Suara Merdeka, 04/07/2008 22:50 wib - Nasional Aktual
Jakarta, CyberNews. Praktek korupsi dan suap yang dilakukan oleh anggota Dewan, terkait dengan pendanaan partai politik. Sebab, sesuai UU, parpol tidak boleh memiliki unit usaha. Sementara, parpol mengandalkan pendanaan dari sumbangan anggota dan pihak lain dalam jumlah yang terbatas.
‘’Padahal, pembiayaan parpol jauh lebih besar daripada dana yang dikumpulkan dari iuran,’’ kata Ketua Fraksi Mahfudz Siddiq dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema ‘DPR: Target KPK atau Sarang Koruptor’ di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Jumat (4/7).
Dorongan terjadinya penyimpangan tidak lepas dari proses politik berbiaya tinggi selama yang bersangkutan menjadi anggota DPR. Anggota DPR juga merasa perlu ‘merawat’ daerah pemilihannya yang cukup besar.
‘’Untuk menggerakan mesin partai, diperlukan dana yang tidak sedikit. Akhirnya, ada anggota DPR yang tergoda untuk mendapatkan sumber-sumber dana tambahan,’’ ungkapnya.
Dia juga melihat, kewenangan DPR di bidang budgeting yang semakin kuat menjadi salah satu faktor. Apalagi, penyusunan budget dengan pemerintah sampai pada satuan tiga. ‘’Hal itu membuka peluang terjadinya kolusi dan korupsi. Padahal, uang terima kasih tidak boleh diterima oleh angota DPR. Sebab, politikus tidak sepantasnya menjadi broker suatu program dari mitra kerjanya. Praktek itu masih berlaku karena penegakan etik anggota Dewan lemah,’’ ucapnya.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan M Yasin menegaskan pihaknya masih mendalami sejumlah nama anggota DPR yang disebut-sebut oleh tersangka.
‘’Namun harus ada bukti yang kuat agar nantinya tidak dimentahkan oleh hakim. Oleh karena itu, KPK tidak serta merta menangkap orang yang disebutkan oleh tersangka,’’ jelasnya.
Menurutnya, penangkapan, penggeledahan yang dilakukan oleh KPK harus sesuai dengan aturan yang ada. ‘’Kita harus menggali informasi selengkap-lengkapnya,’’ tegas dia.
Yasin juga mengatakan, korupsi yang dilakukan penyelenggara negara menjadi fokus yang ditangani oleh lembaga tersebut. Sehingga, bila ada indikasi suap menyuap yang dilakukan oleh pejabat negara, maka akan diproses oleh KPK.
‘’Diantaranya kasus suap yang melibatkan anggota DPR. Kalau yang melakukan bukan penyelenggara negara, maka penegak hukum lainnya yang memprosesnya,’’ kata Yasin.
Canggih
Dalam kesempatan itu, Yasin mengatakan KPK mampu menangani kasus-kasus korupsi yang dilakukan dengan modus canggih. Selain itu, kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak ada yang dihentikan prosesnya.
‘’Apapun jabatannya, jika buktinya cukup akan kita proses. Contohnya, ada mantan Kapolri, mantan dubes, mantan menteri dan dubes aktif. Penanganan didasarkan atas bukti yang kuat,’’ tandasnya.
Adapun pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengklasifikasi ada sejumlah modus dalam korupsi. Diantaranya dengan modus bantuan partisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik dan bantuan pengobatan serta perawatan kesehatan.
‘’Selain itu, ada pula bantuan kegiatan, apresiasi, bantuan terkait UU, kegiatan DPR dan Komisi serta stake holder,’’ katanya merujuk pada kasus aliran dana BI ke DPR. Sedangkan anggota Komisi III DPR (bidang hukum) Eva Kusuma Sundari menyatakan, kolusi yang dilakukan oleh anggota DPR dengan pengusaha terjadi karena dimunculkannya item barang dalam anggaran.
‘’Akibatnya, pengusaha mana yang bisa memenangkan tender sudah ketahuan. Pengusaha yang akan menang sudah mendapat jaminan agar item tersebut ada. Jika ditenderkan, maka perusahaan tertentu dipastikan akan menang,’’ ungkap anggota FPDIP tersebut.
Selain itu, Eva mengeluhkan beragamnya pemahaman mengenai etika. Sebab, meski seluruh anggota DPR menyatakan anti KKN, namun saat di-break down ke tingkatan operasional, jawabannya sudah berbeda-beda.
‘’Misalnya saat ditanya apakah hadiah adalah bagian dari korupsi, jawabannya sudah kacau. Ada yang menjawab iya, ada yang tidak, ada yang menetapkan batasan nominal. Jadi, belum ada kesadaran perilaku,’’ tegasnya.
Mahfudz Siddik menambahkan, model rekrutmen anggota DPR juga memberi kontribusi kepada penyimpangan yang dilakukan oleh anggota DPR. Misalnya, ada anggota DPR yang blak-blakan mengaku menghabiskan Rp 2 miliar saat kampanye agar bisa terpilih dalam Pemilu 2004.
‘’Anggota Dewan itu juga sudah menyiapkan Rp 4 miliar agar terpilih lagi di Pemilu 2009. Sebelum menjadi calon anggota legislatif, anggota itu juga melewati sejumlah ‘pos kutipan’ agar lolos,’’ ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan, kasus-kasus yang terjadi di DPR membenarkan anggapan kekuasaan berpotensi untuk korup. Adanya prosedur biaya tinggi di parpol juga dituding sebagai pintu awal terjadinya penyimpangan.
(Saktia Andri Susilo /CN09)
No comments:
Post a Comment