Indopos, Kamis, 17 Jan 2008,
Fraksi-Fraksi Ajukan Syarat
Siap Kompromi soal Sistem Proporsional Terbuka Terbatas
JAKARTA - Proses kompromi untuk mencari titik temu nilai persentase dari sistem proporsional terbuka terbatas terus berjalan. Sejumlah alternatif mulai diajukan fraksi-fraksi secara terbuka.
"Kami tengah menimbang-nimbang tawaran fraksi lain untuk bersedia sepakat 25 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilih, Red)," kata Ketua FPPP Lukman Hakim Syaifuddin di Jakarta kemarin (16/1).
Namun, sebagai imbal baliknya, dia meminta alokasi kursi yang diperebutkan di setiap dapil (daerah pemilihan) tetap berada dalam rentang 3-12 kursi. Itu sama seperti ketentuan Pemilu 2004. "KPU jangan lagi dibebani dengan kesibukan mengubah jumlah dan komposisi dapil," ujarnya. Lukman beralasan, KPU harus fokus pada agenda-agenda utama, seperti mendata pemilih, menyiapkan peraturan dan kelengkapan sarana pemilu.
Terkait dengan alokasi kursi per dapil tersebut, PDIP dan Golkar memang ingin merampingkan menjadi 3-6 atau 3-7 kursi saja. Konsekuensinya, jumlah dapil tentu akan bertambah. Hanya, di balik itu, peluang parpol kecil dan sebagian parpol menengah di dapil tertentu untuk mendapatkan kursi juga ikut mengecil.
Ketua FPKS Mahfudz Siddiq juga mengaku partainya mau tidak mau harus berkompromi dengan sistem proporsional terbuka terbatas. "Kami meminta 30 persen dari BPP," ungkapnya.
PKS juga mengajukan catatan tambahan. Menurut dia, ketika suatu parpol di dapil tertentu memenangkan tiga kursi, sementara ada lima calegnya yang bisa mencapai 30 persen dari BPP, tiga kursi itu harus mengacu kepada peringkat kelima caleg tersebut. "Ini syarat dari kami," tegasnya.
"Kami juga terpaksa harus berkompromi," kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Meski begitu, lanjut dia, nilai persentasenya tidak boleh mereduksi terlalu dalam prinsip suara terbanyak dan penghormatan kepada suara pemilih. "Jadi, persentasenya ojo nemen-nemen (jangan berlebihan, Red)," kata mantan Ketum PB HMI itu.
Menurut Anas, referensi dari komponen masyarakat pemerhati pemilu perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan kompromi soal persentase tersebut. Meski disepakati proporsional terbatas, dia berharap sejumlah prinsip penting tetap tidak tergadaikan. Di antaranya, prinsip akuntabilitas hubungan emosi politik wakil rakyat kepada basis konstituennya dan semangat untuk mengurangi konflik internal dalam penyusunan daftar calon. Sebab, para caleg saling memperebutkan nomor urut jadi.
Lantas, berapa persentase yang tidak berlebihan itu? "Kami masih membuat simulasinya," kilah Anas. Dia hanya mengingatkan perlunya mempermudah teknis mencoblos dan kriteria suara sah untuk mendukung pencapaian persentase tertentu dari BPP tersebut.
Sistem proporsional terbuka terbatas itu pada awalnya hanya diusung tiga fraksi. Mereka adalah Partai Golkar yang mengajukan 50 persen, PDIP yang mengusulkan 25 persen, dan PDS yang juga mendorong 50 persen dari BPP.
Dengan sistem itu, kursi yang dimenangkan parpol diberikan kepada caleg yang perolehan suaranya mencapai persentase tertentu dari BPP tersebut. Bila tak ada caleg yang mencapai persentase BPP itu, kursi yang dimenangkan partai langsung diberikan kepada caleg sesuai urut kacang nomornya. Sebelumnya, FPBR juga mengaku terang-terangan siap berkompromi dengan mengajukan pencapaian 15 persen dari BPP.
PKB juga mengisyaratkan siap berkompromi. Syaratnya, untuk kursi yang dimenangkan partai, namun tak ada caleg yang sukses mencapai persentase tertentu dari BPP, kursi itu tidak boleh dibagi di dapil tersebut. PKB menginginkan sisa kursi beserta nilai suara yang "ditunda distribusinya" dari setiap dapil itu dikumpulkan di provinsi untuk dikompetisikan kembali.
Lantas, bagaimana FPAN? Sejak jauh-jauh hari, partai itu sepakat tetap menerapkan secara internal sistem proporsional terbuka murni atau sistem penetapan caleg jadi menurut suara terbanyak. Tak peduli, apa pun hasil kesepakatan di pansus RUU Pemilu.
Dengan demikian, bila PAN di dapil X memenangkan tiga kursi, ketiga kursi itu langsung diberikan kepada caleg peringkat I, II, dan III di dapil X tanpa melihat nomor urut. Lantas, untuk menghindari hambatan nomor urut, mereka menyiapkan perangkat internal berupa mekanisme pengunduran diri. (pri/oni)
No comments:
Post a Comment