Republika, 2008-08-18 16:14:00
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sejumlah petinggi partai politik ramai-ramai mencalonkan anak, cucu, menantu, sampai adik menjadi calon wakil rakyat. Entah karena popularitas atau memang para generasi penerus ini punya kredibilitas untuk menjadi wakil rakyat. Bahkan, mereka tak malu-malu untuk ditempatkan di nomor jadi.
Budaya nepotisme di Indonesia bukanlah hal yang baru karena sudah dilakukan sejak lama. Dan, itu sah-sah saja karena, di beberapa negara lain, masalah kekerabatan merupakan hal biasa di jajaran ke kua saan. Kalau tidak anaknya, cucunya, me nantunya, bah kan bila perlu pembantunya pun bisa me wa risi tahtanya. Di Amerika Serikat, keluarga Kennedy seolah menjadi hak paten untuk urusan pemegang ke kua saan. Sebagai contoh, aktor Arnold Schwa rzenegger harus menikahi dulu sa lah satu keturunan Kennedy, Maria Shriver, untuk bisa melenggang menjadi gubernur California.
Belum lagi, ayah dan anak Bush. Hanya berselang dua kali jabatan, George W Bush berhasil meneruskan posisi presiden yang sempat dipegang sang Ayah, George Bush. Demikian juga di Indonesia. Dinasti politik Soekarno diteruskan oleh anaknya, Megawati, ketika ia terpilih sebagai presiden. Belum anak-anak Soekarno lainnya yang bertebaran di sejumlah partai politik.
Tak hanya itu, generasi berikutnya juga su dah mulai meneruskan jejak di dunia politik. Ada Puan Maharani, anak kandung Megawati, yang dicalonkan jadi anggota DPR. Selain Puan, trah Soekarno juga akan dilanjutkan oleh Putih Guntur Soekarnoputri, anak Guntur Soe karnoputra, kakak Megawati. Kondisi ini sebenarnya merupakan bagian dari pembentukan dinasti politik keluarga ataupun bagian dari desain meneruskan ideologi partai.
Sekjen Forum Masyarakat Pemantau Par lemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, mengatakan, sah-sah saja elite parpol memasukkan anak mereka kedalam penyusunan calon legislatif di Pemilu 2009. Langkah elite ini sudah terlihat sejak lama ketika beberapa nama keturunan mereka. Sebastian menyebut (lagi-lagi) Puan Maharani dan Zanubah Chafsah Wahid dari PDIP dan PKB yang diajak masuk ke parpol milik orang tua mereka. ‘’Ini karakter parpol di Indonesia sampai hari ini.
Rata-rata elite parpol merasa harus menurunkan posisi politiknya,’‘ katanya. Masalahnya, tentu praktik ini menggang gu proses kaderisasi parpol. Kader yang dijaring untuk masuk ke Senayan bukanlah kader-kader terbaik secara kualitas dengan aspirasi dari bawah. Hasilnya tentu wakil rakyat yang kinerjanya tidak terukur hanya dekat dengan elite parpol.
Untung, menurut Sabastian, kalau anak si elite parpol mengerti atau melek politik. Mereka tidak asal bunyi bahkan bisa menandingi kehebatan orang tuanya di parlemen. Sebaliknya, kalau ternyata si anak benar-benar mentah politik, akhirnya hanya menghancurkan partai dan fraksi itu sendiri.
Sebastian mengambil contoh anak proklamator Bung Karno, Guruh Soekarnoputra. Menurutnya, di parlemen tak jelas Guruh masuk di komisi berapa. Dia terlihat ikut rapat-rapat komisi. ‘’Datang saja ke DPR cuma sekali-kali,’‘ katanya. Sebaliknya, ia memberi contoh yang berlawanan, yaitu putra Sabam Sirait, Ma ruarar Sirait, yang kini duduk di Komisi Keuangan dan Perbankan. Sebastian menilai Maruarar tidak kosong-kosong amat masuk ke DPR, ia punya bekal politik karena dididik dari bawah.
Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ. Sebastian menjelaskan, bagi parpol yang melanggengkan budaya nomor urut politik, nomor urut teratas dengan mudah dikantongi keturunan elite parpol. ‘’Ini ber bahaya,’‘ katanya memperingatkan.
Gampangnya, keturunan anak-anak petinggi parpol mendapat nomor jadi akan
membuat anggota parpol lainnya risih. Konsekuensinya tentu situasi internal parpol menjadi panas. Di sisi lain, mekanisme demikian, yang mulai merebak akhir-akhir ini, justru makin memperkeruh citra parpol. ‘’Parpol tetap dipandang sebagai milik elite. Padahal, harusnya parpol menjadi milik publik,’‘ katanya.
Sistem penjaringan oligarki dapat ditafsirkan dengan sistem keputusan yang dilaku kan penguasa. Sehingga, keputusan yang diambil pun biasanya masih terkait dengan hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan. Dengan kata lain, sistem ini masih menganut nepotisme. Hal inilah yang diambil ketika para petinggi partai risau memikirkan siapa yang bisa dijual. Edi Baskoro, putera dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dicalonkan Partai Demokrat menjadi caleg dengan nomor urut satu di daerah pemilihan DKI Ja karta. Banyak pihak merasa bingung dengan dipilihnya Edi karena selama ini namanya nyaris tak terdengar di jalur politik. Kalaupun dikenal, ia hanya anak presiden dan beberapa kali masuk infotainment karena digosipkan pacaran dengan seorang artis.
Pertimbangan menempatkan anak-anak tokoh atau pejabat ini lebih kepada meman dang ibu atau bapaknya yang memi liki posisi strategis di partai bersangkutan. Namun, hal ini sempat dibantah Max Sopacua, wasekjen Partai Demokrat. Pencalonan Edi karena ia dianggap calon yang cemerlang. Max menilai pendidikan Edi yang kuliah di Australia dan pengalaman di Partai Demokrat selama ini membuat ia dilirik menjadi pengurus dan calon
anggota DPR.
Namun, bagaimana dengan kasus di Suma tra. Seorang petinggi DPRD Medan
yang lalu berniat menjadi caleg DPR RI. Pa da saat yang sama, anaknya menjadi caleg di DPRD Sumatra Utara. Dan, anaknya yang lain menjadi caleg di DPRD Medan. Atau, nama besar mantan wakil presiden Hamzah Haz. Meski ia tidak termasuk dalam daftar caleg, sejumlah nama staf khususnya di Sekretariat Wapres masuk.
Anak Hamzah Haz, Nur Agus Haz, masuk dalam caleg urutan nomor dua dari daerah pemilihan DKI Jakarta I. Sedangkan, menantu Hamzah, Musa Ichwanshah juga masuk daftar caleg dari PPP. Pasangan suami istri, Tosari Widjaya dan Ma chu shoh Widjaya, tercantum dalam daftar caleg untuk daerah pe mi lihan Jawa Timur II dan Jawa Timur VII.
Malah Yunus Yosfiah, yang juga mantan men teri penerangan berada di nomor urut 1 daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Sedangkan, istrinya, Hj Antonia Ricardo, berada di nomor urut 2 daerah pemilihan NTT II. Setali tiga uang. Pendiri serta mantan ketua umum DPP Partai Amanat Nasional, Amien Rais, tak mau ketinggalan. Putra Amien Rais, Hanafi Rais, dipastikan ma suk sebagai calon wakil rakyat dari PAN untuk daerah pemilihan Provinsi Aceh.
Seperti itulah gambaran perpolitikan di In donesia yang sangat kental aroma nepotismenya. Tak kurang, penggambaran kondisi ini seperti sebuah serial TV yang panjang ber l arut-larut tentang kekuasaan, kemewahan, dan pengkhianatan dengan judul Dinasty menjadi favorit pada pertengahan 1980-an.
Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, menambahkan, keluarga para elite parpol harus punya motivasi yang jelas untuk masuk ke parlemen. Apa sekadar ikut-ikutan dan terbawa nama besar atau memang ingin ter jun ke politik dan mewakili rakyat? Cetro berpendapat selaras dengan Formappi soal betapa mudahnya keluarga elite parpol masuk ke nomor urut tinggi atau mendapat kemudahan pencalonan. ‘’Tidak boleh ada perlakuan khusus. Pen calonan itu harusnya sesuai dengan aturan di parpol.’‘
Ancaman lainnya, tambah Hadar, datang dari kualitas keluarga elite parpol. Ia menilai, bila tidak hati-hati, masuknya anak elite parpol ke DPR malah kontrakdiktif. Alih-alih meningkatkan pamor orang tuanya, kualitas anak elite itu akan menenggelamkannya.
Apakah masuknya keluarga elite parpol itu bisa mendongkrak suara? Ternyata, belum tentu. Hadar melihat mereka kalah pamor dengan artis. ‘’Justru, kalau yang dikenal orang tuanya bisa-bisa masyarakat jadi antipati. Jadinya, ini pertaruhan nama baik,’‘ pungkasnya.
Memang, tak semua keluarga elite politik dinilai buruk ketika mereka menerus
kan karier politik orang tuanya. Maruarar Sirait misalnya. Sebagai salah satu anggota DPR yang merupakan anak dari Sa bam Sirait, Maruarar dianggap mumpuni.
Menurutnya, semestinya dimaknai bahwa semua orang punya kesempatan dan hak yang sama. ‘’Dalam konteks pencalegan, apakah seseorang itu berlatar belakang sebagai anak petinggi partai, tokoh politik, pengusaha, artis, maka mereka punya hak yang sama,’‘ kata Maruarar, yang saat ini aktif di Koalisi Parlemen Muda bersama Yuddy Chrisnandi.
Hal terpenting, lanjut dia, siapa pun yang ditetapkan sebagai caleg parpol tentunya memenuhi kriteria yang ditentukan parpol. Bagaimanapun, tidak ada parpol yang akan membiarkan dirinya hancur karena memilih caleg yang tidak layak dicalonkan. Maruarar melihat pencalonan Puan Maharani berdasarkan pertimbangan rasional.
Dikatakannya, Puan Maharani selama ini sudah lama aktif sebagai ketua Bidang Perempuan dan Pemberdayaan Masyara kat DPP PDIP. Selama berada di PDIP, ki nerja Puan juga dinilai baik. ‘’Kalau bicara tentang pendidikan formal, Puan Maha ra ni juga pendidikan formalnya baik,’‘ kata dia.
Hal lain yang justru dimiliki Puan di banding caleg lain adalah dari kematangan politik dan mental. Sebagai anak dari Megawati dan Taufik Kiemas, menurut Ma ru arar, Puan sudah ikut merasakan tekanan politik yang dialami PDIP pada masa Orde Baru.
Disinggung tentang posisinya yang juga berasal dari darah biru di PDIP, Maruarar mengatakan, ia tidak mau munafik untuk tidak mengakui peran ayahnya. ‘’Saya juga bisa seperti sekarang karena peran Papa (Sabam Sirait),’‘ ungkapnya.
Dikatakannya, Sabam Sirait mengajarkannya tentang nilai, etika, dan totalitas dalam berpolitik. Ketika mendapatkan kesempatan untuk maju sebagai anggota DPR, kata Maruarar, ia membuktikan dengan bekerja semaksimal mungkin. Membuktikan dengan kinerja yang baik, menjawab keraguan akan kemampuannya, sekaligus menjaga nama baik orang tuanya.
Ketua Fraksi PKS DPR, Mahfudz Siddiq, mengatakan, banyaknya darah biru yang tampil menunjukkan adanya oligarkhi berbasis kekeluargaan masih kuat da lam kehidupan berpartai. ‘’Dalam praktik politik, hal itu sebenarnya sah-sah saja. Tapi, dalam konteks demokratisasi ini merupakan kemunduran,’‘ tandasnya.
Fenomena ini menunjukkan partai belum melakukan rekrutmen secara terbuka. Akan lebih parah lagi, lanjut dia, kalau ternyata mereka maju hanya mengandalkan privallege orang tua mereka, tanpa mengikuti prosedur kaderisasi yang berlaku. ‘’Implikasinya, parpol tidak membangun kekuatan dari basis organisasi, tapi lebih pada primordialisme. Ini akan membangun iklim demokrasi di tubuh partai,’‘ ungkap Mahfudz.
Dengan posisi seperti itu, menurut Mahfudz, mereka yang mendapatkan privallege semestinya bisa membuktikan diri bahwa mereka tidak sekedar ndompleng nama besar orang tuanya. ‘’Kalau mereka tidak ber hasil membuktikan, akan menjadi musibah bagi partai,’‘ kata politikus PKS itu.
Mahfudz berpandangan, kalau privallege karena orang tua ini terus berlangsung dan memengaruhi pola pengambilan keputusan di partai, akan mengguncang kesinambungan partai. Orang akan makin sulit berpartisipasi dalam pengambilan ke putusan partai. c64/evy/dwo
No comments:
Post a Comment