Thursday, December 31, 2009

Reformasi Birokrasi, Apa Kabar?

Sinar Harapan, Rabu, 30 Desember 2009 13:37

Catatan Akhir Tahun
Reformasi Birokrasi, Apa Kabar?

Jakarta – Kepuasan terhadap pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah saat ini masih rendah.

Berurusan dengan birokrasi pemerintah masih identik dengan memakan waktu lama, dilayani ala kadarnya, penuh syarat yang berbelit-belit, dan mengeluarkan biaya mahal. Ungkapan lama, “kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat” masih terasa kental. Padahal dengung reformasi birokrasi yang efektif, murah, dan cepat pasti sudah seusia masa Reformasi.
Di beberapa instansi pemerintah, reformasi birokrasi memang sudah mulai berjalan. Namun, sebagian besar mutu pelayanan publik oleh para birokrat tak menunjukkan kemajuan apa pun. Apa yang salah dengan program reformasi birokrasi sehingga masih sulit terwujud?
Seleksi anggota birokrasi saat ini belum memenuhi standar yang diharapkan. Dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS), masih marak sistem mencari anggota keluarga atau kerabat pejabat di suatu instansi yang lolos tes. Penempatan CPNS juga kadang tidak sesuai dengan keahlian dan bidang kerja. Misalnya, seorang lulusan insinyur bertugas di Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), lulusan ilmu pendidikan jadi pegawai dinas pertanian. Hal seperti ini marak terjadi di berbagai daerah.
Menjadi PNS di negeri ini juga sungguh beda dengan menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta. Hampir tidak ada sanksi atas apa pun hasil kerja yang dikerjakan. Tidak penting kualitas kerja, cukup dengan kuantitas sudah positif. Praktisi hukum Frans Hendra Winata mengatakan, PNS di Indonesia bisa menciptakan 1001 alasan untuk tidak masuk kerja. “Jari kelingkingnya keseleo sedikit pun bisa dijadikan alasan untuk tidak masuk kerja,” katanya. Waktu kerja dengan mudah diabaikan. Datang kerja siang dan pulang siang bukan sesuatu yang aneh.
Selain itu, jumlah birokrat saat ini tidak tersebar secara merata di berbagai daerah. Di beberapa daerah jumlahnya menumpuk, tetapi di daerah lain sangat minim. Bagaimana mengalokasikan jumlah pegawai untuk satu departemen/kedinasan masih berjalan tanpa kajian yang sesuai standar kebutuhan. Hal yang terus berjalan adalah setiap tahun menyeleksi CPNS, tapi tidak disertai perhitungan berapa PNS yang memasuki masa pensiun.
Akibatnya, belanja publik dalam APBN terus meningkat dari waktu ke waktu, sementara belanja barang makin menyusut. Kondisi ini diperparah dengan menyempitkan makna refomasi birokrasi de­ngan menerapkan kebijakan remunerasi. Seakan-akan de­ngan meningkatkan gaji PNS mutu pelayanan publik oleh PNS akan membaik dengan sendirinya. “Ini masalahnya mulai dari hulu, sejak seleksi CPNS itu. Kalau dari sana tidak dibenahi, ya, fatal sekali nanti kebijakan remunerasi itu,” ujar anggota Komisi II DPR Mahfudz Siddiq dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS).
Pelatihan PNS pun lebih banyak dilakukan karena orien­tasi proyek oleh dinas atau departemen terkait. Seharusnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara memainkan peran yang maksimal dalam reformasi birokrasi ini. Entah mengapa, kementerian ini pun melempem begitu saja dengan program yang jadi unggulan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejak masih berduet dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla

Standar
Kerja birokrasi yang cepat, terukur, bebas biaya, dan pasti merupakan barometer kemajuan sebuah negara. Saat ini pemerintah di level pusat bisa saja mengatakan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) gratis di semua daerah. Namun, apakah jangka waktu penyelesaiannya bisa dipastikan? Di sinilah kebayakan oknum memainkan peran menarik pungutan liar.
Siapa pun tidak ingin menunggu dalam ketidakpastian. Akibatnya, masyarakat harus membayar supaya penyelesaian pelayanan bisa tepat waktu. Apakah masyarakat disalahkan karena menyuap dalam tindakan seperti ini? Tentu saja. Namun, pemerintah belum menyediakan satu tempat khusus ke mana masyarakat harus me­ngadu kalau tingkat kepuasan terhadap layanan publik oleh birokrasi pemerintah tidak maksimal. Paling maksimal adalah menyampaikan saran melalui kotak saran yang mungkin jarang dibaca satu per satu oleh petugasnya.
Ketidakpuasan pelayanan publik oleh pihak swasta pun tak pernah dipikirkan oleh pemerintah untuk difasilitasi. Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni International, Tangerang, Banten merupakan hal aktual dalam konteks ini. Kebuntuan jalan mengadukan persoalan membuat Prita Mulyasari menggunakan fasilitas seadanya untuk mengungkapkan ketidakpuasan. Meski risikonya bersentuhan dengan masalah hukum.
Padahal salah satu ukuran kemajuan suatu negara adalah tingkat kepuasan layanan publik yang disediakan. Semakin baik pelayanan publik diberikan kepada masyarakat, semakin maju negara tersebut. Sebaliknya, jika pelayanan publik berjalan terbengkalai, sulit mengatakan negara itu sudah mengalami banyak kemajuan. Negara yang bisa memberikan pelayanan publik dengan baik pastilah negara maju. Kalau Indonesia mau maju, mulailah dari mutu pelayanan publik. Investor akan datang dengan sendirinya jika tidak ada cost yang tak perlu untuk menyogok birokrat.
Sesungguhnya, sudah sejumlah perangkat aturan untuk mengupayakan standar pelayanan publik. Hanya saja, aturan tetap aturan kalau tidak diimplementasikan secara baik. Pelayanan publik tidak bisa hanya sebatas kata-kata dan perangkat aturan, tapi perlu langkah nyata di lapangan.
Tentu, tak mungkin ada pelayanan publik yang baik, jika tidak ada perubahan pola kerja dan kinerja birokrasi di berbagai level. Untuk itu, nyaris tak mungkin ada pelayanan publik yang memadai tanpa reformasi birokrasi.(inno jemabut)

5 comments:

Anonymous said...

KENAPA REFORMASI BIROKRASI TAK DIMULAI DARI MASJID/MUSHOLLA KANTOR PEMERINTAH ?

Assalamu'alaikum.
Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan oleh PKS untuk bantu mereformasi Birokasi. Tanpa harus menunggu kehadiran Presiden RI dari internal PKS.

Sekiranya PKS tak lupa akan jati dirinya sebagai Partai/Jama'ah da'wah. PKS bisa berupaya keras melobi kekuasaan, untuk menggerakkan Masjid/Musholla di kantor-kantor pemerintahan.

Melalui IKADI, PKS bisa mengirimkan para da'i untuk melakukan pembinaan dan tarbiyah para birokrat. Dengan harapan, terciptanya lingkungan dan pribadi muslim para birokrat.

Melalui program ini pula diharapkan munculnya kader-kader di kalangan Birokrat. Sehingga, jika suatu saat kekuasaan diamanahkan Allah SWT kepada PKS. Sudah banyak kader-kader di jajaran birokrat yang mampu menggerakkan program-program PKS.

Menggerakkan Masjid/Musholla Kantor Pemerintahan, bukan pekerjaan kecil dan sepele. Dibutuhkan kekuataan lobi politik, kerja sistematik, penguasaan medan yang sempurna, menyingkirkan hambatan-hambatannya, dll.

Semoga ini tak dianggap sebelah mata.

Mudaris Halokes said...

ustadz, afwan OOT. ana hanya hendak mentabayunkan statement antum di media yang medukung gusdur jadi pahlawan nasional.

setahu ana, gusdur adalah pendukung mutlak Israel di Indonesia, dan dukungan kita untuk memberikan gelar pahlawan nasional untuk beliau, akan kemudian menjadi sebuah "KADO" Ulang tahun yang "indah" untuk kaum muslim di GAZA,
*remember 1 year gaza war*
dulu kita yang demo sampai dibilang kampanye terselubung,dulu gusdur yang tetap menyalahkan hamas.
afwan

Anonymous said...

Tak ada kata terlambat,
untuk mencetak kader yang berda'wah dari kalangan birokrat.
Tak ada kata terlambat,
untuk mencetak kader yang dikirim untuk bergaul dan berda'wah kepada kalangan birokrat.
Tak ada kata terlambat,
untuk memakmurkan masjid/musholla perkantoran para birokrat.
Tak ada kata terlambat,
bagi PKS mereformasi birokrat. Sebagaimana PKS sebelumnya, berhasil mereformasi mahasiswa untuk reformasi Indonesia.
Tak ada kata terlambat,
selama PKS ber'azam dalam da'wah...

Anonymous said...

Assalamu'alaikum
Tahun 80-an, ustadz Hilmi Aminuddin, pergi dari satu kampus ke kampus lain. Berda'wah secara militan, membangun kader-kader dari kalangan mahasiswa. Usaha ini, kemudian diteruskan oleh murid beliau, ustadz Rahmat Abdullah-Allah Yarham-, sehingga beliau digelari Syaikul Tarbiyah.

Akankah murid-murid ustadz Rahmat Abdullah, meneruskan perjuangan beliau, berda'wah secara sistematis, masif, militan, penuh pengorbanan dari satu kantor ke kantor pemerintahan ? Guna membangun satu generasi birokrat yang mampu menggerakkan reformasi Indonesia jilid 2 ?

Bukankah, kekuatan politik itu didukung lima komponen : Teknokrat, Birokrat, Pengusaha, Media dan Militer ?

redy said...

Assalamualaikum...kunjungan saya pertama ke blog anda..salam