(inilah.com/Wirasatria)
Sinyalemen Presiden SBY tentang aksi terosisme di Indonesia dikaitkan dengan rencana pendirian Negara Islam Indonesia (NII) seperti memutar memori kelam perjalanan bangsa ini. Khususnya kaitannnya dengan relasi negara dengan agama melalui upaya separatisme dengan simbol agama, tak terkecuali NII.
Ini ditegaskan Presiden SBY menjelang keberangkatannya dalam perjalanan kenegaraan ke Singapura dan Malaysia, Senin (17/5). Menurut SBY, bila sebelumnya sasaran teroris pihak asing, kini terjadi perubahan orientasi dengan menjadikan bangsa sendiri sebagai sasarannya. “Kini mereka menjadikan bangsa sendiri, negara sendiri, pemerintahan sendiri sebagai sasaran,” tandas Presiden SBY.
Presiden menegaskan dirinya tidak mendukung dengan upaya pendirian Negara Islam (NI) yang direncanakan kalangan teroris seperti dokumen-dokumen yang ditemukan aparat. Menurut SBY, meski bukan negara Islam, Indonesia mengadopsi nilai-nilai Islam dalam praktik berbangsa dan bernegara. “Tapi, kelompok ini memaksa mengubah konstitusi kita, tentu ini sesuatu yang tidak bisa diterima,” tandas SBY.
Sinyalemen Presiden SBY tentang upaya kalangan teroris untuk mengubah konstitusi negara jelas menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Karena secara tak langsung, upaya untuk merubah konstitusi tidak bisa dilepaskan dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dengan kata lain, pihak-pihak yang disinyalir Presiden tentang upaya mengubah konstitusi tidak terlepas dari upaya ‘konstitusional’ melalui jalur-jalur politik.
Politikus PPP Lukman Hakiem menilai, pernyataan Presiden SBY tentang rencana pendirian Negara Islam hanyalah upaya menyudutkan umat Islam. Ia menilai, isu yang dilempar Presiden SBY jelas tidak masuk akal. “Itu isu klasik yang bertujuan hanya memojokkan umat Islam,” cetusnya melalui pesan singkat kepada INILAH.COM di Jakarta, Selasa (18/5).
Hal senada ditegaskan politikus PKS Mahfudz Siddiq. Sinyalemen Presiden SBY dinilai gegabah dan berlebihan jika gerakan terorisme mengusung agenda mendirikan Negara Islam dan menjadikan institusi maupun pejabat negara sebagai target operasinya. “Gerakan terorisme di Indonesia tidak dalam kemampuan memadai mengusung agenda pendirian NII,” ujarnya.
Meski demikian, Mahfudz tidak menampik, jika secara ideologis konsep Negara Islam menjadi bagian dari keyakinan dan pemahaman kelompok teroris. Namun, dalam tataran visi, strategi, operasi dan unsur-unsur pendukung, Mahfudz menilai kalangan teroris jauh dari agenda tersebut.
“Karena gerakan terorisme di Indonesia cenderung berpola melawan dan dekonstruksi. Gerakan mereka juga tidak terstruktur secara komprehensif dan integratif. Gerakan mereka mengidap bias agenda yang bertujuan untuk menghancurkan Amerika antek Yahudi,” paparnya.
Menurut Ketua DPP PKS ini gerakan terorisme tidak memiliki agenda spesifik terhadap negara baik institusi maupun pejabatnya. Yang mereka propagandakan menurut Mahfudz, secara lebih konseptual meski masih absurd. “Yaitu menghancurkan sistem kehidupan jahiliyah,” tegasnya.
Namun berbeda pendapat justru ditegaskan pengamat terorisme Al-Chaidar. Ia tidak menampik sinyalemen presiden terkait upaya terorisme untuk mendirikan NII. “Ya memang, terorisme dan perang anti teror merupakan kontestasi antara Negara Pancasila dengan NII yang belum selesai,” ujarnya seraya menyebutkan upaya ini dimulai sejak 1949 hingga kini.
Menurut dia, saat ini NII semakin menampakkan di permukaan dalam wajahnya yang mengerikan. Oleh karenanya, ia menyerukan agar gerakan NII bisa juga dimunculkan dengan wajah yang berbeda. “Harus ada keseimbangan bahwa NII juga bisa muncul dalam wajah yang humanis,” cetusnya. [mdr]
No comments:
Post a Comment