Friday, October 08, 2010

Indonesia Tak Perlu Berdialog dengan RMS

SBY Batal ke Belanda
Rabu, 6 Oktober 2010 | 12:56 WIB

Anggota Republik Maluku Selatan (RMS) mengibarkan bendera pada 26 April 2010 di Apeldoorn, Belanda. AFP


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak perlu membuka pintu dialog dengan kelompok Republik Maluku Selatan karena jika hal itu dilakukan, akan mendatangkan musibah bagi Indonesia.
Sekali buka pintu dialog dengan RMS, berarti kita buka pintu musibah bagi negeri ini. Dialog dengan RMS sama artinya menghidupkan orang mati.
-- Mahfudz Siddiq

Hal itu dikatakannya terkait dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar bahwa Pemerintah Indonesia membuka pintu dialog bagi kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) yang bermukim di negara Belanda. "Pernyataan itu terlalu terburu-buru dan mengecilkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat," kata Mahfudz kepada di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (6/10/2010).

Ia menyebutkan, bila Pemerintah melakukan perundingan atau dialog dengan RMS, sama artinya Pemerintah membuka pintu kehancuran bagi negeri ini. "Sekali buka pintu dialog dengan RMS, berarti kita buka pintu musibah bagi negeri ini. Dialog dengan RMS sama artinya menghidupkan orang mati," kata politisi PKS itu.

Menurut dia, musibah yang akan dialami oleh Indonesia adalah masuknya tangan-tangan asing dalam dialog tersebut. "Tangan-tangan internasional akan masuk dan akan bergentayangan. Kita harus bercermin kepada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM)," ujar Mahfudz.

Mahfudz juga mengingatkan adanya informasi yang didapatkan dari Ambon bahwa saat ini sudah ada jalur penerbangan langsung dari Amsterdam-Ambon. "Saya dapat informasi dari teman-teman di Ambon bahwa sudah ada penerbangan langsung dari Amsterdam-Ambon. Tingkat kunjungan orang-orang Maluku dari Amsterdam sangat tinggi. Itu perlu juga menjadi perhatian," kata Mahfudz.

Selain itu, Pemerintah Belanda masih menganggap Indonesia sebagai negara jajahan seperti waktu lalu. Hal itu terkesan dari pernyataan Menteri Luar Negeri Belanda Martin Verhagen kepada Duta Besar Indonesia untuk Belanda Fanny Habibie.

"Menlu Belanda memanggil Fanny Habibie dan mengatakan bahwa orang Indonesia jangan banyak bicara soal RMS. Sikap itu menunjukkan bahwa Indonesia masih dianggap sebagai negara jajahan," kata Wakil Sekretaris Jenderal PKS itu.

Ia menambahkan, saat ini RMS yang ada di Belanda seolah-olah dilindungi oleh Pemerintah Belanda sehingga RMS bisa bergentayangan dan memperkuat diri. "RMS ibarat ruh, badannya sekarat tapi ruhnya bergentayangan karena diberikan keleluasaan. Pemerintah Belanda memberikan peluang kepada RMS," kata dia.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus memberikan penekanan terhadap Pemerintah Belanda agar tidak lagi memberikan peluang atau kesempatan kepada RMS. "Penting bagi Indonesia untuk menekan Belanda agar memberantas RMS. Batalnya kunjungan SBY adalah peringatan kepada Belanda untuk tidak main-main dengan RMS," kata Mahfudz.

Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyatakan, pintu dialog selalu terbuka untuk kelompok RMS yang bermukim di negara Belanda. Pemerintah siap menerima mereka kembali menjadi warga negara Indonesia. "Saya kira Pemerintah tidak pernah menutup pintu untuk dialog," kata Patrialis.

Menurut Patrialis, aksi gugatan RMS tersebut dilakukan lantaran kelompok tersebut tidak mengetahui kemajuan pesat Indonesia saat ini. Mereka masih hidup di pengasingan dan tidak mau kembali menjadi WNI. "Ya sebetulnya mereka tidak tahu saja, banyak perkembangan yang bagus di negara kita ini," kata dia.

No comments: