Thursday, March 13, 2008

Perang Berbayang Ketakutan

RUU PEMILU
Perang Berbayang Ketakutan
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:44 WIB

Sidik Pramono

Pertarungan sampai titik terakhir. Itulah yang terjadi dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Alotnya pembahasan menandakan perang kepentingan antarpartai politik yang terlibat dalam pembahasan yang sulit dikompromikan.

Apakah semua terjadi karena bayang-bayang ketakutan bahwa mereka tidak sanggup lagi meraih kursi sebanyak pemilu lalu—terkecuali dengan ”merekayasa” aturan yang menguntungkan?

Naskah RUU diajukan pemerintah 25 Mei 2007.

Rapat kerja Panitia Khusus RUU dengan pemerintah sendiri dimulai sejak 10 Juli 2007 dengan agenda pengantar pemerintah. Tanggal 11 September 2007 mulai dibahas substansi daftar inventarisasi masalah (DIM), dengan diselingi dua kali reses.

Total dibutuhkan 13 kali rapat kerja, termasuk 10 kali untuk membahas DIM. Di Panitia Kerja, total rapat mencapai 16 kali. Sementara hingga laporan Pansus ke rapat paripurna DPR, Kamis (28/2), dilakukan tidak kurang dari 18 kali lobi antarfraksi maupun antarfraksi dengan pemerintah.

Sampai kemudian RUU disetujui, lobi antarpimpinan fraksi terus berjalan. Sebelum rapat paripurna terakhir pada Senin (3/3), malam sebelumnya pimpinan fraksi DPR berkumpul di kediaman Wakil Presiden M Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar.

Hasilnya? Dari dua materi yang belum disepakati, satu berhasil dikompromikan. Alhasil, rapat paripurna Senin itu hanya cukup memutuskan satu hal, soal penghitungan sisa suara.

Kejutan?

Kejutan demi kejutan memang mewarnai pembahasan RUU. Rapat konsultasi ”dadakan” antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi pada Senin (25/2) tengah malam menyepakati mengundurkan rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan atas RUU Pemilu yang sedianya digelar Selasa keesokan harinya.

Lobi antarfraksi DPR yang buntu menjadikan rapat paripurna mesti digelar pada Kamis (28/2). Selanjutnya, informasi yang beredar sejak Kamis siang itu, kesepakatan antarfraksi untuk menggelar voting atas materi krusial yang tersisa malahan ”goyah” karena salah satu fraksi berkehendak agar terjadi kompromi. Dengan kesenjangan yang lebar antarkubu, jalan kompromi sepertinya muskil terjadi.

Namun, sepanjang pembacaan pendapat akhir fraksi, Kamis (28/2), sejumlah petinggi fraksi saling ”mendekat”. Di sudut ruang rapat paripurna, Tjahjo Kumolo (F-PG) dan Ganjar Pranowo (F-PDIP), Zulkifli Hasan (F-PAN), Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP), Syarief Hasan (F-PD) berembuk berbarengan atau terpisah-pisah.

Akhirnya memang pengambilan keputusan pada rapat paripurna itu diundurkan. Materi yang telah disepakati saja yang diputuskan untuk disetujui paripurna. Materi soal penghitungan sisa suara dan penetapan calon terpilih disepakati untuk divoting pada rapat paripurna Senin (3/3).

”Untungnya”, ada satu celah untuk menyelamatkan muka; penataan ulang daerah pemilihan anggota DPR belum rampung. Daerah pemilihan yang menjadi lampiran undang-undang harus ditata ulang, terkait dengan perubahan besaran daerah pemilihan.

Dengan besaran 3-10 kursi, perombakan daerah pemilihan (pada Pemilu 2004 sebanyak 3-12 kursi) harus dilakukan. Belum lagi data kependudukan yang harus diperhatikan karena ada daerah yang penduduknya bertambah, ada pula yang berkurang karena mekarnya provinsi baru.

Meski demikian, Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (F-PG, Jawa Barat II) merasa perlu meluruskan. Menurut dia, soal daerah pemilihan sudah sejak awal disepakati bakal menjadi lampiran undang-undang. Ketentuan dua materi yang belum disepakati juga tidak berpengaruh pada soal penataan ulang daerah pemilihan.

Dengan begitu, alasan soal penataan daerah pemilihan yang belum rampung hanya untuk mengesampingkan kesan macetnya lobi antarpimpinan fraksi.

Kepentingan parpol

Jika dibedah satu demi satu, setiap materi yang alot diperdebatkan, semuanya terkait langsung dengan kepentingan parpol. Alhasil, semua parpol mengusulkan rumusan yang dianggap bakal paling menguntungkan dan setiap parpol pun punya ”harga mati” yang mesti diperjuangkan sampai saat terakhir.

Soal perhitungan sisa suara, misalnya. Partai Kebangkitan Bangsa amat berkepentingan menjadikan perolehan suara sebanding dengan perolehan kursi. Dengan nilai kursi yang begitu timpang antardaerah, dengan kondisi PKB yang amat kuat di provinsi tertentu, mau tidak mau pilihannya adalah menarik sisa suara ke tingkat provinsi, bukan dibagi hasil di daerah pemilihan seperti saat pemilu lalu.

Konsekuensinya, mereka harus berhadapan dengan parpol kelas ”menengah” lainnya yang pada Pemilu 2004 memperoleh banyak kursi dari sisa suara, perhitungan perolehan kursi tahap kedua, di antaranya adalah Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Demokrat.

Penentuan calon terpilih dengan 30 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP) sebenarnya sudah merupakan kemenangan atas usul calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Tapi masih ada rumusan bahwa penentuan calon terpilih, jika ada calon peraih 30 persen BPP lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol, mesti didasarkan pada nomor urut.

Hal ini menunjukkan ketakutan para petinggi parpol jika mereka yang merasa bekerja penuh bagi parpol di tingkat nasional bisa-bisa ditekuk oleh kader daerah yang mengakar di daerah.

Kesibukan para pengurus harian di tingkat nasional dikhawatirkan bakal menjadi kendala untuk memikat calon pemilih ketimbang dengan kader lokal yang setiap saat lebih mudah menghampiri konstituennya.

Ambang parlemen

Sejumlah parpol memperjuangkan ide penyederhanaan sistem kepartaian. Salah satunya dengan mengintrodusir parliamentary threshold, di mana parpol yang perolehan suaranya secara nasional tidak mencapai persentase tertentu tidak disertakan dalam penghitungan perolehan kursi.

Terjadi saling tawar soal besaran persentasenya. Tarik-menarik terhenti di angka 2,5 persen dengan ”barter” bahwa parpol peraih kursi DPR yang tidak memenuhi electoral threshold berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tetap diperkenankan langsung menjadi peserta Pemilu 2009.

Di luar soal peluang menang-kalah dalam pemilu mendatang, soal memberi tanda atau mencoblos di surat suara pun bisa masuk menjadi materi penting dalam lobi antarpimpinan fraksi.

Bagi F-PG, usul yang pertama kali dimunculkan ketua umumnya itu mau tidak mau harus diperjuangkan. Soal efisiensi boleh dikedepankan sebagai alasan sekalipun disanggah dengan argumentasi kubu lain bahwa rakyat telah terbiasa dengan cara mencoblos surat suara.

Ketakutan?

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menyebutkan, kebuntuan pembahasan menunjukkan kecemasan yang sangat tinggi dari parpol yang tidak ingin berkurang peluang suaranya pada Pemilu 2009.

Hal tersebut memperjelas bahwa parpol masih mengedepankan kepentingan sendiri dalam penyusunan RUU dan menggadaikan kepentingan masyarakat banyak, terutama KPU. Terlalu banyak kompromi yang mengorbankan konsistensi pengaturan dalam memper- kuat sistem pemilu dan kepartaian.

Apakah artinya semua ini? Benarkah parpol sedang bertarung melawan ”bayang-bayang” karena hasil Pemilu 2004 seolah menjadi hantu yang menakutkan.

Simulasi intensif dilakukan dengan rujukan hasil pemilu lalu, seolah dalam lima tahun semuanya statis. Seorang kader parpol besar menilai, pertarungan seolah-olah tidak ada perubahan di masyarakat pemilih. Seolah-olah selama ini parpol sama sekali tidak bersaing untuk mendongkrak perolehan suaranya.

Jadi, apakah semua perdebatan menjadi bukti kepintaran memprediksi? Atau memang semua parpol takut tidak lagi mendapatkan kepercayaan memadai dari rakyat? Karena takut pemilih lari sehingga mesti dibuat peraturan agar kursi parlemen bersedia menghampiri?

Uhuy….

No comments: