Thursday, April 15, 2010

F-PDIP Resmi Memboikot Sri Mulyani

F-PDIP Resmi
Memboikot Sri Mulyani

Suara Karya, Kamis, 15 April 2010
JAKARTA (Suara Karya): Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR secara resmi menolak kehadiran Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mewakili pemerintah dalam setiap sidang di DPR, baik di Komisi XI maupun Badan Anggaran DPR.

"Pimpinan Fraksi PDIP sudah mengirim memo kepada Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi XI DPR dan Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Anggaran mengenai hal tersebut," kata Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (14/4).

Ia menegaskan, tidak ada kompromi untuk Sri Mulyani hadir mewakili pemerintah. Kehadiran Sri Mulyani, katanya, dapat digantikan oleh Menko Perekonomian atau Menkeu ad interim.

"Kalau toh Sri Mulyani hadir, posisinya hanya mendampingi saja dan tidak menyampaikan materi atas nama pemerintah," ujarnya.

Dia menambahkan, sikap Fraksi PDIP itu terkait konsistensi terhadap keputusan Rapat Paripurna DPR terkait hak angket DPR tentang kasus skandal Bank Century.

Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo menyambut baik sikap resmi Fraksi PDIP yang memboikot Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mewakili pemerintah dalam setiap sidang, baik di Komisi XI maupun di Badan Anggaran DPR.

Menurutnya, tanpa Sri Mulyani, pemerintah masih bisa mencari menteri di kabinet untuk membahas masalah anggaran dengan DPR.

"DPR, kan, sudah resmi mengambil keputusan. Dan keputusan DPR soal skandal Bank Century itu harus ditegakkan. Kalau bukan DPR, siapa lagi yang bisa menegakkan? Yang terbaik memang proses hukum dijalankan. Dan, selama proses hukum ini apakah diboikot atau tidak, diserahkan kepada fraksi-fraksi. Toh, pemerintah tidak kesulitan. Presiden juga sudah menugasi Menko Perekonomian untuk mengoordinasikan rapat-rapat dengan DPR," kata Drajad Wibowo.

Drajad kemudian menjawab diplomatis saat ditanya dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum DPP PAN, apakah fraksinya di DPR akan ikut langkah Fraksi PDI Perjuangan yang resmi memboikot Sri Mulyani. Sebelum menjawab, Drajad sempat tersenyum simpul terlebih dahulu.

"Kalau PAN, hal itu belum dibicarakan. Sebagai wakil ketua umum, nanti dulu lah. Saya akan lihat dulu," ujarnya dengan nada mengelak.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR, Mahfudz Siddiq, juga menyarankan sebaiknya Menteri Keuangan Sri Mulyani menugasi wakilnya untuk menghadiri ra-pat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2010 di DPR.

"Kendala psikologis dan politis pasti memengaruhi. Jadi, sebaiknya Sri Mulyani digantikan wakilnya dari Kementerian Keuangan, seperti wakil atau sekjennya," tutur Mahfudz.

Ia mengatakan, pemerintah sebaiknya mengirimkan wakil Sri Mulyani untuk menghindari ketegangan di DPR.

Mahfudz menilai, kendala psikologi dan politis yang dialami Sri Mulyani tidak dapat dihindari, dan hal tersebut akan memengaruhi keberadaannya di DPR.

Namun, hingga saat ini, PKS belum menyatakan sikap atas pemboikotan terhadap Sri Mulyani dalam berbagai rapat yang dihadiri Sri Mulyani di DPR.

"PKS tidak memiliki urgensi untuk memboikot Sri Mulyani dalam rapat-rapat dengan berbagai komisi yang terkait dengan masalah keuangan," ujar Mahfudz.

Menanggapi aksi boikot terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua DPR Marzuki Alie mengaku menyayangkan. Menurutnya, kehadiran Sri Mulyani di DPR bukanlah sebagai pribadi, melainkan wakil resmi pemerintah.

Sementara itu, Fraksi Partai Golkar DPR meminta pertanggungjawaban Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atas kebijakan remunerasi di Kementerian Keuangan, khususnya di Ditjen Pajak.

Program remunerasi tidak memberikan dampak positif, baik bagi peningkatan pendapatan negara di sektor pajak, peningkatan kinerja pengawai, maupun dalam menekan angka kebocoran uang negara.

"Fraksi Partai Golkar meminta pertanggungjawaban moral Menkeu atas kegagalan penerapan sistem remunerasi di Ditjen Pajak," kata Sekretaris Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin.

Fraksi Partai Golkar DPR menilai kebijakan remunerasi yang digulirkan Sri Mulyani, khususnya di Ditjen Pajak, gagal memberikan dampak positif terhadap tiga hal. Pertama, tidak mampu meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio sesuai standar negara berkembang. Kedua, gagal menciptakan good corporate governance (GCG) di tubuh internal pajak. Ketiga, belum berhasil menciptakan suasana aman dan nyaman, serta iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan wajib pajak (WP).

Ade menyebutkan, berdasarkan data pajak tahun 2000 sampai 2009, lonjakan penerimaan negara dari sektor pajak justru terjadi pada tahun 2000 hingga 2001. Pada periode itu, jumlah pendapatan dari sektor pajak meningkat dari 8,8 persen menjadi 12,4 persen.

"Sejak sistem remunerasi dicanangkan tahun 2002, kemudian mulai dijalankan pada tahun 2006 hingga sekarang, pertumbuhan penerimaan pajak malah flat 12 persen," kata Ade Komarudin, yang juga anggota komisi XI DPR ini.

Ade menjelaskan, remunerasi tidak berhasil menciptakan GCG di tubuh internal pajak. Buktinya, hingga kini masih ada karyawan seperti Gayus Tambunan dan mafia pajak lain yang lebih besar. Diduga, rendahnya tax ratio juga dikarenakan besarnya kebocoran dan adanya "Gayus-Gayus" lain di Ditjen Pajak.

Remunerasi, menurut Ade, juga belum berhasil menciptakan suasana aman dan nyaman bagi dunia usaha dan WP. "Buktinya masih ada rasa ketakutan para WP dan kesulitan mereka berhubungan dengan fiskus," kata Ade.

Ade juga menilai kebijakan remunerasi yang dilakukan merugikan negara dua kali. Pertama, komponen anggaran untuk gaji yang dikeluarkan negara meningkat tajam. Kedua, pendapatan negara menurun akibat praktik makelar kasus (markus).

"F-PG sebenarnya mendukung penerapan sistem remunerasi di berbagai lembaga pemerintah, asalkan sistem tersebut telah dirancang dengan baik dan dijalankan dengan pengawasan ketat dari pimpinannya. Sistem remunerasi hendaknya juga dilaksanakan berdasarkan prestasi yang dicapai karyawan atau lembaga bersangktuan," ujarnya.

Ade, yang juga Ketua DPP Partai Golkar itu, menyatakan, kebijakan remunerasi semestinya dikaitkan dengan stick and reward. Jika berhasil meningkatkan tax ratio atau pendapatan negara, Ditjen Pajak layak menerima reward. "Tapi, sekarang kan penerimaan negara cenderung flat, kendati remunerasi sudah dijalankan," tandasnya.

Pihaknya juga khawatir pemberlakuan sistem remunerasi terhadap suatu lembaga secara sembrono, seperti di Ditjen Pajak, memicu kecemburuan kementerian atau instansi lain. (M Kardeni)

11 comments:

Anonymous said...

sebagai rakyat kecil....kita mau nanya dengan bapak2 ibu2 di dewan(pusat/daearah) bagaimana dengan gaji dan segala fasiliats yang anda terima dari uang rakyat apakah juga meningkat kinerja anggota dewan..??/ jawabannya...jelas yang pasti banyak rakyat yang memilih bapak2 ibu2 dulu teramsuk saya sangat kecewa...gaji dan fasilitas semkain naik....kemampuan semakin buruk....bicara dengan fakta lihat diri sendiri sebelum menyalahkan pihak lain...rakyat juga mendengar dan melihat kelakuan bapak2 ibu di dewan..

Anonymous said...

siapa suruh ga golput... mau2nya ikutan pemilu

Anonymous said...

Subhanallah Bu Ani, InsyaAllah akan membuat Ibu semakin kuat...InsyaAllah...

Anonymous said...

"Anonymous Anonymous said...

sebagai rakyat kecil....kita mau nanya dengan bapak2 ibu2 di dewan(pusat/daearah) bagaimana dengan gaji dan segala fasiliats yang anda terima dari uang rakyat apakah juga meningkat kinerja anggota dewan..??/ jawabannya...jelas yang pasti banyak rakyat yang memilih bapak2 ibu2 dulu teramsuk saya sangat kecewa...gaji dan fasilitas semkain naik....kemampuan semakin buruk....bicara dengan fakta lihat diri sendiri sebelum menyalahkan pihak lain...rakyat juga mendengar dan melihat kelakuan bapak2 ibu di dewan.."

SANGAT SETUJU!
lebih baik sebelum mencari kesalahan orang lain, carilah kesalahan diri sendiri, bersihkan, barulah berkomentar. rakyat sudah tau bagaimana kinerja dewan yang terhormat karena sekarang kan semua-mua diblowup, termasuk rapat2nya para dewan.
untuk Pak Mahfudz : tolong dibaca setiap komentar kami, dari sinilah anda dapat mengerti suara hati orang2 yg memberikan amanah kepada anda..

Unknown said...

ada apa si dengan PKS? coba deh lihat performa Kementerian Keuangan setelah dan sebelum Reformasi Birokrasi. Baca data-data peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak, indeks korupsi yang membaik, pertumbuhan ekonomi dll. Sekarang bandingkan dengan pernyataan mantan Dirjen Pajak (Fuad) yang menyatakan reformasi gagal dan masih lebih baik di zaman beliau. Ya jelas lah, jaman dulu kan belum ada PPATK, KPK dkk. Korupsi malah lebih sistemik. Payah ini PKS, mudah disetir ketua umum parpol lain yang dengan mudahnya mempengaruhi opini melalui media. Menyesal saya coblos partai anda kemarin..

Anonymous said...

hare gene masih percaya partai??

jangan juga terlalu percaya kalo ada partai yg ngaku2 bersih...

orang2 ini hanya memakai agama untuk ambisi kekuasaannya
nauzubillah ...

Anonymous said...

Percaya partai boleh, ga percaya partai juga ga papa. repot amat.
Emang malaikat, harus sempurna 100%bersih...
Hanya Allah yang Maha tahu isi hati dan niat setiap orang...

Anonymous said...

Pak2.... liat dulu kesalahan diri sendiri, liat dulu kejelekan diri sendiri, klo merasa diri sempurna yah boleh, tapi itu juga klo udah ga punya malu, tapi saya juga kurang yakin sih, apa para "ANGGOTA DEWAN" yang terhormat masih punya rasa malu.

Orang udah bener2 kerja masih aja di grecokin. Cape deh.....

Anonymous said...

...betul betul....ya begini ini para mantan orde baru (fuad bawafier)...kagak tau diuntung loe..ngomong di tipi sok bersih....tapi setoran dari anak buah...jaman waktu jadi dirjen....lancarrrr...selancar jalan tol padalarang....tanpa terendus kpk..ppatk...ya iyalah lebih bersih...maksud lebih bersih nyolong duit negara....halah fuad fuad...kagak tau idiuntung loe...sekarang jelek jelekin negara yang pernah ngasih makan anak bini loe...dasar manusia tak tau terima kasih pada negara...

Anonymous said...

terus sikap pks gimana pak ?
wkkkk

Anonymous said...

Siapa yg ketawa ngakak dan seneng jika reformasi birokrasi berhenti/remunerasi dihentikan:
1. Orang pajak yg memang korup, mereka udah kaya 7 turunan... jadi no problem lah,, enggak digaji aja mereka gak masalah kok... Ya nanti tinggal minta WP aja... he he.
2. Mafia penegak hukum dan politisi korup (buat dana kampanye)..Orang pajak yg punya kasus akan diperas.. jadi ATM.
3. WP pada umumnya.. ya lebih ekonomis buat mereka daripada bayar full ke negara mending kolusi ama orang pajak... JAUUUUUUUH lebih ringan.

Ya.. kayaknya orang Indonesia pinginnya seperti itu. Banyak anggota DPR yg koar2 di TV.. hipokrit... kalau KKN menggurita... mereka juga kecipratan dana luar biasa. Jadi wajarlah mereka benci banget Sri Mulyani... Gak bakalan ada amplop,travel cek saat sidang atau bahas UU. He he...

Dulu DPR bikin pengesahan UU Pajak: KUP, PPh, PPN dalam satu paket cepet banget... (ada "isinya" sih)... Coba lihat UU pajak yg sekarang. RUU terkatung2 sampai 5 tahun dan pengesahannya gak bareng.... molor banget.. abis gak ada "isinya" sih,.. ya jelas sekarang gak ada.. wong dah reformasi. Betul tidak ????

Gw orang pajak dah gak peduli lah dengan opini bentukan DPR, TV, media.. dll. Kita diem dianggep bener ngelakuin (korup), ngelawan dan berusaha ngejelasin malah tambah diserang,.. arogan lah.. gak mau dikritik lah, defensif lah... Dasar koruptor lah.. Maling gak ngaku lah... Ya terserah lah.. kita orang pajak ngikutin aja lah.. mau dibawa kemana negeri ini., Ikut maaaaaaang...!