Wednesday, March 26, 2008

Kasus BLBI Harus Kedepankan Hukum

Kasus BLBI Harus Kedepankan Hukum
Selasa, 25/03/2008

JAKARTA (SINDO) – DPR hari ini kembali menggelar sidang paripurna. Dalam agenda terakhirnya, paripurna berisi tanggapan pengusul dan anggota DPR atas keterangan pemerintah di sidang paripurna interpelasi I Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diselenggarakan pada 12 Februari lalu. Sejumlah fraksi dipastikan bakal meminta pemerintah mengesampingkan pendekatan politik dan mengedepankan proses hukum dalam penyelesaian kasus BLBI. Salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang berharap pascainterpelasi, pemerintah bisa bergerak cepat menuntaskan kasus itu.

Ketua FPKS Mahfudz Siddiq menyatakan memberikan batas waktu tiga bulan kepada pemerintah untuk memproses secara hukum para obligor BLBI. Jika dalam rentang waktu tersebut tidak ada progres positif, FPKS akan menyiapkan langkah politik lanjutan di DPR.’’Bisa hak angket bisa juga yang lain.Namun,kami akan liat progresnya selama tiga bulan terlebih dahulu,” tuturnya saat dihubungi SINDO sebelum pelaksanaan sidang paripurna pukul 09.30 WIB,pagi tadi. Sidang paripurna yang dimulai pukul 10.00 WIB hari ini memiliki tiga agenda. Selain masalah BLBI, paripurna juga mengesahkan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik serta penetapan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Paripurna soal BLBI ini dijadwalkan berlangsung pukul 14.00 WIB. Lebih jauh, Mahfudz Siddiq berpandangan, penyelesaian kasus BLBI oleh pemerintah dengan menggunakan pendekatan politik harus segera diakhiri. Menurut dia,mulai saat ini pemerintah harus menggunakan pendekatan hukum. Jangan sampai kasus ini semakin ’’kabur’’ dan negara terus dirugikan karena menanggung beban utang luar negeri akibat ulah para ’’konglomerat hitam’’ tersebut. ’’Yang lalu biarlah berlalu. Pemerintah sekarang harus membuka lembaran baru.Tidak ada lagi pendekatan politik untuk menuntaskan kasus ini,”paparnya.

Selain mengupayakan proses hukum terhadap para obligor BLBI,Mahfudz juga meminta KPK segera menyelidiki secara tuntas dugaan kasus suap Sjamsul Nursalim terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan. KPK diminta objektif dan tegas mengusut siapa pun yang terlibat, tidak terkecuali para pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung (Kejagung). Pada sidang interpelasi DPR sebelumnya, para wakil rakyat di parlemen sempat dibuat kecewa oleh pemerintah. DPR melakukan protes keras. Penyebabnya, presiden tidak hadir dan jawaban pemerintah tidak ditandatangani langsung kepala negara. Ketika itu,jawaban pemerintah hanya ditandatangani Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Widodo AS.

Mereka yang diutus presiden untuk hadir dalam sidang paripurna I adalah Menko Perekonomian Boediono, Menhukham Andi Mattalatta,Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Menkeu Sri Mulyani, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Mensesneg Hatta Rajasa, dan Kepala BPKP Didi Widayadi. Senada dengan FPKS, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) mendesak pemerintah membuka kembali kasus BLBI yang sempat ditutup Kejagung. Ketua FPAN Zulkifli Hasan menyebut tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK menunjukkan adanya kejanggalan dalam penyelesaian kasus ini. ’’FPAN menuntut pemerintah agar skandal BLBI itu dibuka kembali,” ujarnya kepada SINDO pagi tadi.

Menurut Zulkifli, jika BLBI tidak dibuka kembali, masyarakat akan terus bertanya-tanya. Hal itu akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. Ketidakmampuan pemerintah dalam menuntaskan kasus BLBI ini juga menjadi preseden buruk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). ’’Pemerintah tidak punya pilihan lain,kecuali menuntaskan kasus BLBI ini di tengah sorotan tajam publik. Rakyat sudah mengetahui adanya permainan dari para obligor nakal kasus BLBI itu,”ungkapnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN ini menambahkan, tidak mudah untuk menyelesaikan kasus BLBI.Penyebabnya,kasus BLBI itu sudah lama terjadi. Zulkifli menilai diperlukan kerja keras dari aparat penegak hukum, baik Kejagung atau kepolisian untuk membuktikan terjadinya kerugian negara akibat BLBI.

Sebelumnya, Kejagung menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi BLBI atas obligor Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Alasannya, Kejagung tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo menyatakan, fraksinya akan mengkaji terlebih dahulu jawaban pemerintah atas interpelasi yang disampaikan DPR. FPDIP ingin mengetahui siapa saja yang masuk daftar obligor yang kooperatif dan obligor tidak kooperatif. Bagi obligor yang tidak kooperatif, fraksinya meminta pemerintah bersikap proaktif dengan menggiringnya ke proses hukum.

’’Hal ini sesuai hasil Panja Komisi III DPR (Hukum) dan Komisi IX DPR (sekarang Komisi XI, bidang Keuangan) yang memberikan rekomendasi agar Kejagung memprosesnya,”paparnya. Bagi obligor yang kooperatif, ungkap salah satu Ketua DPP PDIP ini, pemerintah harus bisa menjamin adanya pengembalian aset. Pengembalian aset ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan cara mencicil.’’Intinya, ada goodwilldari para obligor dan political will dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini,”ujarnya. (arif budianto/ eko budiono)

No comments: