Adu kuat Boediono lawan Hatta
Monday, 04 May 2009 21:00 WIB
HERDI SAHRASAD
Nama Boediono menyodok di antara calon-calon wakil presiden SBY. Dia kini bersaing dengan Hatta Rajasa, politisi PAN yang juga Menteri Sekretaris Negara. Siapa lebih berpeluang jadi RI-2 jika SBY memenangkan Pilpres?
Boediono yang kini Gubernur Bank Sentral, sudah lama dibina oleh IMF, ADB, dan Bank Dunia, melalui jaringan mafia Berkeley. Tujuannya tentu, untuk memancangkan ekonomi neoliberal di Indonesia.
Sebagai akademisi, Buoediono yang ramah dan murah senyum serta jujur itu bekerja dengan taat asas. Dia bertopang padatextbook thinking. Amat jarang dia berpikir alternatif out of the box, untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan kemiskinan di negeri ini.
Boediono adalah ilmuwan yang sangat percaya bahwa pasar sangat vital dalam menentukan kesejahteraan rakyat. Bicara neoliberalisme sama artinya bicara tentang ekspansi kepentingan pemodal negara-negara kaya.
Padahal, demokrasi ekonomi berbeda secara diametral dari neoliberalisme. Sebab, neoliberalisme mengagungkan persaingan dan kebebasan individu. Sedangkan demokrasi ekonomi lebih mementingkan kerja sama dan persaudaraan sosial.
Para pemodal negara-negara kaya inilah terutama yang menjadi sponsor globalisasi. Sebab itu, mudah dimengerti bila penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, mengungkapkan kebijakan ekonomi neolib itu diusung Mafia Berkeley, mengadopsi kebijakan yang dirancang IMF maupun Bank Dunia. Kebijakan itu dikenal dengan sebutan Konsensus Washington.
"Tema besarnya adalah apa yang sekarang dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Kegagalan perekonomian Orde Baru adalah utang luar negeri yang sangat besar dan ketergantungan Indonesia atas utang luar negeri," kata Revrisond.
Globalisasi yang sering didengungkan Boediono sesungguhnya hanya kedok. Di balik itu, bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dimotori para pemodal negara-negara kaya. Mereka diusung ke Indonesia oleh para teknokrat Mafia Berkeley yang menolak paradigma baru, jalan baru, dan agenda baru bagi Indonesia.
Boediono dinilai pengamat termasuk neoliberalis yang konservatif. Jika dia menjadi pilihan SBY, bisa jadi akan menyulitkan SBY jika menang dalam pilpres mendatang. Sebab, selain tak diajukan parpol dari koalisi SBY seperti PKS, PAN dan PKB, sangat mungkin Budiono menuai resistensi dari kaum nasionalis dan Islamis di negeri ini. Presiden Soekarno ketika memimpin Indonesia selalu mengecam dan mencela neokolonialisme (neoliberalisme).
Itu sebabnya, peluang Hatta Rajasa yang berasal dari PAN, sebuah partai nasionalis yang berbasis Muslim modernis dan merupakan teknokrat ITB, lebih menjamin sustainabilitas kubu Demokrat ke depan. Apalagi, PKS lebih memberikan preferensi ke Hatta Rajasa ketimbang Boediono.
PKS, salah satu rekan koalisi Demokrat dengan dukungan suara besar, merasa tak ada masalah dengan Hatta. "Sejauh ini komunikasi PKS dengan Pak Hatta baik. Kita sudah berhubungan dalam kapasitas Pak Hatta sebagai Mensesneg, bukan fungsionaris PAN. Hatta itu teman kongkownya PKS. Kalau dia dicalonkan Demokrat jadi cawapres SBY, boleh saja," ujar Mahfudz Shiddiq, salah seorang petinggi PKS.
(amr/inilah)
No comments:
Post a Comment