Monday, May 17, 2010

Ancaman bagi Demokrasi

Yudhoyono Harus Menjelaskan Pembentukan Sekretariat Gabungan Partai Koalisi

Senin, 17 Mei 2010 | 03:46 WIB

Jakarta, Kompas - Pembentukan sekretariat gabungan atau sekgab koalisi partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono merupakan ancaman bagi demokrasi. Otoritas Presiden serta peran pemerintah pun terancam melemah karena sekgab berfungsi seperti kabinet bayangan yang bisa mengintervensi kebijakan strategis.

Pendapat itu disampaikan pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/5). Ia mempertanyakan peran serta fungsi sekgab koalisi yang diperbolehkan mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah yang fundamental dan strategis.

”Sekgab ini bertanggung jawab kepada siapa? Kalau pemerintah kan bertanggung jawab kepada rakyat. Ical (Aburizal Bakrie), misalnya, dia bukan anggota DPR, tidak dipilih oleh rakyat, tetapi mendapat peran yang lebih jauh dari pemerintah,” kata Airlangga.

Seperti diketahui, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie adalah ketua harian sekgab koalisi partai pendukung pemerintahan. Adapun posisi ketua sekgab dipegang langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Saat ini, partai politik pun memiliki peluang untuk mengajukan syarat atau bahkan sosok pengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani. Itu berarti otoritas presiden melemah dan hak prerogatif Presiden untuk memilih sendiri menterinya semakin berkurang. Padahal, dalam sistem presidensial, otoritas penuh berada di tangan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Pemerintah bayangan

Bukan hanya itu, peran pemerintah akan melemah. Kabinet akan menjadi simbol semata karena perannya diambil alih oleh sekgab koalisi. Sekgab menjadi semacam pemerintah atau kabinet bayangan yang memiliki kuasa untuk mengintervensi kebijakan pemerintah.

”Itulah mengapa saya anggap, sekgab ini krisis bagi demokrasi,” kata Airlangga.

Kritik juga dilancarkan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi bertema ”Sekber Partai Koalisi, Antara Harapan dan Kenyataan” yang diselenggarakan Radio Trijaya di Jakarta, Sabtu lalu.

Secara psikologis, kata Ikrar, Yudhoyono penakut. Padahal, dengan perolehan suara 60,8 persen pada Pemilu 2009, semestinya Yudhoyono yakin karena posisinya sebagai Presiden kuat. Namun, yang terjadi, Yudhoyono menginginkan koalisi bulat.

Selain itu, Yudhoyono juga tak pernah berhenti berupaya membawa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan masuk koalisi pendukung pemerintah. ”Intinya, koalisi dalam sekgab ini ingin mengamankan posisi sampai 2014. Tapi, konsesinya terlalu besar,” ujar Ikrar.

Dalam diskusi tersebut, politisi senior Partai Golkar, Zaenal Bintang, yang aktif di Forum Indonesia Timur, menilai, pembentukan sekgab berhadapan dengan aturan konstitusi dan etika. ”Oleh karena itu, Presiden Yudhoyono harus segera menyampaikan alasan pembentukan sekgab, termasuk pertimbangan menunjuk Aburizal sebagai ketua harian,” ujar Zaenal.

Ketua Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq, dalam diskusi yang sama, menilai, sekgab sudah terkontaminasi tiga hal, yaitu kasus Bank Century, keinginan Yudhoyono menunjuk Aburizal Bakrie sebagai ketua harian, dan mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan.

Menghadapi kritik dan pendapat itu, Ketua DPP Partai Demokrat Jafar Hafsah dalam diskusi menyatakan, Aburizal bukan wakil presiden bayangan. Keberadaannya sebagai ketua harian setgab berdasarkan pertimbangan suara terbanyak dan pengalaman sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Koalisi ini dibentuk berdasarkam platform dan program yang ingin dicapai negara dalam lima tahun Kabinet Indonesia Bersatu II.

Secara terpisah, Sekretaris Fraksi Patai Golkar Ade Komarudin menegaskan, sekgab dibentuk bukan untuk menyeragamkan pandangan.

Amankan pemakzulan

Menurut dia, keberadaan Aburizal dalam sekgab koalisi hanya untuk mengamankan persoalan krusial, termasuk menjaga stabilitas pemerintahan dan mengamankan kepala negara dari upaya pemakzulan. ”Kami sejak awal tidak mau negeri ini selalu dihantui oleh konsep dan upaya pemakzulan. Kami ingin menghindari itu,” kata Ade.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Sabtu lalu di Semarang, Jawa Tengah, juga menegaskan, sekgab kemungkinan bisa menjadi contoh kebijakan pemerintahan berikutnya dalam membentuk kebersamaan menjalankan kekuasaan di negara ini. Tuntutan ini nyata, setelah diakui atau tidak, ternyata muncul dua kubu mewarnai kehidupan berbangsa ini.

Dua kubu

Dua kubu itu adalah kubu yang prorakyat serta kubu yang prokekuasaan. ”Sekretariat gabungan ini semakin menegaskan kubu koalisi itu juga prorakyat tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga berbuat. Itu lebih baik dibandingkan kubu prorakyat, tetapi hanya dalam kata-kata saja,” kata Suryadharma.

Masih di Semarang, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, Sabtu lalu, berharap, sekgab tidak akan mengingkari prinsip dasar pemimpin dalam mengemban tugas. Tiga prinsip dasar itu adalah asas kualitas, keterwakilan publik, dan akuntabilitas.

Partai Hanura, menurut Wiranto, tetap akan menjadi partai yang kritis dan konstruktif terhadap pemerintah. ”Partai Hanura memilih tidak bergabung dalam sekretariat gabungan dan juga tidak memosisikan diri sebagai partai oposisi,” kata Wiranto.

Untuk menandingi sekgab koalisi, berbagai elemen masyarakat sipil akan membentuk sekretariat bersama atau koalisi bersama masyarakat sipil Indonesia. ”Tanggal 20 Mei nanti, rencananya, berbagai elemen masyarakat sipil akan membuat kongres masyarakat sipil Indonesia dan membentuk sekretariat bersama,” kata Effendi Gazali, salah seorang aktivis masyarakat sipil. (DEN/who/idr/fer/nta)

No comments: