ANALISIS: PKS gigit jari!
WASPADA ONLINE, 6 Agustus 2009
Isyarat bahwa kabinet pemerintahan SBY-Boediono akan diisi oleh kalangan profesional nonpartai kini makin kuat. Bila benar, ini jelas akan membuat kalangan partai politik gigit jari. Atas nama profesionalitas, SBY bisa saja menyingkirkan peran partai politik dari pemerintahannya.
Sengketa pemilu presiden yang kini disidang di Mahkamah Konstitusi (MK) sama sekali tak menghentikan perbincangan penyusunan kabinet SBY-Boediono lima tahun ke depan. Bila sebelumnya, SBY menegaskan belum berpikir menyusun kabinet, kini presiden terpilih itu mulai menunjukkan clue soal siapa yang bakal direkrutnya dalam cabinet pemerintahan 2009-2014 mendatang.
Dalam keterangan persnya di halaman Istana Presiden, SBY menegaskan, pikirannya tak jauh berbeda dengan pandangan pengamat, analis, maupun rakyat tentang harapan pembentukan kabinet yang profesional.
“Saya juga mendengarkan banyak sekali pandangan dari saudara-saudara kita, dari publik, dari pengamat, dan dari rakyat, yang kira-kira kalau saya pahami, kabinet mendatang betul-betul kabinet kerja, kabinet yang profesional, kabinet yang bisa menjalankan tugas dengan baik. Saya kira cocok dengan apa yang saya pikirkan juga,” kata SBY, kemarin.
Kabinet yang ia susun kelak diharapkan tidak dijadikan ajang dagang sapi serta presiden terpilih jangan sampai didikte oleh partai politik. “Saya juga mendengar jangan sampai menjadi dagang sapi, jangan sampai presiden terpilih itu didikte oleh partai-partai politik untuk mewadahi jago-jagonya,” tambah SBY.
Pernyataan SBY memang kontekstual dengan sistem presidensiil yang dianut di Indonesia. Pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Meskipun, semangat ini menjadi berbenturan dengan semangat koalisi yang dibangun oleh partai politik pendukung. Pernyataan SBY itu juga seolah mengukuhkan rumors soal perebutan kursi kabinet oleh kalangan tentara, alumni Amerika, hingga kalangan partai politik.
Menurut ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq, semangat profesionalime dalam menyusun kabinet yang diusung oleh SBY adalah sebuah keniscayaan. Tapi jangan sampai dibenturkan dengan peran partai politik pendukung, sehingga memicu tafsiran bahwa partai politik itu tidak profesional. “Padahal, partai politik juga punya SDM yang profesional,” tegas Mahfudz, hari ini.
Terkait wacana dikte dari partai politik, Mahfudz mengamini pernyataan SBY. Kendati ia berharap, dalam koalisi juga harus ada komunikasi dua arah antara partai pendukung dengan presiden terpilih. “Dengan segala hak prerogatif presiden, partai politik harus diminta pandangannya, sehingga ada rumusan yang disepakati,” ujarnya.
Jika merujuk perkembangan sebelumnya, komunikasi politik di internal koalisi SBY-Boediono memang tak sepenuhnya berjalan mulus. Penunjukkan Boediono sebagai cawapres SBY kala itu juga menuai reaksi keras dari beberapa partai politik pendukung seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB.
Alasannya, penunjukkan Boediono itu dilakukan tanpa melibatkan partai politik peserta koalisi. Meskipun, pada akhirnya partai politik tak punya pilihan lain keculai berbalik mendukung pilihan SBY.
Situasi ini seperti menjadi tes pasar oleh SBY terhadap partai pendukungnya. Selain karena modal politik yang dimiliki melalui Partai Demokrat berlimpah, pilihan cawapres Boediono oleh SBY diduga kuat untuk memperkuat sistem presidensiil.
Di sisi lain, dengan langkah itu seolah SBY ingin menunjukkan kepada partai politik peserta koalisi bahwa dirinya tidak bisa diatur-atur lagi oleh partai politik, sebagaimana pernah terjadi dalam penyusunan cabinet pemerintahan periode 2004-2009.
Menurut Mahfudz, semangat yang dibangun sejak awal dalam koalisi SBY-Boediono adalah perbaikan manajemen koalisi. Apalagi melihat pengalaman lima tahun terakhir, manajemen komunikasi itu tidak maksimal. “Sehingga harapannya dalam pembentukan kabinet mendatang tidak ada lagi kendala komunikasi yang berpotensi kontraksi politik,” tambahnya.
Secara terpisah, wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Ahmad Mubarok menampik adanya rumors soal pembentukan kabinet dari jalur tentara, lulusan AS, dan partai politik. “Tidak ada jalur-jalur seperti itu, yang ada profesional dan partai politik. Nah, untuk profesinal diambil dari mana saja, bisa saja dari tentara atau dari lulusan mana saja,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, tidak ada pertarungan di internal pendukung SBY-Boediono untuk memasukkan nama untuk duduk di kabinet mendatang. Bila pun terdapat pertarungan, Mubarok menyebutkan, justru pertarungan ada di luar ring. “Pertarungan ada di luar ring, seperti percaloan, namun tidak ada hubungan dengan SBY,” tegasnya.
Atas nama profesionalisme, sistem presidensiil, serta hak prerogatif presiden, SBY sepertinya dengan mudah menyusun kabinet mendatang. Meskipun, di saat yang bersamaan, bibit disharmoni di koalisi SBY-Boediono akan retak. Apalagi, bila kerja keras parpol dalam pilpres kemarin benar-benar memaksa kalangan parpol gigit jari.
No comments:
Post a Comment