Syaefudin Simon
# Mahasiswa Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta
Jika Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkoalisi, akankah negeri ini makin baik? Pertanyaan itulah yang tersembul dalam pikiran banyak orang. Partai Golkar punya sejarah kelam: lebih dari seperempat abad memerintah Indonesia dengan hasil negara terlilit utang ratusan triliun rupiah. Bangunan ekonomi buatan Partai Golkar yang wah ternyata berfondasi pasir. Begitu terguncang krisis, semuanya ambruk. Sampai saat ini ekonomi Indonesia yang ambruk itu belum pulih.
Tapi, di antara setumpuk masalah, yang paling sulit untuk mengatasi masalah pembangunan Indonesia adalah memperbaiki kehancuran mental dan jatuhnya kredibilitas pemerintah di mata rakyat akibat sistem pemerintahan yang berbasis korupsi-kolusi-nepotisme (KKN). Dampaknya, rakyat tidak percaya pada hukum dan keadilan. Tak ada kehancuran paling parah dari sebuah bangsa dan negara, kata Aristoteles, selain hancurnya hukum dan keadilan. Dan itulah yang terjadi di Indonesia ketika Partai Golkar memerintah.
Lantas, bagaimana dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)? Partai ini pada awalnya menjadi harapan rakyat. Pilihan menjadi oposisi yang menantang rezim Orde Baru menjadikan partai ini sebuah tumpuan: memperbaiki kerusakan negara akibat KKN kronis. Hasilnya? Selama memerintah, sekitar dua tahun, tak ada gebrakan apa pun di era PDIP tersebut. Alih-alih mau memberantas korupsi, yang terjadi malah ikut-ikutan korupsi. Pengakuan Agus Condro Prayitno, anggota DPR dari Fraksi PDIP, bahwa dia dan teman-temannya sefraksi di Komisi IX menerima angpau Rp 500 juta--berupa 10 lembar cek pelawat masing-masing Rp 50 juta--dari Miranda Goeltom dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada 2004, menguak kebobrokan PDIP di Senayan. Pengakuan Agus itu ternyata direspons PDIP dengan sangat aneh. Agus dipecat karena dituduh mencemarkan nama baik partai. Tapi sayang, tindakan pimpinan PDIP itu jadi bumerang. Soalnya, apa yang dilaporkan Agus ke KPK ternyata benar. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan telah menemukan lebih dari 400 lembar cek pelawat senilai masing-masing Rp 50 juta yang telah dicairkan anggota DPR beberapa hari setelah Miranda terpilih sebagai Deputi Gubernur BI.
Pengakuan Agus hanyalah puncak gunung es dari megakorupsi yang telah dilakukan kader-kader PDIP di Senayan. Ini belum termasuk sejumlah deal korup lain yang muncul di rezim Megawati. Kontrak penjualan gas dari Lapangan Tangguh, Papua, kepada Cina (dengan harga US$ 2,4 per mmBtu selama 25 tahun), yang amat merugikan pemerintah Indonesia, terjadi di zaman Megawati. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, kontrak penjualan gas Tangguh ke Cina merupakan kontrak terburuk dalam sejarah dan Indonesia berpotensi dirugikan Rp 750 triliun jika kontrak itu tidak diubah.
Pengamat migas Dr Kurtubi menduga dalam perjanjian kontrak itu ada kolusi yang berbuntut korupsi. Sejak awal, kontrak gas Lapangan Tangguh itu mencurigakan, kata Kwik Kian Gie, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Perekonomian. Kwik mengaku tak tahu-menahu perihal kontrak gas Tangguh. Padahal seharusnya Menko Perekonomian terlibat di dalamnya, karena hal itu bagian dari tugasnya. Perlu diingat pula berbagai kasus antinasional yang marak di zaman PDIP memerintah, seperti penjualan Indosat ke Singtel Singapura dan penjualan sejumlah perbankan nasional ke pihak asing. Dua komponen ekonomi negeri yang sangat strategis untuk kepentingan nasional--telekomunikasi dan perbankan--ironisnya justru dijual oleh rezim PDIP ke perusahaan asing. Padahal PDIP mengklaim dirinya sebagai partainya wong cilik yang berideologi nasionalis.
Perlu dicatat pula: pembubaran Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) juga terjadi di zaman Megawati. Padahal saat itu komisi tersebut sudah mulai menunjukkan taringnya. Rezim Megawati tampaknya takut KPKPN akan mengaduk-aduk pula korupsi yang dilakukan kader-kadernya. Hasilnya, seperti kita ketahui, komisi yang diketahui Yusuf Syakir itu akhirnya dibubarkan. Gantinya, KPK. Tapi harap ingat: KPK di era Megawati praktis lumpuh. Bandingkan dengan KPK di zaman SBY, yang berani mengaduk-aduk bupati, gubernur, dan DPR. KPK di zaman Mega nyaris tak pernah berbuat apa-apa. Alasan yang pantas untuk menjawab mengapa kondisi KPK di zaman Mega lumpuh adalah, rezim PDIP itu sendiri bersahabat dengan korupsi.
Dengan melihat gambaran itu, apa yang akan terjadi jika kedua partai itu bergabung? Logikanya, korupsi makin besar! Taufiq Kiemas, sesepuh PDIP, menyatakan koalisi Golkar dan PDIP akan membuat pemerintah stabil. Stabil mendiamkan korupsi dengan memecat kader yang berjasa menguak korupsi seperti Agus?
Itulah sisi buram koalisi Partai Golkar-PDIP. Dua partai ini sebetulnya punya massa yang besar. Partai Golkar, misalnya, punya massa besar peninggalan rezim Orde Baru yang diuntungkan korupsi itu. PDIP pun punya massa besar karena berhasil menggandeng rakyat yang benci terhadap korupsi rezim Orde Baru. Namun, ketika memegang kekuasaan, kelakuan PDIP nyaris sama dengan Partai Golkar: korup. Dalam kasus Miranda S. Goeltom di atas, misalnya, menurut berita valid yang beredar di Senayan, ternyata yang menerima suap dari Miranda adalah anggota-anggota DPR Komisi IX dari Fraksi PDIP dan Partai Golkar. Anggota Komisi IX dari fraksi lain, seperti Fraksi Reformasi, ternyata tak mau menerimanya. Tak salah kiranya jika ada orang menuduh fraksi besar PDIP dan Partai Golkar di Senayan adalah tempat bersemayam sebagian koruptor.
Nah, sekarang wacana apa yang muncul di benak rakyat jika dua partai ini bergabung? Kita, rakyat awam, berharap dua partai besar ini tidak berkoalisi. Sejarah telah mencatat kiprah dua partai besar ini ketika memegang kekuasaan. Bisa kita bayangkan jika keduanya berkoalisi dan memerintah.
Melihat gelagat akan gagalnya koalisi Partai Golkar-PDIP itu--karena perseteruan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Megawati dalam soal kontrak harga gas Tangguh--kini PDIP mendekat ke PKS. Sementara dulu Taufiq Kiemas berwacana bahwa koalisi partai nasionalis besar (Partai Golkar-PDIP) akan menstabilkan negara, kini orang yang sama bilang koalisi nasionalis-Islam (PDIP-PKS) akan lebih baik bagi kelanjutan bangsa. Taufiq rupanya menihilkan wacana dari kader-kader PKS yang bersih: jika nila setitik merusak susu sebelanga, bagaimana jika nilanya lebih banyak daripada susu? *
Wednesday, September 24, 2008
Tuesday, September 23, 2008
Think twice before passing the pornography bill
Jakarta Post, Opinion and Editorial - September 22, 2008
Bramantyo Prijosusilo, Ngawi, East Java
Just as observers were commending the Prosperous Justice Party (PKS) for distancing itself from the exclusive Islamism it is often associated with, the disappointing news that the party's faction in parliament is pushing for the controversial pornography bill to be passed, emerges (The Jakarta Post, Sept. 12, 2008). Critics of PKS such as journalist Sadanand Dhume warn that in the long term, the PKS is the most serious Islamist threat to Indonesia's historic pluralism. We hope Dhume is wrong, but the actions of PKS parliamentarians sadly suggest that he may be right.
Critics have pointed out too many flaws in the bill, including the vague definition of pornography and its provision that opens the way for individuals and groups to take part in "preventive measures" against pornography. Considering that this provision will legalize anti-porn vigilantism, it beggars belief that PKS, which enjoys an image of being an "intellectual" party, should support it at all.
Mahfudz Siddiq, chair of the PKS faction in the House, said Indonesia was in urgent need of a pornography law due to widespread moral decadence. As the main evidence of Indonesia's moral decadence must be the rampant corruption in respectable institutions such as the Parliament, the Attorney General's office and the banking system, it is difficult to understand how a pornography bill will improve our nation's morals, especially where improvement is desperately needed.
When European artists raised in Victorian values first visited Java and Bali many of them felt liberated by the relaxed attitude people here had towards sexuality and nudity. Though nudity is now much less common than it was at the beginning of the last century, many Indonesian ethnic groups and sub-cultures still enjoy their age-old innocence.
Our indigenous people who have a different sense of decency in apparel than the mainstream Islamic dress code will be humiliated and alienated by this code. People of Papua, for example, who are accustomed to a degree of nudity, will be made to feel morally inferior. The bill will make criminals of artists who study the nude figure, poets who evoke erotic visions, filmmakers who show too much flesh and novelists who describe scenes of lovemaking.
The bill further defines pornography as things that "can arouse lust and lead to the violation of normative values within society; and it can cause the development of pornographic acts within society". How vague can the definition of "arousing lust" be? If you Google the words jilbab and porno, the Indonesian word for porn, in less than a second over 200,000 sites will be made available for you to browse through. This indicates that for a great number of people, the jilbab head cover is sexy and arouses lust. Would it be reasonable to imagine that the bill will ban the jilbab because some men lust after women who wear it?
It is true that Indonesia has seen horrific scenes of sexual violence. The mass rapes suffered by ethnic Chinese women in Jakarta during the May 1998 riots are undoubtedly the worst examples of sexual violence that we have experienced. Did these rapes have anything to do with the consumption of pornography?
Reports from those horrific days told of mobs chanting holy names of God while they pillaged and raped. If chanting the hallowed names of God sexually aroused the mobs that raped the ethnic Chinese women in Jakarta during the riots of the fall of Soeharto, should the bill ban the chanting of God's names?
Lust is something that is aroused inside a person's mind and though outside stimuli can spark the arousal, it is irrelevant to what goes on inside the mind of the aroused. Therefore, it is very foolish to pass a law that attempts to regulate lust, as anything can become an object of desire. It is not what the senses perceive -- rather it is what the mind thinks which makes one lustful.
Of course, no one in his or her right mind would support the idea that porn should not be regulated at all. Even in liberal democracies sexy magazines are displayed on the highest shelf where only adults can reach them, porn shops only serve adults and porn shows are for adults only. The Soho area of London's West End is famous for its sex joints, but an observation of the customers of sleaze there will show that most customers are tourists, many from religious countries where sexuality is repressed.
The urgency to pass a law on pornography here is political rather than real. Playing the pornography card is an easy way to elicit sympathy from the vocal minority of the Islamist masses. It is the same shameless reason that drove several politicians and a cabinet minister to visit the self-proclaimed defender of Islam, Rizieq Shihab, in police custody, accused of inciting violence.
There are so many other urgent issues that Parliament should concern itself with, such as corruption in Parliament or the question of bringing in more participation and transparency in development budgeting and planning. If we look at our media, we see that graphic violence in our television shows and in our society is much more intense than sex. Disturbingly violent police anti-crime shows are commonly aired during the times when small children are often glued to the television.
PKS parliamentarians should take a step back and listen to the critics of the pornography bill because the critics sincerely have the best interests of the nation on their minds. While the supporters of the pornography bill do not seem to care that the bill defines porn in such dangerously vague terms, its critics are justifiably concerned that the bill will bring more harm than good.
As a party that grew out of Islamic student discussion groups, PKS should not be promoting a bill that is completely devoid of intellect. Pushing this bill might endear PKS to the small minority of Islamists who delight in intimidating other members of society, but it will alienate rational and reasonable Muslims.
The writer is an artist and former journalist. He can be reached at bramn4bi@yahoo.com
Bramantyo Prijosusilo, Ngawi, East Java
Just as observers were commending the Prosperous Justice Party (PKS) for distancing itself from the exclusive Islamism it is often associated with, the disappointing news that the party's faction in parliament is pushing for the controversial pornography bill to be passed, emerges (The Jakarta Post, Sept. 12, 2008). Critics of PKS such as journalist Sadanand Dhume warn that in the long term, the PKS is the most serious Islamist threat to Indonesia's historic pluralism. We hope Dhume is wrong, but the actions of PKS parliamentarians sadly suggest that he may be right.
Critics have pointed out too many flaws in the bill, including the vague definition of pornography and its provision that opens the way for individuals and groups to take part in "preventive measures" against pornography. Considering that this provision will legalize anti-porn vigilantism, it beggars belief that PKS, which enjoys an image of being an "intellectual" party, should support it at all.
Mahfudz Siddiq, chair of the PKS faction in the House, said Indonesia was in urgent need of a pornography law due to widespread moral decadence. As the main evidence of Indonesia's moral decadence must be the rampant corruption in respectable institutions such as the Parliament, the Attorney General's office and the banking system, it is difficult to understand how a pornography bill will improve our nation's morals, especially where improvement is desperately needed.
When European artists raised in Victorian values first visited Java and Bali many of them felt liberated by the relaxed attitude people here had towards sexuality and nudity. Though nudity is now much less common than it was at the beginning of the last century, many Indonesian ethnic groups and sub-cultures still enjoy their age-old innocence.
Our indigenous people who have a different sense of decency in apparel than the mainstream Islamic dress code will be humiliated and alienated by this code. People of Papua, for example, who are accustomed to a degree of nudity, will be made to feel morally inferior. The bill will make criminals of artists who study the nude figure, poets who evoke erotic visions, filmmakers who show too much flesh and novelists who describe scenes of lovemaking.
The bill further defines pornography as things that "can arouse lust and lead to the violation of normative values within society; and it can cause the development of pornographic acts within society". How vague can the definition of "arousing lust" be? If you Google the words jilbab and porno, the Indonesian word for porn, in less than a second over 200,000 sites will be made available for you to browse through. This indicates that for a great number of people, the jilbab head cover is sexy and arouses lust. Would it be reasonable to imagine that the bill will ban the jilbab because some men lust after women who wear it?
It is true that Indonesia has seen horrific scenes of sexual violence. The mass rapes suffered by ethnic Chinese women in Jakarta during the May 1998 riots are undoubtedly the worst examples of sexual violence that we have experienced. Did these rapes have anything to do with the consumption of pornography?
Reports from those horrific days told of mobs chanting holy names of God while they pillaged and raped. If chanting the hallowed names of God sexually aroused the mobs that raped the ethnic Chinese women in Jakarta during the riots of the fall of Soeharto, should the bill ban the chanting of God's names?
Lust is something that is aroused inside a person's mind and though outside stimuli can spark the arousal, it is irrelevant to what goes on inside the mind of the aroused. Therefore, it is very foolish to pass a law that attempts to regulate lust, as anything can become an object of desire. It is not what the senses perceive -- rather it is what the mind thinks which makes one lustful.
Of course, no one in his or her right mind would support the idea that porn should not be regulated at all. Even in liberal democracies sexy magazines are displayed on the highest shelf where only adults can reach them, porn shops only serve adults and porn shows are for adults only. The Soho area of London's West End is famous for its sex joints, but an observation of the customers of sleaze there will show that most customers are tourists, many from religious countries where sexuality is repressed.
The urgency to pass a law on pornography here is political rather than real. Playing the pornography card is an easy way to elicit sympathy from the vocal minority of the Islamist masses. It is the same shameless reason that drove several politicians and a cabinet minister to visit the self-proclaimed defender of Islam, Rizieq Shihab, in police custody, accused of inciting violence.
There are so many other urgent issues that Parliament should concern itself with, such as corruption in Parliament or the question of bringing in more participation and transparency in development budgeting and planning. If we look at our media, we see that graphic violence in our television shows and in our society is much more intense than sex. Disturbingly violent police anti-crime shows are commonly aired during the times when small children are often glued to the television.
PKS parliamentarians should take a step back and listen to the critics of the pornography bill because the critics sincerely have the best interests of the nation on their minds. While the supporters of the pornography bill do not seem to care that the bill defines porn in such dangerously vague terms, its critics are justifiably concerned that the bill will bring more harm than good.
As a party that grew out of Islamic student discussion groups, PKS should not be promoting a bill that is completely devoid of intellect. Pushing this bill might endear PKS to the small minority of Islamists who delight in intimidating other members of society, but it will alienate rational and reasonable Muslims.
The writer is an artist and former journalist. He can be reached at bramn4bi@yahoo.com
Monday, September 22, 2008
PKS: Koalisi PKS & PDIP Baru Sebatas Wacana
Sabtu, 20 September 2008 - 06:17 wib
Mardanih - Okezone
JAKARTA - Isu koalisi antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hingga kini terus bergulir. Namun bagi PKS, hal ini baru sebatas wacan dan pemanasan awal.
Hal ini diungkapkan Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq kepada okezone, Jumat (19/9/2008), saat menanggapi pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufiq Kiemas, kemarin.
"Sampai dengan pelaksanaan pileg (pemilihan legislatif), PKS masih konsentrasi pada kerja-kerja pemenangan pemilu. Sedangkan koalisi akan terjadi dalam konteks pilpres dan secara riil baru akan dibangun pasca pileg," jelasnya.
Namun begitu, Mahfudz menambahkan, PKS terbuka untuk berkoalisi dengan partai manapun. "Selama ada kesamaan agenda yang dituangkan dalam kontrak politik," ucapnya.
Menurutnya, koalisi berdasarkan kategorisasi ideolog atau aliran mungkin dapat terjadi. Tapi, tidak akan produktif bagi semangat konsolidasi semangat kebangsaan. "Apalagi di kancah persaingan global," ujarnya.
Apa yang diucapkan Mahfudz memunculkan pertanyaan, apakah ini tanda bahwa PKS tidak akan mempermasalahkan perbedaan ideologi. Mahfudz menjawab, "Iya." (lsi) (kem)
Mardanih - Okezone
JAKARTA - Isu koalisi antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hingga kini terus bergulir. Namun bagi PKS, hal ini baru sebatas wacan dan pemanasan awal.
Hal ini diungkapkan Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq kepada okezone, Jumat (19/9/2008), saat menanggapi pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufiq Kiemas, kemarin.
"Sampai dengan pelaksanaan pileg (pemilihan legislatif), PKS masih konsentrasi pada kerja-kerja pemenangan pemilu. Sedangkan koalisi akan terjadi dalam konteks pilpres dan secara riil baru akan dibangun pasca pileg," jelasnya.
Namun begitu, Mahfudz menambahkan, PKS terbuka untuk berkoalisi dengan partai manapun. "Selama ada kesamaan agenda yang dituangkan dalam kontrak politik," ucapnya.
Menurutnya, koalisi berdasarkan kategorisasi ideolog atau aliran mungkin dapat terjadi. Tapi, tidak akan produktif bagi semangat konsolidasi semangat kebangsaan. "Apalagi di kancah persaingan global," ujarnya.
Apa yang diucapkan Mahfudz memunculkan pertanyaan, apakah ini tanda bahwa PKS tidak akan mempermasalahkan perbedaan ideologi. Mahfudz menjawab, "Iya." (lsi) (kem)
Friday, September 19, 2008
Kalangan Agama Perlu Selesaikan Problem Kebangsaan
Kalangan Agama Perlu Selesaikan Problem Kebangsaan
Jakarta, Kompas - Agamawan perlu mencari landasan yang sama dan menemukan musuh bersama untuk menyelesaikan problem kebangsaan. Musuh bersama itu bukan pemeluk agama lain, tetapi masalah kemanusiaan dan kebangsaan yang menyengsarakan rakyat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam dialog keumatan dengan tema ”Kontribusi Umat Beragama bagi Kesejahteraan Bangsa dan Perdamaian Dunia” di Jakarta, Kamis (18/9).
Dialog yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera ini juga menghadirkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Andreas Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Sekjen Indonesia Community for Religion and Peace Theophilus Bela, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia I Ketut Parwata, dan WS Asumtapura dari Masyarakat Thionghoa Indonesia sebagai pembicara.
”Kalangan agama harus bergerak mengatasi masalah dunia dan bangsa ini. Apalagi, disadari bahwa politik saja tidak bisa sendiri menyelesaikan masalah kebangsaan sekarang,” ujarnya.
Menurut Din, dialog antar-agama tetap diperlukan meskipun sering muncul sikap sinisme dari masyarakat yang meragukan efektivitas dialog karena masih ada ketegangan dan konflik.
”Namun, secara berseloroh saya mengatakan, ada dialog saja sering konflik, apalagi kalau tidak ada. Namun, dalam konteks Indonesia, dialog merupakan keniscayaan,” ujarnya.
Apalagi, menurut Din, agama di Indonesia pernah berperan sebagai penyelesai masalah meski sekarang agak kurang. Bahkan, agama menjadi bagian dari masalah karena menjadi pembuat masalah.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Sidiq mengatakan, tokoh agama punya kemampuan untuk mengubah bangsa ini. Apalagi, ketika politisi tidak bisa menyelesaikan problem bangsa sendiri. ”Kita melihat politisi saat ini banyak disorot soal penyimpangan, bukan prestasi. Ini tentu membuat makin banyak warga masyarakat kecewa,” ujarnya.
Dalam konteks kebangsaan, Hidayat mengatakan, Indonesia sudah memiliki etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Etika yang sudah dituangkan dalam Tap MPR itu sangat menekankan pentingnya religiusitas.
Menurut Hidayat, tak ada ajaran agama mana pun yang mengajarkan korupsi. Karena korupsi telah membuat malu anak bangsa terhadap bangsa Indonesia, cukup alasan untuk dijadikan musuh bersama.
”Keberagamaan kita saat ini punya agenda besar untuk menyelesaikan masalah bangsa. Komitmennya untuk kemaslahatan bangsa,” ujarnya.
Yewangoe mengatakan, lembaga keagamaan tidak mau diidentikkan dengan satu partai tertentu. Agama dalam substansi pasti baik. Namun, dalam penampakan sejarah, selalu saja ada jurang dari yang semestinya dilakukan dan kenyataan yang dilakukan. (MAM)
Bali Minta Otonomi Khusus
MI, Jumat, 19 September 2008 00:01 WIB
Provinsi Bali memiliki kekhususan dan kekhasan adat, budaya yang harus dihormati, dilindungi, dan dimuliakan. Status otonomi khusus pun menjadi usulan yang mengemuka.
GAGASAN tentang otonomi khusus (otsus) itu mengemuka dalam forum konsultasi Panitia Khusus (Pansus) Otsus Bali Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida, kemarin. Laode didampingi pimpinan Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD beserta keempat anggota DPD asal Bali di Gedung Nusantara III DPR.
"Harapan inilah yang menjadi keinginan masyarakat Bali untuk mendapatkan status otsus yang sudah diperjuangkan sejak 2001," kata koordinator Kelompok Ahli Pansus Otsus Bali DPRD Provinsi Bali I Wayan Supartha dalam presentasi di hadapan anggota DPD.
Pemberian kewenangan khusus oleh negara kepada Bali, kata Wayan, antara lain untuk mengatur dan mengurus adat dan budaya Bali serta urusan lain menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
"Perjuangan otsus Bali merupakan bagian dari pengembangan dan penumbuhan jati diri orang Bali yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersahabat dengan sesama, menghargai kebhinekaan dan sumber daya alam, sebagai aktualisasi dari konsep Tri Hita Karana," tambah Wayan. Dan otsus yang diperjuangkan selama ini adalah otsus di level provinsi saja.
Ketua PAH I DPD Marhany Puah menyambut baik konsep otsus yang diusung DPRD Bali tersebut. "Untuk menindaklanjuti aspirasi ini, PAH I DPD akan mempersiapkan agenda, melakukan rapat-rapat dan melahirkan rekomendasi dukungan yang akan disampaikan kepada DPR dan pemerintah," kata Marhany.
Laode juga menyambut positif usulan tersebut. "Secara prinsip, kami mendukung aspirasi yang langsung diusung daerah ke DPD untuk diperjuangkan demi kesejahteraan rakyat dalam koridor NKRI ini."
Laode juga menilai Bali layak dijadikan sebagai daerah istimewa atau daerah khusus seperti Yogyakarta, Aceh, Jakarta, dan Papua, karena memiliki banyak talenta budaya yang kuat. Talenta budaya itu yang menjadikan Bali sebagai aset nasional dan membedakannya dengan daerah lain. Aset nasional tersebut, menurut Laode, berupa budaya dan pariwisata. "Bali pantas mengajukan diri untuk meminta keistimewaan dengan banyaknya kelebihan tersebut," kata Laode.
Anggota Komisi III DPR Sayuti Asyathri mendukung upaya Bali untuk menjadi daerah khusus. Dia menyatakan tiap-tiap daerah memang diberi wewenang dan hak tertentu untuk memiliki dan diakui keistimewaannya, terlepas dari disetujui atau tidak oleh pemerintah pada pelaksananya.
"Silakan saja mereka memperjuangkan, nanti pemerintah yang akan memutuskan layak atau tidak," katanya.
Sedangkan anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menilai pengajuan hak keistimewaan oleh tiap daerah adalah hal yang sah. Namun untuk penentuannya harus dilihat dulu dasar yang diajukan.
Wacana otsus Bali sudah bergulir sejak 2001 melalui media massa, diskusi, seminar, dan telah dimasukkan sebagai agenda legislasi nasional (Prolegnas) DPR 2005-2009. Pemerintah Daerah Provinsi Bali menyambutnya dengan membentuk Tim Otsus Bali yang diketuai Wakil Gubernur Bali Alit Kesuma Kelakan.
Tim berhasil merumuskan draf dan pokok-pokok pikiran yang mengacu pada pola otsus di Papua dan Aceh. Sasarannya adalah aspek pariwisata dan budaya dengan harapan Bali mendapat dana sharing pariwisata sebagaimana Aceh dan Papua mendapat dana sharing sumber daya alam.
Dalam kurun 2001-2005, wacana itu sempat menghangat karena Aceh dan Papua sudah memperoleh otsus. DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Riau juga menggulirkan wacana yang sama. Imbas otsus Aceh menyulut resistensi terhadap perjuangan otsus lainnya yang dicurigai sebagai arogansi daerah terhadap NKRI.
Provinsi Bali memiliki kekhususan dan kekhasan adat, budaya yang harus dihormati, dilindungi, dan dimuliakan. Status otonomi khusus pun menjadi usulan yang mengemuka.
GAGASAN tentang otonomi khusus (otsus) itu mengemuka dalam forum konsultasi Panitia Khusus (Pansus) Otsus Bali Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida, kemarin. Laode didampingi pimpinan Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD beserta keempat anggota DPD asal Bali di Gedung Nusantara III DPR.
"Harapan inilah yang menjadi keinginan masyarakat Bali untuk mendapatkan status otsus yang sudah diperjuangkan sejak 2001," kata koordinator Kelompok Ahli Pansus Otsus Bali DPRD Provinsi Bali I Wayan Supartha dalam presentasi di hadapan anggota DPD.
Pemberian kewenangan khusus oleh negara kepada Bali, kata Wayan, antara lain untuk mengatur dan mengurus adat dan budaya Bali serta urusan lain menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
"Perjuangan otsus Bali merupakan bagian dari pengembangan dan penumbuhan jati diri orang Bali yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersahabat dengan sesama, menghargai kebhinekaan dan sumber daya alam, sebagai aktualisasi dari konsep Tri Hita Karana," tambah Wayan. Dan otsus yang diperjuangkan selama ini adalah otsus di level provinsi saja.
Ketua PAH I DPD Marhany Puah menyambut baik konsep otsus yang diusung DPRD Bali tersebut. "Untuk menindaklanjuti aspirasi ini, PAH I DPD akan mempersiapkan agenda, melakukan rapat-rapat dan melahirkan rekomendasi dukungan yang akan disampaikan kepada DPR dan pemerintah," kata Marhany.
Laode juga menyambut positif usulan tersebut. "Secara prinsip, kami mendukung aspirasi yang langsung diusung daerah ke DPD untuk diperjuangkan demi kesejahteraan rakyat dalam koridor NKRI ini."
Laode juga menilai Bali layak dijadikan sebagai daerah istimewa atau daerah khusus seperti Yogyakarta, Aceh, Jakarta, dan Papua, karena memiliki banyak talenta budaya yang kuat. Talenta budaya itu yang menjadikan Bali sebagai aset nasional dan membedakannya dengan daerah lain. Aset nasional tersebut, menurut Laode, berupa budaya dan pariwisata. "Bali pantas mengajukan diri untuk meminta keistimewaan dengan banyaknya kelebihan tersebut," kata Laode.
Anggota Komisi III DPR Sayuti Asyathri mendukung upaya Bali untuk menjadi daerah khusus. Dia menyatakan tiap-tiap daerah memang diberi wewenang dan hak tertentu untuk memiliki dan diakui keistimewaannya, terlepas dari disetujui atau tidak oleh pemerintah pada pelaksananya.
"Silakan saja mereka memperjuangkan, nanti pemerintah yang akan memutuskan layak atau tidak," katanya.
Sedangkan anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menilai pengajuan hak keistimewaan oleh tiap daerah adalah hal yang sah. Namun untuk penentuannya harus dilihat dulu dasar yang diajukan.
Wacana otsus Bali sudah bergulir sejak 2001 melalui media massa, diskusi, seminar, dan telah dimasukkan sebagai agenda legislasi nasional (Prolegnas) DPR 2005-2009. Pemerintah Daerah Provinsi Bali menyambutnya dengan membentuk Tim Otsus Bali yang diketuai Wakil Gubernur Bali Alit Kesuma Kelakan.
Tim berhasil merumuskan draf dan pokok-pokok pikiran yang mengacu pada pola otsus di Papua dan Aceh. Sasarannya adalah aspek pariwisata dan budaya dengan harapan Bali mendapat dana sharing pariwisata sebagaimana Aceh dan Papua mendapat dana sharing sumber daya alam.
Dalam kurun 2001-2005, wacana itu sempat menghangat karena Aceh dan Papua sudah memperoleh otsus. DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Riau juga menggulirkan wacana yang sama. Imbas otsus Aceh menyulut resistensi terhadap perjuangan otsus lainnya yang dicurigai sebagai arogansi daerah terhadap NKRI.
KPAI: RUU Pornografi Harus Beri Sanksi Tegas Pelaku Korporasi
Era Muslim Rabu, 17 Sep 08 19:23 WIB
Materi pornografi sangat berbahaya bagi perkembangan anak, hal ini terbukti hasil temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan 80 persen anak yang tersangkut kasus hukum terkait pelecehan seksual dan perkosaan didahului dengan menonton materi pornografi.
"Materi pornografi itu sangat personal dan murah serta mudah didapat. Seperti melalui internet, hp, komik, video dan majalah, ” kata Ketua KPAI Masnah Sari kepada pers di Jakarta, Senin lalu.
Oleh karena itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat mendukung disahkan RUU Pornografi menjadi UU. Akan tetapi, menurut Masnah, RUU itu harus memberikan sanksi yang berat bagi para pelaku korporasi. Pemberlakuan hukuman bagi korporasi tersebut disesuaikan dengan KUHP dan peraturan yang terkait. Selain itu, antara sanksi pidana dan sanksi denda harus diberlakukan bersamaan.
"Bagi pelaku korporasi perlu pemberatan pemidanaan terhadap korporasi termasuk media massa, iklan, film layar lebar dll, ” katanya.
Dalam kesempatan itu, KPAI meminta agar RUU tidak multitafsir sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam implementasi dilapangan.
Sementara itu, Lajnah Tsaqafiyah Hizbut Tahrir Indonesia memandang pengertian pornografi dalam RUU masih belum konkrit sehingga bisa menimbulkan multiinterpretasi masing-masing orang. Padahal dalam aturan yang berasal dari Pencipta manusia, Islam, memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Laki-laki maupun wanita harus menutup auratnya masing-masing.
Meski masih terdapat penolakan, dari dua Fraksi yaitu FPDIP dan FPDS, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan akan disahkan DPR pada 23 September 2008. Salah satu fraksi yang memberikan dukungan kuat RUU Pornografi disahkan adalah FPKS, di samping tujuh partai lainnya.
Ketua FPKS Mahfudz Siddiq menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.
"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju, " katanya. (novel)
Materi pornografi sangat berbahaya bagi perkembangan anak, hal ini terbukti hasil temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan 80 persen anak yang tersangkut kasus hukum terkait pelecehan seksual dan perkosaan didahului dengan menonton materi pornografi.
"Materi pornografi itu sangat personal dan murah serta mudah didapat. Seperti melalui internet, hp, komik, video dan majalah, ” kata Ketua KPAI Masnah Sari kepada pers di Jakarta, Senin lalu.
Oleh karena itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat mendukung disahkan RUU Pornografi menjadi UU. Akan tetapi, menurut Masnah, RUU itu harus memberikan sanksi yang berat bagi para pelaku korporasi. Pemberlakuan hukuman bagi korporasi tersebut disesuaikan dengan KUHP dan peraturan yang terkait. Selain itu, antara sanksi pidana dan sanksi denda harus diberlakukan bersamaan.
"Bagi pelaku korporasi perlu pemberatan pemidanaan terhadap korporasi termasuk media massa, iklan, film layar lebar dll, ” katanya.
Dalam kesempatan itu, KPAI meminta agar RUU tidak multitafsir sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam implementasi dilapangan.
Sementara itu, Lajnah Tsaqafiyah Hizbut Tahrir Indonesia memandang pengertian pornografi dalam RUU masih belum konkrit sehingga bisa menimbulkan multiinterpretasi masing-masing orang. Padahal dalam aturan yang berasal dari Pencipta manusia, Islam, memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Laki-laki maupun wanita harus menutup auratnya masing-masing.
Meski masih terdapat penolakan, dari dua Fraksi yaitu FPDIP dan FPDS, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan akan disahkan DPR pada 23 September 2008. Salah satu fraksi yang memberikan dukungan kuat RUU Pornografi disahkan adalah FPKS, di samping tujuh partai lainnya.
Ketua FPKS Mahfudz Siddiq menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.
"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju, " katanya. (novel)
Bali Layak Jadi Daerah Otonomi Khusus
Media Indonesia Kamis, 18 September 2008 21:31 WIB
Penulis : Rini Widuri Ragillia
JAKARTA--MI: Bali layak dijadikan sebagai daerah istimewa atau derah khusus sebagaimana Yogyakarta, Aceh, Jakarta, dan Papua, karena memiliki banyak talenta budaya yang kuat. Talenta budaya ini yang menjadikan Bali sebagai aset nasional dan membedakannya dengan daerah lain.
Aset nasional tersebut, menurut wakil Ketua DPD Laode Ida, berupa budaya dan pariwisata.
"Bali pantas mengajukan diri untuk meminta keistimewaan dengan banyaknya kelebihan yang dimiliki,"ujarnya di Jakarta, Kamis (18/9).
Sebelumnya, sekitar 20 anggota DPRD Bali menemui Laode Ida. Mereka terdiri dari Wakil Ketua DPRD, Ketua Pansus pengkaji otonomi, dan sisanya adalah anggota Pansus. Mereka meminta agar Bali dijadikan sebagai daerah Istimewa atau daerah khusus karena dinilai memiliki kelebihan dalam hal budaya dan agama.
Menanggapi hal itu, Laode menyatakan, langkah Bali untuk menjadi daerah khusus tidaklah sulit karena secara konsep sudah memenuhi persyaratan dan dinilai sudah cukup matang.
"Sebagai daerah otonomi khusus, dari segi konsep, Bali tidak diragukan lagi. Bali yang diwakili oleh tim Pansus, sudah memiliki strategi gerakan yang matang, UU dan peraturan juga sudah disiapkan,"paparnya.
Menurut Laode, sebenarnya permintaan Bali untuk dijadikan sebagai daerah istimewa bukanlah suatu hal yang baru. permintaan tersebut sudah menajdi wacana sejak tahun 2001 lalu. Kemudian mulai bergulir ke DPD pada tahun 2005. Sejak tahun itu, lanjut Laode, Pansus otonomi Bali sudah menunjukkan kesiapannya.
Hasil pertemuan DPRD Bali dengan Laode menghasilkan keputusan bahwa DPRD Bali akan berkoordinasi secara intens dengan DPD dalam hal ini. Sementara pihak DPD mengusulkan agar anggota DPR dari Bali yang berjumlah sembilan orang untuk segera mengajukan hak inisiatif guna membentuk RUU inisiatif daerah khusus Bali.
"Di DPR ada sembilan anggota dari Bali. Mereka semua mendukung. Dan tinggal tambah dua orang lagi mereka sudah bisa mengajukan hak inisiatif,"katanya.
Jika Bali jadi diberi hak untuk menjadi daerah khusus, namanya akan menjadi Daerah Otonomi Khusus Bali. "Semua berpusat di provinsi, jadi dikhususkan, tidak bisa dipisah-pisahkan," tuturnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Sayuti Asyathri, mendukung upaya Bali untuk menjadi daerah khusus. Dia menyatakan, tiap-tiap daerah memang diberi wewenang dan hak tertentu untuk memiliki dan diakui keistimewannya, terlepas dari disetujui atau tidak oleh pemerintah pada pelaksaannya.
"Silahkan saja mereka memperjuangkan, nanti pemerintah yang akan memutuskan layak atau tidak,"katanya.
Hal senada juga dilontarkan oleh anggota DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq. Menurutnya, pengajuan hak keistimewaan oleh tiap daerah adalah hal yang sah. Namun untuk penentuannya harus dilihat dulu dasar yang diajukan untuk menajdai daerah istimewa atau khusus.
"Sebagai usulan boleh-boleh saja. Tapi mesti kita pelajari dulu dasar yang diajukan mereka beralasan atau tidak," tegasnya. (*/OL-03)
Penulis : Rini Widuri Ragillia
JAKARTA--MI: Bali layak dijadikan sebagai daerah istimewa atau derah khusus sebagaimana Yogyakarta, Aceh, Jakarta, dan Papua, karena memiliki banyak talenta budaya yang kuat. Talenta budaya ini yang menjadikan Bali sebagai aset nasional dan membedakannya dengan daerah lain.
Aset nasional tersebut, menurut wakil Ketua DPD Laode Ida, berupa budaya dan pariwisata.
"Bali pantas mengajukan diri untuk meminta keistimewaan dengan banyaknya kelebihan yang dimiliki,"ujarnya di Jakarta, Kamis (18/9).
Sebelumnya, sekitar 20 anggota DPRD Bali menemui Laode Ida. Mereka terdiri dari Wakil Ketua DPRD, Ketua Pansus pengkaji otonomi, dan sisanya adalah anggota Pansus. Mereka meminta agar Bali dijadikan sebagai daerah Istimewa atau daerah khusus karena dinilai memiliki kelebihan dalam hal budaya dan agama.
Menanggapi hal itu, Laode menyatakan, langkah Bali untuk menjadi daerah khusus tidaklah sulit karena secara konsep sudah memenuhi persyaratan dan dinilai sudah cukup matang.
"Sebagai daerah otonomi khusus, dari segi konsep, Bali tidak diragukan lagi. Bali yang diwakili oleh tim Pansus, sudah memiliki strategi gerakan yang matang, UU dan peraturan juga sudah disiapkan,"paparnya.
Menurut Laode, sebenarnya permintaan Bali untuk dijadikan sebagai daerah istimewa bukanlah suatu hal yang baru. permintaan tersebut sudah menajdi wacana sejak tahun 2001 lalu. Kemudian mulai bergulir ke DPD pada tahun 2005. Sejak tahun itu, lanjut Laode, Pansus otonomi Bali sudah menunjukkan kesiapannya.
Hasil pertemuan DPRD Bali dengan Laode menghasilkan keputusan bahwa DPRD Bali akan berkoordinasi secara intens dengan DPD dalam hal ini. Sementara pihak DPD mengusulkan agar anggota DPR dari Bali yang berjumlah sembilan orang untuk segera mengajukan hak inisiatif guna membentuk RUU inisiatif daerah khusus Bali.
"Di DPR ada sembilan anggota dari Bali. Mereka semua mendukung. Dan tinggal tambah dua orang lagi mereka sudah bisa mengajukan hak inisiatif,"katanya.
Jika Bali jadi diberi hak untuk menjadi daerah khusus, namanya akan menjadi Daerah Otonomi Khusus Bali. "Semua berpusat di provinsi, jadi dikhususkan, tidak bisa dipisah-pisahkan," tuturnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Sayuti Asyathri, mendukung upaya Bali untuk menjadi daerah khusus. Dia menyatakan, tiap-tiap daerah memang diberi wewenang dan hak tertentu untuk memiliki dan diakui keistimewannya, terlepas dari disetujui atau tidak oleh pemerintah pada pelaksaannya.
"Silahkan saja mereka memperjuangkan, nanti pemerintah yang akan memutuskan layak atau tidak,"katanya.
Hal senada juga dilontarkan oleh anggota DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq. Menurutnya, pengajuan hak keistimewaan oleh tiap daerah adalah hal yang sah. Namun untuk penentuannya harus dilihat dulu dasar yang diajukan untuk menajdai daerah istimewa atau khusus.
"Sebagai usulan boleh-boleh saja. Tapi mesti kita pelajari dulu dasar yang diajukan mereka beralasan atau tidak," tegasnya. (*/OL-03)
Syarat Dukungan Capres Mengarah ke 20 Persen
Sinar Harapan
Jakarta-Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden (RUU Pilpres) yang saat ini sedang dalam forum lobi, tidak mengalami banyak kemajuan. Perdebatan alot masih terjadi terutama menyangkut syarat dukungan suara untuk mencalonkan Presiden.
Namun, ada kecenderungan syarat dukungan capres ke 20 persen.
Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres Yasonna Laoly (F-PDIP) mengatakan pembahasan syarat dukungan masih belum banyak perkembangan. Posisi setiap fraksi cenderung berubah-ubah. Hal ini karena fraksi-fraksi memperkirakan hasil yang dapat digapai partai mereka masing-masing pada pemilu legislatif 2009.
“Mereka masih menghitung-hitung kekuatan yang dapat diperoleh pada pemilu legislatif,” ujar Yassona kepada SH, di Jakarta, Selasa (16/9). Beberapa fraksi yang semula menetapkan syarat dukungan suara hanya 15 persen, kini menunjukkan kecenderungan menaikkan syaratnya. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang pada awal pembahasan mengajukan syarat dukungan 15 presen syarat dukungan di parlemen, kini melunak. Mereka bersedia menaikkan dukungan sampai 30 persen.
Hal yang sama dilakukan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Mereka cenderung menaikkan dukungan menjadi 20 persen, setelah sebelumnya hanya 15 persen. “Mungkin mereka percaya diri memperoleh suara signifikan di pileg 2009 (pemilu legislatif-red),” kata Yasonna.
Sementara Partai Golkar, katanya, juga sudah mencair. Usul mereka sebelumnya 30 persen. Namun dalam forum lobi, kata Yasonna, Golkar tampaknya bersedia turun. “Rasanya 20 persen itu paling mungkin,” ujar Yassona.
Fraksi yang menurunkan usul syarat dukungannya ialah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Padahal tawaran PKB sebelumnya adalah 20 sampai 25 persen. Konflik berlarut yang menimpa partai tersebut pada 2008 tampaknya membuat PKB tidak begitu percaya diri untuk tetap bertahan di persentase 20 – 30 persen.
Selain persoalan syarat dukungan dua materi lobi lainnya adalah mengenai rangkap jabatan presiden, dan keharusan mundur menteri jika ingin mencalonkan diri menjadi presiden. Namun Yasonna menjelaskan, bagi PDIP ketentuan tersebut tidak relevan dibahas dalam RUU Pilpres. Alasannya, persoalan rangkap jabatan dan mundurnya menteri negara diatur dalam undang-undang lain. “Mundurnya menteri jika mencalonkan diri menjadi presiden, kan bisa diatur di UU kementerian negara,” ujarnya.
Sementara Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq mengatakan PKS bersedia menaikkan syarat dukungan menjadi 20 persen karena ingin menciptakan titik temu antara yang fraksi Golkar yang mengusulkan 30 persen dan kebanyakan fraksi lain yang bertahan di 15 persen. Fraksi yang bertahan di 15 persen, kata Mahfud antara lain Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. “Semoga dengan forum lobi dan pendekatan lanjutan yang dilangsungkan malam ini, Rabu (17/9), setiap fraksi bisa menemukan persamaan.
Dia juga menjelaskan soal persyaratan dukungan ini yang membuat lobi menjadi alot. Pembahasan syarat dukungan, kata Mahfud merupakan jantung dalam proses lobi. Syarat-syarat lain seperti rangkap jabatan dan mundurnya menteri penting tapi tidak mutlak,” kata Mahfudz.
Jakarta-Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden (RUU Pilpres) yang saat ini sedang dalam forum lobi, tidak mengalami banyak kemajuan. Perdebatan alot masih terjadi terutama menyangkut syarat dukungan suara untuk mencalonkan Presiden.
Namun, ada kecenderungan syarat dukungan capres ke 20 persen.
Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres Yasonna Laoly (F-PDIP) mengatakan pembahasan syarat dukungan masih belum banyak perkembangan. Posisi setiap fraksi cenderung berubah-ubah. Hal ini karena fraksi-fraksi memperkirakan hasil yang dapat digapai partai mereka masing-masing pada pemilu legislatif 2009.
“Mereka masih menghitung-hitung kekuatan yang dapat diperoleh pada pemilu legislatif,” ujar Yassona kepada SH, di Jakarta, Selasa (16/9). Beberapa fraksi yang semula menetapkan syarat dukungan suara hanya 15 persen, kini menunjukkan kecenderungan menaikkan syaratnya. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang pada awal pembahasan mengajukan syarat dukungan 15 presen syarat dukungan di parlemen, kini melunak. Mereka bersedia menaikkan dukungan sampai 30 persen.
Hal yang sama dilakukan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Mereka cenderung menaikkan dukungan menjadi 20 persen, setelah sebelumnya hanya 15 persen. “Mungkin mereka percaya diri memperoleh suara signifikan di pileg 2009 (pemilu legislatif-red),” kata Yasonna.
Sementara Partai Golkar, katanya, juga sudah mencair. Usul mereka sebelumnya 30 persen. Namun dalam forum lobi, kata Yasonna, Golkar tampaknya bersedia turun. “Rasanya 20 persen itu paling mungkin,” ujar Yassona.
Fraksi yang menurunkan usul syarat dukungannya ialah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Padahal tawaran PKB sebelumnya adalah 20 sampai 25 persen. Konflik berlarut yang menimpa partai tersebut pada 2008 tampaknya membuat PKB tidak begitu percaya diri untuk tetap bertahan di persentase 20 – 30 persen.
Selain persoalan syarat dukungan dua materi lobi lainnya adalah mengenai rangkap jabatan presiden, dan keharusan mundur menteri jika ingin mencalonkan diri menjadi presiden. Namun Yasonna menjelaskan, bagi PDIP ketentuan tersebut tidak relevan dibahas dalam RUU Pilpres. Alasannya, persoalan rangkap jabatan dan mundurnya menteri negara diatur dalam undang-undang lain. “Mundurnya menteri jika mencalonkan diri menjadi presiden, kan bisa diatur di UU kementerian negara,” ujarnya.
Sementara Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq mengatakan PKS bersedia menaikkan syarat dukungan menjadi 20 persen karena ingin menciptakan titik temu antara yang fraksi Golkar yang mengusulkan 30 persen dan kebanyakan fraksi lain yang bertahan di 15 persen. Fraksi yang bertahan di 15 persen, kata Mahfud antara lain Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. “Semoga dengan forum lobi dan pendekatan lanjutan yang dilangsungkan malam ini, Rabu (17/9), setiap fraksi bisa menemukan persamaan.
Dia juga menjelaskan soal persyaratan dukungan ini yang membuat lobi menjadi alot. Pembahasan syarat dukungan, kata Mahfud merupakan jantung dalam proses lobi. Syarat-syarat lain seperti rangkap jabatan dan mundurnya menteri penting tapi tidak mutlak,” kata Mahfudz.
Thursday, September 18, 2008
Indonesian party seeks anti-porn bill as Ramadan gift
Boston.com September 12, 2008
JAKARTA (Reuters) - An Indonesian Islamic party is hoping an anti-pornography bill that has been in parliament for over three years will be passed within a few weeks as a "Ramadan present" for Muslims, a newspaper report said on Friday.
Lawmakers in the world's most populous Muslim nation have so far stopped short of passing the bill, which aims to shield the young from pornographic material and lewd acts, because of criticism it would threaten Indonesia's tradition of tolerance.
"It will be a Ramadan gift," Mahfudz Siddiq, a Prosperous Justice Party (PKS) member of parliament was quoted by the Jakarta Post newspaper as saying. He said the bill was urgently needed because of widespread moral decadence in Indonesia.
The fasting month of Ramadan began on September 1 and ends with Eid-al Fitri celebrations a month later.
The Jakarta Post said a parliamentary committee deliberating the bill is set to table the final draft in parliament in the next few weeks.
A politician from Golkar, the main party in the ruling coalition, said the passage of the bill was inevitable, given the unwillingness of groups supporting it to seek a compromise.
"Unless there are widespread rallies against the bill across the country, the constellation will not change," Harry Azhar Azis was quoted as saying in the Jakarta Post.
Golkar, former president Suharto's political vehicle, is a strongly secular and nationalist party.
The draft of the legislation contains provisions that could jail people for kissing in public and criminalize many forms of art or traditional culture that hinge on sensuality.
Illegal explicit material is available in Indonesia, and television programs regularly feature bared flesh and sexual innuendo.
Lawmakers watered down the bill following criticism and street protests over the issue early last year. Critics say it could pave the way for vigilante groups to take the law into their own hands under a pretext of upholding morality.
Militant Muslim groups in Indonesia, particularly since the fall of the autocratic Suharto presidency in 1998, have sporadically taken vigilante action against red-light areas or liberal publications deemed offensive.
Indonesia restricted access to pornographic and violent sites on the Internet after parliament passed a new information bill early this year.
(Reporting by Telly Nathalia; Editing by Sugita Katyal and Bill Tarrant)
JAKARTA (Reuters) - An Indonesian Islamic party is hoping an anti-pornography bill that has been in parliament for over three years will be passed within a few weeks as a "Ramadan present" for Muslims, a newspaper report said on Friday.
Lawmakers in the world's most populous Muslim nation have so far stopped short of passing the bill, which aims to shield the young from pornographic material and lewd acts, because of criticism it would threaten Indonesia's tradition of tolerance.
"It will be a Ramadan gift," Mahfudz Siddiq, a Prosperous Justice Party (PKS) member of parliament was quoted by the Jakarta Post newspaper as saying. He said the bill was urgently needed because of widespread moral decadence in Indonesia.
The fasting month of Ramadan began on September 1 and ends with Eid-al Fitri celebrations a month later.
The Jakarta Post said a parliamentary committee deliberating the bill is set to table the final draft in parliament in the next few weeks.
A politician from Golkar, the main party in the ruling coalition, said the passage of the bill was inevitable, given the unwillingness of groups supporting it to seek a compromise.
"Unless there are widespread rallies against the bill across the country, the constellation will not change," Harry Azhar Azis was quoted as saying in the Jakarta Post.
Golkar, former president Suharto's political vehicle, is a strongly secular and nationalist party.
The draft of the legislation contains provisions that could jail people for kissing in public and criminalize many forms of art or traditional culture that hinge on sensuality.
Illegal explicit material is available in Indonesia, and television programs regularly feature bared flesh and sexual innuendo.
Lawmakers watered down the bill following criticism and street protests over the issue early last year. Critics say it could pave the way for vigilante groups to take the law into their own hands under a pretext of upholding morality.
Militant Muslim groups in Indonesia, particularly since the fall of the autocratic Suharto presidency in 1998, have sporadically taken vigilante action against red-light areas or liberal publications deemed offensive.
Indonesia restricted access to pornographic and violent sites on the Internet after parliament passed a new information bill early this year.
(Reporting by Telly Nathalia; Editing by Sugita Katyal and Bill Tarrant)
Wednesday, September 17, 2008
FPKS: Zakat Maut Potret Buram Bangsa
16/09/2008 11:02
INILAH.COM, Jakarta - Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq mengungkapkan keprihatinannya terkait meninggalnya 21 orang pada pembagian zakat di Pasuruan. Menurutnya pembagian tersebut merupakan potret buram kemiskinan bangsa dan gambaran gamblang tentang melemahnya spirit solidaritas dan kepedulian sosial.
"Tragedi tewasnya 21 orang saat pembagian zakat haru menggugah hati nurani setiap pemimpin dan orang kaya di negeri ini dan ini potret buram kemiskinan bangsa kita," kata Mahfudz Siddiq dalam pesan singkatnya kepada INILAH.COM, Jakarta, Selasa (16/9).
Mahfudz menyatakan, seharusnya kalangan elit politik harus sadar dengan keadaan tersebut. Di saat masyarakat miskin berebut zakat, pada saat yang sama para politisi sedang menghambur-hamburkan dana yang begitu besar untuk meraih kursi kekuasaan.
Dalam pesannya Mahfudz juga mengatakan hal ini tidak terlepas dengan melemahnya spirit solidaritas sosial dan kepedulian sosial. Dia menjelaskan masyarakat miskin menjadi sangat bergantung pada pola bantuan yang didistribusikan secara masal.
"Tapi pada waktu yang bersamaan hal ini juga tidak terlalu efektif mengentaskan kemiskinan, sementara risikonya malah sangat besar seperti ini," tuturnya.[L8]
INILAH.COM, Jakarta - Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq mengungkapkan keprihatinannya terkait meninggalnya 21 orang pada pembagian zakat di Pasuruan. Menurutnya pembagian tersebut merupakan potret buram kemiskinan bangsa dan gambaran gamblang tentang melemahnya spirit solidaritas dan kepedulian sosial.
"Tragedi tewasnya 21 orang saat pembagian zakat haru menggugah hati nurani setiap pemimpin dan orang kaya di negeri ini dan ini potret buram kemiskinan bangsa kita," kata Mahfudz Siddiq dalam pesan singkatnya kepada INILAH.COM, Jakarta, Selasa (16/9).
Mahfudz menyatakan, seharusnya kalangan elit politik harus sadar dengan keadaan tersebut. Di saat masyarakat miskin berebut zakat, pada saat yang sama para politisi sedang menghambur-hamburkan dana yang begitu besar untuk meraih kursi kekuasaan.
Dalam pesannya Mahfudz juga mengatakan hal ini tidak terlepas dengan melemahnya spirit solidaritas sosial dan kepedulian sosial. Dia menjelaskan masyarakat miskin menjadi sangat bergantung pada pola bantuan yang didistribusikan secara masal.
"Tapi pada waktu yang bersamaan hal ini juga tidak terlalu efektif mengentaskan kemiskinan, sementara risikonya malah sangat besar seperti ini," tuturnya.[L8]
FPDIP dan PDS Lepas Tanggung Jawab RUU Pornografi
Selasa, 16-09-2008, MedanBisnis – Jakarta
Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan akan disahkan DPR pada 23 September 2008. Kecuali Fraksi PDIP dan PDS yang menyatakan tidak bertanggung jawab, fraksi lainnya di DPR menyepakati RUU itu segera diundangkan.
“Skedulnya begitu. Kalau di panitia kerja (panja-red) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju,” ujar Ketua FPKS DPR, Mahfudz Siddiq, via telepon, Senin (15/9).
Mahfudz menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU itu diusulkan.
“RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi,” kata pria kalem itu.
Mahfudz menambahkan, dua fraksi yakni PDIP dan PDS menyatakan tidak ikut bertanggung jawab jika RUU ini benar-benar diundangkan. “Kita tidak tahu apakah nanti dalam pengambilan putusan akhir mereka akan walk out atau tidak. Yang jelas, 8 fraksi lain setuju,” ujarnya.
Apa saja pasal-pasal yang tidak disetujui PDIP dan PDS? “Dua fraksi ini dari awal sudah tidak mengikuti panja. Padahal ada perubahan yang signifikan, jadi bukan pasal-pasal tertentu yang mereka tidak setujui, tapi semua,” kata dia.
Hadiah Ramadan PKS
Lebih lanjut Mahfudz menambahkan, disahkannya RUU ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di bulan Ramadan ini. Ia pun meminta agar publik tidak lagi disibukkan dengan perdebatan norma, namun fakta sosial yang harus diperhatikan.
“Ini nggak bisa dibiarkan. Sementara kita desak aparat untuk tegas, mereka seringkali bilang belum ada payung hukum. Inilah yang kita akan jadikan payung hukum,” tandasnya.
RUU yang akan disahkan itu dulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun setelah menimbulkan kontroversi, RUU itu direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU itu diprediksi juga akan mendapat tentangan dari sebagian kalangan.
FPDIP Lobi Bamus
Atas ketidaksetujuannya RUU Pornografi disahkan, FPDIP akan melobi Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar tak membawa RUU itu ke sidang paripurna sebelum beberapa pasal diperbaiki.
“Ini kan pada level sudah nggak bisa lobi, yang bisa mencegah diparipurnakan. Kita sampaikan keberatan kepada bamus untuk tidak mengagendakan dalam paripurna,” ujar anggota Pansus RUU Pornografi dari FPDIP, Eva Kusuma Sundari, Senin.
Keberatan itu, menurutnya, akan disampaikan kepada Bamus DPR Kamis 18 September. FPDIP akan mengakomodasi berbagai macam penolakan dari berbagai daerah, seperti dari Bali dan Sulawesi Utara (Sulut).
“Saya harap bamus menunda sampai ada penyempurnaan dan diperbaiki,” ujarnya. Apalagi, menurutnya, ada proses pembahasan yang cacat teknis dan kualitas. Pengambilan keputusan, imbuh dia, selalu dilakukan melalui voting.
Bagaimana jika Bamus menolak permintaan FPDIP itu? “Kita akan boikot. Kita tidak mau tanggung jawab sesuatu yang nggak masuk akal,” tandas Eva.
Ditanggapi Beragam
DPR sendiri saat ini sedang gencar melakukan uji publik terhadap RUU Pornografi yang akan disahkan 23 September melalui rapat paripurna DPR. Uji publik ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang setuju, namun tak sedikit juga yang menolak.
“Jumat dan Sabtu uji publik dilakukan di tiga tempat, yakni Kalimantan Selatan, Maluku dan Sulawesi Selatan,” ujar Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pornografi, Yoyoh Yusroh, via telepon, Senin.
Pihaknya, jelas Yoyoh, menghargai perbedaan pendapat. Diakuinya, tidak semua UU yang dihasilkan DPR menyenangkan semua pihak.
“Respons masyarakat cukup variatif. Ada yang mendukung, menolak dan memberi masukan. Hasil uji publik ini akan kita rapatkan Rabu (17/9-red) nanti,” tutur wanita berjilbab itu.
Selain terus gencar melakukan uji publik, Panja RUU Pornografi juga akan membahasnya dengan pemerintah pada 18 September. “Pemerintah diwakili Menkum HAM, Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menkominfo,” tandasnya. (war/wid-dn)
Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan akan disahkan DPR pada 23 September 2008. Kecuali Fraksi PDIP dan PDS yang menyatakan tidak bertanggung jawab, fraksi lainnya di DPR menyepakati RUU itu segera diundangkan.
“Skedulnya begitu. Kalau di panitia kerja (panja-red) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju,” ujar Ketua FPKS DPR, Mahfudz Siddiq, via telepon, Senin (15/9).
Mahfudz menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU itu diusulkan.
“RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi,” kata pria kalem itu.
Mahfudz menambahkan, dua fraksi yakni PDIP dan PDS menyatakan tidak ikut bertanggung jawab jika RUU ini benar-benar diundangkan. “Kita tidak tahu apakah nanti dalam pengambilan putusan akhir mereka akan walk out atau tidak. Yang jelas, 8 fraksi lain setuju,” ujarnya.
Apa saja pasal-pasal yang tidak disetujui PDIP dan PDS? “Dua fraksi ini dari awal sudah tidak mengikuti panja. Padahal ada perubahan yang signifikan, jadi bukan pasal-pasal tertentu yang mereka tidak setujui, tapi semua,” kata dia.
Hadiah Ramadan PKS
Lebih lanjut Mahfudz menambahkan, disahkannya RUU ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di bulan Ramadan ini. Ia pun meminta agar publik tidak lagi disibukkan dengan perdebatan norma, namun fakta sosial yang harus diperhatikan.
“Ini nggak bisa dibiarkan. Sementara kita desak aparat untuk tegas, mereka seringkali bilang belum ada payung hukum. Inilah yang kita akan jadikan payung hukum,” tandasnya.
RUU yang akan disahkan itu dulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun setelah menimbulkan kontroversi, RUU itu direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU itu diprediksi juga akan mendapat tentangan dari sebagian kalangan.
FPDIP Lobi Bamus
Atas ketidaksetujuannya RUU Pornografi disahkan, FPDIP akan melobi Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar tak membawa RUU itu ke sidang paripurna sebelum beberapa pasal diperbaiki.
“Ini kan pada level sudah nggak bisa lobi, yang bisa mencegah diparipurnakan. Kita sampaikan keberatan kepada bamus untuk tidak mengagendakan dalam paripurna,” ujar anggota Pansus RUU Pornografi dari FPDIP, Eva Kusuma Sundari, Senin.
Keberatan itu, menurutnya, akan disampaikan kepada Bamus DPR Kamis 18 September. FPDIP akan mengakomodasi berbagai macam penolakan dari berbagai daerah, seperti dari Bali dan Sulawesi Utara (Sulut).
“Saya harap bamus menunda sampai ada penyempurnaan dan diperbaiki,” ujarnya. Apalagi, menurutnya, ada proses pembahasan yang cacat teknis dan kualitas. Pengambilan keputusan, imbuh dia, selalu dilakukan melalui voting.
Bagaimana jika Bamus menolak permintaan FPDIP itu? “Kita akan boikot. Kita tidak mau tanggung jawab sesuatu yang nggak masuk akal,” tandas Eva.
Ditanggapi Beragam
DPR sendiri saat ini sedang gencar melakukan uji publik terhadap RUU Pornografi yang akan disahkan 23 September melalui rapat paripurna DPR. Uji publik ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang setuju, namun tak sedikit juga yang menolak.
“Jumat dan Sabtu uji publik dilakukan di tiga tempat, yakni Kalimantan Selatan, Maluku dan Sulawesi Selatan,” ujar Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pornografi, Yoyoh Yusroh, via telepon, Senin.
Pihaknya, jelas Yoyoh, menghargai perbedaan pendapat. Diakuinya, tidak semua UU yang dihasilkan DPR menyenangkan semua pihak.
“Respons masyarakat cukup variatif. Ada yang mendukung, menolak dan memberi masukan. Hasil uji publik ini akan kita rapatkan Rabu (17/9-red) nanti,” tutur wanita berjilbab itu.
Selain terus gencar melakukan uji publik, Panja RUU Pornografi juga akan membahasnya dengan pemerintah pada 18 September. “Pemerintah diwakili Menkum HAM, Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menkominfo,” tandasnya. (war/wid-dn)
PDI-P dan PDS Tolak Sahkan RUU Pornografi
Suara Merdeka, 16 September 2008
JAKARTA- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPD-S) secara tegas menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi 23 September mendatang.
Menurut Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi dari FPDIP Agus Sasongko, FPDI-P akan lepas tangan jika RUU Pornografi disahkan menjadi UU selama masukan fraksinya tidak diindahkan. ’’Kami tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu setelah RUU ini disahkan,’’ tegasnya di Gedung DPR Jakarta, kemarin.
Agus mengungkapkan, pada 29 Mei lalu anggota fraksinya walk out karena aspirasinya tidak diakomodasi Panitia Kerja (Panja). Aksi ini ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada pimpinan DPR yang menyebutkan bahwa PDI-P tidak bertanggung jawab jika RUU Pornografi disahkan. ’’Sejak itu, fraksi kami tidak mengikuti pembahasan selanjutnya,’’ tambahnya.
Menurutnya, pengesahan RUU Pornografi lebih didasarkan pada sistem kejar setoran atau kejar tayang. Pasalnya, pada 18 September pembahasan pendapat akhir fraksi dan Rabu 17 September masih ada sosialisasi dengan kementerian pemberdayaan perempuan.
Hal senada dikatakan anggota Panja dari FPD-S Tiurlan Hutagaol yang menilai UU Pornografi akan menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia terutama di Bali dan Papua. Menurutnya, pasal-pasal yang tertuang dalam RUU Pornografi seharusnya untuk menguatkan UU Pers, Penyiaran, UU Perlindungan Anak, dan KUHP. ’’Fraksi kami juga mundur dalam pembahasan RUU Pornografi sebab dalam pembahasannya pihak perempuan justru menjadi korban diskriminasi,’’ katanya.
Meskipun UU ini bermaksud baik, tambah Tiurlan, UU Pornografi nantinya akan menimbulkan banyak masalah karena pada pelaksanaannya bisa saja nanti alasan yang tidak masuk akal seperti kepemilikan pribadi menjadikan seseorang bebas untuk memeriksa komputer dan handphone seseorang, dan kemudian mengenakan tuduhan.
Ada Perubahan
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Mahfudz Siddiq menyatakan, merupakan sebuah hal yang aneh jika ada fraksi seperti PDI-P yang tidak pernah ikut pembahasan dan tidak memahami isi dari RUU itu lalu mencerca RUU tersebut.
’’Kalau mau dilihat, ada perubahan pada RUU itu yang dari awalnya ada unsur anti pornoaksi kini hanya pornografi. Pornografi itu sendiri nantinya hanya fokus pada produksi, distribusi dan penyebaran benda-benda porno,’’ ujarnya.
Dikatakan, bila kedua fraksi tersebut memahami, maka tidak akan ada penolakan mengingat kondisi Indonesia saat ini yang semakin terpuruk dari segi moral. (J22-49)
JAKARTA- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPD-S) secara tegas menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi 23 September mendatang.
Menurut Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi dari FPDIP Agus Sasongko, FPDI-P akan lepas tangan jika RUU Pornografi disahkan menjadi UU selama masukan fraksinya tidak diindahkan. ’’Kami tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu setelah RUU ini disahkan,’’ tegasnya di Gedung DPR Jakarta, kemarin.
Agus mengungkapkan, pada 29 Mei lalu anggota fraksinya walk out karena aspirasinya tidak diakomodasi Panitia Kerja (Panja). Aksi ini ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada pimpinan DPR yang menyebutkan bahwa PDI-P tidak bertanggung jawab jika RUU Pornografi disahkan. ’’Sejak itu, fraksi kami tidak mengikuti pembahasan selanjutnya,’’ tambahnya.
Menurutnya, pengesahan RUU Pornografi lebih didasarkan pada sistem kejar setoran atau kejar tayang. Pasalnya, pada 18 September pembahasan pendapat akhir fraksi dan Rabu 17 September masih ada sosialisasi dengan kementerian pemberdayaan perempuan.
Hal senada dikatakan anggota Panja dari FPD-S Tiurlan Hutagaol yang menilai UU Pornografi akan menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia terutama di Bali dan Papua. Menurutnya, pasal-pasal yang tertuang dalam RUU Pornografi seharusnya untuk menguatkan UU Pers, Penyiaran, UU Perlindungan Anak, dan KUHP. ’’Fraksi kami juga mundur dalam pembahasan RUU Pornografi sebab dalam pembahasannya pihak perempuan justru menjadi korban diskriminasi,’’ katanya.
Meskipun UU ini bermaksud baik, tambah Tiurlan, UU Pornografi nantinya akan menimbulkan banyak masalah karena pada pelaksanaannya bisa saja nanti alasan yang tidak masuk akal seperti kepemilikan pribadi menjadikan seseorang bebas untuk memeriksa komputer dan handphone seseorang, dan kemudian mengenakan tuduhan.
Ada Perubahan
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Mahfudz Siddiq menyatakan, merupakan sebuah hal yang aneh jika ada fraksi seperti PDI-P yang tidak pernah ikut pembahasan dan tidak memahami isi dari RUU itu lalu mencerca RUU tersebut.
’’Kalau mau dilihat, ada perubahan pada RUU itu yang dari awalnya ada unsur anti pornoaksi kini hanya pornografi. Pornografi itu sendiri nantinya hanya fokus pada produksi, distribusi dan penyebaran benda-benda porno,’’ ujarnya.
Dikatakan, bila kedua fraksi tersebut memahami, maka tidak akan ada penolakan mengingat kondisi Indonesia saat ini yang semakin terpuruk dari segi moral. (J22-49)
Tuesday, September 16, 2008
RUU Pornografi Disahkan 23 September
Lampung Post, 16/9/08
JAKARTA (Lampost): Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan disahkan DPR pada 23 September. Fraksi di DPR minus PDI-P dan PDS menyepakati RUU yang sudah lama terkatung-katung ini segera diundangkan.
"Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di Panitia Kerja (Panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju," ujar Ketua F-PKS Mahfudz Siddiq, Senin (15-8).
Mahfudz menjelaskan RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.
"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi," kata pria kalem ini.
RUU yang akan disahkan ini dahulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun, setelah menimbulkan kontroversi, RUU ini direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU ini diprediksi juga akan mendapat tentangan sebagian kalangan.
Kini DPR sedang gencar-gencarnya menguji publik RUU tersebut. Uji publik ini ditanggapi beragam masyarakat. Ada yang setuju, tapi tidak sedikit juga yang menolak.
Selain terus gencar melakukan uji publik, Panja RUU Pornografi juga akan membahas hal ini dengan pemerintah pada 18 September.
Bali Menolak
Di Bali, gelombang penolakan rencana pengesahan RUU Pornografi terus berlanjut. Kini mahasiswa Bali berunjuk rasa menetang RUU Pornografi tanpa mengenakan pakaian.
Aksi ini dilakukan 100 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM. Mereka berunjuk rasa di DPRD Bali, Denpasar, Senin (15-9).
Dalam aksinya, mahasiswa laki-laki melepaskan pakaian. Mereka hanya menggenakan celana panjang. Sedangkan mahasiswa perempuan masih berpakaian lengkap.
Lain halnya F-PDI-P yang akan melobi Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar tidak membawa UU itu ke sidang paripurna sebelum beberapa pasal diperbaiki. Keberatan ini akan disampaikan kepada Bamus pada Kamis, 18 September 2008. F-PDI-P akan mengakomodasi berbagai macam penolakan dari berbagai daerah, seperti dari Bali dan Sulawesi Utara (Sulut).n U-2
JAKARTA (Lampost): Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan disahkan DPR pada 23 September. Fraksi di DPR minus PDI-P dan PDS menyepakati RUU yang sudah lama terkatung-katung ini segera diundangkan.
"Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di Panitia Kerja (Panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju," ujar Ketua F-PKS Mahfudz Siddiq, Senin (15-8).
Mahfudz menjelaskan RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.
"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi," kata pria kalem ini.
RUU yang akan disahkan ini dahulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun, setelah menimbulkan kontroversi, RUU ini direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU ini diprediksi juga akan mendapat tentangan sebagian kalangan.
Kini DPR sedang gencar-gencarnya menguji publik RUU tersebut. Uji publik ini ditanggapi beragam masyarakat. Ada yang setuju, tapi tidak sedikit juga yang menolak.
Selain terus gencar melakukan uji publik, Panja RUU Pornografi juga akan membahas hal ini dengan pemerintah pada 18 September.
Bali Menolak
Di Bali, gelombang penolakan rencana pengesahan RUU Pornografi terus berlanjut. Kini mahasiswa Bali berunjuk rasa menetang RUU Pornografi tanpa mengenakan pakaian.
Aksi ini dilakukan 100 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM. Mereka berunjuk rasa di DPRD Bali, Denpasar, Senin (15-9).
Dalam aksinya, mahasiswa laki-laki melepaskan pakaian. Mereka hanya menggenakan celana panjang. Sedangkan mahasiswa perempuan masih berpakaian lengkap.
Lain halnya F-PDI-P yang akan melobi Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar tidak membawa UU itu ke sidang paripurna sebelum beberapa pasal diperbaiki. Keberatan ini akan disampaikan kepada Bamus pada Kamis, 18 September 2008. F-PDI-P akan mengakomodasi berbagai macam penolakan dari berbagai daerah, seperti dari Bali dan Sulawesi Utara (Sulut).n U-2
RUU Pornografi Disahkan 23 September, PDIP dan PDS Lepas Tangan
detikNews
Jakarta - Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan disahkan DPR pada 23 September. Fraksi di DPR minus PDIP dan PDS menyepakati RUU yang sudah lama terkatung-katung ini untuk segera diundangkan.
"Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di panitia kerja (panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju," ujar Ketua FPKS Mahfudz Siddiq pada detikcom via telepon, Senin (15/8/2008).
Mahfudz menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.
"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi," kata pria kalem ini.
Mahfudz menambahkan, dua fraksi yakni PDIP dan PDS menyatakan tidak ikut bertanggung jawab jika RUU ini benar-benar diundangkan. "Kita tidak tahu apakah nanti dalam pengambilan putusan akhir mereka akan walk out atau tidak. Yang jelas, 8 fraksi lain setuju," ujarnya.
Apa saja pasal-pasal yang tidak disetujui PDIP dan PDS? "Dua fraksi ini dari awal sudah tidak ikuti panja. Padahal ada perubahan yang signifikan, jadi bukan pasal-pasal tertentu yang mereka tidak setujui, tapi semua," kata dia.
Hadiah Ramadan PKS
Lebih lanjut, Mahfudz menambahkan, disahkannya RUU ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di Bulan Ramadan ini. Ia pun meminta agar publik tidak lagi disibukkan dengan perdebatan norma, namun fakta sosial yang harus diperhatikan.
"Ini nggak bisa dibiarkan. Sementara kita desak aparat untuk tegas, mereka seringkali bilang belum ada payung hukum. Inilah yang kita akan jadikan payung hukum," pungkasnya.
RUU yang akan disahkan ini dulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun setelah menimbulkan kontroversi, RUU ini direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU ini diprediksi juga akan mendapat tentangan dari sebagian kalangan.
Jakarta - Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan disahkan DPR pada 23 September. Fraksi di DPR minus PDIP dan PDS menyepakati RUU yang sudah lama terkatung-katung ini untuk segera diundangkan.
"Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di panitia kerja (panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju," ujar Ketua FPKS Mahfudz Siddiq pada detikcom via telepon, Senin (15/8/2008).
Mahfudz menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.
"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi," kata pria kalem ini.
Mahfudz menambahkan, dua fraksi yakni PDIP dan PDS menyatakan tidak ikut bertanggung jawab jika RUU ini benar-benar diundangkan. "Kita tidak tahu apakah nanti dalam pengambilan putusan akhir mereka akan walk out atau tidak. Yang jelas, 8 fraksi lain setuju," ujarnya.
Apa saja pasal-pasal yang tidak disetujui PDIP dan PDS? "Dua fraksi ini dari awal sudah tidak ikuti panja. Padahal ada perubahan yang signifikan, jadi bukan pasal-pasal tertentu yang mereka tidak setujui, tapi semua," kata dia.
Hadiah Ramadan PKS
Lebih lanjut, Mahfudz menambahkan, disahkannya RUU ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di Bulan Ramadan ini. Ia pun meminta agar publik tidak lagi disibukkan dengan perdebatan norma, namun fakta sosial yang harus diperhatikan.
"Ini nggak bisa dibiarkan. Sementara kita desak aparat untuk tegas, mereka seringkali bilang belum ada payung hukum. Inilah yang kita akan jadikan payung hukum," pungkasnya.
RUU yang akan disahkan ini dulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun setelah menimbulkan kontroversi, RUU ini direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU ini diprediksi juga akan mendapat tentangan dari sebagian kalangan.
Monday, September 15, 2008
Anti-porn bill sought to be as Ramadan present
Reuters,Arabnews
JAKARTA: An Indonesian Islamic party is hoping an anti-pornography bill that has been in Parliament for over three years will be passed within a few weeks as a “Ramadan present” for Muslims, a newspaper report said yesterday.
Lawmakers in the world’s most populous Muslim nation have so far stopped short of passing the bill, which aims to shield the young from pornographic material and lewd acts, because of criticism it would threaten Indonesia’s tradition of tolerance.
“It will be a Ramadan gift,” Mahfudz Siddiq, a Prosperous Justice Party (PKS) member of parliament was quoted by the Jakarta Post newspaper as saying. He said the bill was urgently needed because of widespread moral decadence in Indonesia.
The fasting month of Ramadan began on Sept. 1 and ends with Eid-al Fitr celebrations a month later.
The Jakarta Post said a parliamentary committee deliberating the bill is set to table the final draft in parliament in the next few weeks.
A politician from Golkar, the main party in the ruling coalition, said the passage of the bill was inevitable, given the unwillingness of groups supporting it to seek a compromise.
JAKARTA: An Indonesian Islamic party is hoping an anti-pornography bill that has been in Parliament for over three years will be passed within a few weeks as a “Ramadan present” for Muslims, a newspaper report said yesterday.
Lawmakers in the world’s most populous Muslim nation have so far stopped short of passing the bill, which aims to shield the young from pornographic material and lewd acts, because of criticism it would threaten Indonesia’s tradition of tolerance.
“It will be a Ramadan gift,” Mahfudz Siddiq, a Prosperous Justice Party (PKS) member of parliament was quoted by the Jakarta Post newspaper as saying. He said the bill was urgently needed because of widespread moral decadence in Indonesia.
The fasting month of Ramadan began on Sept. 1 and ends with Eid-al Fitr celebrations a month later.
The Jakarta Post said a parliamentary committee deliberating the bill is set to table the final draft in parliament in the next few weeks.
A politician from Golkar, the main party in the ruling coalition, said the passage of the bill was inevitable, given the unwillingness of groups supporting it to seek a compromise.
Senior Bali figures ridicule proposed passage of porn bill
Jakarta Post 12 September 2008
Scores of senior Bali officials and community figures on Thursday said they would reject the seemingly inevitable passage of the controversial pornography bill by the House of Representatives.
IGK Adi Putra, deputy chairman of the provincial legislature, urged House members to act carefully and not pass the bill hastily.
The bill, he went on, was unpopular with the majority of citizens in provinces across the country.
"Bali still rejects the bill. If the House of Representatives go ahead with plans to pass the bill, then we will treat it as an invalid legal product," he warned.
Adi Putra is an influential figure in the local chapter of the Golkar Party, the second most popular party in the province.
I Gusti Ngurah Harta, head of the Bali People's Component (KRB), accused the bill of disrespecting the very foundation upon which the nation was built: the celebration of the country's multiculturalism and pluralism.
"The bill is not the result of a common agreement by all elements of the nation. It surely does not accommodate the country's pluralism," he pointed out.
The KRB is an umbrella organization of local intellectuals and artists. In mid-2006, it organized a series of massive rallies to reject the first attempt to pass the bill.
The rallies triggered an island-wide rejection of the bill, which at that time was still in draft form.
The outright rejection, including by the island's governor and councilors, coupled with widespread opposition from several other provinces, forced the House to postpone passage of the bill.
But efforts by legislators to revive the bill were not swayed by this rejection.
"If the bill is ratified by the House, I will lead the Balinese in a civil disobedience movement against it," Harta said.
The House working committee deliberating the bill is set to table the final draft to the House's plenary session in the next few weeks, with many contentious articles left unchanged.
To date, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the Prosperous Peace Party (PDS) have rejected the bill and boycotted the bill's deliberation.
Legislators from other parties, however, are moving forward with the process.
Golkar legislator Harry Azhar Azis said the passage of the bill was inevitable, given the reluctance of groups supporting it to seek a compromise.
He revealed that unless there were widespread rallies against the bill across the country, the constellation (on the bill) would not change.
Mahfudz Siddiq, a politician from the Islamic-based Prosperous Justice Party (PKS), a staunch supporter of the bill, claimed the passage of the bill would be a "Ramadan gift".
According to the bill, pornography encompasses activities such as artwork or poetry - expressions capable of distinct interpretations by different groups or individuals.
Such a broad definition worries Sekar Sari, who makes a living selling artwork and handicrafts at Sukawati Art Market in Gianyar.
Her bestselling items are a wooden keychain and bottle opener in the form of male genitalia.
"Many people buy these souvenirs because their shape and form make them laugh, not because they are able to arouse sexual desire," she argued.
Nevertheless, if the bill is ratified, Sekar Sari would have to stop selling such items.
Article 21 of the bill allows any group or individual in society to take part in preventive measures, which, according to Sugi Lanus, would increase the possibility of clashes between civilian elements of society.
"Some groups will use the bill as a legal basis to take the law into their own hands, and surely we will see those groups carry out raids targeting facilities that display "pornographic" objects, including art exhibits and museums," he warned.
Scores of senior Bali officials and community figures on Thursday said they would reject the seemingly inevitable passage of the controversial pornography bill by the House of Representatives.
IGK Adi Putra, deputy chairman of the provincial legislature, urged House members to act carefully and not pass the bill hastily.
The bill, he went on, was unpopular with the majority of citizens in provinces across the country.
"Bali still rejects the bill. If the House of Representatives go ahead with plans to pass the bill, then we will treat it as an invalid legal product," he warned.
Adi Putra is an influential figure in the local chapter of the Golkar Party, the second most popular party in the province.
I Gusti Ngurah Harta, head of the Bali People's Component (KRB), accused the bill of disrespecting the very foundation upon which the nation was built: the celebration of the country's multiculturalism and pluralism.
"The bill is not the result of a common agreement by all elements of the nation. It surely does not accommodate the country's pluralism," he pointed out.
The KRB is an umbrella organization of local intellectuals and artists. In mid-2006, it organized a series of massive rallies to reject the first attempt to pass the bill.
The rallies triggered an island-wide rejection of the bill, which at that time was still in draft form.
The outright rejection, including by the island's governor and councilors, coupled with widespread opposition from several other provinces, forced the House to postpone passage of the bill.
But efforts by legislators to revive the bill were not swayed by this rejection.
"If the bill is ratified by the House, I will lead the Balinese in a civil disobedience movement against it," Harta said.
The House working committee deliberating the bill is set to table the final draft to the House's plenary session in the next few weeks, with many contentious articles left unchanged.
To date, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the Prosperous Peace Party (PDS) have rejected the bill and boycotted the bill's deliberation.
Legislators from other parties, however, are moving forward with the process.
Golkar legislator Harry Azhar Azis said the passage of the bill was inevitable, given the reluctance of groups supporting it to seek a compromise.
He revealed that unless there were widespread rallies against the bill across the country, the constellation (on the bill) would not change.
Mahfudz Siddiq, a politician from the Islamic-based Prosperous Justice Party (PKS), a staunch supporter of the bill, claimed the passage of the bill would be a "Ramadan gift".
According to the bill, pornography encompasses activities such as artwork or poetry - expressions capable of distinct interpretations by different groups or individuals.
Such a broad definition worries Sekar Sari, who makes a living selling artwork and handicrafts at Sukawati Art Market in Gianyar.
Her bestselling items are a wooden keychain and bottle opener in the form of male genitalia.
"Many people buy these souvenirs because their shape and form make them laugh, not because they are able to arouse sexual desire," she argued.
Nevertheless, if the bill is ratified, Sekar Sari would have to stop selling such items.
Article 21 of the bill allows any group or individual in society to take part in preventive measures, which, according to Sugi Lanus, would increase the possibility of clashes between civilian elements of society.
"Some groups will use the bill as a legal basis to take the law into their own hands, and surely we will see those groups carry out raids targeting facilities that display "pornographic" objects, including art exhibits and museums," he warned.
Wednesday, September 10, 2008
Diuntungkan Ditempatkan di Dapil Lama
Republika. 2008-09-10 09:21:00
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dihadapi Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq, dengan sikap optimistis. Peluang untuk kembali terpilih sebagai anggota legislatif tampaknya terbuka lebar baginya.
Sebagai salah satu figur sentral yang memimpin PKS di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPP PKS memberikan tempat dan nomor urut yang maksimal baginya di Pemilu 2009. Mahfudz ditempatkan sebagai caleg nomor satu di daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VIII (Cirebon dan Indramayu).
Mengenai penempatan caleg di PKS, Mahfudz mengatakan, ada sejumlah pertimbangan PKS dalam menempatkan dapil maupun nomor urut. Di antaranya, didasarkan pada kinerja mereka selama menjadi anggota DPR.
''Ini berlaku bagi anggota yang sudah menjadi anggota DPR,'' kata Mahfudz.
Dijelaskannya, Fraksi PKS setiap akhir masa sidang memberikan evaluasi sehingga punya akumulasi atas kinerja mereka selama empat tahun. Selain itu, juga ada evaluasi kinerja di setiap dapil. ''Struktur di dapil dan kader diminta melakukan evaluasi. Bagaimana peran dan kontribusi yang diberikan,'' kata dia.
Dan, tak kalah penting adalah didasarkan pada usulan dari bawah. Kalau nama caleg diusulkan kembali, akan diproses. Kalau tidak diusulkan, namanya akan hilang.
Sejauh ini, wilayah Jawa Barat VIII merupakan dapil yang cukup plural. Kekuatan PDIP, Partai Golkar, ataupun PKB merupakan tiga parpol yang punya kekuatan merata di sana. Dan, pada Pemilu 2004 lalu, PKS berhasil menembus dominasi ketiga kekuatan itu dengan merebut dua kursi DPR RI dari sana.
''Melihat tren PKS 2004, saya optimistis insya Allah target dua kursi akan bisa terpenuhi. Tapi, itu harus dilakukan dengan bekerja keras,'' kata Mahfudz.
Hal yang membuat Mahfudz cukup diuntungkan adalah, pada Pemilu 2004, ia juga maju dari dapil ini. Dengan begitu, Mahfudz sudah sekian lama membina konstituen dan membina kekuatan struktur parpol yang ada di Cirebon ataupun Indramayu.
''Minimal sebulan sekali selama empat tahun, saya selalu mengunjungi dapil saya. Terutama dalam kepentingan penyerapan aspirasi sebagai anggota DPR dari dapil di sana,'' kata Mahfudz. Dengan begitu, Mahfudz tidak perlu lagi harus mengadaptasi ulang.
Bulan lalu, Mahfudz bersama dengan tiga DPD PKS di sana merancang pemenangan pemilu secara operasional. Sekarang, sudah masuk tahapan implementasi.
PKS dikenal mempunyai mesin politik yang kuat. Kondisi ini juga dimiliki PKS di Jawa Barat VIII. Struktur kepengurusan di Kota Cirebon maupun Kabupaten Indramayu sudah lengkap hingga ke tingkat desa. Ini akan memudahkan PKS menjalankan program-program yang direncanakan.
Penyebaran kader juga relatif merata. Dengan begitu, diharapkan dengan kerja yang lebih panjang akan membuat lebih banyak masyarakat yang terkover.
Disinggung tentang strategi yang akan digunakan, Mahfudz menjelaskan, di dapilnya, banyak sekali pemilih tradisional. Mereka inilah yang menjadi market PDIP, PKB, serta PG. Dengan posisi seperti itu, lanjut Mahfudz, PKS fokus pada pemilih kota dan muda. ''Ini merupakan segmen yang lebih terbuka,'' kata Mahfudz.
Dalam upaya melakukan pendekatan terhadap pemilih, sejauh ini PKS mengembangkan pendekatan melalui komunikasi secara langsung. Pola ini bisa dilakukan dengan melakukan pertemuan-pertemuan dialogis. Termasuk dengan menyebarkan informasi secara tertulis.
Meski posisinya cukup menguntungkan, Mahfudz Siddiq tidak mau jumawa. Ia menegaskan kalau ia harus bekerja keras untuk bisa memenangkan persaingan politik di sana. dwo
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dihadapi Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq, dengan sikap optimistis. Peluang untuk kembali terpilih sebagai anggota legislatif tampaknya terbuka lebar baginya.
Sebagai salah satu figur sentral yang memimpin PKS di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPP PKS memberikan tempat dan nomor urut yang maksimal baginya di Pemilu 2009. Mahfudz ditempatkan sebagai caleg nomor satu di daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VIII (Cirebon dan Indramayu).
Mengenai penempatan caleg di PKS, Mahfudz mengatakan, ada sejumlah pertimbangan PKS dalam menempatkan dapil maupun nomor urut. Di antaranya, didasarkan pada kinerja mereka selama menjadi anggota DPR.
''Ini berlaku bagi anggota yang sudah menjadi anggota DPR,'' kata Mahfudz.
Dijelaskannya, Fraksi PKS setiap akhir masa sidang memberikan evaluasi sehingga punya akumulasi atas kinerja mereka selama empat tahun. Selain itu, juga ada evaluasi kinerja di setiap dapil. ''Struktur di dapil dan kader diminta melakukan evaluasi. Bagaimana peran dan kontribusi yang diberikan,'' kata dia.
Dan, tak kalah penting adalah didasarkan pada usulan dari bawah. Kalau nama caleg diusulkan kembali, akan diproses. Kalau tidak diusulkan, namanya akan hilang.
Sejauh ini, wilayah Jawa Barat VIII merupakan dapil yang cukup plural. Kekuatan PDIP, Partai Golkar, ataupun PKB merupakan tiga parpol yang punya kekuatan merata di sana. Dan, pada Pemilu 2004 lalu, PKS berhasil menembus dominasi ketiga kekuatan itu dengan merebut dua kursi DPR RI dari sana.
''Melihat tren PKS 2004, saya optimistis insya Allah target dua kursi akan bisa terpenuhi. Tapi, itu harus dilakukan dengan bekerja keras,'' kata Mahfudz.
Hal yang membuat Mahfudz cukup diuntungkan adalah, pada Pemilu 2004, ia juga maju dari dapil ini. Dengan begitu, Mahfudz sudah sekian lama membina konstituen dan membina kekuatan struktur parpol yang ada di Cirebon ataupun Indramayu.
''Minimal sebulan sekali selama empat tahun, saya selalu mengunjungi dapil saya. Terutama dalam kepentingan penyerapan aspirasi sebagai anggota DPR dari dapil di sana,'' kata Mahfudz. Dengan begitu, Mahfudz tidak perlu lagi harus mengadaptasi ulang.
Bulan lalu, Mahfudz bersama dengan tiga DPD PKS di sana merancang pemenangan pemilu secara operasional. Sekarang, sudah masuk tahapan implementasi.
PKS dikenal mempunyai mesin politik yang kuat. Kondisi ini juga dimiliki PKS di Jawa Barat VIII. Struktur kepengurusan di Kota Cirebon maupun Kabupaten Indramayu sudah lengkap hingga ke tingkat desa. Ini akan memudahkan PKS menjalankan program-program yang direncanakan.
Penyebaran kader juga relatif merata. Dengan begitu, diharapkan dengan kerja yang lebih panjang akan membuat lebih banyak masyarakat yang terkover.
Disinggung tentang strategi yang akan digunakan, Mahfudz menjelaskan, di dapilnya, banyak sekali pemilih tradisional. Mereka inilah yang menjadi market PDIP, PKB, serta PG. Dengan posisi seperti itu, lanjut Mahfudz, PKS fokus pada pemilih kota dan muda. ''Ini merupakan segmen yang lebih terbuka,'' kata Mahfudz.
Dalam upaya melakukan pendekatan terhadap pemilih, sejauh ini PKS mengembangkan pendekatan melalui komunikasi secara langsung. Pola ini bisa dilakukan dengan melakukan pertemuan-pertemuan dialogis. Termasuk dengan menyebarkan informasi secara tertulis.
Meski posisinya cukup menguntungkan, Mahfudz Siddiq tidak mau jumawa. Ia menegaskan kalau ia harus bekerja keras untuk bisa memenangkan persaingan politik di sana. dwo
Lobi RUU Pilpres Gagal
Republika, 2008-09-10 09:07:00
JAKARTA-- Lobi pimpinan fraksi, pemerintah, dan pimpinan Pansus RUU Pemilihan Presiden (Pilpres) gagal menghasilkan keputusan. Tiga masalah yang tidak terselesaikan di Pansus RUU Pilpres tidak satu pun yang bisa menemukan titik temu.
Dalam lobi yang dilangsungkan pada Senin (8/9) malam, dibahas masalah syarat dukungan maju capres, rangkap jabatan, dan pejabat negara yang maju capres harus mundur. ''Semalam (Senin) belum bergerak ke mana-mana. Fraksi-fraksi masih mengulang posisi awal mereka,'' kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Mahfudz Siddiq, di Jakarta, Selasa (9/9).
Dalam lobi yang di antaranya diikuti oleh Mardiyanto (Mendagri), Andi Matalatta (Menkum HAM), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Ganjar Pranowo (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Mahfudz (PKS), dan Effendy Choirie (Partai Kebangkitan Bangsa), masalah yang banyak dibahas berkaitan dengan syarat dukungan parpol untuk mengajukan capres. Sedangkan, masalah mundur ketika ada pejabat negara maju capres hanya dibahas selintas mundur. Sementara itu, masalah rangkap jabatan capres terpilih malah belum dibahas sama sekali.
Sekalipun belum ada kesepakatan, lanjut Mahfudz, namun ada sinyal masing-masing fraksi mencari kedekatan-kedekatan pandangan. Meski secara umum belum banyak bergerak dari posisi awal mereka.
Sekretaris FPDIP, Ganjar Pranowo, mengatakan, kalau lobi pada Senin malam, sifatnya masih pemanasan saja. ''Ibarat orang tinju, kemarin itu masing-masing baru melepas jab saja. Belum ada pukulan yang serius,'' kata Ganjar.
Meski demikian, kata Ganjar, sudah ada hal yang cukup menggembirakan. Misalnya, dalam hal syarat dukungan partai, sudah ada yang awalnya 15 persen menyatakan bersedia menaikkan. Di antaranya PBR, PDS, serta PKS. ''Yang masih diposisi 15 persen adalah PAN, PPP, dan Partai Demokrat,'' jelasnya.
Mengenai posisi PDIP, Ganjar mengatakan, kalau mereka masih 'melempar bola' ke publik. Namun, posisi PDIP tegas, yaitu antara 15 persen hingga 30 persen. ''Kita bisa berkompromi,'' kata dia.
Anggota FPPP, Lena Mariyana, mengatakan, pihaknya tetap meminta agar syarat dukungan 15 persen dari kursi di DPR. ''Pemerintah posisinya juga masih 15 persen kursi atau 20 persen suara sah,'' jelas Lena.
Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG), Priyo Budi Santoso, masih optimistis sikap pemerintah akan berubah. Dikatakannya, pemerintah memang masih berpegang pada 15 persen jumlah kursi atau 20 persen jumlah suara sah, tapi kalau fraksi-fraksi sudah sepakat pemerintah akan mengikutinya. dwo
JAKARTA-- Lobi pimpinan fraksi, pemerintah, dan pimpinan Pansus RUU Pemilihan Presiden (Pilpres) gagal menghasilkan keputusan. Tiga masalah yang tidak terselesaikan di Pansus RUU Pilpres tidak satu pun yang bisa menemukan titik temu.
Dalam lobi yang dilangsungkan pada Senin (8/9) malam, dibahas masalah syarat dukungan maju capres, rangkap jabatan, dan pejabat negara yang maju capres harus mundur. ''Semalam (Senin) belum bergerak ke mana-mana. Fraksi-fraksi masih mengulang posisi awal mereka,'' kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Mahfudz Siddiq, di Jakarta, Selasa (9/9).
Dalam lobi yang di antaranya diikuti oleh Mardiyanto (Mendagri), Andi Matalatta (Menkum HAM), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Ganjar Pranowo (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Mahfudz (PKS), dan Effendy Choirie (Partai Kebangkitan Bangsa), masalah yang banyak dibahas berkaitan dengan syarat dukungan parpol untuk mengajukan capres. Sedangkan, masalah mundur ketika ada pejabat negara maju capres hanya dibahas selintas mundur. Sementara itu, masalah rangkap jabatan capres terpilih malah belum dibahas sama sekali.
Sekalipun belum ada kesepakatan, lanjut Mahfudz, namun ada sinyal masing-masing fraksi mencari kedekatan-kedekatan pandangan. Meski secara umum belum banyak bergerak dari posisi awal mereka.
Sekretaris FPDIP, Ganjar Pranowo, mengatakan, kalau lobi pada Senin malam, sifatnya masih pemanasan saja. ''Ibarat orang tinju, kemarin itu masing-masing baru melepas jab saja. Belum ada pukulan yang serius,'' kata Ganjar.
Meski demikian, kata Ganjar, sudah ada hal yang cukup menggembirakan. Misalnya, dalam hal syarat dukungan partai, sudah ada yang awalnya 15 persen menyatakan bersedia menaikkan. Di antaranya PBR, PDS, serta PKS. ''Yang masih diposisi 15 persen adalah PAN, PPP, dan Partai Demokrat,'' jelasnya.
Mengenai posisi PDIP, Ganjar mengatakan, kalau mereka masih 'melempar bola' ke publik. Namun, posisi PDIP tegas, yaitu antara 15 persen hingga 30 persen. ''Kita bisa berkompromi,'' kata dia.
Anggota FPPP, Lena Mariyana, mengatakan, pihaknya tetap meminta agar syarat dukungan 15 persen dari kursi di DPR. ''Pemerintah posisinya juga masih 15 persen kursi atau 20 persen suara sah,'' jelas Lena.
Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG), Priyo Budi Santoso, masih optimistis sikap pemerintah akan berubah. Dikatakannya, pemerintah memang masih berpegang pada 15 persen jumlah kursi atau 20 persen jumlah suara sah, tapi kalau fraksi-fraksi sudah sepakat pemerintah akan mengikutinya. dwo
FPKS: SBY Cepat Pilih Kapolri
09/09/2008 20:36
INILAH.COM, Jakarta - Semakin dekatnya masa pensiun Kapolri Jenderal Pol Sutanto harus segera disikapi Presiden SBY. FPKS DPR mendesak presiden segera memilih Kapolri baru.
"Siapapun pilihannya, itu terserah Presiden ya. Kami menghormati hak prerogatif Presiden. Tetapi sebaiknya jangan terlalu lama, agar DPR juga bisa membahasnya. Kalau Sutanto yang diperpanjang silakan. Mau mengangkat Makbul atau Bambang Hendarso Danuri juga silahkan," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq dalam perbincangan dengan INILAH.COM, Selasa (9/9).
Menurutnya, SBY harus selalu mengingat pentingnya memberikan kepastian tentang siapa yang akan memimpin Polri terkait akan pensiunnya Sutanto per tanggal 30 September 2008.
"Kepastian pimpinan di Polri itu akan sangat mempengaruhi konsolidasi kelembagaan Polri. Apalagi menyangkut pengamanan pemilu yang tinggal dalam hitungan bulan. Apalagi banyak kalangan memprediksi situasi politik akan panas. Figur Kapolri harus netral dan ketiga perwira tinggi Polri ini sama-sama punya kemampuan yang tinggi. Mereka harus netral, kalau bikin salah ya kita semprit!" pungkas Mahfud.
Kapolri Sutanto akan memasuki masa pensiun per tanggal 30 September 2008. Jika Presiden ingin memperpanjang masa tugas Sutanto sebagai Kapolri, maka Sutanto akan tetap menjadi Kapolri dan itu dibenarkan oleh UU.
Sedangkan jika SBY ingin mengganti posisi Kapolri maka ada dua kader terbaik Polri dari angkatan 1974 yang dinilai pantas menggantikan Sutanto adalah Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanegara dan Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri.[L6]
INILAH.COM, Jakarta - Semakin dekatnya masa pensiun Kapolri Jenderal Pol Sutanto harus segera disikapi Presiden SBY. FPKS DPR mendesak presiden segera memilih Kapolri baru.
"Siapapun pilihannya, itu terserah Presiden ya. Kami menghormati hak prerogatif Presiden. Tetapi sebaiknya jangan terlalu lama, agar DPR juga bisa membahasnya. Kalau Sutanto yang diperpanjang silakan. Mau mengangkat Makbul atau Bambang Hendarso Danuri juga silahkan," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq dalam perbincangan dengan INILAH.COM, Selasa (9/9).
Menurutnya, SBY harus selalu mengingat pentingnya memberikan kepastian tentang siapa yang akan memimpin Polri terkait akan pensiunnya Sutanto per tanggal 30 September 2008.
"Kepastian pimpinan di Polri itu akan sangat mempengaruhi konsolidasi kelembagaan Polri. Apalagi menyangkut pengamanan pemilu yang tinggal dalam hitungan bulan. Apalagi banyak kalangan memprediksi situasi politik akan panas. Figur Kapolri harus netral dan ketiga perwira tinggi Polri ini sama-sama punya kemampuan yang tinggi. Mereka harus netral, kalau bikin salah ya kita semprit!" pungkas Mahfud.
Kapolri Sutanto akan memasuki masa pensiun per tanggal 30 September 2008. Jika Presiden ingin memperpanjang masa tugas Sutanto sebagai Kapolri, maka Sutanto akan tetap menjadi Kapolri dan itu dibenarkan oleh UU.
Sedangkan jika SBY ingin mengganti posisi Kapolri maka ada dua kader terbaik Polri dari angkatan 1974 yang dinilai pantas menggantikan Sutanto adalah Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanegara dan Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri.[L6]
3 Pasal Krusial RUU Pilpres Masih Alot
Jum'at, 5 September 2008 - 22:19 wib
Mardanih - Okezone
JAKARTA - Tiga pasal krusial dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden hingga kini masih menjadi pembahasan yang alot di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sendiri saat berbincang dengan okezone mengikuti tren.
Ketiga pasal tersebut antara lain, syarat persentase untuk maju menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), kapan waktu pengunduran diri pejabat negara yang akan mencalonkan capres/cawapres, dan apakah ketua partai politik (parpol) yang terpilih menjadi capres dan cawapres masih dapat menjabat ketua umum (ketum) parpol.
Mengenai syarat persentase capres dan cawapres menurut Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq saat berbincang dengan okezone mengutarakan, jika saat ini opsinya hanya tinggal 20-30 persen, maka PKS untuk saat ini akan memilih yang 20 persen. Karena menurut Mahfud dari dulu PKS mengusulkan bagaimana pilpres itu dapat memunculkan calon alternatif.
Mengenai syarat harus mundurnya para pejabat negara termasuk menteri ketika menjadi capres/cawapres, Mahfud mengatakan itu merupakan keharusan.
"Itu suatu keharusan, menteri sebagai pembantu presiden, kalau pembantu presiden maju juga, akan ada konflik kepentingan nantinya, jadi harus mengundurkan diri minimal 6 bulan sebelum pilpres," katanya, Jumat (5/9/2008).
Mengenai apakah presiden/wapres terpilih nanti masih diperbolehkan untuk menjabat ketum partai, Mahfud mengatakan PKS tidak memperbolehkan hal itu.
"Itu penting, rangkap jabatan selalu memunculkan konflik kepentingan, apalagi memasuki masa pemilu, makanya PKS telah memulai itu. Jika ada kadernya yang menjabat, ia tidak akan menjabat di partai," ucapnya.(hri)
Mardanih - Okezone
JAKARTA - Tiga pasal krusial dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden hingga kini masih menjadi pembahasan yang alot di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sendiri saat berbincang dengan okezone mengikuti tren.
Ketiga pasal tersebut antara lain, syarat persentase untuk maju menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), kapan waktu pengunduran diri pejabat negara yang akan mencalonkan capres/cawapres, dan apakah ketua partai politik (parpol) yang terpilih menjadi capres dan cawapres masih dapat menjabat ketua umum (ketum) parpol.
Mengenai syarat persentase capres dan cawapres menurut Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq saat berbincang dengan okezone mengutarakan, jika saat ini opsinya hanya tinggal 20-30 persen, maka PKS untuk saat ini akan memilih yang 20 persen. Karena menurut Mahfud dari dulu PKS mengusulkan bagaimana pilpres itu dapat memunculkan calon alternatif.
Mengenai syarat harus mundurnya para pejabat negara termasuk menteri ketika menjadi capres/cawapres, Mahfud mengatakan itu merupakan keharusan.
"Itu suatu keharusan, menteri sebagai pembantu presiden, kalau pembantu presiden maju juga, akan ada konflik kepentingan nantinya, jadi harus mengundurkan diri minimal 6 bulan sebelum pilpres," katanya, Jumat (5/9/2008).
Mengenai apakah presiden/wapres terpilih nanti masih diperbolehkan untuk menjabat ketum partai, Mahfud mengatakan PKS tidak memperbolehkan hal itu.
"Itu penting, rangkap jabatan selalu memunculkan konflik kepentingan, apalagi memasuki masa pemilu, makanya PKS telah memulai itu. Jika ada kadernya yang menjabat, ia tidak akan menjabat di partai," ucapnya.(hri)
Alot, Pembahasan Syarat Ajukan Capres
Suara Karya, Rabu, 10 September 2008
JAKARTA (Suara Karya): Pembahasan tentang syarat persentase suara parpol untuk bisa mengajukan calon presiden (capres) masih menjadi perdebatan alot. Karena itu, pengambilan keputusan kemungkinan akan ditempuh melalui voting.
"Sejumlah usul berdatangan untuk menentukan persentase suara parpol dalam mengajukan capres ini. Ada yang mengusulkan 15 persen dan ada pula 30 persen," kata Ketua Pansus RUU Pemilihan Presiden Ferry Mursyidan Baldan, di Jakarta, kemarin. Dia sendiri berharap masalah itu tidak sampai diputus melalui voting. Untuk itu, pembahasan dilanjutkan secara intensif dalam sisa dua kali pertemuan pada pekan ini.
Dengan demikian, Pansus RUU Pilpres bisa merumuskan peraturan lain, seperti aturan pejabat negara yang mencalonkan diri menjadi presiden/wapres. "Saya berharap RUU Pilpres bisa diselesaikan sebelum masa akhir sidang DPR pada 24 Oktober," ujarnya.
Ferry menuturkan, pembahasan alot juga terjadi dalam menentukan apakah jumlah suara yang diperoleh parpol itu berdasarkan suara nasional parpol ataukah berdasarkan jumlah kursi yang mereka kuasai di DPR.
Menurut Ferry, revisi terbatas RUU Pilpres menuntut penyamaan persepsi. Jadi, revisi ini bukan diisi dengan usulan pasal per pasal oleh setiap fraksi untuk dibahas bersama. Bila itu yang terjadi, revisi terbatas tidak akan jalan dan malah bisa mengganggu pemilu. "Kalau semua fraksi mengusulkan pasal-pasal, itu bukan revisi terbatas, tapi justru tak terbatas," katanya.
Sementara itu, hasil lobi antara pimpinan fraksi, pemerintah, dan pimpinan Pansus RUU Pemilihan Presiden (Pilpres) gagal menghasilkan keputusan. Tiga masalah yang dibahas di Pansus RUU Pilpres tidak satu pun yang bisa disepakati titik temunya. Ketiga masalah tersebut masing-masing soal syarat dukungan untuk bisa maju menjadi capres, presiden terpilih tidak boleh rangkap jabatan, dan pejabat negara yang maju menjadi capres harus mundur.
"Fraksi-fraksi masih mengulang posisi awal mereka, sehingga (pembahasan) belum bergerak," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq.
Dalam forum lobi yang dihadiri Mendagri Mardiyanto, Menkum dan HAM Andi Mattalatta, Ketua FPG Priyo Budi Santoso, Ketua FPDIP Gandjar Pranowo, Ketua FPKS Mahfudz, dan Ketua FKB Effendy Choirie, masalah yang banyak dibahas berkaitan dengan syarat dukungan parpol untuk bisa mengajukan capres.
Soal syarat perolehan suara parpol untuk bisa mengusung capres, menurut Mahfudz, perdebatan masih berkutat pada besaran angka antara 15 hingga 30 persen. Itu pun masih terpecah. Ada yang menginginkan syarat itu berdasarkan persentase kursi parpol di DPR, tapi ada pula yang minta atas dasar jumlah suara sah yang diperoleh parpol.
Dalam lobi itu, fraksi yang meminta syarat peolehan suara di atas 15 persen antara lain Partai Golkar, PDS, PDIP, juga PKS. "Jadi PKS sedang mempertimbangkan agar syarat itu di atas 15 persen demi efisiensi anggaran pemilu. Juga agar pilpres hanya berlangsung satu putaran," kata Mahfudz.
Sementara itu, Ketua FPG Priyo Budi Santoso masih optimistis bahwa pemerintah akan berubah sikap dalam konteks pembahasan revisi terbatas RUU Pilpres ini. Dalam konteks ini, syarat perolehan suara 30 persen masih berpeluang bisa digolkan.
"Pemerintah memang masih berpegang pada syarat perolehan suara 15 persen jumlah kursi atau 20 persen jumlah suara sah. Tapi kalau fraksi-fraksi sudah bersepakat, pemerintah akan mengikutinya," kata Priyo.
Di tempat terpisah, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai proses pembahasan RUU Pilpres, terutama menyangkut tiga materi yang dibawa ke forum lobi, sarat nuansa praktik dagang sapi. Mestinya, menurut dia, yang dilobikan cukup soal syarat mengajukan pasangan capres/cawapres.
Ray berpendapat, soal syarat capres/cawapres mengundurkan diri dari jabatan publik dan soal rangkap jabatan sebagai ketua umum partai tidak perlu dibawa ke forum lobi.
"Itu cuma akal-akalan untuk tawar-menawar saja. Padahal fakta selama ini membuktikan bahwa praktik dagang sapi dalam pembuatan UU selalu menjadi masalah di kemudian hari," tuturnya.,
Ray juga mengingatkan, syarat perolehan suara parpol atau gabungan parpol untuk bisa mengajukan pasangan capres/cawapres harus mencerminkan sistem multipartai. Untuk itu, angka tentang syarat itu tidak boleh terlalu tinggi agar memungkinkan parpol-parpol saling berkoalisi. "Prinsipnya, pemilu harus berorientasi pada penyederhanaan parpol. Karena itu, angka (persentase perolehan suara) yang ditawarkan (sebagai syarat untuk bisa mengajukan capres/cawapres) tidak boleh terlalu tinggi atau pun terlalu rendah," katanya.
Sebelumnya, syarat dukungan untuk mengajukan capres akan divoting jika masing-masing fraksi berkukuh dengan pendapatnya. Opsi terakhir tersebut akan diambil jika lobi-lobi politik mentok.
Hingga saat ini interval syarat dukungan capres antara 15 hingga 30 persen suara. FPG dan FKB tetap pada angka 30 %. Sementara FPDIP mengusulkan 15 persen, tapi bisa naik.
Sedangkan FPPP, FPKS, FPD, FPBR, FPDS, dan FBPD mengajukan 15 persen. FPAN yang awalnya mengusulkan semua parpol yang lolos parliamentary threshold bisa mengajukan pasangan capres, kini naik mengajukan angka 15 persen.
Menurut Ferry Mursyidan Baldan, prinsip pengajuan syarat perolehan suara 30 persen untuk mendorong koalisi parpol. Dengan demikian, pemerintahan mendapat dukungan parlemen secara relatif kuat. (Rully)
JAKARTA (Suara Karya): Pembahasan tentang syarat persentase suara parpol untuk bisa mengajukan calon presiden (capres) masih menjadi perdebatan alot. Karena itu, pengambilan keputusan kemungkinan akan ditempuh melalui voting.
"Sejumlah usul berdatangan untuk menentukan persentase suara parpol dalam mengajukan capres ini. Ada yang mengusulkan 15 persen dan ada pula 30 persen," kata Ketua Pansus RUU Pemilihan Presiden Ferry Mursyidan Baldan, di Jakarta, kemarin. Dia sendiri berharap masalah itu tidak sampai diputus melalui voting. Untuk itu, pembahasan dilanjutkan secara intensif dalam sisa dua kali pertemuan pada pekan ini.
Dengan demikian, Pansus RUU Pilpres bisa merumuskan peraturan lain, seperti aturan pejabat negara yang mencalonkan diri menjadi presiden/wapres. "Saya berharap RUU Pilpres bisa diselesaikan sebelum masa akhir sidang DPR pada 24 Oktober," ujarnya.
Ferry menuturkan, pembahasan alot juga terjadi dalam menentukan apakah jumlah suara yang diperoleh parpol itu berdasarkan suara nasional parpol ataukah berdasarkan jumlah kursi yang mereka kuasai di DPR.
Menurut Ferry, revisi terbatas RUU Pilpres menuntut penyamaan persepsi. Jadi, revisi ini bukan diisi dengan usulan pasal per pasal oleh setiap fraksi untuk dibahas bersama. Bila itu yang terjadi, revisi terbatas tidak akan jalan dan malah bisa mengganggu pemilu. "Kalau semua fraksi mengusulkan pasal-pasal, itu bukan revisi terbatas, tapi justru tak terbatas," katanya.
Sementara itu, hasil lobi antara pimpinan fraksi, pemerintah, dan pimpinan Pansus RUU Pemilihan Presiden (Pilpres) gagal menghasilkan keputusan. Tiga masalah yang dibahas di Pansus RUU Pilpres tidak satu pun yang bisa disepakati titik temunya. Ketiga masalah tersebut masing-masing soal syarat dukungan untuk bisa maju menjadi capres, presiden terpilih tidak boleh rangkap jabatan, dan pejabat negara yang maju menjadi capres harus mundur.
"Fraksi-fraksi masih mengulang posisi awal mereka, sehingga (pembahasan) belum bergerak," kata Ketua FPKS Mahfudz Siddiq.
Dalam forum lobi yang dihadiri Mendagri Mardiyanto, Menkum dan HAM Andi Mattalatta, Ketua FPG Priyo Budi Santoso, Ketua FPDIP Gandjar Pranowo, Ketua FPKS Mahfudz, dan Ketua FKB Effendy Choirie, masalah yang banyak dibahas berkaitan dengan syarat dukungan parpol untuk bisa mengajukan capres.
Soal syarat perolehan suara parpol untuk bisa mengusung capres, menurut Mahfudz, perdebatan masih berkutat pada besaran angka antara 15 hingga 30 persen. Itu pun masih terpecah. Ada yang menginginkan syarat itu berdasarkan persentase kursi parpol di DPR, tapi ada pula yang minta atas dasar jumlah suara sah yang diperoleh parpol.
Dalam lobi itu, fraksi yang meminta syarat peolehan suara di atas 15 persen antara lain Partai Golkar, PDS, PDIP, juga PKS. "Jadi PKS sedang mempertimbangkan agar syarat itu di atas 15 persen demi efisiensi anggaran pemilu. Juga agar pilpres hanya berlangsung satu putaran," kata Mahfudz.
Sementara itu, Ketua FPG Priyo Budi Santoso masih optimistis bahwa pemerintah akan berubah sikap dalam konteks pembahasan revisi terbatas RUU Pilpres ini. Dalam konteks ini, syarat perolehan suara 30 persen masih berpeluang bisa digolkan.
"Pemerintah memang masih berpegang pada syarat perolehan suara 15 persen jumlah kursi atau 20 persen jumlah suara sah. Tapi kalau fraksi-fraksi sudah bersepakat, pemerintah akan mengikutinya," kata Priyo.
Di tempat terpisah, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai proses pembahasan RUU Pilpres, terutama menyangkut tiga materi yang dibawa ke forum lobi, sarat nuansa praktik dagang sapi. Mestinya, menurut dia, yang dilobikan cukup soal syarat mengajukan pasangan capres/cawapres.
Ray berpendapat, soal syarat capres/cawapres mengundurkan diri dari jabatan publik dan soal rangkap jabatan sebagai ketua umum partai tidak perlu dibawa ke forum lobi.
"Itu cuma akal-akalan untuk tawar-menawar saja. Padahal fakta selama ini membuktikan bahwa praktik dagang sapi dalam pembuatan UU selalu menjadi masalah di kemudian hari," tuturnya.,
Ray juga mengingatkan, syarat perolehan suara parpol atau gabungan parpol untuk bisa mengajukan pasangan capres/cawapres harus mencerminkan sistem multipartai. Untuk itu, angka tentang syarat itu tidak boleh terlalu tinggi agar memungkinkan parpol-parpol saling berkoalisi. "Prinsipnya, pemilu harus berorientasi pada penyederhanaan parpol. Karena itu, angka (persentase perolehan suara) yang ditawarkan (sebagai syarat untuk bisa mengajukan capres/cawapres) tidak boleh terlalu tinggi atau pun terlalu rendah," katanya.
Sebelumnya, syarat dukungan untuk mengajukan capres akan divoting jika masing-masing fraksi berkukuh dengan pendapatnya. Opsi terakhir tersebut akan diambil jika lobi-lobi politik mentok.
Hingga saat ini interval syarat dukungan capres antara 15 hingga 30 persen suara. FPG dan FKB tetap pada angka 30 %. Sementara FPDIP mengusulkan 15 persen, tapi bisa naik.
Sedangkan FPPP, FPKS, FPD, FPBR, FPDS, dan FBPD mengajukan 15 persen. FPAN yang awalnya mengusulkan semua parpol yang lolos parliamentary threshold bisa mengajukan pasangan capres, kini naik mengajukan angka 15 persen.
Menurut Ferry Mursyidan Baldan, prinsip pengajuan syarat perolehan suara 30 persen untuk mendorong koalisi parpol. Dengan demikian, pemerintahan mendapat dukungan parlemen secara relatif kuat. (Rully)
Tuesday, September 09, 2008
Graft bill committee questioned
Jakartapost, Tue, 09/09/2008
Skepticism has mounted over whether the Corruption Court bill will benefit the country's fight against white collar crime as some House of Representatives legislators debating it are implicated in graft cases.
With the Corruption Eradication Commission (KPK) shocking legislators with a series of arrests for alleged bribery, fears have arisen that the legislators will take revenge by undermining the court's independence, authority and credibility.
Some of the legislators on the 49-strong special committee debating the bill are implicated in graft cases and have been summoned by the KPK, including Sujud Sirajuddin of the National Mandate Party and Trimedya Panjaitan and Tjahyo Kumolo, both members of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).
However, the KPK has yet to level allegations at the politicians.
Sujud, a member of Commission IV on forestry and environment, is implicated in a bribery case concerning the distribution of forest conversion permits in Bintan, Riau Island province. Al Amin Nur Nasution of the United Development Party is now standing trial in the case.
Trimedya was also mentioned in an illegal logging case in which businessman Adelin Lis was convicted. The Indonesia Corruption Watch said it had documents showing that Adelin had transferred Rp 250 million to Trimedya in 2006.
Trimedya, however, denied the allegation, saying the account was not his.
Tjahyo was mentioned by dismissed PDI-P politician Agus Condro as one of the party's legislators to have received money following the election of Miranda S. Goeltom as BI senior deputy governor in 2003.
"With all the conditions, it's going to be very tough for the House to produce a law at all. We are afraid that they will play with time to let deliberations pass the deadline set by the Constitutional Court in December 2009," said Zainal Arifin Muchtar, executive director of the Center for Anti-Corruption Study (Pukat) at the Gajah Mada University.
He said he was afraid that if the House could produce a law, it would be weaker than the original government draft.
The most contentious issue concerns the government's proposal to allow district court chief judges to elect the panel of judges.
Under the existing law, any panel hearing a corruption case must consist of two career judges and three ad hoc judges.
The mechanism was prompted by public distrust in career judges and the judiciary, which has long been associated with a "court mafia".
Danang Widyoko of the ICW expressed hope that the politicians could use under-way election campaigning as momentum to support a strong court to gain public sympathy.
Both Mahfudz Siddiq of the Prosperous Justice Party and Lukman Hakim Saiffudin of the United Development Party said they hoped the factions could withdraw their members implicated in graft cases from the committee to avoid vested interest.
Skepticism has mounted over whether the Corruption Court bill will benefit the country's fight against white collar crime as some House of Representatives legislators debating it are implicated in graft cases.
With the Corruption Eradication Commission (KPK) shocking legislators with a series of arrests for alleged bribery, fears have arisen that the legislators will take revenge by undermining the court's independence, authority and credibility.
Some of the legislators on the 49-strong special committee debating the bill are implicated in graft cases and have been summoned by the KPK, including Sujud Sirajuddin of the National Mandate Party and Trimedya Panjaitan and Tjahyo Kumolo, both members of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).
However, the KPK has yet to level allegations at the politicians.
Sujud, a member of Commission IV on forestry and environment, is implicated in a bribery case concerning the distribution of forest conversion permits in Bintan, Riau Island province. Al Amin Nur Nasution of the United Development Party is now standing trial in the case.
Trimedya was also mentioned in an illegal logging case in which businessman Adelin Lis was convicted. The Indonesia Corruption Watch said it had documents showing that Adelin had transferred Rp 250 million to Trimedya in 2006.
Trimedya, however, denied the allegation, saying the account was not his.
Tjahyo was mentioned by dismissed PDI-P politician Agus Condro as one of the party's legislators to have received money following the election of Miranda S. Goeltom as BI senior deputy governor in 2003.
"With all the conditions, it's going to be very tough for the House to produce a law at all. We are afraid that they will play with time to let deliberations pass the deadline set by the Constitutional Court in December 2009," said Zainal Arifin Muchtar, executive director of the Center for Anti-Corruption Study (Pukat) at the Gajah Mada University.
He said he was afraid that if the House could produce a law, it would be weaker than the original government draft.
The most contentious issue concerns the government's proposal to allow district court chief judges to elect the panel of judges.
Under the existing law, any panel hearing a corruption case must consist of two career judges and three ad hoc judges.
The mechanism was prompted by public distrust in career judges and the judiciary, which has long been associated with a "court mafia".
Danang Widyoko of the ICW expressed hope that the politicians could use under-way election campaigning as momentum to support a strong court to gain public sympathy.
Both Mahfudz Siddiq of the Prosperous Justice Party and Lukman Hakim Saiffudin of the United Development Party said they hoped the factions could withdraw their members implicated in graft cases from the committee to avoid vested interest.
Wednesday, September 03, 2008
Panitia Angket bakal Sentuh Kasus LNG Tangguh
MI, Selasa, 02 September 2008 21:39 WIB
Penulis : Rini Widuri Ragila
JAKARTA--MI: Panitia Angket BBM tidak menutup kemungkinan akan melebarkan pengelolaan masalah hingga pada kasus LNG Tangguh. Karena kenaikan harga BBM berkaitan erat dengan pasokan minyak dan gas dalam negeri yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan kontrak LNG Tangguh.
"Yang jelas panitia angket BBM cepat atau lambat harus membedah kasus Tangguh,"kata salah satu anggota panitia angket BBM dari Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, kepada Media Indonesia, Selasa (2/9).
Panitia Angket, menurut Mahfudz Siddiq, juga akan ikut mengurusi persoalan LNG Tangguh karena kenaikan harga BBM berkaitan dengan proses konversi minyak tanah ke gas serta berkaitan dengan produksi dan pasokan minyak dan gas dalam negeri.
"Walaupun angket ini konsep awalnya hanya mengurusi kenaikan harga BBM, namun alasan-alasan pemerintah manaikkan BBM terkait banyak hal. Ada faktor konversi minyak tanah ke gas. Ada faktor pasokan gas dan minyak dalam negeri. Pasokan ini yang ternyata baru ketahuan bahwa pada sejak tahun 2002 ada kontrak dengan LNG Tangguh yang ternyata merugikan. Maka ini semua saling terkait. Harus dikaji,"jelasnya.
Keikutsertaan panitia angket BBM dalam kasus LNG Tangguh itu nantinya bisa melalui dua cara. Yaitu dengan memberdayakan Panitia angket yang sudah ada, atau dengan membentuk panitia angket baru.
"Bisa dengan panitia yang sudah ada. Namun jika muncul perdebatan, bisa atau tidak menembus Tangguh, maka bisa saja dengan membentuk panitia baru. Tapi saya melihat yang paling memungkinkan adalah usulan pembentukan panitia angket baru,"ujar Mahfudz.
Mahfudz mengatakan, dalam rapat panitia angket BBM selanjutnya, kasus LNG Tangguh ini akan dibicarakan. Terkait penyelesaian dan kelanjutan pembentukan panitia angket Tangguh yang sedang menjadi isu kuat saat ini. (*/OL-03)
Penulis : Rini Widuri Ragila
JAKARTA--MI: Panitia Angket BBM tidak menutup kemungkinan akan melebarkan pengelolaan masalah hingga pada kasus LNG Tangguh. Karena kenaikan harga BBM berkaitan erat dengan pasokan minyak dan gas dalam negeri yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan kontrak LNG Tangguh.
"Yang jelas panitia angket BBM cepat atau lambat harus membedah kasus Tangguh,"kata salah satu anggota panitia angket BBM dari Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, kepada Media Indonesia, Selasa (2/9).
Panitia Angket, menurut Mahfudz Siddiq, juga akan ikut mengurusi persoalan LNG Tangguh karena kenaikan harga BBM berkaitan dengan proses konversi minyak tanah ke gas serta berkaitan dengan produksi dan pasokan minyak dan gas dalam negeri.
"Walaupun angket ini konsep awalnya hanya mengurusi kenaikan harga BBM, namun alasan-alasan pemerintah manaikkan BBM terkait banyak hal. Ada faktor konversi minyak tanah ke gas. Ada faktor pasokan gas dan minyak dalam negeri. Pasokan ini yang ternyata baru ketahuan bahwa pada sejak tahun 2002 ada kontrak dengan LNG Tangguh yang ternyata merugikan. Maka ini semua saling terkait. Harus dikaji,"jelasnya.
Keikutsertaan panitia angket BBM dalam kasus LNG Tangguh itu nantinya bisa melalui dua cara. Yaitu dengan memberdayakan Panitia angket yang sudah ada, atau dengan membentuk panitia angket baru.
"Bisa dengan panitia yang sudah ada. Namun jika muncul perdebatan, bisa atau tidak menembus Tangguh, maka bisa saja dengan membentuk panitia baru. Tapi saya melihat yang paling memungkinkan adalah usulan pembentukan panitia angket baru,"ujar Mahfudz.
Mahfudz mengatakan, dalam rapat panitia angket BBM selanjutnya, kasus LNG Tangguh ini akan dibicarakan. Terkait penyelesaian dan kelanjutan pembentukan panitia angket Tangguh yang sedang menjadi isu kuat saat ini. (*/OL-03)
Panitia Angket Tetap Fokus pada Isu BBM
MI,Rabu, 03 September 2008 00:02 WIB
JAKARTA (MI): Panitia Angket DPR tentang bahan bakar minyak (BBM) menjamin penyelidikan yang dilakukan akan fokus pada persoalan BBM sesuai materi bahasan yang diusulkan fraksi-fraksi.
Panitia Angket tidak akan memasuki, apalagi melakukan barter kepentingan, dengan persoalan-persoalan lain yang tidak diusulkan seperti masalah kontrak LNG Tangguh, Papua, dengan China yang dinilai Wapres Jusuf Kalla sebagai kontrak yang paling buruk.
Penegasan tersebut dikemukakan Ketua Panitia Angket BBM Zulkifli Hasan kepada Media Indonesia
di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Dia mengemukakan itu menanggapi sejumlah desakan agar Panitia Angket BBM juga membahas soal kontrak penjualan LNG Tangguh ke China. Wapres mengatakan kontrak tersebut berpotensi merugikan negara sekitar Rp700 triliun.
Zulkifli menambahkan, Panitia Angket bisa menanyakan kepada pemerintah tentang kontrak LNG Tangguh, tapi tidak menjadi kesimpulan Panitia Angket.
Buka semua
Dalam menanggapi rencana anggota DPR yang dimotori F-PG mengajukan hak angket untuk menyelidik kontrak penjualan LNG Tangguh ke China, Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo mendesak Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk membuka klausul perjanjian penjualan LNG Tangguh ke China.
''Soal LNG Tangguh kan Menteri Purnomo masih ada. Seharusnya klausul perjanjian itu dibuka,'' kata Tjahjo di Jakarta, kemarin.
Dia menambahkan, jika klausul perjanjian jual beli LNG Tangguh dibuka, masyarakat dapat melihat posisi harga gas ketika perjanjian dibuat. Cara itu jauh lebih baik daripada memolitisasi kontrak penjualan LNG Tangguh.
''Kalau pemerintah mau negosiasi ulang, silakan. Itu hak pemerintah. Apalagi perjanjiannya adalah antarpemerintah yang baru direalisasikan pada 2009 nanti,'' kata Tjahjo.
Jika pemerintah memolitisasi kontrak LNG Tangguh, kata Tjahjo, PDIP pun siap membuka kasus-kasus lain yang hingga sekarang belum transparan. ''Seperti kasus Karaha Bodas, jaringan pembangunan jalan tol, saham Chandra Asri. Fraksi PDIP akan buka dalam waktu dekat ini,'' ancam Tjahjo.
Di tempat terpisah, anggota Panitia Angket Mahfudz Siddiq (F-PKS) mengatakan tidak tertutup kemungkinan Panitia Angket BBM melebarkan masalah hingga kasus LNG Tangguh. Penyebabnya penaikan harga BBM berkaitan erat dengan pasokan minyak dan gas dalam negeri yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan kontrak LNG Tangguh. (Hil/Far/*/X-6)
JAKARTA (MI): Panitia Angket DPR tentang bahan bakar minyak (BBM) menjamin penyelidikan yang dilakukan akan fokus pada persoalan BBM sesuai materi bahasan yang diusulkan fraksi-fraksi.
Panitia Angket tidak akan memasuki, apalagi melakukan barter kepentingan, dengan persoalan-persoalan lain yang tidak diusulkan seperti masalah kontrak LNG Tangguh, Papua, dengan China yang dinilai Wapres Jusuf Kalla sebagai kontrak yang paling buruk.
Penegasan tersebut dikemukakan Ketua Panitia Angket BBM Zulkifli Hasan kepada Media Indonesia
di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Dia mengemukakan itu menanggapi sejumlah desakan agar Panitia Angket BBM juga membahas soal kontrak penjualan LNG Tangguh ke China. Wapres mengatakan kontrak tersebut berpotensi merugikan negara sekitar Rp700 triliun.
Zulkifli menambahkan, Panitia Angket bisa menanyakan kepada pemerintah tentang kontrak LNG Tangguh, tapi tidak menjadi kesimpulan Panitia Angket.
Buka semua
Dalam menanggapi rencana anggota DPR yang dimotori F-PG mengajukan hak angket untuk menyelidik kontrak penjualan LNG Tangguh ke China, Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo mendesak Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk membuka klausul perjanjian penjualan LNG Tangguh ke China.
''Soal LNG Tangguh kan Menteri Purnomo masih ada. Seharusnya klausul perjanjian itu dibuka,'' kata Tjahjo di Jakarta, kemarin.
Dia menambahkan, jika klausul perjanjian jual beli LNG Tangguh dibuka, masyarakat dapat melihat posisi harga gas ketika perjanjian dibuat. Cara itu jauh lebih baik daripada memolitisasi kontrak penjualan LNG Tangguh.
''Kalau pemerintah mau negosiasi ulang, silakan. Itu hak pemerintah. Apalagi perjanjiannya adalah antarpemerintah yang baru direalisasikan pada 2009 nanti,'' kata Tjahjo.
Jika pemerintah memolitisasi kontrak LNG Tangguh, kata Tjahjo, PDIP pun siap membuka kasus-kasus lain yang hingga sekarang belum transparan. ''Seperti kasus Karaha Bodas, jaringan pembangunan jalan tol, saham Chandra Asri. Fraksi PDIP akan buka dalam waktu dekat ini,'' ancam Tjahjo.
Di tempat terpisah, anggota Panitia Angket Mahfudz Siddiq (F-PKS) mengatakan tidak tertutup kemungkinan Panitia Angket BBM melebarkan masalah hingga kasus LNG Tangguh. Penyebabnya penaikan harga BBM berkaitan erat dengan pasokan minyak dan gas dalam negeri yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan kontrak LNG Tangguh. (Hil/Far/*/X-6)
FPKS Bersiap Giring LNG Tangguh ke Pansus
FPKS Bersiap Giring LNG Tangguh ke Pansus
Anton Aliabbas
INILAH.COM, Jakarta - Desakan adanya
penyelidikan kontrak LNG Tangguh kian
kencang. Fraksi PKS juga bersiap
menggiring masalah itu ke dalam Pansus
Hak Angket BBM DPR. Walah.
"Cepat atau lambat soal Tangguh harus
dibahas," kata Ketua FPKS Mahfudz Shiddiq
dalam perbincangan dengan INILAH.COM,
Selasa (2/9) sore.
Mahfudz menjelaskan pembahasan ini menjadi
penting karena kenaikan harga BBM juga
terkait konversi minyak ke gas dan keamanan
pasokan gas dalam negeri. "Fokus
penyelidikannya pada ada tidak penyimpangan
dalam kontrak dan rekomendasi renegosiasi,"
jelas dia.
Sebelumnya, Presiden PKS Tifatul Sembiring
menyatakan kesetujuannya masalah LNG Tangguh dibahas di Pansus. Menurut
Tifatul, harga jual LNG sangat murah.
"Ini pentingnya kita menyelidiki agar tidak kejeblos lagi termasuk membuka
penyebab kenapa kita bisa jual dengan harga murah," ujar Tifatul.[L4]
Anton Aliabbas
INILAH.COM, Jakarta - Desakan adanya
penyelidikan kontrak LNG Tangguh kian
kencang. Fraksi PKS juga bersiap
menggiring masalah itu ke dalam Pansus
Hak Angket BBM DPR. Walah.
"Cepat atau lambat soal Tangguh harus
dibahas," kata Ketua FPKS Mahfudz Shiddiq
dalam perbincangan dengan INILAH.COM,
Selasa (2/9) sore.
Mahfudz menjelaskan pembahasan ini menjadi
penting karena kenaikan harga BBM juga
terkait konversi minyak ke gas dan keamanan
pasokan gas dalam negeri. "Fokus
penyelidikannya pada ada tidak penyimpangan
dalam kontrak dan rekomendasi renegosiasi,"
jelas dia.
Sebelumnya, Presiden PKS Tifatul Sembiring
menyatakan kesetujuannya masalah LNG Tangguh dibahas di Pansus. Menurut
Tifatul, harga jual LNG sangat murah.
"Ini pentingnya kita menyelidiki agar tidak kejeblos lagi termasuk membuka
penyebab kenapa kita bisa jual dengan harga murah," ujar Tifatul.[L4]
Tuesday, September 02, 2008
Support grows for changes to legislative election law
JakartaPost- September 01, 2008
Abdul Khalik, The Jakarta Post
Support is growing for the House of Representatives to revise the 2008 legislative election law to allow political parties to apply an open system in determining their legislative candidates.
Experts and representatives of most factions in the House said Sunday the amendment of Law No. 10/2008 was essential to prevent potential conflicts and legal suits within parties, which could threaten the credibility of the 2009 elections.
The law recommends only the numerical order mechanism instead of an open system requiring parties to determine their representatives in the House based on the votes each wins in his or her electoral district.
Support for the revision has come from the Golkar Party, the National Mandate Party (PAN), the Crescent Star Party (PBB) and the Prosperous Peace Party (PDS). The four factions in the House initiated the amendment.
The Democratic Party and the Prosperous Justice Party (PKS), along with several new parties including the People's Conscience Party (Hanura) led by former armed forces chief Wiranto, also expressed their support for the proposed change to the election law.
"In principle, we are glad we can shift to the open system because we are ready to apply the method," PKS faction chairman Mahfudz Siddiq told The Jakarta Post.
To attract voters and maintain internal unity, some parties have decided to scrap the numerical order mechanism and adopt the open system.
A series of defeats in regional elections and threats of disunity have forced Golkar, which had steadfastly supported the numerical order system, to change its position and scrap its control of the distribution of its legislative seats in the 2009 poll.
The numerical order system allows the parties' central boards to appoint loyalists to legislative bodies.
In previous elections, loyalists to party leaders commonly topped the lists of candidates and contested the election in the party's strongholds to ensure they would secure legislative seats.
Some prominent Golkar members, such as Yudhi Chrisnandi and Ferry Mursyidan Baldan, threatened to withdraw their candidacy if they were placed low on the list.
To convince their candidates of their seriousness in implementing the open system, Golkar and PAN have required all their candidates to sign resignation letters in advance.
If a No. 1 candidate, for instance, failed to get enough votes and was defeated by a lower-ranking candidate, then the party would send his or her resignation letter to the General Elections Commission (KPU) together with the name of the replacement candidate.
Center for Electoral Reform (Cetro) executive director Hadar N. Gumay warned that failure to amend the law could trigger internal conflicts within parties and lawsuits against the KPU.
This problem threatened to delay the election, he added.
"If a candidate placed higher on the list refused to resign, and stick to the law, then he or she can sue the party or the KPU. All lawsuits can bog down the election process," he said.
Hadar said Cetro had submitted a draft bill to revise the law, which did not drop the numerical order system but rather gave the open system a legal basis.
The Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the second largest faction in the House, criticized the parties that supported the amendment as "inconsistent".
"They were the parties that wanted the numerical order system. But now they want to change the law only because they can't handle threats of disunity within their parties," PDI-P lawmaker Ganjar Pranowo said.
Abdul Khalik, The Jakarta Post
Support is growing for the House of Representatives to revise the 2008 legislative election law to allow political parties to apply an open system in determining their legislative candidates.
Experts and representatives of most factions in the House said Sunday the amendment of Law No. 10/2008 was essential to prevent potential conflicts and legal suits within parties, which could threaten the credibility of the 2009 elections.
The law recommends only the numerical order mechanism instead of an open system requiring parties to determine their representatives in the House based on the votes each wins in his or her electoral district.
Support for the revision has come from the Golkar Party, the National Mandate Party (PAN), the Crescent Star Party (PBB) and the Prosperous Peace Party (PDS). The four factions in the House initiated the amendment.
The Democratic Party and the Prosperous Justice Party (PKS), along with several new parties including the People's Conscience Party (Hanura) led by former armed forces chief Wiranto, also expressed their support for the proposed change to the election law.
"In principle, we are glad we can shift to the open system because we are ready to apply the method," PKS faction chairman Mahfudz Siddiq told The Jakarta Post.
To attract voters and maintain internal unity, some parties have decided to scrap the numerical order mechanism and adopt the open system.
A series of defeats in regional elections and threats of disunity have forced Golkar, which had steadfastly supported the numerical order system, to change its position and scrap its control of the distribution of its legislative seats in the 2009 poll.
The numerical order system allows the parties' central boards to appoint loyalists to legislative bodies.
In previous elections, loyalists to party leaders commonly topped the lists of candidates and contested the election in the party's strongholds to ensure they would secure legislative seats.
Some prominent Golkar members, such as Yudhi Chrisnandi and Ferry Mursyidan Baldan, threatened to withdraw their candidacy if they were placed low on the list.
To convince their candidates of their seriousness in implementing the open system, Golkar and PAN have required all their candidates to sign resignation letters in advance.
If a No. 1 candidate, for instance, failed to get enough votes and was defeated by a lower-ranking candidate, then the party would send his or her resignation letter to the General Elections Commission (KPU) together with the name of the replacement candidate.
Center for Electoral Reform (Cetro) executive director Hadar N. Gumay warned that failure to amend the law could trigger internal conflicts within parties and lawsuits against the KPU.
This problem threatened to delay the election, he added.
"If a candidate placed higher on the list refused to resign, and stick to the law, then he or she can sue the party or the KPU. All lawsuits can bog down the election process," he said.
Hadar said Cetro had submitted a draft bill to revise the law, which did not drop the numerical order system but rather gave the open system a legal basis.
The Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the second largest faction in the House, criticized the parties that supported the amendment as "inconsistent".
"They were the parties that wanted the numerical order system. But now they want to change the law only because they can't handle threats of disunity within their parties," PDI-P lawmaker Ganjar Pranowo said.
Monday, September 01, 2008
Kasus Gas Tangguh Bukan Isu Pemilu
Inilah.com, 30/08/2008 00:44
"Kasus Gas Tangguh Bukan Isu Pemilu"
Mahfudz Siddiq
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Geger soal kontrak LNG gas Tangguh mencuat kembali seiring kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla ke China belum lama ini. Terungkap, bahwa kontrak gas Tangguh adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. Presiden SBY pun bahkan harus menggelar rapat pleno untuk membahas masalah ini.
Kalangan PDIP pun merasa tersodok atas mencuatnya pembongkaran dan renegosiasi atas LNG Tangguh. Bahkan mereka menuduh, munculnya isu LNG Tangguh ini tak lebih dari pengalihan isu dari kerja panitia angket yang bertujuan sebagai black campaign terhadap capres yang diusung PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Untuk melihat polemik ini, INILAH.COM mewawancarai anggota Panitia Angket yang juga Ketua FPKS DPR RI, Mahfudz Siddiq, di Jakarta, Jumat (29/8) di gedung DPR, Jakarta. Berikut ini wawancara lengkapnya:
Bagaimana komentar Anda tentang kontroversi LNG Tangguh saat ini?
Itu kan tanggung jawab Menteri ESDM. Menteri ESDM kan punya atasan, siapa atasannya? Kan Megawati. Kalau ada yang perlu diklarifikasi, makanya atasannya juga harus dipanggil.
Bagaimana Anda melihat sikap PDIP yang menuding munculnya isu gas Tangguh ini sebagai upaya mengalihkan kerja Panitia Angket semata dan upaya politis dalam rangka Pemilu 2009?
Kalau Panitia Angket hanya ingin mendengarkan alasan lisan atau tertulis, kenapa pemerintah menaikkan BBM, itu sudah cukup. Tapi kalau Panitia Angket ini ingin membongkar kebijakan dan karut-marut kebijakan energi, maka seluruh masalah dari hulu hingga hilir harus diselidiki semuanya. Tidak peduli siapa pun pejabatnya.
Bagaimana Anda mencari benang merah kasus LNG Tangguh masuk ke Panitia Angket?
Jadi begini, pemrintah waktu interpelasi ditanya kenapa menaikkan harga BBM, pemerintah menjawab karena lifting minyak kita turun dan tidak mencapai target. Itu sudah berlangsung selama delapan tahun. Kenapa tidak ada langkah perbaikan selama delapan tahun itu?
Ya kita telusuri dong selama delapan tahun itu, termasuk siapa pejabat yang menjabat selama kurun itu. Apalagi soal konversi minyak tanah ke gas, ternyata pasokan gas langka. Kenapa langka? Kita telusuri lagi itu. Ternyata pada 2002 ada kontrak eksplor. Bagaimana kita bisa mengatasi kelangkaan gas, sedangkan sumber gas kita sudah kontrak selama 25 tahun sementara harganya sangat murah. Ini harus kita telusuri. Kalau mau tuntas, ya ayo.
Bukankah PKS dari awal menegaskan, Pantia Angket harus tetap dalam koridor agar tidak masuk dalam ranah politik Pemilu 2009 mendatang?
Makanya, menurut saya, ini harus dituntaskan segera, sehingga ini tidak masuk dalam isu politik Pemilu 2009.
Bagaimana dengan tuduhan dari PDIP isu LNG Tangguh sangat terkait dengan kepentingan Pemilu 2009?
Ya kalau diulur-ulur terus sampai masuk masa pemilu, ini hanya akan jadi isu, dan substansinya tidak terbongkar. Logika kita memang tidak bisa menghindari untuk tidak membahas LNG Tangguh di Panitia Angket. Itu yang harus kita urut semua.
Nah waktu kita mengurut itu ternyata ada orang-orang, kemudian kita berfikir, ternyata ada si A, jangan deh. Itu kan tidak obyektif. Seperti SBY pernah menjadi Mentamben era Megawati panggil di Panitia Angket. Purnomo sebagai menteri ESDM panggil juga, ternyata dia mendapat perintah dari presiden, ya presidennya dipanggil juga.
Apakah memang ada upaya untuk mengulur-ulur waktu?
Itu yang saya rasakan. [P1]
"Kasus Gas Tangguh Bukan Isu Pemilu"
Mahfudz Siddiq
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Geger soal kontrak LNG gas Tangguh mencuat kembali seiring kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla ke China belum lama ini. Terungkap, bahwa kontrak gas Tangguh adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. Presiden SBY pun bahkan harus menggelar rapat pleno untuk membahas masalah ini.
Kalangan PDIP pun merasa tersodok atas mencuatnya pembongkaran dan renegosiasi atas LNG Tangguh. Bahkan mereka menuduh, munculnya isu LNG Tangguh ini tak lebih dari pengalihan isu dari kerja panitia angket yang bertujuan sebagai black campaign terhadap capres yang diusung PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Untuk melihat polemik ini, INILAH.COM mewawancarai anggota Panitia Angket yang juga Ketua FPKS DPR RI, Mahfudz Siddiq, di Jakarta, Jumat (29/8) di gedung DPR, Jakarta. Berikut ini wawancara lengkapnya:
Bagaimana komentar Anda tentang kontroversi LNG Tangguh saat ini?
Itu kan tanggung jawab Menteri ESDM. Menteri ESDM kan punya atasan, siapa atasannya? Kan Megawati. Kalau ada yang perlu diklarifikasi, makanya atasannya juga harus dipanggil.
Bagaimana Anda melihat sikap PDIP yang menuding munculnya isu gas Tangguh ini sebagai upaya mengalihkan kerja Panitia Angket semata dan upaya politis dalam rangka Pemilu 2009?
Kalau Panitia Angket hanya ingin mendengarkan alasan lisan atau tertulis, kenapa pemerintah menaikkan BBM, itu sudah cukup. Tapi kalau Panitia Angket ini ingin membongkar kebijakan dan karut-marut kebijakan energi, maka seluruh masalah dari hulu hingga hilir harus diselidiki semuanya. Tidak peduli siapa pun pejabatnya.
Bagaimana Anda mencari benang merah kasus LNG Tangguh masuk ke Panitia Angket?
Jadi begini, pemrintah waktu interpelasi ditanya kenapa menaikkan harga BBM, pemerintah menjawab karena lifting minyak kita turun dan tidak mencapai target. Itu sudah berlangsung selama delapan tahun. Kenapa tidak ada langkah perbaikan selama delapan tahun itu?
Ya kita telusuri dong selama delapan tahun itu, termasuk siapa pejabat yang menjabat selama kurun itu. Apalagi soal konversi minyak tanah ke gas, ternyata pasokan gas langka. Kenapa langka? Kita telusuri lagi itu. Ternyata pada 2002 ada kontrak eksplor. Bagaimana kita bisa mengatasi kelangkaan gas, sedangkan sumber gas kita sudah kontrak selama 25 tahun sementara harganya sangat murah. Ini harus kita telusuri. Kalau mau tuntas, ya ayo.
Bukankah PKS dari awal menegaskan, Pantia Angket harus tetap dalam koridor agar tidak masuk dalam ranah politik Pemilu 2009 mendatang?
Makanya, menurut saya, ini harus dituntaskan segera, sehingga ini tidak masuk dalam isu politik Pemilu 2009.
Bagaimana dengan tuduhan dari PDIP isu LNG Tangguh sangat terkait dengan kepentingan Pemilu 2009?
Ya kalau diulur-ulur terus sampai masuk masa pemilu, ini hanya akan jadi isu, dan substansinya tidak terbongkar. Logika kita memang tidak bisa menghindari untuk tidak membahas LNG Tangguh di Panitia Angket. Itu yang harus kita urut semua.
Nah waktu kita mengurut itu ternyata ada orang-orang, kemudian kita berfikir, ternyata ada si A, jangan deh. Itu kan tidak obyektif. Seperti SBY pernah menjadi Mentamben era Megawati panggil di Panitia Angket. Purnomo sebagai menteri ESDM panggil juga, ternyata dia mendapat perintah dari presiden, ya presidennya dipanggil juga.
Apakah memang ada upaya untuk mengulur-ulur waktu?
Itu yang saya rasakan. [P1]
Koalisi Pemerintahan
Inilah.com, 30/08/2008 10:03
Yang Mungkin, Koalisi Pemerintahan
Telaah Gagasan Koalisi PDIP-Partai Golkar (2-Habis)
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Mimpi itu jadi imajinasi Taufik Kiemas dan Surya Paloh. Menyandingkan dua partai besar, membentuk pemerintahan kuat. Sudah lama penggagas koalisi merah-kuning itu bermimpi menyandingkan PDI Perjuangan dan Partai Golkar.
Alasan ideologi kebangsaan yang sama antara kedua partai tersebut menjadi payung besar gagasan koalisi duo partai tersebut. PDIP dan Golkar adalah partai yang menempatkan nasionalisme di atas segalanya.
Tapi, mungkinkah koalisi tercipta hanya dengan ideologi di tataran menara gading? Menurut Ketua DPP PDIP, Sutradara Gintings, dalam membangun koalisi harus berpijak pada platform. "Artinya, terdapat keterkaitan instrumental antara dua partai politik," tegasnya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (29/8).
Menurut bekas politisi Partai Golkar ini, keterkaitan instrumental yang dimaksud seperti perihal APBN, kebijakan energi, dan lain-lain. "Kalau kita bicara platform pada tingkat abstrak, itu belum maju-maju," tegasnya.
Sutradara menegaskan, PDIP mengeluarkan sejumlah gagasan yang terkait dengan hajat hidup publik. Gagasan itu antara lain belanja publik lebih besar dari belanja aparatur, menghentikan impor, serta sistem jaminan nasional yang harus dilaksakan. "Ini harus dibicarakan, termasuk dalam praksisnya. Ini bukan sekadar berbagi orang, tapi berbagi konsepsional," cetusnya.
Menurut dia, model koalisi tersebut adalah koalisi permanen komperhensif. Meski demikian, ia berpendapat, koalisi yang memiliki pertautan ideologi akan jauh lebih mudah dibanding dengan tautan lainnya. "Tesis perihal keolompok santri, priyayi, dan abangan, saat ini tidak relevan lagi," cetusnya.
Dalam pandangan Sutradara, pertemuan yang digagak Taufik Kiemas beberapa waktu yang lalu, adalah bentuk rangkaian komunikasi politik. "Jadi jangan dianggap, pertemuan PDIP-Golkar adalah final. Itu masih prematur," tandasnya.
Menurut dia, kebutuhan komunikasi politik menjadi urgen di tengah ultramultipartai. Dengan sistem seperti itu, kini tidak ada lagi parpol yang dominan. Ia juga cenderung lebih sepakat jika koalisi dilakukan jauh hari sebelum pemilu.
Sementara menurut Sekertaris Bappilu DPP Partai Golkar Burhanudin Napitupulu, koalisi saat ini memang dibutuhkan, terutama menyangkut sistem ketatanegaraan. "Koalisi saat ini perlu, terutama menyangkut pembangunan sistem ketatanegaraan yang memang amburadul," tegasnya. Ia mencontohkan ihwal rencana revisi terbatas UU Pemilu tentang penetapan caleg terpilih.
Menurut dia, Golkar tidak akan buru-buru membicarakan koalisi, terutama menyangkut capres/cawapres. "Karena banyak variabel untuk mencalonkan capres/cawapres," katanya. Jadi, koalisi tak hanya memperebutkan posisi RI 1 maupun RI 2, tapi sistem ketatanegaraannya.
Dalam isu RI 1-RI 2, Partai Golkar cenderung hati-hati. Mereka baru akan menentukan sikap pasca Pemilu legislatif. "Kalau kita tetapkan sekarang capresnya, maka calon lainnya akan kabur. Banyak kader (kami) yang memiliki kapasitas," akunya.
Akan sukseskah rencana koalisi PDIP-Partai Golkar? Ketua FPKS DPR, Mahfudz Siddiq pesimistis. "Saya tidak terlalu yakin adanya koalisi antara PDIP dan Golkar," tegasnya.
Dia setuju, koalisi idealnya harus berpijak pada niat atas penguatan sistem. Tapi, seringkali terjadi inkonsistensi dalam hal tersebut. "Ini penyakit. Kalau kita mau memperkokoh sistem, dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Caranya, sistem presidensial dan penguatan dukungan parlemen," tegasnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, berpendapat, yang paling mungkin terjadi pada PDIP-Partai Golkar adalah koalisi pemerintahan. Jadi, bukan koalisi di Pemilu legislatif atau Pilpres.
Menurut dia, koalisi pemerintahan idealnya hanya diikuti empat partai saja. Koalisi yang gemuk, juga harus dihindari oleh presiden hasil Pilpres 2009 mendatang. "Selain itu, harus ada kontrak politik dan jelas cakupannya," tegasnya. Menurut dia, baiknya pula kontrak politik ini masuk dalam UU Pilpres.
Kenapa sulit terjadi koalisi Pemilu legislatif dan Pilpres? Untuk koalisi Pemilu legislatif, Qodari beralasan, kedua partai politik tersebut memiliki kesamaan basis sosial. "Sedangkan koalisi pilpres, sulit terwujud, karena Mega menjadi capres PDIP, dan JK saat ini menjadi Wapres RI," tegasnya. [Habis/I4]
Yang Mungkin, Koalisi Pemerintahan
Telaah Gagasan Koalisi PDIP-Partai Golkar (2-Habis)
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Mimpi itu jadi imajinasi Taufik Kiemas dan Surya Paloh. Menyandingkan dua partai besar, membentuk pemerintahan kuat. Sudah lama penggagas koalisi merah-kuning itu bermimpi menyandingkan PDI Perjuangan dan Partai Golkar.
Alasan ideologi kebangsaan yang sama antara kedua partai tersebut menjadi payung besar gagasan koalisi duo partai tersebut. PDIP dan Golkar adalah partai yang menempatkan nasionalisme di atas segalanya.
Tapi, mungkinkah koalisi tercipta hanya dengan ideologi di tataran menara gading? Menurut Ketua DPP PDIP, Sutradara Gintings, dalam membangun koalisi harus berpijak pada platform. "Artinya, terdapat keterkaitan instrumental antara dua partai politik," tegasnya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (29/8).
Menurut bekas politisi Partai Golkar ini, keterkaitan instrumental yang dimaksud seperti perihal APBN, kebijakan energi, dan lain-lain. "Kalau kita bicara platform pada tingkat abstrak, itu belum maju-maju," tegasnya.
Sutradara menegaskan, PDIP mengeluarkan sejumlah gagasan yang terkait dengan hajat hidup publik. Gagasan itu antara lain belanja publik lebih besar dari belanja aparatur, menghentikan impor, serta sistem jaminan nasional yang harus dilaksakan. "Ini harus dibicarakan, termasuk dalam praksisnya. Ini bukan sekadar berbagi orang, tapi berbagi konsepsional," cetusnya.
Menurut dia, model koalisi tersebut adalah koalisi permanen komperhensif. Meski demikian, ia berpendapat, koalisi yang memiliki pertautan ideologi akan jauh lebih mudah dibanding dengan tautan lainnya. "Tesis perihal keolompok santri, priyayi, dan abangan, saat ini tidak relevan lagi," cetusnya.
Dalam pandangan Sutradara, pertemuan yang digagak Taufik Kiemas beberapa waktu yang lalu, adalah bentuk rangkaian komunikasi politik. "Jadi jangan dianggap, pertemuan PDIP-Golkar adalah final. Itu masih prematur," tandasnya.
Menurut dia, kebutuhan komunikasi politik menjadi urgen di tengah ultramultipartai. Dengan sistem seperti itu, kini tidak ada lagi parpol yang dominan. Ia juga cenderung lebih sepakat jika koalisi dilakukan jauh hari sebelum pemilu.
Sementara menurut Sekertaris Bappilu DPP Partai Golkar Burhanudin Napitupulu, koalisi saat ini memang dibutuhkan, terutama menyangkut sistem ketatanegaraan. "Koalisi saat ini perlu, terutama menyangkut pembangunan sistem ketatanegaraan yang memang amburadul," tegasnya. Ia mencontohkan ihwal rencana revisi terbatas UU Pemilu tentang penetapan caleg terpilih.
Menurut dia, Golkar tidak akan buru-buru membicarakan koalisi, terutama menyangkut capres/cawapres. "Karena banyak variabel untuk mencalonkan capres/cawapres," katanya. Jadi, koalisi tak hanya memperebutkan posisi RI 1 maupun RI 2, tapi sistem ketatanegaraannya.
Dalam isu RI 1-RI 2, Partai Golkar cenderung hati-hati. Mereka baru akan menentukan sikap pasca Pemilu legislatif. "Kalau kita tetapkan sekarang capresnya, maka calon lainnya akan kabur. Banyak kader (kami) yang memiliki kapasitas," akunya.
Akan sukseskah rencana koalisi PDIP-Partai Golkar? Ketua FPKS DPR, Mahfudz Siddiq pesimistis. "Saya tidak terlalu yakin adanya koalisi antara PDIP dan Golkar," tegasnya.
Dia setuju, koalisi idealnya harus berpijak pada niat atas penguatan sistem. Tapi, seringkali terjadi inkonsistensi dalam hal tersebut. "Ini penyakit. Kalau kita mau memperkokoh sistem, dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Caranya, sistem presidensial dan penguatan dukungan parlemen," tegasnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, berpendapat, yang paling mungkin terjadi pada PDIP-Partai Golkar adalah koalisi pemerintahan. Jadi, bukan koalisi di Pemilu legislatif atau Pilpres.
Menurut dia, koalisi pemerintahan idealnya hanya diikuti empat partai saja. Koalisi yang gemuk, juga harus dihindari oleh presiden hasil Pilpres 2009 mendatang. "Selain itu, harus ada kontrak politik dan jelas cakupannya," tegasnya. Menurut dia, baiknya pula kontrak politik ini masuk dalam UU Pilpres.
Kenapa sulit terjadi koalisi Pemilu legislatif dan Pilpres? Untuk koalisi Pemilu legislatif, Qodari beralasan, kedua partai politik tersebut memiliki kesamaan basis sosial. "Sedangkan koalisi pilpres, sulit terwujud, karena Mega menjadi capres PDIP, dan JK saat ini menjadi Wapres RI," tegasnya. [Habis/I4]
Siap Umumkan Kabinet Bayangan
Jawa Pos, Minggu, 31 Agustus 2008
JAKARTA - Setelah PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menyatakan siap mengumumkan daftar kabinet bayangannya menjelang Pilpres 2009. Hal itu dilakukan jika partai pimpinan Tifatul Sembiring tersebut kembali tergabung dalam koalisi pendukung pasangan capres-cawapres.
"Penyusunannya akan kami lakukan tahun depan," ujar Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq di Jakarta kemarin (30/8). Menurut dia, keputusan tersebut telah menjadi ketetapan Majelis Syura sebagai penanggung jawab manajemen penanganan pemilu.
DPP PKS, kata Mahfudz, pada 2009 nanti memang memutuskan merilis nama capres, cawapres, hingga calon-calon menteri yang duduk di kursi kabinet sebelum pilpres digelar. Alasannya, memberi ruang yang cukup kepada masyarakat untuk menilai para calon pemimpinnya.
"Kita ingin menteri-menteri diterima masyarakat juga, tidak hanya capres dan cawapres yang kami dukung," imbuh ketua Fraksi PKS di DPR RI itu. Dengan demikian, lanjut Mahfudz, publik diharapkan bisa mengukur tingkat akseptabilitas setiap calon.
Dia menyatakan, kualitas parpol pengusung juga akan terlihat dari kualitas kabinet bayangan yang diajukan. Karena itu, pengumumannya harus sebelum pemilu. "Hal itu seharusnya menjadi konsekuensi logis ketika bergabung dalam koalisi," tandasnya.
Saat ini, ungkap Mahfudz, PKS konsentrasi memaksimalkan target pemenangan legislatif 20 persen. "Itu tetap yang utama di samping pekerjaan menyiapkan susunan kabinet bayangan tersebut," ujarnya.
Menanggapi hal itu, pengamat politik senior LIPI Syamsuddin Haris menyatakan keraguannya atas motivasi parpol-parpol yang ingin mengajukan kabinet bayangan mereka masing-masing. Menurut dia, alasan memberi keleluasan informasi kepada publik hanya klise semata. "Motif kuat lainnya adalah bagi-bagi kekuasaan dan pengavlingan," ujarnya. (dyn)
JAKARTA - Setelah PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menyatakan siap mengumumkan daftar kabinet bayangannya menjelang Pilpres 2009. Hal itu dilakukan jika partai pimpinan Tifatul Sembiring tersebut kembali tergabung dalam koalisi pendukung pasangan capres-cawapres.
"Penyusunannya akan kami lakukan tahun depan," ujar Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq di Jakarta kemarin (30/8). Menurut dia, keputusan tersebut telah menjadi ketetapan Majelis Syura sebagai penanggung jawab manajemen penanganan pemilu.
DPP PKS, kata Mahfudz, pada 2009 nanti memang memutuskan merilis nama capres, cawapres, hingga calon-calon menteri yang duduk di kursi kabinet sebelum pilpres digelar. Alasannya, memberi ruang yang cukup kepada masyarakat untuk menilai para calon pemimpinnya.
"Kita ingin menteri-menteri diterima masyarakat juga, tidak hanya capres dan cawapres yang kami dukung," imbuh ketua Fraksi PKS di DPR RI itu. Dengan demikian, lanjut Mahfudz, publik diharapkan bisa mengukur tingkat akseptabilitas setiap calon.
Dia menyatakan, kualitas parpol pengusung juga akan terlihat dari kualitas kabinet bayangan yang diajukan. Karena itu, pengumumannya harus sebelum pemilu. "Hal itu seharusnya menjadi konsekuensi logis ketika bergabung dalam koalisi," tandasnya.
Saat ini, ungkap Mahfudz, PKS konsentrasi memaksimalkan target pemenangan legislatif 20 persen. "Itu tetap yang utama di samping pekerjaan menyiapkan susunan kabinet bayangan tersebut," ujarnya.
Menanggapi hal itu, pengamat politik senior LIPI Syamsuddin Haris menyatakan keraguannya atas motivasi parpol-parpol yang ingin mengajukan kabinet bayangan mereka masing-masing. Menurut dia, alasan memberi keleluasan informasi kepada publik hanya klise semata. "Motif kuat lainnya adalah bagi-bagi kekuasaan dan pengavlingan," ujarnya. (dyn)
Subscribe to:
Posts (Atom)