Monday, April 14, 2008

PKS Harus Beber Gratifikasi

PKS Harus Beber Gratifikasi
Sindo Minggu, 13/04/2008

JAKARTA(SINDO) – Langkah PKS mengembalikan uang gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut dipuji. Namun, pengembalian saja dinilai belum cukup tanpa adanya keberanian untuk membeberkan pihak-pihak yang memberikan uang tersebut.

“Kami mendorong Fraksi PKS jangan hanya memberi laporan dan menyerahkan dana gratifikasi ke KPK, tetapi juga membeberkan siapa saja yang memberi gratifikasi itu,” kata anggota Badan Pekerja ICW Emerson Juntho di Jakarta kemarin.

Menurut Emerson, pengungkapan nama pemberi dana gratifikasi sangat penting untuk memutus mata rantai korupsi politik. Selain itu, informasi itu juga diperlukan KPK untuk menelusuri apakah pemberian itu terkait penyusunan undang-undang, soal pengambilan kebijakan, atau hal yang lain.

Namun, meski Fraksi PKS tidak menyebut nama-nama pemberi gratifikasi,menurut Emerson KPK sebaiknya proaktif menelusuri dana gratifikasi di DPR yang mengarah pada dugaan penyuapan itu. Emerson menambahkan, apa yang diungkapkan FPKS itu semakin memperkuat asumsi bahwa praktik gratifikasi atau suap-menyuap di DPR sudah biasa terjadi.

“Penangkapan anggota Komisi IV Al Amin mungkin sial saja dia, karena masih banyak kasus lainnya,”katanya. Karena itu,dia minta KPK secara khusus mengimbau seluruh anggota DPR agar tidak menerima pemberian apa pun di luar gajinya sebagai anggota Dewan.

Gratifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 12 butir b UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam arti yang luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi,pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya.

Menanggapi desakan itu, Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq menegaskan, maksud dan tujuan FPKS untuk mengungkapkan pengembalian dana gratifikasi ke KPK sejak 2005 adalah sebagai upaya mendorong terbangunnya komitmen semua pihak untuk serius mewujudkan clean and good government.

”Jadi tujuannya bukan untuk membongkar kasus atau menambah panjang daftar pekerjaan institusi penegak hukum,”katanya kepada SINDO tadi malam. Menurut Mahfudz,kondisi sekarang harus jadi momentum yang baik di mana DPR telah memelopori upaya pengembangan clean and good government.


Sebelumnya,Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq mengungkapkan bahwa fraksinya telah mengembalikan atau menyerahkan dana gratifikasi senilai Rp2 miliar ke KPK. Dana sebesar itu merupakan gratifikasi yang diterima anggota Fraksi PKS DPR sejak Desember 2005 hingga Januari 2008. Mahfudz mengatakan, praktik itu tidak berjalan tanpa jaringan karena berkorelasi dengan lembaga lain seperti eksekutif yang memberikan gratifikasi itu.

Dana yang dikembalikan itu termasuk USD38.000 dan 33.000 dolar Singapura, yang berasal dari mitra kerja anggota Fraksi PKS yang ada di berbagai komisi. Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin menyayangkan sikap FPKS yang baru membeberkan penerimaan uang gratifikasi kepada sejumlah anggotanya di DPR.

Dia menilai KPK seharusnya mengusut penerimaan uang gratifikasi tersebut,dan sebaliknya FPKS juga secara kooperatif menjelaskan sumber- sumber uang gratifikasi yang diterimanya.

“Semua pihak jangan memperkeruh keadaan apalagi dengan agenda-agenda politik tertentu. Saat KPK sedang menjalankan proses hukum, langkah FPKS mengembalikan uang gratifikasi sejak 2005 hingga Januari 2008,dalam tataran politik bagus,”katanya. Namun, menurut dia, dalam soal hukum bisa menimbulkan masalah. Sebab, dalam UU No 31/99 tentang KPK disebutkan, batas pengembalian dana gratifikasi maksimal 30 hari harus dikembalikan. Jadi bisa dikesankan bahwa FPKS membiarkan kejahatan selama ini.

“Dalam membangun politik yang sehat, tetap harus memperhatikan normatif hukum. Langkah FPKS bagus, kita terima kasih. Tapi dalam tataran hukum, membiarkan kejahatan terjadi,” katanya.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM Denny Indrayana mendesak DPR untuk memperketat pengawasan dan kontrol terhadap kinerja anggotanya di parlemen. ”DPR sebenarnya harus dikontrol parpol, karena justru parpol inilah yang menjadi pusatnya korupsi,” katanya dalam diskusi Radio Trijaya di Cikini, Jakarta Pusat,kemarin.

Sejak amendemen UUD 1945, terang Denny, DPR memang sangat rentan sebagai episentrum korupsi karena memberikan kewenangan lebih kepada DPR daripada periode sebelumnya terhadap fungsi-fungsi dalam legislasi, pengawasan serta anggaran, tetapi tanpa keterbukaan dan akuntabilitas yang memadai. Tidak heran, kata Denny, citra DPR saat ini sudah telanjur negatif akibat perilaku anggota-anggotanya yang berbuat cela. (rendra hanggara)

No comments: