Republika, 2008-10-07 07:09:00
Haruskah Pesta Dua Kali Sepekan?
Menimbang Pemilu 2009 (Bagian 10, Habis)
Saat ini, ada 33 provinsi dan 471 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, sebagian besar sudah menggelar pilkada. Yaitu, 20 pilkada gubernur --termasuk Jawa Timur yang hasilnya masih akan ditentukan di putaran kedua-- dan 352 pilkada bupati dan wali kota.
Bak negeri 1001 malam, rata-rata ada satu pesta demokrasi di tingkat lokal setiap tiga hari. Itu belum termasuk pesta pamungkasnya yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Tapi, setelah ratusan kali pesta demokrasi di tingkat lokal itu digelar, mulai muncul arus balik. Bahkan, Ketua PBNU, KH Hasyim Muzadi, mengusulkan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Dia menilai pemilihan langsung terlalu maju bagi bangsa Indonesia yang masih miskin.
Selain karena besarnya dana untuk penyelenggaraan pilkada, terlalu seringnya ke TPS juga jadi pertimbangan. Sebab, setidaknya setiap orang harus lima kali ke TPS untuk memilih gubernur, bupati/wali kota, anggota DPR/DPD/DPRD, dan memilih presiden.
''Setiap saat ada debat kandidat, padahal orang sudah ke bulan,'' kata mantan Ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, dalam diskusi internal Republika, September lalu.
Soal dana pilkada, lihatlah angka ini: Jawa Barat, Rp 696,1 miliar; Jawa Timur, Rp 500 miliar; Sumatra Utara, Rp 382 miliar; DKI Jakarta, 148 miliar; Jawa Tengah, Rp 300 miliar; Bali, Rp 75 miliar; Banten, Rp 95 miliar; NTT, Rp 102 miliar; NTB, Rp 80 miliar; Sumatra Selatan, Rp 150 miliar; Lampung, Rp 100 miliar; Kab Bandung Barat, Rp 20 miliar; Kota Bekasi, Rp 14 Miliar.
Bahwa pilkada menggerus anggaran, bukanlah cerita kosong. Dana pilkada gubernur di NTT, misalnya, sampai separuh dari PAD-nya yang tahun ini Rp 204,2 miliar. Itu belum termasuk dana dari pasangan calon. Padahal, dari daerah ini kerap muncul berita mengenaskan, seperti gizi buruk.
Biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah, bisa jadi jauh di atas angka untuk penyelenggaraan pilkada. Di Jawa Timur, misalnya, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf mengakui secara terbuka bahwa mereka mengeluarkan Rp 1,3 triliun.
Bila anggaran pilkada --baik dari APBN, APBD, dan pasangan calon-- di 33 provinsi dirata-ratakan Rp 100 miliar, maka yang dihabiskan Rp 3,3 triliun. Sedangkan bila anggaran pilkada di kab/kota dirata-ratakan Rp 20 miliar, maka total yang dihabiskan di 471 kab/kota adalah Rp 9,4 triliun.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam beberapa kesempatan, mengkritik pengeluarkan itu, yang disebutnya pemborosan. Dia pernah menyampaikan angka fantastis bahwa baik pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pilkada menghabiskan 5 miliar dolar AS atau Rp 46 triliun.
Itu belum termasuk waktu dan energi, karena ada yang mempersiapkan diri menjadi calon bertahun-tahun, menggelar diskusi, pertemuan, mencetak stiker, dan lain-lain. Belum lagi ongkos sosialnya berupa kegaduhan, seperti yang terjadi di Maluku Utara.
''Demokrasi harus efisien. Karena itu, tata caranya harus diubah,'' kata Jusuf Kalla dalam acara reuni alumni Institut Ilmu Pemerintahan dan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, pertengahan Juni lalu.
Perbaikan tata cara yang diusulkan Partai Golkar adalah menggelar pilkada serentak. Untuk pilkada yang diselenggarakan 2005 dan 2006, yang habis masa jabatannya pada 2010 dan 2011, pilkadanya digelar serentak pada 2011. Untuk pilkada yang diselenggarakan 2007 dan 2008, yang masa jabatannya habis 2012 dan 2013, pilkadanya digelar serentak pada 2013. ''Jadi, selama 2009-2014, hanya akan ada dua kali pilkada,'' kata Ferry Mursyidan.
Usul pilkada serentak untuk menghindari 'politik biaya tinggi' itu kini mulai banyak mendapat sambutan. Anggota KPU, I Gusti Putu Artha, bahkan menilai pilkada yang berulang-ulang bisa memunculkan kesan terjadinya kontinuitas konflik. ''Pilkada serentak akan mengefisienkan waktu, biaya, tenaga, serta meminimalisasi kekerasan dalam pilkada. Selain itu, KPU juga dapat lebih fokus dalam memonitor pelaksanaan pilkada.''
Meluas
Tapi, usulan perbaikan pesta demokrasi itu kini semakin meluas. Selain pilkada serentak, juga muncul gagasan membagi event suksesi menjadi ''pemilu lokal-nasional'' dan ''pemilu eksekutif legislatif.''
Untuk ''pemilu lokal-nasional'', pemilihan anggota DPR dan DPD disatukan dengan pemilihan presiden/wapres, sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi/kab/kota disatukan dengan pilkada gubernur/bupati/wali kota. Untuk ''pemilu legislatif-eksekutif'', pemilihan presiden disatukan dengan gubernur dan bupati/wali kota. Sedangkan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD tetap serentak.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, menilai pilkada serentak yang diusulkan Jusuf Kalla --karena hanya berlaku untuk pilkada kab/kota-- tak akan terlalu melahirkan efisiensi. Sebabnya, seorang pemilih tetap akan mendatangi TPS sebanyak lima kali. Kecuali, jika pilkada kab/kota disatukan dengan pilkada provinsi.
Tapi, ''Akan lebih bagus lagi kalau pemilu itu dibagi pemilu lokal dan pemilu nasional,'' kata Ray.
Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, juga menilai pilkada serentak hanya akan menguntungkan partai tertentu. Pilkada serentak membutuhkan sumber dana besar, sehingga hanya partai-partai yang punya dana besar yang punya kans memenangkannya.
PKS sendiri mengusulkan pilkada serentak itu dilakukan dalam lingkup provinsi, bukan nasional. Pilkada gubernur di suatu provinsi, disatukan dengan pilkada bupati/wali kota di provinsi itu. ''Model ini tetap mengurangi biaya pilkada dan ketegangan,'' papar Mahfudz,
Soal ''pemilu lokal-nasional'', Direktur Eksekutif IndoBarometer, M Qodari, menilai punya sisi positif. ''Isu lokal akan tampil mewarnai kampanye, sebab kampanye legislatif selama ini isu lokalnya tenggelam,'' katanya. Dia juga menilai baik ''pemilu eksekutif-legislatif''.
Masalahnya, kata dia, belum ada kesepakatan politik karena pendorongnya baru Partai Golkar. ''Parpol lain belum ada yang berkomentar tegas mendukung usulan ini. Selain itu, jangan-jangan penghematannya tidak sebesar yang diduga orang,'' kata Qodari.
Tapi, Ferry mengatakan semangat untuk menyederhanakan itu sudah mulai muncul. ''Walaupun kata teman-teman saya di Bandung, 'Jangan Kang, nanti rugi kita. Kalau cuman sekali pilkada di Jawa Barat, selesai satu kali order kan. Padahal, setiap bulan ada order baliho','' katanya sambil tertawa. dwo/evy/run
(-)
No comments:
Post a Comment