Editor: Heru Margianto
Senin, 31 Januari 2011 | 12:54 WIB
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Mantan Presiden BJ Habibie memberikan kuliah umum dengan tema Indonesia 2045: Super Power Baru (Membangun Peradaban Indonesia Berbasis Iptek dan Imtak) di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/11/2010). Habibie mengatakan pentingnya pemberdayaan manusia Indonesia sejak dini untuk mempersiapkan Indonesia di masa depan.
JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar teknologi dirgantara yang juga mantan presiden, Prof BJ Habibie, menegaskan, Indonesia harus menguasai dua teknologi utama yakni maritim dan dirgantara apabila ingin menjadi bangsa yang besar.
Saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR di gedung DPR, Jakarta, Senin (31/1/2011), Habibie menuturkan, gagasan itu berasal dari Presiden RI Soekarno yang saat itu menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus menjadi bangsa besar dengan menguasai teknologi pembuatan kapal laut serta mampu menguasai, mengembangkan, dan mandiri.
"Mandiri waktu itu belum dipakai karena beliau (Soekarno) memakai kata berdiri, yaitu produk teknologi dirgantara," ujar Habibie.
Selanjutnya, Habibie mengatakan, komitmennya membangun industri dirgantara di Indonesia bukan karena dipanggil Presiden Soeharto atau ingin menjadi menteri.
"Sebenarnya Pak Harto pun hanya melanjutkan penuturan dan keinginan Presiden Soekarno itu," ujarnya seraya menambahkan bahwa dirinya benar-benar ingin membangun dan mengembangkan industri pesawat di Indonesia, sementara posisi presiden yang pernah disandangnya itu tidak penting.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq itu, Habibie mendefinisikan makna industri strategis sebagai industri yang bisa membangun bangsa. Industri itu bukan hanya dibangun dan dimanfaatkan untuk pertahanan saja.
Prihatin
Oleh karena itu, ia merasa prihatin ketika visi pembangunan teknologi yang dijalankan bangsa ini adalah mencari keuntungan sesaat, bukan kemandirian. Menurut dia, kalau yang dicari hanya keuntungan sesaat, hal itu sama artinya dengan menjalankan "skenario VOC".
"Industri strategis terhenti perkembangannya karena tidak didukung bantuan anggaran pemerintah. Karena yang dicari keuntungan dalam dollar AS, kalau begitu ya bikin saja dagang. Bikin saja pabrik perwakilan mereka (asing)," ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Habibie mengartikan globalisasi itu sebagai pakaian baru untuk kolonialisasi. "Saudara, saya orang tua, tapi saya tidak buta. Saya harus katakan kepada Anda, Anda harus bangkit," ujarnya.
Hal lain yang juga memprihatinkannya adalah terbengkalainya Puspitek. Tempat itu, katanya, tidak lagi digunakan untuk laboratium uji teknik, tapi malah ada ide untuk dijadikan lapangan golf.
"Saya menantang, kalau berani dibuat lapangan golf, maka saya akan berdiri. Kita harus terus belajar. Kita tidak hanya belajar dari kebaikan, tapi juga dari kesalahan, bagaimana agar tidak terjadi kesalahan lagi," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Habibie menyatakan bersyukur diundang DPR sebagai narasumber untuk memberikan masukan dalam penyusunan RUU usul inisiatif DPR tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis untuk Pertahanan.
"Saya bersyukur hadir di sini sebagai pembicara, narasumber, saya kira itu tepat, bukan sebagai mantan presiden. Saya malu kalau datang ke sini karena pernah memimpin bangsa Indonesia. Tapi kalau saya diundang ke sini, sebagai orang tua yang dikasihi oleh semua anak bangsa, maka saya bersyukur," ujarnya.
No comments:
Post a Comment