Tuesday, July 22, 2008

Menteri Jadi Capres Bisa Jadi Musuh Dalam Selimut Semua fraksi DPR sepakat menteri mundur bila menjadi capres.

Republika, 2008-07-19 10:47:00

JAKARTA -- Para menteri yang ingin menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) seharusnya mundur sembilan bulan sebelum pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres). Sebab bila tidak mundur, maka menteri akan bisa menjadi musuh dalam selimut bagi presiden yang saat itu masih menjalankan tugasnya.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Mahfudz Siddiq, mengatakan bahwa pihaknya sepakat menteri harus mundur sembilan bulan sebelum pemilihan. Ini agar menteri yang ingin maju dalam capres maupun cawapres, secara kalkulasi politik membutuhkan konsentrasi yang panjang. ''Itu tidak akan mungkin dilakukan dengan rangkap jabatan di kabinet,'' jelas Mahfudz, disela-sela Sidang Paripurna penutupan masa sidang IV DPR, Jumat (18/7).

Dari sisi etika politik juga sebaiknya menteri mundur. Hal itu karena menteri adalah pembantu presiden. Menjadi aneh kalau pembantu presiden ikut berkompetisi capres/cawapres. Ini bisa menjadi musuh dalam selimut. ''Kita tidak usah berdebat soal aturan-aturan seperti apa yang kita tuangkan, tapi kalau memang dalam UU Pilpres ini usulan itu berhasil (memasukkannya), maka kita bicara etika politik,'' jelas Mahfudz.

Waktu pengunduran diri sembilan bulan tersebut adalah hal yang logis. Diharapkan proses penyusunan APBN 2009 tidak terganggu, karena menteri yang bersangkutan tidak terlibat pembahasan secara aktif. ''Ini bisa membantu presiden untuk mencari penggantinya,'' tandasnya.

Meski sepakat menteri mundur sembilan bulan sebelum pilpres dilaksanakan, namun Mahfudz tidak setuju kalau pejabat negara seperti anggota DPR atau pejabat negara lain yang ingin menjadi capres/cawapres, harus mundur dalam jangka waktu sejauh itu. ''Mungkin bisa dibuat pengecualian kapan waktu pendaftaran pencalonannya,'' ungkapnya.

Anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrat (FPD), Agus Hermanto, mengatakan bahwa kalau presiden mencalonkan lagi dan menteri yang diangkatnya mendadak ikut pula mencalonkan, maka tugas-tugas kenegaraan yang diembannya akan terganggu. ''Nah jelas sekali kalau menteri maju tanpa berhenti dulu, tentunya akan menimbulkan disharmonisasi,'' kata Agus.

Usulan mundurnya adalah sembilan bulan sebelum pilpres, menurut Agus Hermanto, hal ini berkait dengan persoalan APBN yang disusun pemerintah. Sebab, bila memasuki APBN baru maka diharapkan presiden sudah punya menteri yang baru. ''Jadi yang paling pas maka anggaran baru harus menteri baru. Bukan anggaran disusun menteri lama lalu dilakukan menteri baru,'' ungkapnya.

Selain itu, soal mundur sembilan bulan pilpres itu juga harus berlaku pada semua pejabat negara. ''Kalau salah satu boleh, yang lain tidak boleh, ini tentu tidak jadi mencerminkan nilai keadilan. Apalagi pejabat negara itu juga menggunakan anggaran negara. Maka pertanggungjawabannya harus jelas.''

Semua sepakat mundur
Ketua Pansus RUU Pilpres, Ferry Mursyidan, mengatakan, pada prinsipnya sudah ada kesepakatan bahwa menteri dan pimpinan lembaga negara harus mundur. Persoalannya yang muncul hanya sebatas kapan waktu pengunduran dirinya.

Riwayat pembahasan harus mundurnya menteri dan pimpinan lembaga negara, kata Ferry, diawali dari mundurnya menteri. Dalam rapat tim perumus tersebut disepakati menteri harus mundur sembilan bulan sebelum pencoblosan.
''Semua fraksi pun menyepakatinya. Lalu berkembang bagaimana dengan lembaga negara lain, seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pimpinan DPR/MPR? Apa mereka juga harus mundur sembilan bulan sebelumnya?'' jelas Ferry.

Dengan perkembangan ini, lanjut dia, akhirnya persoalan batas waktu pengunduran diri belum tercapai kesepakatan. Pilihannya ada yang mengusulkan sembilan bulan sebelumnya, pada saat pendaftaran calon, atau setelah penetapan hasil pemilu legislatif. dwo

No comments: