Wednesday, September 29, 2010

Politikus Senayan yang Tak Tergoda ''Pelesir'' ke Luar Negeri

Jawa Pos
[ Selasa, 28 September 2010 ]

Anggap Hanya Bikin Capek di Jalan


Kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri menuai banyak kritik. Bahkan, ada yang menyebut bepergian dengan dana APBN itu tak ubahnya "pelesir". Tapi, ada juga yang tak mau memanfaatkan ''pelancongan'' gratis itu. Wakil Ketua DPR Pramono Anung dan Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq mengaku belum pernah mengambil jatah "jalan-jalan" itu.

Priyo Handoko, Jakarta

---

POLITIKUS PDIP Pramono Anung sudah tiga periode terpilih menjadi wakil rakyat. Tapi, hebatnya, dia tidak pernah merasakan nikmatnya pelesiran sebagai wakil rakyat. Cerita indah mancanegara dalam kunker hanya dia dengar dari cerita rekan-rekannya.

Sampai sekarang, dengan posisi strategis sebagai pimpinan DPR, Pram belum sekalipun mengambil jatah kunjungan kerja ke luar negeri dengan dalih rapat komisi atau studi banding dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang. ''Sebenarnya ada jatah. Tapi, saya belum pernah mengambilnya,'' ujar Pram di gedung DPR, Senayan, kemarin (27/9).

Pram menuturkan, pada periode 1999-2004 jatah ke luar negeri sama sekali tidak pernah disentuhnya. Saat DPR periode 2004-2009, dia juga keburu memutuskan meninggalkan Senayan pada 2005 setelah didapuk menjadi Sekjen DPP PDIP.

Di parlemen periode sekarang, Pram yang menjadi unsur pimpinan, berjanji tetap berusaha mempertahankan pendiriannya itu. ''Saya merasa setiap orang punya sikap sendiri-sendiri. Ini soal pilihan. Tapi, saya merasa kalau tidak terlalu urgen, ngapain ke luar negeri (dengan dibiayai APBN, Red),'' kata pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, 11 Juni 1963, itu.

Tidak merasa rugi melepas kesempatan jalan-jalan ke negeri orang? ''Sama sekali nggak menyesal. Pergi sendiri juga bisa,'' jawabnya, lantas terkekeh.

Meski begitu, Pram menyampaikan, suatu ketika dia mungkin harus tetap mewakili pimpinan DPR ke luar negeri. Misalnya, menghadiri undangan muhibah dari parlemen dunia. Dalam kondisi ini, mau tidak mau, parlemen Indonesia memang harus berpartisipasi. Sebab, ini menyangkut hubungan diplomasi antarnegara. Misalnya, dalam sidang Inter-Parliamentary Union (IPU). ''Biasanya, kalau ini, akomodasi atau biaya dari yang mengundang,'' kata wakil dari Jawa Timur VI -meliputi Tulungagung, Kediri, dan Blitar, itu.

Mengenai jatah kunker ke luar negeri DPR, Pram juga mengklarifikasi. Menurut dia, data yang dirilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) bahwa DPR menyedot Rp 170,351 miliar kurang pas. Dalam 2010, hanya dianggarkan Rp 107 miliar. Bahkan, ini turun dari 2009 yang mencapai Rp 111 miliar.

''Jadi, kalau ada anggaran kunker yang naik, pasti bukan DPR. Kenaikan itu ada di pihak pemerintah,'' ujar lulusan Teknik Pertambangan ITB itu. Baru-baru ini Fitra memang kembali merilis bahwa total anggaran perjalanan dinas pemerintah dan DPR yang diajukan dalam APBN 2011 adalah Rp 20,9 triliun. Jumlah tersebut naik dari 2010 ini yang Rp 19,5 triliun.

Pram menyampaikan, saat ini setiap anggota komisi atau alat kelengkapan DPR lain yang hendak kunker ke luar negeri diharuskan membuat TOR dulu. Mereka diwajibkan memberikan penjelasan kepada publik mengenai pertimbangan ke luar negeri. ''Ada pertanyaan publik tidak boleh menghindar. Jangan pimpinan yang menjawab,'' katanya.

Anggota DPR lain yang bersikap sama adalah Wakil Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq. ''Alhamdulillah, sekalipun saya nggak pernah,'' kata politikus PKS itu. Seperti halnya Pramono Anung, Mahfudz menjelaskan, dirinya selalu menolak mengikuti kunker terkait dengan komisi maupun pembahasan RUU tertentu.

Dia mengaku sengaja memutuskan tidak ikut. ''Cuma capek di jalan, nggak sebanding dengan hasilnya,'' jelasnya. Namun, selaku pimpinan fraksi, dia tidak bisa menolak muhibah pimpinan DPR atas undangan negara lain. ''Itu memang official diplomacy dengan pimpinan parlemen dan pemerintahan negara pengundang,'' jelas Mahfudz yang sempat menjadi ketua FPKS DPR periode 2004-2009.

Menurut Mahfudz, kunjungan kerja memang suatu instrumen pelaksanaan tugas dan fungsi yang tidak bisa dihindari. Namun, seharusnya dirumuskan dulu target yang ingin dicapai. Baru diidentifikasi kunjungan dan anggarannya.

''Tapi, sekarang ini lebih banyak floating anggaran dulu, baru bikin programnya. Sedangkan ukuran kinerja ada boleh, nggak ada juga boleh,'' katanya. Dia menyebut sangat mungkin efektivitas kunjungan dinas para pejabat negara saat ini hanya 40 persen. ''DPR sendiri kalau mau mendayagunakan pusat informasi yang ada di lembaga ini mungkin jauh lebih efisien,'' tegas Mahfudz. (*/c2)

No comments: