Tuesday, April 22, 2008

Reformasi dan Regenerasi Kepemimpinan

Reformasi dan Regenerasi Kepemimpinan

Mahfudz Siddiq
Ketua Fraksi PKS DPR RI

Republika, 22/4/2008

Momentum reformasi sepuluh tahun lalu seharusnya telah mengantarkan bangsa ini pada tahap konsolidasi demokrasi yang lebih mapan. Tapi, hingga hari ini capaian reformasi belum menampakkan hasil yang menggembirakan.

Enam visi reformasi yang menjadi kulminasi perjuangan elemen muda demokratis belum lekang dalam ingatan, tetapi tak jua tampak dalam kenyataan. Penegakan hukum terkesan tebang pilih, pemberantasan korupsi belum menyentuh koruptor kakap, penyelesaian kasus HAM baru sebatas wacana.

Di berbagai daerah pemenuhan kebutuhan pokok semakin sulit. Antrean panjang sembako, gas, minyak tanah, dan minyak goreng menjadi pemandangan umum yang menohok nurani.

Persoalan bangsa kian bertambah berat dan rumit. Ibarat layang-layang yang benangnya kusut, mengurainya sungguh bukan perkara mudah. Mencoba mengurainya malah kusut di bagian lain. Mungkin solusinya mesti mengganti dengan benang yang baru sehingga layang-layang itu bisa terbang kembali sekehendak hati.

Harus ada satu agenda besar yang mendorong kita melompat lebih tinggi dan melangkah lebih maju. Dalam konteks inilah kita menimbang alternatif kepemimpinan kaum muda. Apalagi, generasi muda kerap meneriakkan tuntutan potong satu generasi atau bahkan revolusi.

Alternatif kepemimpinan kaum muda telah menjadi kesadaran kolektif bukan saja dari elemen muda aktivis ekstra pemerintahan melainkan dari kaum muda yang saat ini menduduki sejumlah jabatan publik. Sekadar contoh, di parlemen sejumlah anggota DPR membentuk Kaukus Muda Parlemen Indonesia yang beranggotakan lintas parpol.

Mereka berkumpul dengan idealisme muda dan menanggalkan egoisme partisan masing-masing. Mereka sadar belum memiliki infrastruktur politik yang memadai sehingga perlu gerakan kolektif.

Kepemimpinan parpol masih didominasi generasi tua. Sebagian parpol yang menempatkan kaum muda dalam puncak struktural parpol masih dipengaruhi secara dominan oleh generasi tua pada posisi ultrastruktur partai.

Peluang kaum muda
Pada 2009 kita akan melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden-wapres. Pemilu menjadi krusial karena menjadi momentum pergantian kepemimpinan nasional baik pada level eksekutif maupun legislatif.

Masyarakat yang memiliki political literate, mampu berpikir rasional, akan menjadikan momentum pemilu sebagai ajang evaluasi kepemimpinan nasional. Di luar wacana soal pengembangan sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang efektif, wacana soal kepemimpinan muda mengemuka dan sangat patut untuk dipertimbangkan.

PKS memelopori wacana ini dengan mengusulkan batas atas usia calon presiden dan wakil presiden yang akan datang tidak lebih dari 60 tahun. Secara teknis, presiden-wapres mendatang akan menghadapi tantangan persoalan bangsa yang demikian pelik sehingga dibutuhkan stamina baik fisik, kejiwaan, maupun pikiran yang segar sehingga mampu menghasilkan solusi.

Di luar persoalan teknis, ide dasar usulan PKS tentu saja untuk mendorong dan membuka kesempatan calon pemimpin muda di negeri ini. Menjelang pemilu 2009 ini bursa calon presiden-wapres masih didominasi wajah lama (the sunset generation), nyaris tanpa alternatif calon pemimpin muda. Di berbagai jajak pendapat dan survei nama-nama mereka selalu masuk nominasi dan diunggulkan.

Padahal, bukan persoalan popularitas sehingga mereka menjadi pilihan/preferensi publik. Akan tetapi, lebih karena publik tidak diberikan pilihan yang lebih luas secara konsisten atas para pemimpin muda.

Hal ini terkait erat dengan sistem dan struktur politik pemilihan yang kita bangun yang tidak secara serius, sistemik, dan konsisten memunculkan kaderisasi bagi calon pemimpin muda. Atas dasar itulah usulan batas atas usia calon presiden-wapres 60 tahun patut dipertimbangkan secara serius.

Momentum hasil pilkada Jabar
Hasil pilkada Jawa Barat (Jabar) membawa angin segar bagi generasi muda calon pemimpin. Meskipun belum ada keputusan final, paling tidak lima lembaga survei telah mengonfirmasi kemenangan pasangan muda Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (HADE) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jabar periode 2008-2013.

Jika asumsi quick count itu benar, kita akan mendapatkan gubernur-wakil gubernur yang sangat muda, baik ditinjau dari segi usia (karena keduanya kelahiran 1966) maupun berdasarkan pengalamannya di pemerintahan. Hebatnya mereka mampu menyaingi perolehan suara dua pasangan lain yang jauh lebih senior, baik dari segi usia, pengalaman, dan tentu saja popularitas.

Danny Setiawan adalah gubernur Jabar incumbent, sementara Agum Gumelar tokoh nasional yang sempat menyemarakkan bursa pemilu presiden-wapres 2004. Padahal, sebelum pemilihan digelar pasangan HADE sama sekali tidak diunggulkan.

Kemenangan HADE yang ’mengejutkan’ memunculkan beragam analisis, salah satu yang menguat tentang potensi dan peluang pemimpin muda. HADE fenomena kepercayaan masyarakat terhadap sosok muda.

Bisa jadi masyarakat Jabar jenuh dengan calon tua yang dianggap mewarisi birokrasi pemerintahan yang tidak menghadirkan perubahan dan kesejahteraan. Masyarakat melihat HADE sebagai sosok muda yang cenderung idealis, sederhana, tetapi berani menggariskan masa depan Jawa Barat yang lebih baik.

Jika politik pemilihan mengombinasikan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas, HADE telah memenangkan ketiganya. Hal ini membuktikan bahwa dengan kesempatan yang terbuka ditambah kerja keras dan kerja cerdas ternyata calon pemimpin muda mampu memenangkan hati pemilih.

Selain itu, masyarakat memiliki kecenderungan semakin matang dan dewasa dalam menilai dan mengevaluasi kinerja kepemimpinan. Hanya pemimpin yang benar-benar sukses yang akan dipilih kembali pada pemilu berikutnya.

Pilkada Jabar mengonfirmasikan kenyataan lain bahwa masyarakat menginginkan perubahan dan pesan perubahan itu bisa jadi inheren dalam pasangan pemimpin muda seperti HADE. PKS telah memulai tradisi pengusungan calon kepala daerah dari kalangan muda sejak pilkada pertama pada 2005. Di antaranya pasangan terpilih Gubernur Bengkulu Ir Agusrin berusia 38 tahun dan wakilnya Syamlan berusia 40 tahun. Calon wakil gubernur pada pilgub DKI, Dani Anwar berusia 39 tahun serta yang terakhir pada pilgub Sumut calon wakil gubernur Gatot Pujonugroho (yang sementara unggul) berusia 45 tahun.

Soal afirmasi calon pemimpin muda, sistem pilkada harus kita akui lebih maju dan progresif. DPR RI baru saja mengesahkan Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang subtansinya antara lain mengatur partisipasi calon perseorangan dalam pilkada. UU baru juga merevisi persyaratan usia calon kepala daerah kabupaten/kota dari usia minimal 30 tahun menjadi usia minimal 25 tahun.

Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut menegaskan perluasan preferensi masyarakat daerah dalam menentukan dan memilih calon kepala daerah yang terbaik bagi daerahnya. Pertama, dibukanya peluang bagi calon perseorangan di samping calon yang diajukan oleh parpol diharapkan mampu mengakomodasi figur-figur berkualitas yang selama ini tidak dapat diakomodasi oleh parpol. Kedua, penurunan syarat minimal usia calon bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota merupakan terobosan maju untuk membuka peluang bagi generasi muda yang mampu dan dipercaya masyarakat untuk menjadi kepala daerah.

Ikhtisar
- Hasil pilkada Jabar dan sejumlah pilkada yang dimenangi kaum muda membuktikan status muda justru menjadi keunggulan kompetitif dibanding calon lain yang lebih tua/senior. - Refleksi terhadap capaian reformasi sudah seharusnya mendorong kita secara konsisten melakukan regenerasi kepemimpinan, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional.

No comments: