Politik / Nasional
Inilah.com 20/04/2008 21:58 WIB
Dilema PKS Jalankan Pemerintahan
Menyoroti Optimisme PKS 'Kuasai' Pemilu 2009 (3-Habis)
R FERDIAN ANDI R
INILAH.COM, Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selama pekan-pekan terakhir ini menorehkan sejarah penting dalam perkembangan politik nasional. Pasalnya, partai santri perkotaan itu secara mengejutkan berhasil memenangkan pemilihan gubernur di dua provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Beragam analisis muncul atas kemenangan PKS di dua provinsi yang dianggap sebagai representasi politik nasional tersebut. Di antaranya, argumentasi bahwa calon yang diusung PKS adalah figur baru, segar, dan menawarkan perubahan dalam pemerintahan daerah. Di samping itu kemenangan tersebut juga mencerminkan 'mesin politik' PKS
Namun, kemenangan PKS dalam mengusung calon-calonnya di arena pemilu kepala daerah selama ini tidak diimbangi dengan kesuksesan sang pemimpim dalam menjalankan roda pemerintahan. Preseden paling nyata muncul di Kota Depok di bawah kepemimpinan M Nur Mahmudi Ismail.
Kepemimpinan mantan Menteri Kehutanan itu selama ini dinilai tak mampu membangun stabilitas politik lokal di Depok. Implikasinya, program-programnya tak pernah berjalan mulus.
Kondisi ini, dalam pandangan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, menjadi tantangan PKS di daerah-daerah lainnya. Sukses pemilu kepala daerah sehaharusnya juga diimbangi dengan suksesnya roda pemerintahan daerah.
"PKS sukses menghadirkan figur baru dan memberi harapan kepada publik. Tapi tantangan juga muncul bagi PKS untuk menghadirkan pemerintahan yang stabil," kata Yudi kepada INILAH.COM, mengomentari kenaikan calon PKS dalam beberapa pemilu kepala daerah.
Menurut Yudi, selain sukses dalam mengusung calonnya dalam perhelatan pemilu kepala daerah, PKS juga harus memilih calon kepala daerah yang mampu membangun stabilitas politik lokal. "Jadi tidak asal wajah baru," katanya.
Kalangan elit PKS, termasuk Ketua Fraksi PKS DPR Mahfudz Siddiq sendiri, mengakui beratnya tantangan tersebut. "Memang itu tantangan kami," katanya kepada INILAH.COM, Minggu (20/4).
Menurut Mahfudz kondisi yang terjadi khususnya di Depok, lebih dikarenkan masih tidak legowo-nya elit partai lain atas kemenangan pasangan yang diusung PKS.
"Kalau pihak lain legowo dengan kemenangan PKS, saya yakin akan tercipta stabilitas politik," tandasnya.
Kendati demikian, Mahfudz menegaskan, dalam pemilu kepala daerah langsung, birokrasi bukanlah aktor tunggal dalam pembangunan di suatu daerah. "Ada unsur lainnya, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi," tegasnya.
Untuk menyiasati persoalan yang muncul di suatu daerah yang dimenangkan PKS, Mahfudz menegaskan, PKS akan lebih menguatkan unsur masyarakat, baik sebagai subyek maupun obyek. "Tapi kami juga melakukan komunikasi politik dengan elit parpol dalam menyalurkan kepentingannya, meski harus tetap menjunjung prosedur," paparnya.
Soal figur kepala daerah bukan satu-satunya persoalan yang muncul. Di saat komposisi anggota legislatif partai pengusung tidak mampu mem-back up pemerintah, masalah serupa juga bisa muncul.
Saat ini PKS yang hanya memiliki 12 dari 45 anggota DPRD di Kota Depok. Kondisi ini jelas mempersulit eksekutif walikota dalam membangun komunikasi politik dengan pihak legislatif. Walaupun, hakikatnya kepala daerah hasil pilkada secara langsung mendapat legitimasi kuat dari masyarakat.
Dalam konteks Depok, walikota Nur Mahmudi Ismail selama setahun pertama praktis disibukkan oleh persoalan politik lokal pasca pilkada. Namun legitimasi kuat sebagai walikota yang dipilih langsung oleh masyarakat kemudian dibuktikan Nur Mahmudi Ismail dengan menjalankan roda pemerintahan secara transparan.
Soal rendahnya stabilitas politik lokal, bukanlah monopoli pemerintah daerah yang dipimpin PKS. Pengamat politik dari CSIS, J Kritiadi, mengatakan problem stabilitas politik juga terjadi di pemerintahan pusat maupun daerah. Ini karena pasca reformasi 10 tahun lalu, politik Indonesia lebih fokus pada masalah keterwakilan.
"Dalam demokrasi selalu terjadi tarik menarik dua kepentingan antara keterwakilan dan kemampuan pemerintahan (governance ability)," katanya kepada INILAH.COM.
Menurut Kristiadi, saat ini segala sesuatu dibicarakan masyarakat melalui politik keterwakilan, namun mereka melupakan bagaimana membangun stabilitas politik pemerintahan. "Kondisi ini merupakan imbas kuatnya penerapan demokrasi prosedural yang tidak diikuti dengan aturan yang komprehensif, lengkap, dan koheren," tegasnya.
Kristiadi juga menegaskan, problem pemerintahan yang sering muncul saat ini adalah banyaknya regulasi yang diterbitkan, namun tidak diiringi dengan pembangunan pelembagaan yang mapan. "Partai politik harus lebih demokratis, artinya harus lebih bisa memproses orang-orang yang berkualitas menjadi pemimpin," tegasnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas pemerintahan. Selain kapabilitas, profesionalitas, dan integritas sang calon, kedewasaan para elit politik juga berperan. [Habis/P1]
No comments:
Post a Comment