Wednesday, March 19, 2008

Debat Buta Huruf & Orang Gila

Syarat Sarjana Bagi Capres (1)
Debat Buta Huruf & Orang Gila
Deden Gunawan - detikcom
Jakarta - Dua universitas sudah disinggahi
Megawati dalam menimba ilmu. Tahun 1965
ia berkuliah di Fakultas Pertanian
Universitas Padjajaran, Bandung. Namun
dua tahun kemudian, 1967, ia keluar dan
tidak melanjutkan lagi studinya.
Tiga tahun kemudian, ia kembali ke kampus
dan berkuliah di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Tapi seperti
sebelumnya, di kampus, Yang dulu
berjargon "kampus perjuangan orde baru" ia
hanya duduk selama dua tahun. Aktivis
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), yang kini menjadi Ketua Umum
PDIP, kemudian droup out dari kampus itu
tahun 1972.
"Saya saat itu bukan tidak bisa
menyelesaikan kuliah karena drop out atau
tidak mampu, tapi karena waktu itu tidak
dibolehkan untuk menyelesaikan kuliah,"
ujar Mega saat memberi sambutan di
peresmian kantor DPD PDI Perjuangan
Provinsi Lampung, awal Februari silam.
Ia tidak secara gamblang menjelaskan siapa
pihak yang menghambat kuliahnya itu. Tapi menurutnya, saat ayahnya, Bung
Karno, sudah tidak lagi menjadi presiden, kondisi keluarganya banyak
mengalami tekanan.
Bahkan setelah Bung Karno meninggal dunia, seluruh keluarganya dilarang
untuk berorganisasi, berbisnis, juga kuliah. Akhirnya jenjang pendidikan
tertinggi di Curriculum Vitae Megawati hanya sampai SMA.
Sekalipun kuliahnya tidak tamat, bagi Megawati itu tidak masalah. Alasannya,
Soekarno pernah berpesan padanya, belajar dan menggali ilmu pengetahuan
dan teknologi, bisa dimana saja. Tidak harus dari sekolah. Bisa belajar sendiri
atau otodidak. Pesan itu hingga sekarang masih dipegangnya. Apalagi dalam
perjalanan hidupnya, ia sempat menduduki kursi wapres dan presiden,
sekalipun tidak bergelar sarjana.
Tapi belakangan syarat sarjana S-1 bagi setiap calon presiden kembali muncul
ke permukaan. Dan ketentuan ini bikin ketar-ketir kubu Megawati. Soalnya,
bila usulan ini disepakati maka upaya Megawati merebut kursi presiden dalam
pilpres 2009, bisa bablas.
Usulan yang sama pernah mengemuka tahun 2003, di pembahasan RUU
Pilpres waktu itu, sekarang dirilis ulang oleh Fraksi PAN dan Fraksi PKS
menjelang pembahasan RUU Pilpres yang akan dibahas Juli mendatang.
Kedua fraksi ini menilai, syarat S-1 bagi capres dianggap penting. Setidaknya
untuk menjawab tantangan masa depan bangsa.
"Kita ingin perubahan. Setidaknya kalau dulu capres hanya berijazah SMA
sekarang harus sarjana," jelas Ketua Fraksi PAN, Zulkifi Hasan kepada
detikcom. Selain harus sarjana, FPAN dan FPKS juga mengusulkan syarat
sehat dan muda untuk capres.
Dengan peningkatan strata pendidikan, imbuh Zulkifli, setidaknya bisa
meningkatkan kualitas capres mendatang. "Dalam penerimaan pegawai negeri
saja ada syaratnya. Apalagi presiden,"ujar Zulkifli.
Sekalipun usulan ini baru digadang dua fraksi, sinyal dukungan terhadap
syarat bertoga S-1 bagi capres sudah terlihat. Ketua DPR Agung Laksono
menyambut positif wacana ini. Agung yang juga Wakil Ketua Umum Partai
Golkar melihat, soal strata pendidikan bagi calon presiden harus ada
peningkatan. "Memang seharusnya ada progres dalam syarat menjadi
presiden," kata Agung kepada wartawan di Gedung DPR, pekan lalu.
Secara umum, menurutnya, Golkar menginginkan tidak terlalu banyak
perubahan di RUU Pilpres. "Kalaupun ada perubahan kami menginginkan agar
ada peningkatan dari waktu ke waktu. Jangan SMA turun ke SMP, turun keSD." ungkap Agung. Namun demikian, lanjutnya, Golkar masih perlu
membahas secara detail usulan mereka atas RUU Pilpres.
Tapi pernyataan Agung tidak seiring dengan keinginan kader beringin yang
lain di DPR. Sebab Fraksi Partai Golkar yang terlibat dalam pembahasan RUU
Pilpres mengaku, tidak akan mengusulkan perubahan syarat capres. "Kita tidak
ingin ada kesan menghambat seseorang yang ingin maju di Pilpres 2009,"
jelas Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR dari Golkar, yang jadi Ketua
Pansus RUU Pilpres.
Pihak yang dimaksud Ferry tentu capres dari PDIP. Sebab bila syarat ini
dimunculkan jelas akan mengandaskan keinginan kubu partai belambang
kepala banteng untuk menggadang sang ketua umum, menjadi capres. Sebab
Megawati hanya berijazah SMA.
Apakah gelar sarjana bisa menjamin seseorang memimpin bangsa?
Pertanyaan ini meluncur dari Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo. Dalam
pandangannya, seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa
mempersatukan seluruh komponen bangsa, bukan dilihat dari latar belakang
pendidikannya.
Aria Bima, kader banteng yang lain menimpali, asal tidak buta huruf, setiap
warga negara berhak maju sebagai presiden. Sebab, lanjut Aria, jabatan
Presiden bukan posisi teknis yang memiliki keahlian tertentu. "Seorang
presiden tidak harus sarjana. Tapi punya visi untuk membangun bangsa,"
tegas Aria Bima.
Ia memberi contoh, presiden yang bergelar sarjana, bahkan doktor justru tidak
mampu mengatasi masalah yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Presiden
yang dimaksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang meraih gelar
doktor di bidang pertanian dari IPB, 2 Oktober 2004. Sekalipun ia seorang
doktor di bidang agrobisnis, kata Aria, SBY ternyata tidak mampu mengatasi
kelangkaan minyak goreng dan masalah kedelai.
Aria kemudian menganggap, wacana syarat sarjana bagi capres hanya
sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap pembahasan RUU Pilpres.
Pemerintah melalui partai pendukungnya berupaya menjegal lawan politiknya
di tengah jalan," begitu kata Aria.
Namun Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq membantah kalau usulan fraksinya
bertujuan menjegal lawan politik. Ia berharap, upaya yang dilakukan hanyalah
mencari format pemimpin yang baik.
"Kalau memang sarjana saja tidak ada jaminan, apalagi kalau pendidikannya di
bawah sarjana," ujar Mahfudz. Lanjutnya, bagaimanapun, dengan berbekal
pendidikan formal setidaknya bisa membentuk struktur berpikir dan menjadi
parameter kemampuan dari seorang calon presiden.
Ia juga merasa heran bila batasan yang diusulkan dianggap sebagai upaya
penjegalan. Argumentasi Mahfudz, jika tidak ada pembatasan, berarti seorang
capres bisa berasal dari semua usia. Bahkan orang gila sekalipun bisa
mencalonkan diri sebagai presiden. ( ddg / iy )

No comments: