdekaan Palestina.
"Pemerintah Indonesia perlu mengingatkan kepada Amerika Serikat terkait kemerdekaan Palestina," kata Agus.
Ia menyebutkan, Pemerintah Indonesia juga perlu mengingatkan agar hubungan Islam dengan dunia barat perlu disingkronisasikan sehingga tidak menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam.
"Itu juga bagus untuk diangkat sebab Obama memiliki pandangan yang sama dengan Indonesia terkait hubungan Islam dan dunia barat," kata politisi dari Golkar itu.
Rencananya, Presiden Amerika Serikat Barrrac Obama akan berkunjung ke Indonesia tanggal 9 November 2010 setelah dari India. Di Indonesia, salah satu lokasi yang akan dikunjungi adalah mesjid Istiqlal. [TMA, Ant]
Gatra.com
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengharapkan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua, dalam kunjungannya ke Indonesia, November 2010.
Di Jakarta, Jumat, ia mengatakan, masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus.
"Indonesia harus tegas terhadap Amerika Serikata soal Papua karena masalah Papua sudah selesai. Pemerintah Amerika Serikat harus menghargai apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia," kata Mahfudz.
Ia mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua.
"Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk Amerika Serikat," ujarnya.
Mahfudz pada kesempatan itu jua meminta Pemerintah Indonesia untuk menegaskankan kembali komitmen AS untuk membantu meningkatkan kapasitas militer dan industri pertahanan dalam negeri.
"Indonesia harus meminta kepada Amerika Serikat agar bagaimana ke depan, AS bisa memberikan kebijakan yang lebih baik dan kuat terhadap masalah pertahanan Indonesia," kata politisi PKS itu.
Hubungan Islam-Barat
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Indonesia harus kembali mengingatkan Amerika Serikat terkait dengan kemerdekaan Palestina.
"Pemerintah Indonesia perlu mengingatkan kepada Amerika Serikat terkait kemerdekaan Palestina," kata Agus.
Ia menyebutkan, Pemerintah Indonesia juga perlu mengingatkan agar hubungan Islam dengan dunia barat perlu disingkronisasikan sehingga tidak menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam.
"Itu juga bagus untuk diangkat sebab Obama memiliki pandangan yang sama dengan Indonesia terkait hubungan Islam dan dunia barat," kata politisi dari Golkar itu.
Rencananya, Presiden Amerika Serikat Barrrac Obama akan berkunjung ke Indonesia tanggal 9 November 2010 setelah dari India. Di Indonesia, salah satu lokasi yang akan dikunjungi adalah mesjid Istiqlal. [TMA, Ant]
Mahfudz Siddiq: Obama Diminta Tak Bahas Papua
Polkam / Jumat, 29 Oktober 2010 13:15 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq berharap Presiden Amerika Serikat Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia pada November 2010. Mahfudz mengatakan di Jakarta, Jumat (29/10), masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus.
"Indonesia harus tegas terhadap Amerika Serikata soal Papua karena masalah Papua sudah selesai. Pemerintah Amerika Serikat harus menghargai apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia," kata Mahfudz. Ia mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua.
"Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk Amerika Serikat," ujarnya. Mahfudz juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menegaskankan kembali komitmen AS untuk membantu meningkatkan kapasitas militer dan industri pertahanan dalam negeri. "Indonesia harus meminta kepada Amerika Serikat agar bagaimana ke depan, AS bisa memberikan kebijakan yang lebih baik dan kuat terhadap masalah pertahanan Indonesia," kata politisi PKS itu.(Ant/DOR)
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq berharap Presiden Amerika Serikat Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia pada November 2010. Mahfudz mengatakan di Jakarta, Jumat (29/10), masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus.
"Indonesia harus tegas terhadap Amerika Serikata soal Papua karena masalah Papua sudah selesai. Pemerintah Amerika Serikat harus menghargai apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia," kata Mahfudz. Ia mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua.
"Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk Amerika Serikat," ujarnya. Mahfudz juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menegaskankan kembali komitmen AS untuk membantu meningkatkan kapasitas militer dan industri pertahanan dalam negeri. "Indonesia harus meminta kepada Amerika Serikat agar bagaimana ke depan, AS bisa memberikan kebijakan yang lebih baik dan kuat terhadap masalah pertahanan Indonesia," kata politisi PKS itu.(Ant/DOR)
Studi Banding DPR; Priyo Akan "Jewer" Anggota
Kompas, 3 November 2010
Ketua Bidang Politik Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Priyo Budi Santoso menegaskan, partainya akan memberikan peringatan kepada anggota DPR dari Partai Golkar yang tetap mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri.
”Kami akan ’jewer’ (peringatkan) anggota yang tetap ikut ke luar negeri,” kata Priyo di Jakarta, Selasa (2/11). Alasannya, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie telah melarang anggota Fraksi Partai Golkar mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri. Oleh karena itu, semua anggota fraksi harus mengindahkan larangan itu.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Shiddiq juga berpendapat, sudah waktunya DPR meminimalisasi kunjungan ke luar negeri yang terus menuai protes. Anggaran lawatan ke luar negeri lebih baik dialihkan untuk membangun pusat data, yang dapat dimanfaatkan sebagai bank informasi.
Ketua Komisi I DPR itu mengusulkan, pusat data dan perpustakaan tersebut dikelola secara profesional. ”Seperti perpustakaan Kongres AS, segala macam kebutuhan data dan informasi bisa diakses dan dikelola secara profesional,” kata Mahfudz.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh mengaku tidak mengetahui adanya denda yang harus dibayarkan oleh anggota DPR yang batal ikut studi banding.
”Setjen DPR hanya mengeluarkan uang untuk biaya studi banding berdasarkan pagu yang ada, yaitu Rp 1,7 miliar untuk setiap studi banding. Pengurusan selanjutnya, termasuk penentuan agen perjalanan, dilakukan oleh setiap komisi di DPR,” kata Nining.
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno menuturkan, sejumlah anggota fraksinya harus membayar denda ke agen perjalanan karena batal ikut studi banding. Denda ini, antara lain, dibayarkan Mumtaz Rais, anggota Komisi VI DPR, sebesar 4.000 dollar AS (sekitar Rp 36 juta) karena batal ikut studi banding komisinya ke Inggris, 7 November mendatang.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Agus Hermanto mengaku tidak tahu perihal denda yang harus dibayarkan anggotanya karena batal ikut studi banding. (nta/nwo/why)
Ketua Bidang Politik Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Priyo Budi Santoso menegaskan, partainya akan memberikan peringatan kepada anggota DPR dari Partai Golkar yang tetap mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri.
”Kami akan ’jewer’ (peringatkan) anggota yang tetap ikut ke luar negeri,” kata Priyo di Jakarta, Selasa (2/11). Alasannya, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie telah melarang anggota Fraksi Partai Golkar mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri. Oleh karena itu, semua anggota fraksi harus mengindahkan larangan itu.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Shiddiq juga berpendapat, sudah waktunya DPR meminimalisasi kunjungan ke luar negeri yang terus menuai protes. Anggaran lawatan ke luar negeri lebih baik dialihkan untuk membangun pusat data, yang dapat dimanfaatkan sebagai bank informasi.
Ketua Komisi I DPR itu mengusulkan, pusat data dan perpustakaan tersebut dikelola secara profesional. ”Seperti perpustakaan Kongres AS, segala macam kebutuhan data dan informasi bisa diakses dan dikelola secara profesional,” kata Mahfudz.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh mengaku tidak mengetahui adanya denda yang harus dibayarkan oleh anggota DPR yang batal ikut studi banding.
”Setjen DPR hanya mengeluarkan uang untuk biaya studi banding berdasarkan pagu yang ada, yaitu Rp 1,7 miliar untuk setiap studi banding. Pengurusan selanjutnya, termasuk penentuan agen perjalanan, dilakukan oleh setiap komisi di DPR,” kata Nining.
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno menuturkan, sejumlah anggota fraksinya harus membayar denda ke agen perjalanan karena batal ikut studi banding. Denda ini, antara lain, dibayarkan Mumtaz Rais, anggota Komisi VI DPR, sebesar 4.000 dollar AS (sekitar Rp 36 juta) karena batal ikut studi banding komisinya ke Inggris, 7 November mendatang.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Agus Hermanto mengaku tidak tahu perihal denda yang harus dibayarkan anggotanya karena batal ikut studi banding. (nta/nwo/why)
Kaukus Papua Protes Ketua Komisi I DPR RI
Antara - Rabu, 3 November
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Kaukus Papua di Parlemen Indonesia memprotes pernyataan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq yang menyatakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak perlu mencampuri urusan Papua.
"Pernyataan itu ngawur dan menyakiti nurani rakyat kaum Melanesia di Tanah Papua. Persoalan HAM berat dan masalah-masalah pembebasan warga Papua dari kemiskinan telah telanjur diketahui masyarakat dunia," ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Paskalis Kossay yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Papua menambahkan, urusan HAM itu merupakan masalah universal, siapa pun bisa memberi kepedulian.
Karena itu, menurutnya, jika Barack Obama atau siapa saja dari warga internasional dan Amerika Serikat khususnya datang ke Tanah Papua, itu karena pelanggaran HAM di sana sangat tinggi.
"Makanya, konsern warga Amerika dan dunia termasuk Barack Obama jangan dihambat oleh pernyataan picik dan ngawur dari seorang Mahfudz Siddiq itu yang saya baca di beberapa media," tandasnya.
Paskalis Kossay yang juga anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar berniat melakukan adu argumentasi dengan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) tersebut terkait penanganan Papua.
"Dia jangan sok tahu soal Papua. Dia kira semua warga sipil Papua separatis, jadi seenaknya disiksa sebagaimana ditayangkan sebuah video, di mana ada oknum-oknum militer kita menyiksa rakyat Papua. Kita ini manusia juga yang tak layak disiksa seenaknya, dianiaya sadis, malah dibunuh," tegasnya.
Paskalis Kossay dan kawan-kawan dari Kaukus Papua di Parlemen Indonesia juga berniat mempersoalkan berbagai kasus penyiksaan dan penindasan warga sipil Papua dengan stigma separatis, padahal belum tentu demikian.
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Kaukus Papua di Parlemen Indonesia memprotes pernyataan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq yang menyatakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak perlu mencampuri urusan Papua.
"Pernyataan itu ngawur dan menyakiti nurani rakyat kaum Melanesia di Tanah Papua. Persoalan HAM berat dan masalah-masalah pembebasan warga Papua dari kemiskinan telah telanjur diketahui masyarakat dunia," ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Paskalis Kossay yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Papua menambahkan, urusan HAM itu merupakan masalah universal, siapa pun bisa memberi kepedulian.
Karena itu, menurutnya, jika Barack Obama atau siapa saja dari warga internasional dan Amerika Serikat khususnya datang ke Tanah Papua, itu karena pelanggaran HAM di sana sangat tinggi.
"Makanya, konsern warga Amerika dan dunia termasuk Barack Obama jangan dihambat oleh pernyataan picik dan ngawur dari seorang Mahfudz Siddiq itu yang saya baca di beberapa media," tandasnya.
Paskalis Kossay yang juga anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar berniat melakukan adu argumentasi dengan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) tersebut terkait penanganan Papua.
"Dia jangan sok tahu soal Papua. Dia kira semua warga sipil Papua separatis, jadi seenaknya disiksa sebagaimana ditayangkan sebuah video, di mana ada oknum-oknum militer kita menyiksa rakyat Papua. Kita ini manusia juga yang tak layak disiksa seenaknya, dianiaya sadis, malah dibunuh," tegasnya.
Paskalis Kossay dan kawan-kawan dari Kaukus Papua di Parlemen Indonesia juga berniat mempersoalkan berbagai kasus penyiksaan dan penindasan warga sipil Papua dengan stigma separatis, padahal belum tentu demikian.
Soal Reshuffle, PKS Minta Diajak Bicara Terlebih Dahulu
Ahad, 31 Oktober 2010, 16:11 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kendati menyadari kalau perombakan kabinet adalah hak prerogatif presiden, PKS meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkonsultasi terlebih dahulu dengan partai koalisi lainnya jika hendak merombak kabinet. Sekarang juga dipandang PKS bukan saat yang tepat untuk bicara perombakan kabinet.
Wasekjen PKS, Mahfudz Shiddiq, mengibaratkan koalisi dengan perkawinan seorang lelaki dan perempuan. "Kalau seorang suami mau menceraikan istrinya, seharusnya mengingat dulu bagaimana ketika mengajak perempuan itu menikah," tutur dia kepada Republika, Ahad (31/10).
Ketika mengajak menikah, sepantasnya sang pria berbicara dahulu dengan orang tua pasangannya. Maka, ketika hendak bercerai sebaiknya suami kembali mengajak bicara mertuanya. "Harus ngomong juga dengan mertua kalau mau bercerai, kan," ujar dia lagi.
Sebelumnya, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, mengatakan presiden tidak perlu meminta persetujuan petinggi partai koalisi seandainya hendak melakukan perombakan kabinet. Menurut Mubarok lagi, pembicaraan antara petinggi partai dan presiden akan terjadi sebatas pemberitahuan hasil evaluasi.
Agenda konsultasi, dikatakannya, tidak akan dilakukan presiden. Alasannya, pergantian menteri dalam kabinet adalah hak prerogatif presiden. Mahfudz menambahkan, PKS berkeyakinan kalau presiden tidak akan merombak kabinetnya tanpa konsultasi dengan partai koalisi. Presiden, katanya, pernah berbicara kalau seandainya terjadi perombakan ia akan lebih dahulu berbicara dengan partai koalisi.
Perkataan Mubarok, sambung Mahfudz yang juga Ketua Komisi I DPR RI, tidak dijadikan pegangan oleh PKS. Bencana di Gunung Merapi, Jawa Tengah, dan tsunami di Pulau Mentawai di Sumatra juga dipandang Mahfudz menjadi prioritas utama presiden dan elite politik. Tidak sepatutnya bicara perombakan ketika pekerjaan di daerah bencana menanti untuk dikerjakan.
Red: Djibril Muhammad
Rep: Indira Rezkisari
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kendati menyadari kalau perombakan kabinet adalah hak prerogatif presiden, PKS meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkonsultasi terlebih dahulu dengan partai koalisi lainnya jika hendak merombak kabinet. Sekarang juga dipandang PKS bukan saat yang tepat untuk bicara perombakan kabinet.
Wasekjen PKS, Mahfudz Shiddiq, mengibaratkan koalisi dengan perkawinan seorang lelaki dan perempuan. "Kalau seorang suami mau menceraikan istrinya, seharusnya mengingat dulu bagaimana ketika mengajak perempuan itu menikah," tutur dia kepada Republika, Ahad (31/10).
Ketika mengajak menikah, sepantasnya sang pria berbicara dahulu dengan orang tua pasangannya. Maka, ketika hendak bercerai sebaiknya suami kembali mengajak bicara mertuanya. "Harus ngomong juga dengan mertua kalau mau bercerai, kan," ujar dia lagi.
Sebelumnya, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, mengatakan presiden tidak perlu meminta persetujuan petinggi partai koalisi seandainya hendak melakukan perombakan kabinet. Menurut Mubarok lagi, pembicaraan antara petinggi partai dan presiden akan terjadi sebatas pemberitahuan hasil evaluasi.
Agenda konsultasi, dikatakannya, tidak akan dilakukan presiden. Alasannya, pergantian menteri dalam kabinet adalah hak prerogatif presiden. Mahfudz menambahkan, PKS berkeyakinan kalau presiden tidak akan merombak kabinetnya tanpa konsultasi dengan partai koalisi. Presiden, katanya, pernah berbicara kalau seandainya terjadi perombakan ia akan lebih dahulu berbicara dengan partai koalisi.
Perkataan Mubarok, sambung Mahfudz yang juga Ketua Komisi I DPR RI, tidak dijadikan pegangan oleh PKS. Bencana di Gunung Merapi, Jawa Tengah, dan tsunami di Pulau Mentawai di Sumatra juga dipandang Mahfudz menjadi prioritas utama presiden dan elite politik. Tidak sepatutnya bicara perombakan ketika pekerjaan di daerah bencana menanti untuk dikerjakan.
Red: Djibril Muhammad
Rep: Indira Rezkisari
Tuesday, November 02, 2010
Intelijen tidak Boleh Memeriksa
02 Nov 2010
DPR mewacanakan pembentukan komite untuk mengawasi intelijen. Anggota komite tidak mesti dari anggota dewan.
Dinny Mutiah
KOMISI I DPR telah mencapai kesepakatan terhadap tiga pasal krusial dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen.
Menurut Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Jakarta, kemarin, ketiga pasal itu adalah mengenai koordinasi, penyadapan, dan pemeriksaan.
Untuk koordinasi, sambungnya, koordinasi di antara lembaga intelijen harus ada, baik secara fungsi maupun kelembagaan. Namun, DPR menyerahkan nomenklatur kelembagaan kepada pemerintah.
"Di draf itu kami cuma berbicara mengenai tugas dan kewenangan serta fungsi dari lembaga koordinasi. Tapi, nomenklatur tidak secara eksplisit diatur dalam UU. Nomenklatur lembaga diserahkan kepada pemerintah lewat keputusan presiden (keppres)," jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, DPR sepakat memberi kewenangan lembaga intelijen untuk melakukan penyadapan. Asalkan, sambungnya, penyadapan itu harus menyelaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada tentang intersepsi.
Adapun mengenai pemeriksaan intensif, lanjutnya, semua fraksi di Komisi I DPR sepakat untuk menghapus seluruhnya sehingga lembaga intelijen tidak berwenang melakukan pemeriksaan.
Pasalnya, tambah dia, Komisi I menilai pemeriksaan intensif masuk dalam wilayah proyustisia yang berarti menyangkut kewenangan kepolisian.
"Sehingga, kalau ada orang-orang yang dianggap Badan Intelijen Negara (BIN) harus diperiksa intensif bahkan harus dilakukan penahanan, BIN harus berkoordinasi dengan kepolisian. Yang melakukanpemeriksaan adalah kepolisian," tegasnya.
Ia tidak menampik ada keraguan dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pemeriksaan bila melihat kebutuhan di lapangan. Sehingga, menurutnya, masih ada peluang untuk kompromi jika intelijen membutuhkan pemeriksaan intensif dengan menerapkan intelijen ala Inggris.
Bagaimanapun, komisi menetapkan kebijakan intelijen bukan aparat penegak hukum yang berarti tidak memiliki kewenangan penegakan hukum.
"Inggris, misalnya, lembaga kepolisian menempatkan agen khusus di intelijen untuk menangani tindakan yang proyustisia. Di kita belum. Sebenarnya perlu kita pikirkan, solusi alternatifnya seperti apa," jelasnya.
Dengan disepakatinya pasal krusial itu, lanjut Mahfudz, Komisi I telah menyerahkan draf itu ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk melakukan finalisasi.
"Di komisi sudah dibahas drafnya. Sedang kami kirim ke Baleg untuk harmonisasi. Mudah-mudahan awal masa sidang depan sudah selesai. Awal Desemberlah sudah bisa dibahas dengan pemerintah," kata Mahfudz.
Komite pengawas
Wakil Ketua Komisi I DPR dari F-PDIP Tb Hasanudin menambahkan, draf juga memuat sebuah komite yang bertugas mengawasi intelijen secara intensif.ia mengakui bentuk komite tersebut belum dirumuskan secara tepat karena menunggu masukkan dari publik jika pembahasan tahap I sudah dimulai. "Intelijen ini harus dikontrol oleh sebuah komite kecil. Komite kecil itu bisa dari DPR atau dari mana, kami belum tahu," tandasnya. (P-l)dinny@mediaindonesia.com
DPR mewacanakan pembentukan komite untuk mengawasi intelijen. Anggota komite tidak mesti dari anggota dewan.
Dinny Mutiah
KOMISI I DPR telah mencapai kesepakatan terhadap tiga pasal krusial dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen.
Menurut Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Jakarta, kemarin, ketiga pasal itu adalah mengenai koordinasi, penyadapan, dan pemeriksaan.
Untuk koordinasi, sambungnya, koordinasi di antara lembaga intelijen harus ada, baik secara fungsi maupun kelembagaan. Namun, DPR menyerahkan nomenklatur kelembagaan kepada pemerintah.
"Di draf itu kami cuma berbicara mengenai tugas dan kewenangan serta fungsi dari lembaga koordinasi. Tapi, nomenklatur tidak secara eksplisit diatur dalam UU. Nomenklatur lembaga diserahkan kepada pemerintah lewat keputusan presiden (keppres)," jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, DPR sepakat memberi kewenangan lembaga intelijen untuk melakukan penyadapan. Asalkan, sambungnya, penyadapan itu harus menyelaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada tentang intersepsi.
Adapun mengenai pemeriksaan intensif, lanjutnya, semua fraksi di Komisi I DPR sepakat untuk menghapus seluruhnya sehingga lembaga intelijen tidak berwenang melakukan pemeriksaan.
Pasalnya, tambah dia, Komisi I menilai pemeriksaan intensif masuk dalam wilayah proyustisia yang berarti menyangkut kewenangan kepolisian.
"Sehingga, kalau ada orang-orang yang dianggap Badan Intelijen Negara (BIN) harus diperiksa intensif bahkan harus dilakukan penahanan, BIN harus berkoordinasi dengan kepolisian. Yang melakukanpemeriksaan adalah kepolisian," tegasnya.
Ia tidak menampik ada keraguan dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pemeriksaan bila melihat kebutuhan di lapangan. Sehingga, menurutnya, masih ada peluang untuk kompromi jika intelijen membutuhkan pemeriksaan intensif dengan menerapkan intelijen ala Inggris.
Bagaimanapun, komisi menetapkan kebijakan intelijen bukan aparat penegak hukum yang berarti tidak memiliki kewenangan penegakan hukum.
"Inggris, misalnya, lembaga kepolisian menempatkan agen khusus di intelijen untuk menangani tindakan yang proyustisia. Di kita belum. Sebenarnya perlu kita pikirkan, solusi alternatifnya seperti apa," jelasnya.
Dengan disepakatinya pasal krusial itu, lanjut Mahfudz, Komisi I telah menyerahkan draf itu ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk melakukan finalisasi.
"Di komisi sudah dibahas drafnya. Sedang kami kirim ke Baleg untuk harmonisasi. Mudah-mudahan awal masa sidang depan sudah selesai. Awal Desemberlah sudah bisa dibahas dengan pemerintah," kata Mahfudz.
Komite pengawas
Wakil Ketua Komisi I DPR dari F-PDIP Tb Hasanudin menambahkan, draf juga memuat sebuah komite yang bertugas mengawasi intelijen secara intensif.ia mengakui bentuk komite tersebut belum dirumuskan secara tepat karena menunggu masukkan dari publik jika pembahasan tahap I sudah dimulai. "Intelijen ini harus dikontrol oleh sebuah komite kecil. Komite kecil itu bisa dari DPR atau dari mana, kami belum tahu," tandasnya. (P-l)dinny@mediaindonesia.com
Presiden Negara dan LSM Asing Tak Perlu Tekan Indonesia
02 Nov 2010 Jakarta, Pelita
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akan membahas kasus penganiayaan/ke-kerasan warga di Papua oleh aparat TNI dalam pertemuan dengan PM Australia Julia Gil-lard hari ini, Selasa (2/3). Kecuali itu, yang dibahas hanya masalah bilateral dan isu kawasan.
Demikian diungkapkan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa di kantor Presiden Jalan Merdeka Utara, Senin (1/11). Penegasan itu disampaikannya menjawab pertanyaan wartawan apakah pertemuan Presiden dengan Jullia Gilard juga akan membahas masalah penganiayaan warga Papua oleh TNI.
"ndak ada agenda materi itu. Yang dibicarakan hanyalah masalah bilateral dan kawasan", ujar Marty. Diktakannya ini adalah kunjungan pertama PM Gillard ke Indonesia, sekaligus merupakan kunjungan balasan SBY yang ke Australia pada Maret 2010 lalu. Karena itu agenda yang dibicarakan hanya peningkatan hubungan bilateral kedua negara.
"Jadi intinya menindaklanjuti dan memperdalam hubungan yang sudah terjalin selama ini antara RI dan Australia, di samping tentunya membahas persoalan persoalan di kawasan, regional, di kawasan kita kerjasama Asean, G-20 dan lain-lain," papar Marty.
Dilanjutkannya., dalam pertemuan itu bisa juga dibahas mengenai pencemaran Laut
Timor oleh perusahaan minyak Montara. "Kita lihat nanti bagaimana persoalannya kanena dalam hal ini kan baik Indonesia maupun Australia memiliki kepentingan, masalah ini yang menyangkut tanggungjawab perusahaan terkait atas insiden laut ini," jelas dia.
Gillard tiba di Indonesia pada hari Senin (1/11) pukul 16.00 WIB. Marty sendiri yang menjemput Gillard di bandara. Sebelumnya organisasi HAM yang berbasis di AS, Human Rights Watch (HRW) mendesak Gillard agar menekan Pemerintah RI melakukan penyelidikan penuh atas tindak kekerasan yang dilakukan personel TNI terhadap warga Papua.
"Gillard harus menuntut agar kasus penyiksaan baru-baru ini oleh pasukan keamanan Indonesia diselidiki dengan benar, tidak disembunyikan,* kata Elaine Pearson. Wakil Direktur Asia di HRW seperti dilansir AFP, Jumat (29/10).
Namun SBY dalam rapat kabinet Senin (1/11) menegaskan Indonesia mempunyai perangkat dan mekanisme untuk mengusut kasus dugaan pelanggaraan HAM. Negara asing dan LSM asing tidak perlu menekan Indonesia untuk menegakkan keadilan terhadap setiap kasus yang ada.
"Kita mempunyai pengadilan militer untuk menegakkan disiplin dan keadilan. Kita akan melaksanakan kewajiban kita, tidak perlu ada tekanan-tekan-an dari negara atau NGO mana pun," kata Presiden SBY dalam pembukaan rapat kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (1/11).
Sudah selesai
Sebelumnya Komisi I DPR berharap kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua dan pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengingatkan AS tentang kemerdekaan Palestina.
Hal itu diungkapkan Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq dan anggota Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita secara terpisah di Jakarta, terkait dengan kunjungan kerja Presiden Obama ke Indonesia pada November 2010.
Mahfudz menegaskan, masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus kepada Papua. Karena itu Indonesia harus tegas terhadap AS soal Papua yang su-dah selesai.
Pemerintah AS harus menghargai apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia. Mahfudz mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar AS untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua.
"Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk AS," ujar Mahfudz, (kh)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akan membahas kasus penganiayaan/ke-kerasan warga di Papua oleh aparat TNI dalam pertemuan dengan PM Australia Julia Gil-lard hari ini, Selasa (2/3). Kecuali itu, yang dibahas hanya masalah bilateral dan isu kawasan.
Demikian diungkapkan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa di kantor Presiden Jalan Merdeka Utara, Senin (1/11). Penegasan itu disampaikannya menjawab pertanyaan wartawan apakah pertemuan Presiden dengan Jullia Gilard juga akan membahas masalah penganiayaan warga Papua oleh TNI.
"ndak ada agenda materi itu. Yang dibicarakan hanyalah masalah bilateral dan kawasan", ujar Marty. Diktakannya ini adalah kunjungan pertama PM Gillard ke Indonesia, sekaligus merupakan kunjungan balasan SBY yang ke Australia pada Maret 2010 lalu. Karena itu agenda yang dibicarakan hanya peningkatan hubungan bilateral kedua negara.
"Jadi intinya menindaklanjuti dan memperdalam hubungan yang sudah terjalin selama ini antara RI dan Australia, di samping tentunya membahas persoalan persoalan di kawasan, regional, di kawasan kita kerjasama Asean, G-20 dan lain-lain," papar Marty.
Dilanjutkannya., dalam pertemuan itu bisa juga dibahas mengenai pencemaran Laut
Timor oleh perusahaan minyak Montara. "Kita lihat nanti bagaimana persoalannya kanena dalam hal ini kan baik Indonesia maupun Australia memiliki kepentingan, masalah ini yang menyangkut tanggungjawab perusahaan terkait atas insiden laut ini," jelas dia.
Gillard tiba di Indonesia pada hari Senin (1/11) pukul 16.00 WIB. Marty sendiri yang menjemput Gillard di bandara. Sebelumnya organisasi HAM yang berbasis di AS, Human Rights Watch (HRW) mendesak Gillard agar menekan Pemerintah RI melakukan penyelidikan penuh atas tindak kekerasan yang dilakukan personel TNI terhadap warga Papua.
"Gillard harus menuntut agar kasus penyiksaan baru-baru ini oleh pasukan keamanan Indonesia diselidiki dengan benar, tidak disembunyikan,* kata Elaine Pearson. Wakil Direktur Asia di HRW seperti dilansir AFP, Jumat (29/10).
Namun SBY dalam rapat kabinet Senin (1/11) menegaskan Indonesia mempunyai perangkat dan mekanisme untuk mengusut kasus dugaan pelanggaraan HAM. Negara asing dan LSM asing tidak perlu menekan Indonesia untuk menegakkan keadilan terhadap setiap kasus yang ada.
"Kita mempunyai pengadilan militer untuk menegakkan disiplin dan keadilan. Kita akan melaksanakan kewajiban kita, tidak perlu ada tekanan-tekan-an dari negara atau NGO mana pun," kata Presiden SBY dalam pembukaan rapat kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (1/11).
Sudah selesai
Sebelumnya Komisi I DPR berharap kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua dan pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengingatkan AS tentang kemerdekaan Palestina.
Hal itu diungkapkan Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq dan anggota Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita secara terpisah di Jakarta, terkait dengan kunjungan kerja Presiden Obama ke Indonesia pada November 2010.
Mahfudz menegaskan, masalah Papua sudah selesai dengan dikeluarkannya konsensus nasional oleh pemerintah Indonesia, yakni pemberian otonomi khusus kepada Papua. Karena itu Indonesia harus tegas terhadap AS soal Papua yang su-dah selesai.
Pemerintah AS harus menghargai apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia. Mahfudz mengemukakan, diangkatnya masalah Papua dalam kunjungannya ke Indonesia terlihat dari kunjungan Duta Besar AS untuk Indonesia ke Papua guna meninjau secara langsung apa yang sedang terjadi di Papua.
"Siapapun, negara manapun, harus menghormati apa yang dilakukan Indonesia, termasuk AS," ujar Mahfudz, (kh)
RUU Intelijen Mulai Dibahas Desember
Senin, 01 November 2010 23:55 WIB
Penulis : Dinny Mutiah
JAKARTA--MICOM: Pembahasan awal RUU Intelijen oleh Komisi I DPR sudah selesai. Selanjutnya Badan Legislasi sedang melakukan harmonisasi. DPR menargetkan RUU tersebut mulai dibahas bersama pemerintah pada awal Desember tahun ini.
"Di komisi sudah dibahas drafnya. Sedang kita kirim ke Baleg untuk harmonisasi. Mudah-mudahan awal masa sidang depan sudah selesai di Baleg, paling tidak pada bulan kedua masa sidang depan. Awal Desemberlah sudah bisa dibahas dengan pemerintah," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Jakarta, Senin (1/10).
Tiga poin krusial yang selama ini menjadi perdebatan sudah menemukan titik kompromi. Pertama, terkait soal koordinasi, Komisi I sudah menyepakatai koordinasi harus ada baik secara fungsi maupun kelembagaan. Namun, DPR menyerahkan nomenklatur kelembagaan kepada pemerintah karena dianggap lebih memahami konsekuensi atas pilihan nomenklatur koordinasi.
"Di draf itu kita cuma berbicara mengenai tugas dan kewenangan serta fungsi dari lembaga koordinasi. Tapi, nomenklatur itu tidak secara eksplisit diatur dalam UU. Nomenklatur lembaga itu diserahkan pada pemerintah lewat keppres," jelasnya.
Poin kedua yang disepakati adalah penyadapan. DPR sepakat memberikan kewenangan tersebut asalkan diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang ada mengenai intersepsi.
Poin ketiga adalah terkait pemeriksaan intensif. Semua fraksi sepakat aturan yang menyangkut itu dihapuskan seluruhnya. Komisi I berpandangan bahwa pemeriksaan intensif masuk dalam wilayah proyustisia yang berarti menyangkut kewenangan kepolisian.
"Sehingga, kalau ada orang-orang yang dianggap BIN harus diperiksa intensif bahkan harus dilakukan penahanan, BIN harus berkoordinasi dengan kepolisian. Yang melakukan itu kepolisian," tegasnya. (Din/OL-8)
Penulis : Dinny Mutiah
JAKARTA--MICOM: Pembahasan awal RUU Intelijen oleh Komisi I DPR sudah selesai. Selanjutnya Badan Legislasi sedang melakukan harmonisasi. DPR menargetkan RUU tersebut mulai dibahas bersama pemerintah pada awal Desember tahun ini.
"Di komisi sudah dibahas drafnya. Sedang kita kirim ke Baleg untuk harmonisasi. Mudah-mudahan awal masa sidang depan sudah selesai di Baleg, paling tidak pada bulan kedua masa sidang depan. Awal Desemberlah sudah bisa dibahas dengan pemerintah," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Jakarta, Senin (1/10).
Tiga poin krusial yang selama ini menjadi perdebatan sudah menemukan titik kompromi. Pertama, terkait soal koordinasi, Komisi I sudah menyepakatai koordinasi harus ada baik secara fungsi maupun kelembagaan. Namun, DPR menyerahkan nomenklatur kelembagaan kepada pemerintah karena dianggap lebih memahami konsekuensi atas pilihan nomenklatur koordinasi.
"Di draf itu kita cuma berbicara mengenai tugas dan kewenangan serta fungsi dari lembaga koordinasi. Tapi, nomenklatur itu tidak secara eksplisit diatur dalam UU. Nomenklatur lembaga itu diserahkan pada pemerintah lewat keppres," jelasnya.
Poin kedua yang disepakati adalah penyadapan. DPR sepakat memberikan kewenangan tersebut asalkan diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang ada mengenai intersepsi.
Poin ketiga adalah terkait pemeriksaan intensif. Semua fraksi sepakat aturan yang menyangkut itu dihapuskan seluruhnya. Komisi I berpandangan bahwa pemeriksaan intensif masuk dalam wilayah proyustisia yang berarti menyangkut kewenangan kepolisian.
"Sehingga, kalau ada orang-orang yang dianggap BIN harus diperiksa intensif bahkan harus dilakukan penahanan, BIN harus berkoordinasi dengan kepolisian. Yang melakukan itu kepolisian," tegasnya. (Din/OL-8)
Subscribe to:
Posts (Atom)