Monday, April 19, 2010

Setuju tapi Harus Bisa Diukur

Setuju tapi Harus Bisa Diukur
Sumut Pos, 10:36 | Sunday, 18 April 2010

Syarat Calon Kepala Daerah tak Pernah Zina

JAKARTA-Rencana Menteri Dalam Negeri Gamawan Fuazi untuk memperketat persyaratan bagi seseorang yang ingin maju sebagai calon kepala daerah mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Mendagri kepada wartawan di Istana Negara Jumat (16/4) menyatakan, akan merevisi UU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dengan menambah aturan melarang orang yang pernah berzina atau memiliki cacat moral ikut Pilkada. Selain itu calon kepala daerah harus mempunyai pengamalaman politik di pemerintahan.

”Saya sepakat dengan itu, bahkan kalau bisa tidak hanya cacat moral yang sudah tersangka dalam proses hukum pun seharusnya tidak boleh ikut Pilkada,” ungkap Calon Bupati Sergai, HT Erry Nuradi kepada wartawan koran ini, kemarin (17/4).

Dia menuturkan, kepala daerah itu adalah pemimpin yang akan dijadikan contoh dan panutan bagi warganya. Jadi, kalau pemimpinnya cacat moral akan berdampak buruk dengan warganya. “Makanya saya setuju dengan itu. Kepala daerah itu haruslah benar-benar pemimpin yang menjadi contoh kepada warganya,” ungkap Erry Nuradi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Nafis Gumay. Menurutnyan
klausul syarat tidak pernah berbuat mesum atau berzina bagi calon kepala daerah dinilai penting dimasukkan dalam UU. Meski begitu, syarat cacat moral tersebut harus bisa diukur dan dilaksanakan.

“Itu syarat yang penting. Kita juga tidak mau mempunyai pemimpin daerah yang cacat moral. Tetapi harus dipastikan bagaimana mengukur hal itu. Jangan menaruh kriteria yang sulit untuk mengukurnya,” katanya, Sabtu (17/4).

Menurutnya, syarat mengenai cacat moral perlu diatur dalam UU. “Itu dimasukkan di tingkat UU. Tidak bisa dimasukkan ke peraturan menteri, KPU, sebab itu norma baru. Jadi jangan di level bawah yang mudah dibatalkan,” ujar Hadar.

Hadar mengatakan, penetapan calon kepala daerah harus dilakukan secara transparan, partisipatif dan demokratis. “Jadi buka prosedur penetapan calon bupati. Calon itu diumumkan secara terbuka, masyarakat diberi kesempatan memberi masukan. Jadi harus ada ruang dan pengaturannya. Ruang partisipatif dibuka, dan dibuat semudah mungkin,” kata pria berkacamata itu.

Berbeda dengan anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko menyatakan usulan Mendagri itu tidak dapat diterima. Apalagi, ukuran cacat moril yang dikatakan Mendagri itu tidak memiliki ukuran jelas terutama yang menyangkut kebijakan publik.

“Saya sepakat perlu adanya penegakan etika dan moral tapi aturan itu tak bisa diukur. Yang bisa diukur adalah, cacat yang menyangkut kebijakan publik, misalnya dia pernah korupsi, pernah menganiaya orang lain, dan hal lain yang menyangkut publik,” terang Budiman saat dihubungi Rakyat Merdeka (grup Sumut Pos), Sabtu (17/4).

Budiman mengatakan, fitnah dan rekayasa terhadap orang lain bisa dilakukan untuk membunuh karir politik seseorang. “Misalnya, video mesum itu bisa direkayasa,” katanya. Selain itu, ia juga mengkhawatirkan ada upaya untuk memarjinalkan kelompok masyarakat tertentu untuk tidak memiliki hak politik atau kebebasan sebagai warga negara.

“Misalnya, peraturan daerah di Tangerang itu, yang melarang perempuan keluar malam. Kalau keluar malam dibilang pelacur, padahal banyak perempuan di sana yang pulang malam karena selesai kerja dari departement store,” paparnya.

Budiman tidak sepakat dengan draft usulan Mendagri tersebut karena negara tidak bisa menghukum seseorang dengan kecurigaan semata apalagi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan privasi.

Anggota Komisi II dari FPKS, Mahfudz Siddiq mengatakan semua gagasan yang dimaksudkan untuk memperkuat integritas moral adalah hal yang positif. Termasuk salah satunya klausul syarat larangan bagi pezina untuk mencalonkan diri dalam Pilkada.

“Gagasan-gagasan untuk memperkuat integritas moral, itu hal yang positif sepanjang dituangkan dalam undang-undang. Tidak dituangkan dalam peraturan di bawah undang-undang,” katanya.
Namun demikian, lanjut Mahfudz, menuangkan gagasan moral dalam UU bukanlah persoalan yang sederhana. “Harus punya indikator yang baik agar tidak multitafsir,” kata mantan Ketua Fraksi PKS DPR ini. Mahfudz mengatakan pembahasan aturan tersebut dalam revisi UU 32/2004 membutuhkan waktu yang panjang.

Sekadar diketahui, Gamawan Fauzi sebelumnya mengatakan salah satu cacat moral yang dimaksud adalah calon tersebut dikenal tidak pernah berbuat mesum atau berzina. Tapi, Gamawan membantah aturan ini untuk menjegal Maria Eva dan Julia Perez dalam Pilkada Sidoarjo dan Pacitan.

Aktris panas Julia Perez alias Jupe, tampaknya tak mau ambil pusing. Pasalnya, Jupe kini malah sibuk menggelar sejumlah pertemuan guna memantapkan rencananya maju menjadi calon wakil bupati Pacitan, Jawa Timur.

“Waduh, belum bisa ketemu sekarang mas. Jupe masih sibuk rapat. Sekarang aja masih di Bogor,” kata Faisal, salah seorang manajer Jupe, Sabtu (17/4). Ketika dihubungi, Jupe tak bersedia memberikan jawaban. Pesan singkat yang disampaikan tak dibalas, begitu juga dihubungi via ponsel tak diangkatnya.

Kontroversial yang muncul malah ditepis Jupe dengan memastikan maju sebagai pemimpin di Pacitan. Pemilik nama lengkap Yulia Rachmawati (30) itu beberapa waktu lalu menegaskan bahwa dirinya akan maju untuk mengabdikan diri sebagai kepala daerah. “Saya sudah mulai berubah. Masak seorang Jupe nggak boleh jadi kepala daerah, apalagi Jupe ‘kan dicalonkan, bukan mencalonkan diri,” beber bintang film Hantu Jamu Gendong itu memberikan alasan, beberapa waktu lalu.
Penasihat hukum Jupe, Gusti Randa belum lama ini mempertanyakan kepada orang-orang yang menentang pencalonan kekasih pesepakbola Gaston Castano itu. “Hak pencalonan adalah hak setiap warga negara. Emangnya orang tidak boleh berubah, tidak boleh mengbadikan dirinya untuk bangsa ini,” kata Gusti di sebuah televisi nasional. (dra/wid/gus/rm/jpnn)

No comments: