Monday, August 24, 2009

Tanpa "Oposisi", Makna Hilang

Tanpa "Oposisi", Makna Hilang
Pemerintahan Berpotensi Sulit Dikontrol

Kompas, Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:23 WIB

Jakarta, Kompas - Kerekatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan Partai Demokrat bisa riskan untuk keberlangsungan demokrasi Indonesia. Jika PDI-P masuk ke koalisi pemerintahan Yudhoyono, demokrasi Indonesia bisa berjalan tanpa kontrol dan hanya akan mengembalikan otoritarianisme.

Ketua Pedoman Indonesia M Fadjroel Rachman, Jumat (21/8), menegaskan, demokrasi tanpa oposisi adalah ”demokrasi kuburan”, yang sunyi senyap tanpa kritik dan tanpa program alternatif. Masalah terbesar bagi ”oposisi” di parlemen adalah tidak adanya undang-undang tentang hak dan kewajiban sebagai oposisi, termasuk kewajiban membuat kabinet bayangan.

Menurut Fadjroel, selama ini PDI-P hanya sampai tingkat ”seolah-olah” menjadi oposisi karena tanpa hak dan kewajiban apa pun. Akibatnya, menjadi oposisi tak berharga dan semua partai politik memburu kursi di kabinet. Kondisi seperti itu taruhannya amat mahal, yaitu kehancuran demokrasi dan bahaya otoritarianisme.

Sementara Ketua Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menyebutkan, persatuan tidak harus dimaknai dengan akomodasi terhadap semua kekuatan politik untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Langkah merangkul semua pihak memang akan menguatkan stabilitas politik. Namun, prinsip saling kontrol juga membutuhkan unsur kekuatan politik yang ada di luar pemerintahan, melakukan peran oposisi di dalam atau di luar parlemen.

Hal senada disampaikan pengajar politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, Jumat. Menurut dia, pemerintahan periode 2009-2014 berpotensi sulit dikontrol dan mudah disalahgunakan jika semua kekuatan politik masuk ke dalamnya. Tiadanya pihak yang mau menjadi oposisi di pemerintahan juga menunjukkan, tujuan utama elite politik Indonesia hanya memperoleh kekuasaan.

”Demokrasi mensyaratkan adanya kontrol dan ini diharapkan dari pihak yang kalah dalam pemilu. Untuk itu, mereka sebaiknya berada di luar kekuasaan dan sikap itu juga untuk menunjukkan konsistensi sikap. Hal yang tidak logis dalam demokrasi jika semua pihak akhirnya bersatu di pemerintahan,” katanya.

Arbi melihat, ajakan Yudhoyono itu dapat menjadi tanda kegamangannya hingga perlu mengajak partai yang selama ini beroposisi seperti PDI-P untuk masuk ke pemerintahannya.

Namun, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari memperkirakan, stabilitas yang terbangun tidak akan seperti yang terjadi di era Orde Baru. ”Perubahan sikap di dalam partai pendukung pemerintah tetap akan terjadi, terutama terhadap isu yang menyangkut ideologi dan populis, seperti tentang kenaikan harga bahan bakar minyak atau ekspor beras sehingga, meski mampu mengikat semua partai politik, koalisi yang terbentuk tetap tidak akan permanen,” papar Qodari.

Dinamika itu akan makin kuat pada tahun keempat dan kelima pemerintahan atau pada tahun 2013 dan 2014. Sebab, saat itu partai politik akan mengambil berbagai sikap, seperti keluar atau setengah hati bergabung dengan pemerintahan.

Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Haryadi, di Surabaya, juga menilai, kuatnya pemerintahan hasil koalisi besar yang digalang seluruh kekuatan politik akan menghasilkan pemerintahan yang mudah melakukan korupsi kekuasaan.

Jika koalisi besar diarahkan untuk kebaikan rakyat, hal itu mengoptimalisasi kinerja pemerintah dalam memberikan layanan publik. Sebaliknya, jika arah koalisi terhenti pada kekuasaan semata, hal itu akan menjadi petaka bagi rakyat.

Dalam sistem politik Indonesia, lanjutnya, sulit mengharapkan komitmen elite politik bagi kepentingan publik. ”Ini akan melahirkan korupsi kewenangan,” katanya. (DIK/MZW/NWO)

No comments: