Tuesday, October 21, 2008

PKS Mantap Terima Ajakan Koalisi PDIP

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memantapkan diri menerima ajakan koalisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bahkan PKS bersedia menerima konsekuensi koalisi tersebut seperti menerima posisi sebagai calon wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2009.

Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq mengatakan, saat ini pihaknya masih menjajaki komunikasi sejauh mana titik temunya dan titik bedanya dari dua partai. Namun pada dasarnya sudah banyak hal yang ketemu dari dua partai berideologi berbeda itu.

Misalnya, mengenai kendala perbedaan ideologi sudah bisa diatasi. "Satu hal yang berhasil kami dekatkan antara PKS dan PDIP adalah pimpinan partai ini sudah tidak ada lagi pikiran-pikiran men-dikotomikan politik aliran," jelas Mahfudz. kemarin.

Ketua Fraksi PKS DPR ini menjelaskan kedua partai sudah menegaskan pemahaman bahwa tidak benar stigma bahwa PKS partai religius dan PDIP artai sekuler. Pemahaman yang ada adalah PKS sebagai partai religius yang mengusung agenda kebangsaan, dan PDIP adalah partai kebangsaan yang juga peduli pada hal-hal yang sifatnya religius.

Soal pencapresan juga tidak ada kendala, sebab menurut Mahfidz pihaknya tidak masalah mengambil posisi sebagai cawapres Megawati.

"Dalam pemikiran politik PKS itu masih sesuatu yang masih bisa diterima," tandasnya.

Mengenai apakah PKS menerima presiden perempuan, Mahfidz mengatakan pihaknya tidak masalah. Dia mengatakan perdebatan mengenai hal itu sudah selesai. (Dian Widiyanarko/Sindo/lsi)

9 comments:

org y syng kpd slrh umat islam said...

"Mengenai apakah PKS menerima presiden perempuan, Mahfidz mengatakan pihaknya tidak masalah. Dia mengatakan perdebatan mengenai hal itu sudah selesai."

maaf ustadz apa saya salah baca?

org y syng kpd slrh umat islam said...

"Mengenai apakah PKS menerima presiden perempuan, Mahfidz mengatakan pihaknya tidak masalah. Dia mengatakan perdebatan mengenai hal itu sudah selesai."

maaf ustadz apa saya salah baca?

Anonymous said...

"saya dan Orang-orang yang mencintai PKS, tdk mendukung capress perempuan. dan akan kami pertimbangkan dukungan kedepan kepada PKS. apakah kami tetap mendukung atau akan kami perangi, Untuk ALLAH dan Rosulnya kami berbuat. YA ALLAH tunjukkilah kepada kami kebenaran yang sesumgguhnya.

Anonymous said...

saya tidak setujuuuuu....
jangan khianati kader dengan mengedepankan kepentingan sesaat.

a'dho muntazim depok

Anonymous said...

"Yaa Allaah tunjukkanlah yang benar itu benar dan berilah kami kekuatan tuk mengikutinya dan tunjukkannlah bahwa yang salah itu salah agar kami dapat menjauhinya". Memang setahu saya yang disepakati ulama adalah tidak bolehnya perempuan menjadi kholifah dari khilafah islaamiyyah (kepemimpinan islam yang mendunia). Mengenai bolehnya perempuan menjadi menteri atau bahkan presiden suatu negara masih ada perbedaan. Tapi ustadz, saya khawatir PKS selalu mengambil pendapat2 minoritas ulama yang berbeda dari kebanyakan ulama hanya untuk menggapai kekuasaan dan tanpa pertimbangan syar'i dari sisi2 yang lain. Misalnya: Terlepas laki atau perempuan, layakkah kita memilih/mau orang yang diduga "dengan kuat" tidak menjalankan islam dengan baik sebagai pemimpin? (walaupun, insya Allaah kita tetap berdoa agar semua orang mendapat hidayah Allaah). Kalo orang tersebut baik (dalam kaca mata islam), walaupun perempuan, masih dapat dipertimbangkan tuk menjadikannya pemimpin, mengambil pendapat dari minoritas ulama. Kira2 seperti ratu Balqis gitu. Mudah2 saudara2ku di PKS (terutama para petingginya) selalu diberi hidayah oleh Allaah SWT dalam setiap langkahnya. Menurut saya menggabungkan dua ideologi yang berbeda, bahkan karakter hidup yang berbeda agak sulit. Ketua mau ke sana si wakil mau ke sini. Sama2 punya kuasa, rakyat jelata jadi binasa. Wasslaam

Anonymous said...

AssWrWb. Buat teman-teman PKS yang tidak setuju koalisi PKS dan PDI-P, hendaknya diingat bahwa mayoritas pendukung PDI-P itu juga Muslim. Bedanya, jika kebanyakan "jamaah" PKS lazimnya menjadi pemakai masjid, maka "wong cilik" PDI-P justru yang selama ini menjadi kuli yang membangun masjid itu. Selebihnya, mungkin masih banyak warga PDI-P yang lebih suka kongkow-kongkow di warung kopi pinggir jalan daripada iktikaf di masjid. Tapi, bukankah Ustad Hasan Al Banna -yang menjadi referensi PKS- pun mengembangkan dakwahnya justru dari warung-warung kopi pinggir jalan, dan bukan dari masjid ke masjid? Jika spirit Islam yang menjadi rujukan PKS adalah "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi semua), mengapa harus takut koalisi dengan PDI-P? Soal capres perempuan tak ada masalah karena konstitusi RI tak melarangnya. Lebih dari itu, istri terkasih Nabi SAW, Ummul Mukminin Aisyah RA malah pernah menjadi panglima perang, jabatan yang untuk saat ini pun masih dianggap terlalu maskulin dipegang kaum hawa. -Jarot,mantan aktivis KAMMI UGM, staf ahli anggota DPR RI Fraksi PDI-P.

Anonymous said...

Ustadz untuk PKS memilih Presiden dari wanita ana SANGAT TIDAK SETUJU,masih banyak pilihan lain yang dapat diambil oleh partai ini,kemenangan dawah ini bukan hanya kemenangan dalam banyaknya suara yang di dapat dalam Pilpres 2009 saja,masih banyak PR yang kita harus kerjakan utk umat ini,bukan politik atau pemilu melulu(setiap pertemuan pekanan),sebaiknya kita banyak mencontoh kpd teladan kita Rasulullah dengan menjalankan Al quran dan sunnahnya.

dari ana yang mencintai PKS ini karena ALLAH SWT

Anonymous said...

Assalaamu'alaikum. Ini saya posting bayan dewan syariah pusat PKS. Mudah2an bisa menambah pemahaman kita. Semoga para petinggi PKS betul2 memegang bayan yang dikeluarkan Dewan Syariah Pusat. Memang dalam masalah koalisi dgn PDIP dari sudut pandang Islam tidak masalah. Tetapi untuk menjadikan perempuan sebagai presiden di dalam hati ini masih ada ganjalan. Kalau di syariah online fatwanya tidak boleh. Mohon pencerahan.

BAYAN
DEWAN SYARI’AH PUSAT PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
NOMOR : 16/B/K/DSP-PKS/1429
TENTANG
DHAWABIT SYARI`AH DALAM KOALISI
 

 
Definisi
Koalisi adalah kerja sama antar beberapa partai untuk memperoleh suara
mayoritas di parlemen guna membentuk satu kabinet atau pemerintahan. Koalisi
semacam ini biasanya berbentuk pemerintahan yang dipimpin perdana menteri, dengan
perjanjian bahwa masing-masing partai yang bergabung dalam koalisi memiliki
kesempatan atau peluang untuk turut menentukan arah kebijakan negara dan memiliki
peluang untuk menduduki pos-pos pemerintahan yang penting sesuai dengan
perimbangan suara dalam koalisi. Pada umumnya, koalisi dibentuk oleh sejumlah partai
yang memiliki suara hampir sama, bukan partai yang memiliki suara mayoritas. (periksa
kamus politik Marbun)
Sedangkan praktek koalisi (at-tahaluf as-siyasi) di negara kita -yang menganut
multi partai- adalah kerjasama antara dua partai atau lebih untuk mencapai tujuan
strategis seperti mengusung kepala daerah atau presiden dengan perjanjian. Masingmasing
partai yang bergabung (baca: mengusung atau mendukung) dalam koalisi
memiliki kesempatan atau peluang untuk turut menentukan arah kebijakan daerah atau
negara, dengan menempati jabatan-jabatan tertentu dan lain-lain sesuai dengan
kesepakatan.
Mengingat jumlah partai yang akan berlaga di pemilu 2009 sangat banyak dengan
asas, ideologi dan atau visi/misi serta program yang beragam, maka hasil pemilu yang
akan datang diperkirakan tidak dapat memunculkan partai mayoritas tunggal (single
majority) di parlemen, padahal lembaga legislatif dalam sistem tata negara kita adalah
partner eksekutif. Dengan demikian, lembaga legislatif bisa saja menjadi faktor yang
memperlancar sebuah pemerintahan atau justru sebaliknya yaitu ”menghalangi”
pemerintah yang sedang berkuasa. Di sinilah relevansi koalisi dalam parlemen atau
mengusung eksekutif (kepala daerah atau presiden). Untuk merealisasaikan ini semua
dibutuhkan kompromi dan lobi politik.
Agar koalisi (tahaluf siyasi) yang dibangun selalu dalam koridor syar`i dan
memperoleh ridha Allah maka wajib memperhatikan dhawabit berikut ini:
2
Dhowabith yang bersifat baku ():
1. Komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar Syariat Islam (   )
Mabadi’ Syariah (prinsip-prinsip dasar syariat) adalah hukum-hukum syariat yang
bersifat kulli (pokok), yang menjadi tolok ukur dalam hukum-hukum lain yang bersifat
juz’i (cabang). Mengambil keputusan hukum dalam masalah-masalah cabang, tidak boleh
keluar dari prinsip hukum pokoknya.
Begitu juga, dalam memutuskan koalisi tidak boleh bertentangan dengan prinsip
dasar Syariat Islam karena karakter politik Islam bersifat rabbaniyah manhaj,
robbaniyah wijhah dan robbaniyah ghayah. Allah swt berfirman:
   

 
          !" #$ %&
(163 -162 :*+) '(  Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri
(muslim). (al-An’am: 162-163).
2. Tidak bermaksiat kepada Allah ( م " 
#$% (
•  

     (Tidak boleh taat kepada manusia dalam hal yang
mengandung maksiat kepada Allah). Koalisi harus diproyeksikan pada tataran
ideal untuk memperjuangkan tujuan-tujuan syariah dan menjunjung tinggi
moralitas Islam. Sedangkan pada tataran minimal harus dipastikan tidak terdapat
item dalam kontrak koalisi yang bertentangan dengan norma-norma syariah.
3. Tidak melanggar bai`at (  &'$ ()
a. Partai adalah kendaraan dakwah yang mempunyai manhaj asasi dan amali.
Dalam manhaj asasi, kita berpedoman kepada al-Quran dan al-Sunnah sepanjang
masa dan inilah manhaj yang tetap dan tidak bisa berubah sepanjang masa.
b. Sedangkan manhaj amali adalah pedoman gerakan da`wah yang telah dituangkan
dalam AD/ART dan manhaj tarbiyah serta aturan-aturan partai lainnya. Seluruh
manhaj dan aturan dalam partai berdasarkan syariah Islam. Oleh karenanya
ketaatan kepada jama’ah/partai pada hakikatnya adalah ketaatan kepada Syariat
Islam.
c. Bai’ah ’alal amal adalah sunnah para salafus saleh dalam mengikat diri secara
moral dengan Allah agar selalu komitmen dalam perjuangan menegakkan syariat.
PKS sebagai partai da`wah mengambil jalan ini agar risalah perjuangan yang ada
di pundak setiap mas’ul dan kader dapat memberikan rasa tanggung jawab
tersendiri, bahwa di manapun dan apapun posisi kader, ia selalu diingatkan
kepada baiat untuk menegakkan syariah Allah; bukan yang lain.
d. Segala sikap dan keputusan yang diambil secara pribadi maupun kolektif tidak
boleh bertentangan dengan bai`at yang telah diikrarkan untuk jamaah.
4. Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara () * ت   ی- (
• Agar da`wah yang kita perjuangkan mendapatkan ridho Allah maka segala yang
berkenaan dengan niat, cara dan tujuan harus bermuara kepada Allah. Menerjang
3
aturan-aturan Islam dan hukumnya terutama hukum-hukum yang telah menjadi
aksiomatik dalam Islam seperti rukun Iman dan rukun Islam tentu tidak
dibenarkan. Meskipun dengan dalih untuk tujuan yang terpuji dan baik.
5. Tidak melakukan perlawanan dan permusuhan kepada kaum muslimin
(.) ) /012 / ص4 ( (
a. Dasar hubungan antara sesama muslim adalah keimanan dan ketaqwaan karena
itu melakukan segala hal yang berakibat pada perpecahan, putusnya tali
persaudaraan antarmuslim apalagi permusuhan adalah haram.
45$  789 44:.../01  '(2  3(  45 3( 
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Ia tidak boleh menzalimi dan
menghina…jadilah hamba Allah yang bersaudara (HR Bukhari-Muslim)
(10 :BC) 345 
4;("<= >45$ #4? @ A$
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, maka damaikanlah antar
saudara mereka (QS. Al-Hujurat: 10)
QP RK F #G F?D8K O:H EG G@D 'K (O G EF G@D 'K O #N $G H &H 3F (NJF F GD(H9F K(N  I(N"F L 8G?M  ED 9F IJF 4 K 
GH ED 9F
(UV8  W;") KF
G"F H
F 8MF F ST D
F KSK D
F Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti satu bangunan yang
saling menguatkan antara yang satu dengan yang lainnya (HR Bukhari)
b. Mencari titik temu antara komunitas umsat dan bangsa lebih dikedepankan
daripada perbedaan karena dengan demikian sekat-sekat perselisihan semakin
kecil dan sempit.
c. Mengelola perbedaan secara hikmah sebab perbedaan cara pandang, pola fikir dan
madzhab adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia dan dianggap sebagai
suatu hal yang wajar, selama masih dalam batas-batas toleransi Islam. Yang
terpenting, perbedaan tersebut memiliki sandaran dalil yang memadai dan tidak
membawa kepada perpecahan dan permusuhan.
6. Menjauhi perpecahan dalam tubuh jama’ah atau antar jama’ah yang ada
) م56 78 . 29 8 ص 
: ی;  . (  (
a. Menjaga persatuan jama’ah dakwah adalah wajib sebagaimana menjaga persatuan
umat Islam. Oleh karenanya, segala bentuk yang dapat membawa kepada
perpecahan dalam tubuh jama’ah gerakan dakwah secara khusus dan perpecahan
umat Islam secara lebih luas wajib dihindari.
b. Sikap fanatik terhadap kelompok adalah sesuatu yang dilarang. Namun, konsisten
dalam kebenaran adalah sesuatu yang mulia. Konsisten dengan jama’ah yang
memperjuangkan Islam adalah kemuliaan.
7. Bergaul tetapi tidak Larut (  $ .=2 ) >$)
• Memperluas pergaulan dan pertemanan baik bersifat pribadi maupun jamai` untuk
menyebarkan misi dakwah dan islam merupakan perilaku Nabi yang patut diikuti.
Pasalnya, karakter risalah dakwah menjangkau seluruh alam agar rahmat dan
kebaikan rabbani dapat tersebar ke seluruh manusia dan dinikmati seluruh alam
4
semesta. Batasan yang perlu ditegaskan dalam poin ini adalah bahwa memperluas
dakwah melalui pergaulan dan jaringan (networking) dengan kalangan luas tidak
boleh mengorbankan karakter pribadi seorang dai. Karakter ini justru harus tetap
melekat baik sebelum memasuki lingkungan yang heterogen maupun setelah
berada dalam lingkungan itu. Allah swt berfirman:

 š
Ï n=yèù=jÏ9 Ztôqy‘ Î) šoù=y™ö‘r& !$tu
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.
$! %&
# '"( )+* ) !!,- . %+*
!/!0-  1 %23 *4  !4%
% ص *4%
! !26      ی  !" #

39! 2( )+*3
!&*':!- )( $! %&
# '"( )+* 1!0'!/(
!&73 #*03 &8
!8 )+*3 %&'"(

!*;-
/ 7 I - ( E >F
#&2 *4< 

 = #* %+* !4!>* /  ?@ ی>* A ?#'" ?B یC* "
 = ' * !D(  
)290 L
“Dari Khudhaifah Ra Rasulullah bersabda, ”Janganlah kalian menjadi orang
yang ikut-ikutan.” Kalian berkata, “Bila umumnya orang berbuat baik kami akan
berbuat baik dan jika mereka berbuat dhalim kami akan berbuat dhalim, tetapi
jadilah manusia yang berpendirian jika manusia berbuat baik kami akan berbuat
baik dan jika mereka berbuat buruk maka janganlah kalian berbuat kedzaliman.”
(HR at-Tirmizi: 7/290). Imam Tirmizi berkata, ”Hadits ini adalah hasan gharib
hanya diriwayatkan melalui riwayat ini.”
Hal-hal yang mungkin berubah/kondisional (7- )
Berbagai persoalan politik pada umumnya berkenaan dengan hal-hal ijtihadi dan
kontemporer. Karena itu, ia lebih bersifat mutaghoyirat. Maka, dalam memecahkan
berbagai persoalan politik yang menjadi referensi utama setelah nushush Qur’an dan
Sunnah adalah pertimbangan kemaslahatan (i’tibarul maslahah). Ijtihad-ijtihad politik
dapat berubah dalam situasi dan kondisi tertentu bergantung pada konsideran hukum
yang mendasarinya. Sejalan dengan perspektif hukum syar’i yang bertujuan untuk
mencapai kemaslahatan, ijtihad politik harus selalu mempertimbangkan tingkat
kemaslahatan yang dapat dipahami dan dirasakan oleh masyarakat serta tingkat
kerusakan yang dapat dihindarkan atau diminimalkan.
5
Hal-hal yang termasuk mutaghoyirat dalam ijtihad politik adalah:
1. Memanfaatkan elemen kebaikan yang ada pada pihak lain
) م56 - ?14 @
4 م . م /;  (
a. Hukum dasar dalam muamalah, termasuk dalam sosial politik, adalah mubah
selama tidak ada dalil yang melarang. Syaratnya, hal mubah tersebut mengandung
manfaat serta tidak dipergunakan secara berlebihan.
X 1 % 7 E Y  Z[
\ !  ] %"+
b. Demokrasi sebagai model penyelenggaraan negara bagi partai dakwah adalah
sarana; bukan manhaj apalagi ghoyah. Oleh karena itu, ia tidak harus dibenturkan
dengan manhaj asasi kita yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Yang perlu dilakukan
adalah bagaimana mengisi dan mewarnai model ini dengan nilai-nilai Islam.
Selain itu, kita dapat mengambil manfaat sarana ini untuk mengantarkan misi
dakwah. Bila dalam cara berdemokrasi ada penghargaan terhadap suara mayoritas
dalam menentukan pilihan seperti pada kepemimpinan -sedangkan mayoritas
rakyat Indonesia beragama Islam- maka berarti dakwah akan diuntungkan dengan
besarnya suara ummat Islam di berbagai level.
2. Memilih yang paling ringan atau sedikit madharatnya di antara berbagai
mudharat lainnya (7*2 EFA 29 . ی* خA C خD (
Dalam hal ini batasan-batasan yang perlu diperhatikan adalah:
1. Maslahah dan mafsadah adalah salah satu pijakan dalam ijtihad politik dakwah.
Jika suatu kebijakan atau tindakan mendatangkan maslahat bagi ummat dan
dakwah serta tidak menimbulkan mafsadah, itulah tujuan utama (baca: idealnya)
perjuangan dan da`wah yang wajib diambil.
2. Jika suatu kebijakan atau sikap dapat mendatangkan kemaslahatan bagi ummat
dan da`wah akan tetapi menimbulkan mafsadah yang lebih besar, maka haram
hukumnya mengambil kebijakan atau sikap dalam hal itu.
3. Apabila partai da`wah dihadapkan pada dua pilihan atau lebih yang semua pilihan
mengandung mafsadah dan partai harus memilih salah satu dari pilihan tersebut,
maka partai harus memilih yang paling sedikit atau paling ringan mafsadatnya.
3. Melanjutkan atau tidak melanjutkan koalisi (G م( 29 
 
*  (
a. Sebagaimana ketika menetapkan koalisi yang menjadi pijakan adalah maslahat
dan mafsadat serta situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk musyarokah,
demikian juga dalam menghentikan musyarokah. Hal itu juga bergantung pada
maslahah dan mafsadat yang ada.
b. Selama koalisi dapat memberikan kemaslahatan besar bagi ummat dan da`wah
serta dapat menghindarkan dari segenap mafsadat atau dapat mempersempit ruang
lingkupnya atau dapat memperkecil kapasitasnya, maka selama itu pula koalisi
dapat dipertahankan.
c. Apabila koalisi sudah tidak dapat lagi memberikan kemaslahatan yang berarti
bagi ummat dan da`wah atau justru dapat menimbulkan mafsadat bagi ummat dan
da`wah seperti perpecahan di internal jamaah serta pelanggaran terhadap tsawabit
agama, maka dalam kondisi seperti ini koalisi harus ditinjau kembali dan dapat
dibatalkan. Karena dasar berkoalisi sesungguhnya adalah untuk menegakkan
6
nilai-nilai yang makruf dan mencegah hal-hal yang mungkar. Atau,
mempersempit ruang lingkup dan memperkecil kapasitas kemungkaran.
4. Fiqhul muwazanah
Fikih muwazanah adalah metode mengambil suatu pilihan hukum yang memiliki
banyak variabel karena variabel yang melekat pada suatu masalah dapat mempengaruhi
hukum yang akan ditimbulkan. Karena itu, sebelum mengambil putusan hukum tertentu,
seluruh variabel yang ada harus dipertimbangkan agar mendapatkan pilihan yang paling
maslahat bagi ummat dan da`wah.
Dalam proses mempertimbangkan pilihan hukum suatu masalah mutlak
dibutuhkan multi disiplin pengetahuan dan pengalaman karena semakin maju teknologi
dalam memberikan pelayanan kehidupan semakin kompleks pula persoalan yang akan
timbul. Intinya, fikih muwazanah merupakan metode yang tidak dapat dipisahkan dengan
fikih awlawiyat (prioritas).
Berikut beberapa aspek yang dapat membantu dalam mempertimbangkan suatu
maslahat:
1. Mendahulukan yang lebih maslahat dari yang maslahat ( :

 N صO
1 یC,- (
2. Memilih yang paling kecil resikonya dari seluruh pilihan yang mengandung
resiko (# ی6>P
Q خSD خ
(
3. Mendahulukan yang prioritas dari sisi kepentingan, waktu, situasi dan kondisi
IMPLEMENTASI DHAWABIT KOALISI DALAM PILKADA
Pilkada adalah suatu proses pemilihan kepala daerah tingkat satu atau dua yang
dilakukan oleh rakyat secara langsung. Apabila dalam memenangkan seorang calon
kepala daerah diusung atau didukung oleh lebih dari satu partai maka pengusungan atau
pendukungan tersebut lazim dinamakan koalisi dalam pilkada.
Biasanya partai pengusung atau pendukung telah melakukan kesepakatankesepakatan
dengan kandidat apabila dapat memenangkan pilkada. Selanjutnya kepala
daerah terpilih memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintahan; bebas dari intervensi siapapun termasuk partai pengusung.
Melihat posisi tersebut dapat dimengerti bahwa:
1. Kandidat terpilih pada hakikatnya memiliki kewenangan yang luas dalam
menjalankan pemerintahannya.
2. Dukungan yang diberikan oleh partai politik dalam pilkada hakikatnya adalah
dukungan kepada kandidat; bukan kepada institusi yang mewadahinya.
3. Partai yang mengusung atau mendukung dapat melakukan kesepakatan dengan
kandidat dalam hal-hal yang bersifat strategis untuk merealisasikan kemaslahatan
yang sebesar-besarnya bagi ummat dan da`wah atau untuk mencegah dan
mengurangi kemungkaran yang akan timbul.
4. Dukungan yang diberikan kepada kandidat adalah koalisi strategis bukan
ideologis. Maknanya dukungan tersebut tidak dalam rangka merusak nilai-nilai
ketauhidan, dan melestarikan kemusyrikan serta kemungkaran.
Dalam perspektif dhawabit koalisi di atas dapat dijelaskan:
7
a. Bahwa konsideran hukum dalam mengambil pilihan berkoalisi di pilkada adalah
kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi ummat dan da`wah. Yaitu agar bangsa
dan ummat ini semakin lebih baik dan sejahtera lahir dan batin atau agar sebagian
maslahat dapat terealisir jika tidak mungkin seluruhnya. Sepanjang hal-hal
tersebut dapat disepakati di awal perjanjian maka koalisi yang dimaksud dapat
ditetapkan. Ukuran inilah yang menjadi standar pasca terpilihnya kandidat yang
didukung apakah koalisi akan terus berlanjut atau justru dibatalkan.
b. Pengertian di atas juga memberikan makna bahwa dukungan dalam pilkada lebih
kepada personal bukan institusi yang membawahinya. Walapun tidak dapat
dinafikan bahwa apabila kandidat tersebut kader partai tertentu pada umumnya
akan lebih cendrung membela kepentingan-kepentingan partainya. Tetapi hal itu
dapat diantisipasi manakala kita telah melakukan kesepakatan-kesepakatan
terlebih dahulu dengan kandidat atau partai pendukung lain. Oleh Karena itu kita
harus mengenal benar pribadi yang kita dukung, bagaimana komitmennya,
bagaimana perilakunya, dan apa visinya. Pada intinya kompetensi dan kesalihan
(integritas) pribadi menjadi pertimbangan prioritas.
Allah Swt berfirman:
3^_` # 3:7 E 3:4ab Y EQ  ] 3:4(`0 Y E  E9  3:X? 
c 0 d1 (8 :Z?;e')  #$ 3X $ 4c 0`
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan belaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung halamnmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil (al-mumtahanah: 8)
c. Hubungan kita dengan sesama partai pengusung atau pendukung lainnya adalah
hubungan taawun alal birri wa taqwa bukan taawun alal ismi wal udwan.
Allah swt berfirman:
¨Î) ( ©!$# (#à)¨?$#u 4 Èuô‰ãèø9$#u ÉøOM}$# ’n?tã (#çu$yès? Ÿu ( 3“uø)−G9$#u hÎ É9ø9$# ’n?tã (#çu$yès?u ¢

 É>$s)Ïèø9$# ߉ƒÏ‰x© ©!$#
”...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)
d. Hubungan dengan kandidat dalam prosesnya harus mampu kita tingkatkan
menjadi hubungan yang lebih bersifat da`awi, hubungan antara da`i dan mad`u
(juru da`wah dan objek da`wah). Da`wah berarti proses perbaikan,
pemberdayaan, dan pendayagunaan mad`u secara bertahap dengan cara-cara yang
hikmah. Karenanya pemberian dukungan kepada kandidat kepala daerah lebih
melihat kepada pribadi kandidat daripada institusi (baca: partai) yang
mewadahinya menjadi lebih relevan. Karena perubahan harus dimulai dari yang
paling fundamental dan mendasar. Faktor yang paling fundamental dalam bangsa
8
ini adalah manusia (SDM) sedangkan hal yang paling mendasar dalam manusia
adalah hati dan pribadinya. Oleh karena itu, untuk merubah bangsa mutlak
dilakukan seleksi manusia-manusia (SDM) sebagai pelaku perubahan.
Sebagaimana untuk merubah kepemimpinan bangsa lazim dilakukan seleksi untuk
para calon pemimpinnya baik melalui pilkada atau lainnya. Itulah makna dakwah
dalam perspektif kenegaraan dan kebangsaan sebagaimana diisyaratkan oleh
firman Allah:

 3 ö"Í#Ŧàr'Î/ $t (#ç iÉtóム4!®Lym B ös)Î/ $t ç iÉtóムŸ ©!$# Î)
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-ra`d: 11)
e. Pertimbangan lain yang amat penting dalam memberikan dukungan kepada
kandidat adalah citra. Yaitu setiap dukungan yang diberikan kepada kandidat
harus mampu menaikkan citra partai da`wah bukan sebaliknya. Karena citra
adalah bagian dari agama. Namun dalam menetapkan sebuah citra tertentu selain
dhawabit-dhawabit yang di atas dibutuhkan adanya penguasaan terhadap fikih
realitas (fikih waqi`). Berkenaan dengan itu maka dibutuhkan sekurang-kurangnya
syura di tingkat pimpinan pada levelnya dan bisa diperluas untuk mendapatkan
qanaah (keyakinan) yang lebih mantap.
Wallahu almusta’an.
Jakarta, 20 Sya’ban 1429 H
22 Agustus 2008 M
DEWAN SYARI’AH PUSAT
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
KH. DR. SURAHMAN HIDAYAT, MA
KETUA

Jarot Doso Purwanto said...

Koalisi Permanen dan
Konsolidasi Demokrasi

DUA kali negeri kita mencoba mengimplementasikan demokrasi dalam praktek kehidupan politiknya. Periode pertama dimulai sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta No. X/1945 tentang pembentukan partai-partai politik. Periode ini berakhir ketika Bung Karno dengan dukungan TNI AD mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 yang membubarkan parlemen dan mengubur sistem demokrasi representatif. Periode kedua dimulai ketika Gerakan Reformasi yang dimotori mahasiswa sukses menumbangkan rezim otoriter Orde Baru pada 1998 dan masih berlangsung hingga hari ini.

Praktek demokrasi pertama menemui kegagalan karena dinilai hanya menciptakan instabilitas politik lantaran pemerintahan (parlementer) yang jatuh bangun dalam hitungan bulan. Periode kedua sekarang ini memang relatif berhasil menciptakan stabilitas politik, tetapi tetap belum berhasil menghasilkan pemerintahan yang efektif meski menganut sistem presidensial. Dengan sama-sama memunculkan pemerintahan yang tidak efektif, dampak kedua periode tersebut sama saja: demokrasi gagal merealisasikan agenda kesejahteraan rakyat.

Dan, karena gagal menghasilkan perbaikan kehidupan ekonomi secara nyata, demokrasi pun mulai mengundang kecaman rakyat banyak. Politisi, partai politik, parlemen, dituding cuma sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri dan melupakan rakyat. Rakyat hanya menjadi “sapi perah politik”, sekadar menjadi instrumen mobilisasi dukungan menjelang pemilu. Setelah pemilu mereka pun ibarat “habis manis sepah dibuang”.

Karena itu, jika tak ingin memunculkan figur kuat yang bakal memberangus demokrasi seperti telah terjadi dalam kasus Demokrasi Terpimpin, salah satu agenda mendesak terkait konsolidasi demokrasi di Indonesia ialah terbentuknya sistem pemerintahan presidensial yang efektif. Dengan kata lain, tercipta situasi yang kondusif bagi pemerintah untuk dapat merealisasikan agenda-agendanya, terutama agenda pembangunan ekonomi. Selama ini, pemerintah dinilai gagal mengimplementasikan agenda kesejahteraan rakyat, lantaran harus banyak berkompromi dengan mitra koalisinya di kabinet atau dengan parlemen. Keadaan ini diperburuk dengan karakter Presiden SBY yang peragu dan terkesan sering takut mengambil risiko dalam tiap kali membuat kebijakan (policy decision making).

Ironisnya, seperti kita tahu, SBY sebetulnya telah mengantungi legitimasi yang sangat kuat karena dipilih rakyat secara langsung. Konstitusi hasil amandemen pun menjamin bahwa ia sebagai presiden tak dapat dijatuhkan parlemen sejauh tak melanggar konstitusi, mengkhianati negara, atau melakukan tindak kriminal. Tapi toh pemerintahan tetap saja tidak efektif. Teriakan para pengamat atau media massa agar presiden dan pemerintah lebih tegas dan proaktif, sepertinya dianggap angin lalu. Negara pun di bawah kepemimpinan Presiden SBY beranjak menjadi negara yang lemah. Rakyat seperti ayam kehilangan induk. Dan kedaulatan serta martabat bangsa diinjak-injak oleh negara-negara tetangga dan laskar-laskar militan yang merasa dirinya selalu benar dan berdiri di atas hukum. Kita seperti kembali tidak merdeka.

Maka, pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan agar Indonesia dapat dipimpin oleh pemerintahan yang efektif? Apa yang harus ditempuh agar demokrasi tidak hanya menjanjikan kebebasan, tapi juga menghasilkan kesejahteraan rakyat?

Salah satu opsi yang patut dipertimbangkan demi tujuan itu tampaknya ialah mendesain format koalisi yang permanen minimal selama satu periode pemerintahan (lima tahun). Opsi ini menjadi urgen mengingat sistem pemilu kita masih saja menganut sistem proporsional –meski proporsional terbuka— yang cenderung menghasilkan sistem multipartai tanpa mayoritas tunggal. Dengan tidak adanya partai politik yang sanggup menguasai kursi parlemen secara mayoritas tunggal, maka presiden terpilih bakal cenderung menyusun kabinetnya dengan jalan merangkul partai-partai lainnya dalam bentuk kabinet koalisi. Terlebih jika presiden justru berasal dari partai mungil seperti Presiden SBY, maka pemerintahan bakal kian loyo, “letoy”, peragu, atau tidak efektif.

Dalam konteks inilah, wacana pembentukan kabinet mendatang dalam format koalisi permanen sebagai salah satu penguatan lembaga kepresidenan menjadi sangat urgen. Dalam tataran selanjutnya format koalisi permanen ini patut pula dipertimbangkan di daerah-daerah demi menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. [] jarot dp