Wednesday, November 26, 2008

Citra DPR yang Kian Tergerus

Citra DPR yang Kian Tergerus

Pengantar Redaksi:
Jakarta - Ruangan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI direnovasi dengan anggaran sebesar Rp 33,4 miliar. Padahal, Indonesia masih berkutat dengan dampak krisis global. Sikap DPR RI ini seolah membuat citra DPR kian terpuruk. Namun, bagai angin lalu, renovasi terus berlanjut. SH menurunkan tulisan khusus mengenai hal ini.

Oleh
Vidi Vici

DPR kembali menunjukkan ketidakpekaan terhadap kondisi bangsa. Di saat, masyarakat sedang bergelut dengan kesusahan hidup sehari-hari, DPR justru melakukan renovasi ruangan anggotanya. Biayanya tidak tangung-tanggung, Rp 33,4 miliar!
Hari ini, Senin (24/11), merupakan hari pertama para anggota DPR kembali berkantor setelah menyelesaikan masa reses. Sebagian dari mereka bakal mendapati ruangan kerja yang berbeda dari saat ditinggalkan. Sepatu mengkilap anggota DPR yang terhormat akan menginjak karpet baru di ruang kerja. Karpet berwarna coklat muda itu menggantikan karpet lama berwarna biru keabu-abuan. Ruangan staf pun menjadi lebih luas.
“Biayanya kurang lebih hanya 16 juta per ruangan,” demikian Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh menjelaskan mengenai biaya renovasi ruangan tersebut. Kesetjenan DPR menghitung, total biaya renovasi ruangan seluruh anggota DPR mencapai Rp 9,15 miliar.
Namun, itu belum biaya keseluruhan dana yang dihabiskan DPR untuk memperbaiki fasilitas di gedung itu. Ada 26 unit pekerjaan renovasi lain yang jika ditotal mencapai Rp 33,4 miliar. Nining mengatakan, jumlah itu wajar saja. Begini perhitungan Nining; Renovasi ruangan Rp 9,15 miliar, ditambah penambahan 10 ruangan baru untuk anggota DPR periode mendatang (sesuai UU Pemilu Legislatif, angota akan bertambah dari 550 menjadi 560), Rp 10 miliar. Ada juga pekerjaan mekanikal dan elektrikal sistem berbiaya Rp 7,7 miliar, perbaikan toilet Rp 157 juta, pembiayaan sistem pengamanan dan pajak menghabiskan Rp 2,3 miliar. “Dihitung semuanya, ditambah pengadaan furnitur Rp 6,9 miliar. Jadi, totalnya 33,4 miliar,” ujar Nining.
Menurut Nining, renovasi itu dilakukan atas permintaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. Alasannya, toilet DPR sudah sejak 1986 tidak pernah diganti. Selain itu, ruangan bagi para pembantu anggota dewan, yaitu staf ahli dan sekretaris, perlu diperlebar. Ruangan 2x4 dianggap terlalu sempit sehingga diperlebar 80 sentimeter. Total luas ruangan anggota dewan dan ruang bagi stafnya adalah 4x7 meter.
Keputusan menggeser penyekat itu diambil dalam rapat BURT tanggal 17 Juli 2008. Nining menyatakan, dia hanya menjalankan yang sudah menjadi kebijakan DPR. Seluruh biaya diambil dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proyek itu juga sudah melalui proses tender dan telah disampaikan kepada seluruh fraksi DPR.
Perusahaan yang memenangkan proyek renovasi senilai Rp 25,6 miliar adalah PT Perumaham Pembangunan (PP). Sementara yang memenangkan proyek pengadaaan furnitur senilai Rp 6,9 miliar adalah PT Cahaya Sakti. Pekerjaan proyek dilakukan mulai 8 November 2008 sampai berakhirnya masa reses DPR, Senin, 24 November 2008.

Citra Buruk
Namun, baru empat hari proyek berjalan, muncul protes dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Dalam surat resminya, fraksi tersebut meminta pekerjaan renovasi ruangan anggota fraksinya dihentikan. Alasannya, pemberitahuan rencana renovasi itu dilakukan saat anggota DPR sedang reses, sehingga kurang sosialisasi.
Sekretaris Fraksi PPP Lukman Hakiem mengkhawatirkan citra buruk yang akan menimpa lembaga legsilatif. “Dalam kondisi pencitraan DPR yang buruk, urgensi renovasi berbiaya miliaran itu masih perlu dibicarakan,” katanya.
Segera setelah muncul protes di media massa, fraksi lain melalui pimpinanannya ikut melakukan aksi penolakan. Padahal, sebelumnya para wakil fraksi di BURT telah menyetujui rencana renovasi ini. “Memang ada sedikit missed,” ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hasan.
Dia menyatakan, apa yang menjadi pendapat wakil fraksi di BURT tidak otomatis menjadi pendapat pimpinan fraksi. Dia mengaku dilematis karena pimpinan BURT adalah anggota Fraksi Partai Demokrat. Partai Keadilan Sejahtera juga menolak renovasi. Beberapa anggota legislatif secara tegas menyatakan tidak ingin ruangannya disentuh. Mereka bahkan menempelkan tulisan “Tidak Boleh Direnovasi” di pintu ruangan.
Sayuti Asyahtri dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) mengatakan, ruangannya masih cukup representatif untuk mendukung kinerjanya sehingga tidak perlu direnovasi. Hal yang sama disampaikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS). “Ruangan kami masih cukup sehingga kami tidak memerlukan renovasi,” ujar Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq.
Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulastio mengatakan, penolakan yang dilakukan merupakan politik pencitraan semata. Pasalnya, penolakan baru dilakukan setelah masalah renovasi ramai dibicarakan di media massa. Padahal, fraksi juga mempunyai wakil yang membicarakan mengenai renovasi di BURT.
“Ini hanya cari muka saja. Kenapa sebelumnya di BURT tidak menyatakan keberatan?” katanya.
Namun, Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formapi) Sebastian Salang mengatakan, bukan sikap anggota BURT dan pimpinan fraksi saja yang perlu dipertanyakan, tetapi juga peran pimpinan DPR. “Ini kan sudah sering terjadi dan merusak citra DPR. Seharusnya pimpinan DPR bertanggung jawab,” katanya.
Mahfudz Siddig mengatakan, tanpa persetujuan pimpinan DPR, keputusan yang dihasilkan rapat BURT tidak akan berjalan. Dia menyatakan BURT hanya alat yang membantu pimpinan dewan sehingga apa pun keputusan yang dibuat BURT, tetap harus mendapat persetujuan pimpinan dewan.
Pengerjaan renovasi itu juga menimbulkan kecurigaan adanya penggelembungan harga. Pasalnya, harga seluruh proyek tersebut terbilang fantastis. Uang negara sebesar 10 miliar untuk membuat sepuluh ruangan baru dinilai terlalu besar. Itu artinya, setiap ruangan sebesar 7x4 meter dibuat dengan anggaran Rp 1 miliar atau setara dengan sebuah rumah mewah lengkap dengan perabotannya.

Rasa Keadilan
Secara logika, kata Mahfudz, jumlah tersebut patut dipertanyakan. “Jika dilihat dari logika anggaran, jumlah sebesar itu tentu belum efisien,” ujarnya. Jumlah 16 juta untuk renovasi setiap ruangan juga dinilai terlalu besar karena pekerjaanya hanya menggeser sekat.
Sebastian Salang mengatakan, tidak mengapa jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyelidiki dugaan adanya penggelembungan harga. Apalagi, jika melihat mekanisme proyek yang tidak transparan. Bahkan, jika ada lembaga profesional yang ingin menguji biaya renovasi, tidak perlu membuat DPR merasa dilecehkan.
Dia menyebutkan, dengan penggunaan anggaran sebesar itu, di saat kondisi masyarakat yang sedang terpuruk saat ini, DPR sesungguhnya telah melecehkan rasa keadilan masyarakat. DPR juga terus mengerjakan proyek kontroversial yang mencederai rasa keadilan, seperti pengadaan laptop maupun TV plasma.
DPR, kata Sebastian, telah menggunakan mekanisme tidak transparan dalam pengambilan keputusan untuk proyek. “Lain kali, mekanismenya harus jelas dan transparan,” ujarnya.
Meski mendapat protes sejumlah fraksi, namun renovasi tetap dilaksanakan. Penyebabnya, sejumlah ruangan sudah keburu dibongkar sebelum ada penolakan fraksi. Akhirnya, yang sudah telanjur dibongkar, tetap dilanjutkan dan jumlahnya 232 ruangan. “Sisanya menunggu konfirmasi dari masing-masing anggota. Kami tidak akan membongkar ruangan yang anggotanya menolak,” kata Nining Indra Saleh.
Renovasi tersebut, menurut beberapa anggota dewan tidak perlu dilakukan karena ruangan yang mereka tempati saat ini masih cukup baik, nyaman, dan representatif. Eva Kusuma Sundari dari F-PDIP dan Ketua Fraksi PDS Carol Daniel Kadang menyebutkan, ruangan tidak akan menjadi sempit karena tidak setiap hari anggota DPR berada di ruang kerjanya.
Aroma pemborosan amat mencolok dalam proyek ini. “Lebih baik dananya dialihkan untuk kepentingan rakyat saja,” kata Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo. n

No comments: