Thursday, January 24, 2008
PKS Tantang Megawati
myRMnews, Rabu, 23 Januari 2008, 14:08:29 WIB
Laporan: Zul Sikumbang
Jakarta, myRMnews. Wacana pemimpin kaum
muda ternyata ditanggapi serius Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Bahkan, PKS siap bertarung dengan
Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya
menantang kaum muda bersaing dengannya.
Isu politik ini akan menjadi salah satu bahasan dalam
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS yang
akan digelar di Inna Beach, Bali pada 1-3 Februari
mendatang. Selain itu, PKS juga akan membicarakan
sejumlah agenda, seperti ekonomi baik makro
maupun mikro.
Ketua Fraksi PKS Mahfud Sidik saat jumpa pers di
Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Rabu (23/1),
mengungkapan isu pemimpin kaum muda,
sepertinya akan menjadi bahasan penting dalam
mukernas nanti.
Megawati sudah berani menantang kaum muda,
maka kita akan menantang Megawati, apakah
mampu menantang kamu muda, tegasnya.
Selain akan membicarakan isu politik, Mahfud
mengatakan kalau partainya juga akan mengevaluasi
hasil kerja selama 2007.
Agenda lainya kita akan konsolidasi partai untuk menghadapi pemilu legislatif
dan Presiden 2009 nanti.
Mencermati kepemimpinan SBY-JK dalam tiga tahun ini di bidang ekonomi,
Mahfud memberikan rapor merah. Banyak program ekonomi yang belum
terlaksana.
Prospek ekonomi 2008 akan menjadi agenda dalam mukernas baik secara makro
maupun mikro. dwi
PKS Tak Akan Tarik Dukungan
myrmnews.com, Rabu, 23 Januari 2008, 21:34:55 WIB
Laporan: Zul Sikumbang
Jakarta, myRMnews. Dalam Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas) Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di Bali mendatang, PKS tidak akan
mengeluarkan rekomendasi untuk menarik
dukungan terhadap Pemerintahan SBY-JK. Namun
salah satu rekomendasi nanti akan memberikan
warning atau peringatan kepada pemerintahan
untuk memerbaiki kinerja yang hanya tinggal satu
setengah tahun lagi.
Demikian disampaikan oleh Ketua Fraksi PKS
(F-PKS), Mahfudz Siddiq kepada wartawan di Hotel
Kartika Chandra, Jakarta Pusat, Rabu (23/1).
"Kita (PKS) tidak akan menarik dukungan terhadap
pemerintahan SBY-JK," kata Mahfudz.
Warning tersebut dikarenakan saat ini para
pembantu presiden banyak dari partai politik,
sehingga setahun menjelang pemilu akan mencari
selamat dan tidak fokus pada kinerja.
"Pembantu presiden ada yang menjadi Ketua Umum
Golkar, Ketua Umum PPP, Ketua Umum PBB. Kita
berikan warning sebab mereka akan menyelamatkan
diri dan mengutamakan partai mereka," katanya menambahkan.
Selain itu, adanya menteri-menteri dari partai politik, Mahfudz mengingatkan
agar menteri dari parpol harus bekerja sungguh-sungguh walaupun tinggal
setahun lagi. Bahkan, ia mempersilakan SBY untuk bersikap tegas kepada
menteri-menteri dari PKS. Yang pasti PKS akan mendorong menterinya untuk
bekerja maksimal.
"SBY harus bersikap tegas, termasuk kepada menteri dari PKS sendiri. Kalau tidak
memenuhi standar, silahkan pecat menteri dari PKS," katanya. hta
Kirim Surat Lagi, PKS Minta SBY Maafkan Soeharto
Senin, 21 Januari 2008 - 13:45 wib
Siswanto - Okezone
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera tampaknya getol mengajak masyarakat dan pemerintah untuk memaafkan Soeharto. Setelah Ketua Majelis Syuro PKS Hilmy Aminuddin mengirim surat ke SBY agar memaafkan Soeharto, kini PKS mengirim surat kedua dengan isi yang senada.
"Secara kelembagaan kita memaafkan secara politik Pak Harto, sebagai respons dari permintaan politik beliau," kata Ketua Fraksi PKS Mahfud Sidik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/1/2008).
Dikatakan Mahfud Sidik, pihaknya ingin mendorong bangsa dan negara melakukan hal-hal yang sama, yang diwakili oleh Presiden SBY.
"Ini surat kedua yang akan kami sampaikan. Pemaafan ini tidak sedikitpun untuk menghentikan proses hukum perdata yang sedang berlangsung sekarang," jelasnya.
Surat sikap politik ini akan dikirimkan kepada SBY, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, MA, MK, dan ketua-ketua fraksi.
Ketua Majelis Syuro Hilmy Aminuddin pada 12 Januari 2008 mengimbau SBY untuk mewakili bangsa ini memberi maaf kepada mantan Presiden Soeharto, sebagai pertanda ketulusan dan kebesaran jiwa bangsa Indonesia untuk menerima Soeharto sebagai pemimpin besar.
Soal Pemberian Maaf, PKS Surati Pimpinan Lembaga Negara
Soal Pemberian Maaf, PKS Surati Pimpinan Lembaga Negara
Jakarta-RoL-- Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Senin, menyurati pimpinan lembaga negara terkait pemberian maaf untuk mantan Presiden Soeharto, namun partai ini menginginkan agar proses hukum perdata tetap dilanjutkan dan tidak setuju penyelesaian di luar proses hukum.
Permintaan pemberian maaf kepada Pak Harto disampaikan DPP PKS melalui Fraksi PKS DPR RI.
Ketua Fraksi PKS DPR Mahfudz Siddik didampingi para pimpinan fraksi menyampaikan keterangan pers terkait hal itu di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin.
Mahfudz Siddik didampingi Mustafa Kamal, Fahri Hamzah, Agus Prayitno, Rama Pratama, Andi Rahmat, Zukiflimansyah dan Muktamimul Ula.
Sikap PKS ini menindaklanjuti Surat Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin kepada Presiden pada 12 Januari 2008 yang isinya mengimbau Presiden memberi maaf kepada Pak Harto. Pemberian maaf itu, menurut PKS, sebagai bentuk ketulusan dan kebesaran jiwa bangsa Indonesia menerima Pak Harto sebagai pemimpin besar sekaligus manusia biasa dengan segala kelemahannya.
Bagi PKS, pemberian maaf ini tidak berarti upaya untuk menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung. Menurut Mahfus Siddik, PKS tidak setuju dengan penghentian proses hukum dan penyelesaian kasus dugaan penyimpangan pada yayasan yang semula ditangani keluarga Cendana diselesaikan di luar pengadilan.
"PKS menolak penyelesaian di luar proses hukum, nanti tidak jelas arahnya dan tidak transparan. Kami tak ingin su'udzon tetapi setahun lagi akan diselenggarakan Pemilu," katanya.
Surat disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginanjar Kartasasmita, Ketua MA Bagir Manan, Ketua MK Jimly Asshidiqie dan ketua-ketua fraksi di DPR.
Mahfuz mengakui bahwa sikap PKS sama dengan sikap yang disampaikan Golkar, tetapi beda substansi. Bila Golkar mengusulkan memberi maaf kepada Pak Harto dengan seluruh proses hukum dikesampingkan (deponering), PKS setuju memberi maaf tetapi proses hukum jalan terus.
"Substansi dari gagasan pemberian maaf ini bagi PKS adalah rekonsiliasi agar bangsa ini tidak dibebani persoalan masa lalu yang akan mengganggu perjalanan bangsa ke depan," katanya.
PKS juga menegaskan bahwa sikap tersebut tidak berbeda dengan pernyataan Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Bahkan PKS juga sependapat dengan Nurwahid bahwa Tap MPR No.11/1998 tidak perlu dicabut.
"Secara politik kita maafkan Pak Harto tetapi Tap MPR tersebut jangan dicabut. Proses hukum tetap jalan terus, terutama untuk kasus perdatanya. Sebab untuk proses hukum pidana, rasanya kecil kemungkinannya mengingat kondisi Pak Harto," katanya. antara/abi
PKS: Secara Politik Dimaafkan, Kasus Hukum Soeharto Jalan Terus
PKS: Secara Politik Dimaafkan, Kasus Hukum Soeharto Jalan Terus
detik.com 21 Jan 2008
Jakarta -
PKS akhirnya mengeluarkan sikap resminya soal kasus Soeharto. Hal ini untuk menjawab perbedaan sikap beberapa petinggi PKS yang pernah menyatakan hal berbeda soal Soeharto
“Ide besar dari sikap politik PKS yang memberikan pemaafan politik pada Soeharto dalam rangka rekonsiliasi nasional. Dasarnya Soeharto telah meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia pada pidato pengunduran dirinya 21 Mei 1998,” kata ketua FPKS Mahfudz Siddiq dalam jumpa pers di Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/1/2008).
Sikap PKS, menurut Mahfudz, adalah bentuk jawaban permintaan maaf Soeharto 10 tahun lalu. “Pemaafan itu sekaligus meneguhkan sikap bangsa Indonesia untuk menerima dan mengakui Soeharto sebagai salah satu pemimpin besar negeri ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya,” terang Mahfudz.
Terkait kasus hukum yang masih membelit Soeharto, FPKS berpendapat hal tersebut harus dilanjutkan tanpa sedikitpun penyelesaian di luar pengadilan. Tidak ada istilah kompromi bagi kasus Soeharto.
“Pemaafan politik kita maafkan, tapi hukum tetap jalan. Proses perdata tidak boleh dideponir, tidak boleh diselesaikan di luar meja. Jadi jangan ada kompromi-kompromi,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua FPKS Fachri Hamzah berpendapat, TAP MPR no 11/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN masih diperlukan. Tidak ada alasan dan urgensi untuk mencabut dan membatalkan Tap tersebut, karena Tap tersebut mengatur norma-norma umum bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dari KKN.
“Mengenai klausul yang menyebut nama mantan Presiden Soeharto dan kroninya, hanyalah bagian dari cakupan norma Tap MPR tersebut,” terang Fachri.
Tuesday, January 22, 2008
PKS Minta Soeharto Diproses Secara Hukum
Korantempo, Selasa, 22 Januari 2008
Headline
PKS Minta Soeharto Diproses Secara Hukum
Penghentian penuntutan perkara dapat dicabut jika Soeharto sembuh.
Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq menegaskan hal tersebut kepada wartawan di gedung DPR/MPR,
kasus itu menyangkut uang yang besar nilainya, sehingga ia khawatir ada pihak yang memanfaatkan penyelesaian kasus ini untuk kepentingan politik.
"Ini sudah mendekati pemilu.
Dalam keterangan persnya kemarin, Fraksi PKS juga mendukung agar Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dipertahankan. "Sampai saat ini tidak ada alasan dan urgensi untuk dicabut atau dibatalkan."
Meski mendukung proses hukum, Fraksi PKS kembali mengimbau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memberikan maaf kepada Soeharto. Sikap politik fraksi ini secara tertulis sudah dilayangkan kepada Presiden pada 12 Januari lalu. Bahkan, kata Mahfduz, pihaknya akan melayangkan
Wakil Ketua Fraksi PKS Fachri Hamzah mengatakan pemberian maaf ini bertujuan rekonsiliasi nasional. "Bangsa ini menunggu keberanian Presiden SBY," ujarnya kemarin.
Soal sikap Fraksi PKS ini, kemarin, Mutammimul 'Ula, anggota Fraksi PKS, meluruskan pemberitaan harian ini (Koran Tempo, 19 Januari 2008, berjudul "PKS Terbelah"). Menurut Mutammimul, dia tidak pernah mengatakan di Dewan Pimpinan Pusat PKS suaranya tidak satu dalam soal pemberian maaf terhadap Soeharto.
Ia juga merasa tidak pernah mengatakan "secara tegas menentang pernyataan ketua fraksinya". Sebab, usul Fraksi PKS agar memberikan maaf kepada Soeharto tidak pernah dibicarakan di rapat internal fraksi.
Di tempat terpisah, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan
"Kalau sembuh, baru bisa dicabut dan diperkarakan lagi," ujarnya di
Hingga tadi malam, kesehatan Soeharto terus membaik. "Tadi saya cek kondisinya bagus, stabil," kata Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Soebiandono tadi malam. Soeharto pun sudah menjalani terapi bicara dan fisioterapi. KURNIASIH BUDI |
Monday, January 21, 2008
Presiden Harus Berikan Maaf Atas Nama Bangsa
JAKARTA--MEDIA: Fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama bangsa dan rakyat Indonesia memberikan maaf kepada mantan Presiden Soeharto dan mengakui peran kepemimpinannya dengan berbagai kebaikan juga kekurangannya.
Demikian diakui oleh Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq kepada Media Indonesia usai rapat konsultasi antara DPR dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta, Kamis (17/1) malam.
Menurut Mahfudz, dalam rapat konsultasi itu Fraksi PKS menjelaskan bahwa mempertimbangkan kondisi kesehatan Pak Harto yang kritis, penghormatan kepala-kepala negara dan mantan kepala negara terhadap Pak Harto maka sudah saatnya untuk menunjukkan Indonesia sebagai bangsa besar yang menghargai para pemimpinnya dengan memberikan maaf secara politik dan berskala nasional melalui Presiden.
"Apalagi Pak Harto telah minta maaf kepada rakyat saat lengser dalam pidato pengunduran dirinya sebagai presiden ketika itu, tapi bangsa ini belum membalas permintaan maaf itu. Pemberian maaf yang diucapkan oleh Presiden atas nama bangsa akan menjadi cut off sejarah masa lalu dengan masa kini dan masa depan. Ini harus dilakukan agar kita bisa fokus membangun bangsa ini," kata Mahfudz. (Far/OL-2)
PKS Desak SBY Tegas Soal Status Soeharto
Senin, 7 Januari 2008 - 10:39 wib
Okezone
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendesak agar Presiden SBY bersikap tegas terhadap status hukum mantan Presiden Soeharto, apakah diberi ampunan atau dituntaskan."Pemerintah jangan mengulur-ulur waktu. Dengan sakitnya Pak Harto, seharusnya pemerintah tegas, agar tidak meninggalkan persoalan yang bisa menjadi beban," jelas Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Sidik kepada wartawan sebelum mengikuti sidang paripurna DPR, Jakarta, Senin (7/1/2008).
Menurut Mahfudz kasus hukum bisa saja berakhir dengan meninggalnya Soeharto. "Makanya, ketika masih ada waktu, Presiden SBY harus bisa mengambil sikap tegas," katanya.
PKS sendiri, kata Mahfudz tetap meminta agar kasus Soeharto tetap diusut dan bukan hanya korupsinya saja. "Pemerintah harus membentuk pengadilan khusus, sehingga reformasi ini bisa bergerak," pungkasnya.
PKS Terbelah
Headline
PKS TERBELAH
“Yang disampaikan Ketua Fraksi tak sesuai dengan aspirasi partai.”
JAKARTA -- Politikus Partai Keadilan Sejahtera di Senayan tak satu suara ihwal perlunya memaafkan mantan presiden Soeharto. Mutammimul 'Ula, anggota Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya. Ia secara tegas menentang pernyataan ketua fraksinya, Mahfudz Siddiq, yang menyatakan PKS mengusulkan agar pemerintah memaafkan Soeharto.
Menurut Tamim, panggilan akrab Mutammimul, pernyataan Mahfud itu tak pernah dibicarakan di internal fraksi. Karena itu, dia menganggap pernyataan Mahfud tersebut adalah pernyataan pribadi, tidak mewakili fraksi. "Apanya yang mau dimaafkan?" kata Tamim kepada Tempo di Jakarta kemarin.
Sebelumnya, saat rapat konsultasi DPR dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis malam lalu, Mahfudz menyebut Fraksi PKS mengusulkan agar pemerintah memaafkan Soeharto. "Ini untuk menunjukkan kita sebagai bangsa besar yang menghargai pemimpinnya," kata Mahfudz. Sikap PKS itu, menurut Ketua DPR Agung Laksono, disetujui oleh Partai Golkar.
Menurut Tamim, kesalahan seseorang terhadap orang lain memang dianjurkan segera dimaafkan. Namun, kesalahan Soeharto bukanlah kesalahan antarpribadi, melainkan kesalahan kebijakan politik. "Apa yang disampaikan Ketua Fraksi tak sesuai dengan aspirasi partai," ujar Tamim.
Ia mengakui masalah maaf-memaafkan Soeharto memang pernah dibicarakan di Dewan Pimpinan Pusat PKS. Namun, di forum tersebut, suaranya tidak satu. "Macam-macam. Ada yang minta dimaafkan, ada juga yang tak setuju," katanya.
Versi Wakil Sekretaris Jenderal PKS Fachri Hamzah lain lagi. Menurut dia, suara partainya ihwal Soeharto tidak pecah. Ia menyebut sikap memberikan maaf telah menjadi sikap resmi. "Hal itu telah diputuskan partai," ucapnya saat dihubungi Tempo kemarin. Sebaliknya, menurut Fahri, "Kalau ada sikap lain, hal itu merupakan pernyataan pribadi."
Pernyataan Fahri itu segendang sepenarian dengan ungkapan pendapat Ketua Majelis Syura PKS KH Hilmy Aminudin dan Presiden PKS Tifatul Sembiring. Cuma, Tifatul memberi embel-embel, sebelum memutuskan memaafkan Soeharto, Presiden Yudhoyono harus berkonsultasi dulu dengan Mahkamah Agung dan DPR. "Agar secara politik kuat," katanya.
Di tempat terpisah, kemarin, juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng kembali menegaskan bahwa Presiden tak memiliki hak politik untuk memaafkan Soeharto. Presiden hanya memiliki empat hak konstitusional seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi, yang dapat diberikan setelah ada proses hukum. "Empat itu tak cocok untuk kasus Pak Harto karena harus ada putusan dulu," katanya.
SBY Lamban Putuskan Syamsul
SBY Lamban Putuskan Syamsul
Mahfudz Siddiq: Mubazir Rapat Konsultasi Pemerintah-DPR
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai lamban memutuskan status keanggotaan Syamsul Bahri di Komisi Pemilihan umum (KPU). Karena itu, menurut Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Mahfudz Siddiq, rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR yang membahas masalah tersebut Kamis (17/1) malam sia-sia. "Mubazir rapat itu," ujar Mahfudz di Jakarta kemarin (18/1).
Dia menilai rapat itu tidak efektif karena tidak menghasilkan solusi apa pun. "Jika hasilnya masih begitu-begitu saja, seharusnya tidak perlu forum sebesar itu," tambahnya.
Mahfudz juga menilai, pembahasan nasib Syamsul Bahri terlalu sempit kalau harus dibicarakan dengan peserta rapat yang begitu lengkap. Selain Presiden SBY, saat itu hadir Wapres Jusuf Kalla serta beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Seluruh pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan pimpinan komisi II juga mengikuti rapat konsultasi tersebut. "Meski bukan satu-satunya agenda, fokus utamanya tetap di Syamsul Bahri. Jadi, menurut saya, itu memang kurang tepat," tegasnya.
Rapat konsultasi tanpa hasil signifikan seperti yang dilakukan Kamis (17/1) malam itu bukan yang pertama. Rapat konsultasi dengan agenda sama, membahas kejelasan nasib Syamsul Bahri, pernah dilakukan di Istana Negara pada 29 November 2007.
Pada rapat yang berlangsung tertutup selama tiga jam lebih itu, penyelesaian masalah Syamsul masih menunggu putusan hukum di pengadilan tingkat 1 (PN). Diperkirakan, kepastian hukum tersebut keluar pada Maret 2008.
"Saya sulit memahami kenapa bisa berbelit-belit seperti ini. Padahal, semua urusan itu tinggal menunggu ketegasan presiden," ungkap Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti. Menurut dia, energi dan waktu pemerintah dan DPR telah terkuras untuk urusan Syamsul Bahri tanpa penyelesaian yang nyata.
"Saya memahami ada kekosongan hukum, tapi di sinilah seharusnya presiden bisa mengambil peran lebih besar," tegasnya. Dia menyatakan, banyak agenda terkait kesejahteraan rakyat yang menunggu perhatian pemerintah dan DPR. Misalnya, soal kelangkaan kedelai atau yang lainnya. "Bisa dibayangkan, lima menteri sudah diajak untuk ikut membahas, tapi hasilnya tetap tidak ada," tambahnya.
Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalah Syamsul Bahri ke pemerintah dan DPR. Menurut anggota KPU Endang Sulastri, selama ini, para anggota sudah menyesuaikan pembagian kerja sebagai dampak kekosongan satu kursi tersebut. "Pekerjaan tinggal kami bagi enam saja," ujarnya.
Karena itu, kata Endang, pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan keputusan mengambang antara pemerintah dan DPR dalam rapat konsultasi sebelumnya. "Tidak masalah kalau masih harus menunggu proses hukumnya selesai. Kinerja KPU tidak akan terganggu," tandasnya.
Bahkan, lanjut Endang, kalau pemerintah dan DPR memutuskan untuk mengganti Syamsul dengan calon lain, KPU tidak akan terpengaruh. Sebab, menurut dia, wewenang pengisian anggota KPU yang kosong memang berada di tangan pemerintah dan DPR. "Siapa pun akan kami terima, asal bisa bekerja sama dengan baik saja," tambahnya
Respons positif atas hasil pertemuan antara pemerintah dan DPR itu masih muncul dari beberapa anggota DPR. Mereka sepakat menunggu keluarnya putusan pengadilan atas kasus dugaan korupsi yang melilit dosen Universitas Brawijaya tersebut.
"Awalnya, FPPP memang ingin langsung dilakukan penggantian. Tapi, setelah mendengar komitmen presiden, kami bisa memaklumi," kata Ketua FPPP Lukman Hakim Syaifuddin di Jakarta kemarin (18/1).
Friday, January 18, 2008
Pengembalian Insentif Legislasi Harus Terdata
Kompas, 18 Januari 2008
Pengembalian Insentif Legislasi Harus Terdata
Pimpinan DPR Malah Mendapat Insentif "Cuma-cuma"
Jakarta, Kompas - Sekretariat Jenderal DPR mesti membantu fraksi yang hendak mengembalikan insentif legislasi. Harus ada data yang sahih mengenai insentif yang diterima dan seberapa besar yang mesti dikembalikan karena anggota bersangkutan tidak termasuk dalam Panitia Khusus DPR yang memang ditugaskan membahas sebuah rancangan undang-undang.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Agus Condro Prayitno di Jakarta, Kamis (17/1), menyebutkan, data rinci dana yang diterima berikut keterlibatan masing-masing anggota dalam pansus akan membantu merinci seberapa besar insentif "cuma-cuma" yang mesti dikembalikan ke kas negara.
Permintaan ini sekaligus bisa untuk mengetahui tertib administrasi Sekjen DPR karena ditengarai banyak anggota DPR yang bahkan tidak paham seberapa besar, kapan, dan juga rincian penerimaannya setiap bulannya.
Agus juga menyentil penerimaan insentif legislasi bagi pimpinan DPR yang besarnya sekitar Rp 6 juta untuk setiap undang- undang yang disahkan.
Insentif bagi pimpinan DPR ini sebetulnya tidak ubahnya insentif "cuma-cuma" yang diterima anggota DPR yang tidak masuk dalam pansus. "Kalau anggota yang bukan anggota pansus mesti mengembalikan, pimpinan mestinya juga. Mereka kan hanya ketok palu saat paripurna, belum tentu (unsur pimpinan DPR) semuanya datang," kata Agus.
Sikap Fraksi PDI-P mengharuskan para anggota mengembalikan insentif yang sudah diterima anggota fraksinya. "Kalau surat (perintah mengembalikan insentif legislasi) sudah diteken Mbak Mega (Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri) dan Mas Pram (Sekjen DPP PDI-P Pramono Anung). Ini serius banget," ujar Agus.
PKS terima
Sementara Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq menyatakan, fraksinya akan konsisten dengan keputusannya untuk (akhirnya) menerima dana legislasi yang resmi dianggarkan DPR tahun 2007.
"Seluruh dana itu tidak diterima anggota, tetapi dikelola fraksi bekerja sama dengan DPP PKS untuk bantuan sosial dan bencana alam," kata Mahfudz.
Menurut dia, Fraksi PKS DPR menyayangkan sikap fraksi-fraksi yang plin-plan karena mereka terlebih dahulu menyatakan persetujuannya. Fraksi PKS paling akhir menyetujui adanya anggaran legislasi itu. Itu pun setelah dikonfirmasi kepada pimpinan DPR yang menyebutkan tinggal fraksi mereka yang tidak setuju.
Diperkirakan semua dana sudah masuk ke seluruh fraksi. "Jadi, bagi mereka yang menolak dan akan mengembalikan, kita tunggu pembuktiannya," ujar Mahfudz.
Fraksi PKS akan menginformasikan semua penyaluran dana sekitar Rp 1,4 miliar yang mereka terima. (dik/sut)
Presiden Didesak Maafkan Pak Harto
Presiden Didesak Maafkan Pak Harto | |||
Sindo, Jum'at, 18/01/2008 | |||
KONSULTASI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua DPR Agung Laksono memberi keterangan pers bersama setelah melakukan rapat konsultasi di Gedung DPR, tadi malam. Ikut menyaksikan Wapres Jusuf Kalla, sejumlah menteri dan pimpinan fraksi DPR. JAKARTA(SINDO) – Dua fraksi di DPR meminta pemerintah memberikan maaf kepada mantan Presiden Soeharto jika melakukan kesalahan selama memimpin negara. Permintaan ini disampaikan langsung oleh Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PKS saat rapat konsultasi antara pemerintah dengan DPR di Gedung DPR tadi malam. Menurut Ketua DPR Agung Laksono, Presiden akan mempertimbangkan usulan kedua fraksi tersebut. ”Tapi kita belum tahu apa reaksi pemerintah tentang usulan dari kami ini. Permintaan kami kepada pemerintah untuk memaafkan Pak Harto sepenuhnya akan menjadi pertimbangan pemerintah ke depan,” kata Agung dalam keterangan pers bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Gedung DPR tadi malam. Agung mengatakan, bagaimanapun Pak Harto adalah mantan presiden republik ini sehingga pemberian maaf dirasa perlu.”Pihak luar negeri semuanya menghormati Pak Harto.Tentunya kalau luar negeri saja menghormati, kenapa kita sebagai bangsa yang besar tidak mau memaafkan,”katanya. Dalam rapat itu belum ada keputusan final soal Pak Harto.Agung tidak menyampaikan siapa saja perwakilan kedua fraksi yang menyampaikan permintaan itu. Namun,dari Fraksi Golkar yang hadir adalah pimpinan Fraksi Partai Golkar yaitu Priyo Budisantoso, Syamsul Bachri,dan Idrus Marham. ”Presiden mencatat betul apa yang diminta kedua fraksi tersebut dan mengatakan ini adalah masukan yang berharga yang dengan sungguh-sungguh akan beliau tindaklanjuti. Kita lihat nanti apa keputusan Presiden,”katanya. Agung mengatakan usulan kedua fraksi itu kepada Presiden hanya seputar permintaan maaf bagi Pak Harto. Rapat tadi malam juga membahas nasib calon anggota KPU Syamsul Bahri yang kini sedang menjalani proses hukum. Dalam jumpa pers tersebut, Presiden menyatakan, pemerintah akan membuat keputusan tentang Syamsul Bahri pada Maret mendatang, setelah adanya keputusan hukum di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri). ”Kita ambil langkah pertama dari situ.DPR dan pemerintah telah merumuskan langkah yang sekarang sedang dijalani proses hukumnya oleh Syamsul Bahri. Isu tadi akan kita tindaklanjuti dan kita agendakan di waktu mendatang,”kata Presiden. Sementara itu Ketua DPR Agung Laksono mengatakan,DPR sepakat dengan pemerintah,menunggu penyelesaian status Syamsul Bahri di pengadilantingkatpertama.” Padasaatnya nanti ada keputusan, akan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya,”ujarnya. Agung menjelaskan,penyelenggara pemilu harus memiliki integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. ”Dewan meminta Presiden untuk segera mengambil langkah sesuai ketentuan perundangan sehingga jumlah anggota KPU tetap memenuhi ketentuan sebagaimana diatur UU Penyelenggara Pemilu,”ungkapnya. Selain membahas status hukum Syamsul Bahri, rapat konsultasi juga membicarakan sejumlah masalah yang menjadi sorotan publik. Beberapa di antaranya adalah soal kesehatan mantan Presiden Soeharto,pemekaran wilayah, kedelai yang merugikan produsen tahu tempe, tempat ibadah serta peraturan pemerintah tentang pajak penghasilan. Pada pertemuan tersebut, Presiden SBY didampingi sejumlah menteri antara lain Menko Polhukam Widodo AS, Menko Perekonomian Boediono, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata,Mendagri Mardiyanto, dan Menteri SekretarisNegaraHattaRajasa. KemudianSekretarisKabinet Sudi Silalahi,Jaksa Agung Hendarman Supandji,Panglima TNI Djoko Santoso,dan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Pertemuan diawali dengan pemberian pandangan dan tanggapan dari pimpinan 10 fraksi DPR dan pimpinan komisi-komisi DPR. (rarasati syarief/ rijan irnando purba) |
Thursday, January 17, 2008
Fraksi-Fraksi Ajukan Syarat
Fraksi-Fraksi Ajukan Syarat
Siap Kompromi soal Sistem Proporsional Terbuka Terbatas
JAKARTA - Proses kompromi untuk mencari titik temu nilai persentase dari sistem proporsional terbuka terbatas terus berjalan. Sejumlah alternatif mulai diajukan fraksi-fraksi secara terbuka.
"Kami tengah menimbang-nimbang tawaran fraksi lain untuk bersedia sepakat 25 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilih, Red)," kata Ketua FPPP Lukman Hakim Syaifuddin di Jakarta kemarin (16/1).
Namun, sebagai imbal baliknya, dia meminta alokasi kursi yang diperebutkan di setiap dapil (daerah pemilihan) tetap berada dalam rentang 3-12 kursi. Itu sama seperti ketentuan Pemilu 2004. "KPU jangan lagi dibebani dengan kesibukan mengubah jumlah dan komposisi dapil," ujarnya. Lukman beralasan, KPU harus fokus pada agenda-agenda utama, seperti mendata pemilih, menyiapkan peraturan dan kelengkapan sarana pemilu.
Terkait dengan alokasi kursi per dapil tersebut, PDIP dan Golkar memang ingin merampingkan menjadi 3-6 atau 3-7 kursi saja. Konsekuensinya, jumlah dapil tentu akan bertambah. Hanya, di balik itu, peluang parpol kecil dan sebagian parpol menengah di dapil tertentu untuk mendapatkan kursi juga ikut mengecil.
Ketua FPKS Mahfudz Siddiq juga mengaku partainya mau tidak mau harus berkompromi dengan sistem proporsional terbuka terbatas. "Kami meminta 30 persen dari BPP," ungkapnya.
PKS juga mengajukan catatan tambahan. Menurut dia, ketika suatu parpol di dapil tertentu memenangkan tiga kursi, sementara ada lima calegnya yang bisa mencapai 30 persen dari BPP, tiga kursi itu harus mengacu kepada peringkat kelima caleg tersebut. "Ini syarat dari kami," tegasnya.
"Kami juga terpaksa harus berkompromi," kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Meski begitu, lanjut dia, nilai persentasenya tidak boleh mereduksi terlalu dalam prinsip suara terbanyak dan penghormatan kepada suara pemilih. "Jadi, persentasenya ojo nemen-nemen (jangan berlebihan, Red)," kata mantan Ketum PB HMI itu.
Menurut Anas, referensi dari komponen masyarakat pemerhati pemilu perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan kompromi soal persentase tersebut. Meski disepakati proporsional terbatas, dia berharap sejumlah prinsip penting tetap tidak tergadaikan. Di antaranya, prinsip akuntabilitas hubungan emosi politik wakil rakyat kepada basis konstituennya dan semangat untuk mengurangi konflik internal dalam penyusunan daftar calon. Sebab, para caleg saling memperebutkan nomor urut jadi.
Lantas, berapa persentase yang tidak berlebihan itu? "Kami masih membuat simulasinya," kilah Anas. Dia hanya mengingatkan perlunya mempermudah teknis mencoblos dan kriteria suara sah untuk mendukung pencapaian persentase tertentu dari BPP tersebut.
Sistem proporsional terbuka terbatas itu pada awalnya hanya diusung tiga fraksi. Mereka adalah Partai Golkar yang mengajukan 50 persen, PDIP yang mengusulkan 25 persen, dan PDS yang juga mendorong 50 persen dari BPP.
Dengan sistem itu, kursi yang dimenangkan parpol diberikan kepada caleg yang perolehan suaranya mencapai persentase tertentu dari BPP tersebut. Bila tak ada caleg yang mencapai persentase BPP itu, kursi yang dimenangkan partai langsung diberikan kepada caleg sesuai urut kacang nomornya. Sebelumnya, FPBR juga mengaku terang-terangan siap berkompromi dengan mengajukan pencapaian 15 persen dari BPP.
PKB juga mengisyaratkan siap berkompromi. Syaratnya, untuk kursi yang dimenangkan partai, namun tak ada caleg yang sukses mencapai persentase tertentu dari BPP, kursi itu tidak boleh dibagi di dapil tersebut. PKB menginginkan sisa kursi beserta nilai suara yang "ditunda distribusinya" dari setiap dapil itu dikumpulkan di provinsi untuk dikompetisikan kembali.
Lantas, bagaimana FPAN? Sejak jauh-jauh hari, partai itu sepakat tetap menerapkan secara internal sistem proporsional terbuka murni atau sistem penetapan caleg jadi menurut suara terbanyak. Tak peduli, apa pun hasil kesepakatan di pansus RUU Pemilu.
Dengan demikian, bila PAN di dapil X memenangkan tiga kursi, ketiga kursi itu langsung diberikan kepada caleg peringkat I, II, dan III di dapil X tanpa melihat nomor urut. Lantas, untuk menghindari hambatan nomor urut, mereka menyiapkan perangkat internal berupa mekanisme pengunduran diri. (pri/oni)
Wednesday, January 16, 2008
Tak Boleh Ada Aturan Batasi Hak Politik
PEMILU PRESIDEN
Tak Boleh Ada Aturan Batasi Hak Politik
Kompas, 3 Januari 2008
Jakarta, Kompas - Pada prinsipnya, tidak boleh ada aturan yang membatasi hak politik warga negara, termasuk kesempatan untuk maju dalam pencalonan kepemimpinan nasional. Hanya saja, harus ada kesadaran mengenai beratnya tugas kepemimpinan nasional.
"Calon presiden atau wakil presiden mensyaratkan kualifikasi tertentu," kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq, Rabu (2/1), menanggapi perdebatan soal persyaratan calon presiden dan wakil presiden, terutama setelah Abdurrahman Wahid memastikan bakal maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009.
Menurut Mahfudz, soal kualifikasi calon pemimpin itu juga diajarkan dalam agama, termasuk kemampuan aspek fisik. Akan tetapi, dia juga mengingatkan, yang lebih penting lagi, Indonesia saat ini butuh generasi kepemimpinan baru. Partai politik ditantang untuk mampu mempromosikan figur-figur kepemimpinan muda.
"Ini menjadi tren kepemimpinan politik di banyak negara maju," ujar Mahfudz.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR Lukman Hakim Saifuddin menyebutkan, konstitusi tidak melarang siapa pun untuk maju karena persyaratan calon presiden-wakil presiden adalah "mampu" dan bukan "sehat secara jasmani".
"Selama seseorang mampu, tidak ada alasan undang-undang atau Komisi Pemilihan Umum untuk melarangnya," kata Lukman Hakim Saifuddin.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional DPR M Yasin Kara mengingatkan, dalam kondisi Indonesia yang sulit seperti saat ini, menjadi presiden tidak cukup dengan sekadar representasi.
Calon presiden mesti punya visi dan skenario yang jelas, juga harus hadir sebagai sosok negarawan yang mampu merangkai keragaman.
"Persoalannya, Gus Dur jelas memiliki problem fisik yang menyulitkan dirinya untuk menangani kebutuhan obyektif bangsa," kata M Yasin.F-PKS DPR: Waspadai Tawaran Win-win Solution
F-PKS DPR: Waspadai Tawaran Win-win Solution
Laporan wartawan Kompas Sidik Pramono
JAKARTA, KOMPAS- Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR Mahfudz Siddiq mengingatkan perlunya kewaspadaan menyikapi tawaran win-win solution oleh pemerintah kepada keluarga mantan Presiden Soeharto. Tawaran tersebut merupakan proses politik yang cenderung tertutup dan tidak punya pijakan hukum yang jelas.
"Pendekatan ini akan mengaburkan fakta dan hak-hak hukum Soeharto dan keluarganya," sebut Mahfudz, Selasa (15/1) siang.
Menurut Mahfudz, tuntutan agar keluarga Soeharto mengembalikan kekayaan negara yang dikorupsi harus didasari putusan hukum yang jelas. Besarnya angka kekayaan yang dituntut pengembaliannya akan rawan disalahgunakan bagi kepentingan politik berbagai pihak jika pendekatannya politik seperti yang ditawarkan pemerintah.
Tuesday, January 15, 2008
Golkar Ingin Peningkatan Syarat Capres
Golkar Ingin Peningkatan Syarat Capres
PDIP mengingkan syarat capres sesuai UUD 1945 saja.
JAKARTA - Partai Golkar menginginkan syarat calon presiden di Undang-Undang Pemilihan Presiden (Pilpres) mengalami peningkatan. Meski begitu Golkar tidak ingin terjadi banyak perubahan di undang-undang pilpres tersebut.
Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Agung Laksono. Secara umum, menurut dia, Golkar menginginkan tidak terlalu banyak perubahan di RUU Pilpres. `'Kalaupun ada perubahan kami menginginkan agar ada peningkatan dari waktu ke waktu,'' kata Agung, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/1).
Dijelaskannya, Golkar tidak sepakat kalau syarat calon presiden (capres) justru mengalami penurunan.`'Jangan SMA turun ke SMP, turun ke SD. Tapi harus ada progress,'' ungkap Agung. Namun demikian, lanjut dia, Golkar masih perlu membahas secara detail usulan mereka atas RUU Pilpres.
Anggota Fraski Partai Golkar yang terlibat dalam pembahasan RUU Pilpres, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan kalau partainya tidak akan mengusulkan perubahan atas syarat capres di RUU Pilpres mendatang. `'Kita tidak ingin ada kesan menghambat seseorang yang ingin maju di Pilpres 2009,'' katanya.
Dalam RUU Pilpres mendatang, jelas dia, Golkar justru lebih memprioritaskan perbaikan pada mekanisme pemilihannya saja. Mulai usul menaikkan syarat dukungan dalam pencalonan capres oleh parpol, serta sumber dana kampanye. Salah satunya usulan menaikkan syarat dukungan dari 15 persen menjadi 30 -35 persen.
Menurut Ferry, dalam hal usulan syarat capres adalah `sehat dan mampu' seperti yang diusulkan pemerintah, maka masalah itu nantinya tetap ada pengaturan. Dijelaskannya, persoalan kesehatan tidak sebatas adanya cacat fisik saja. `'Bagaimana misalnya kalau orangnya gampang stres? Kan juga repot kalau ternyata orang seperti itu sampai menjadi presiden.''
Penentuan sehat dan mampu itu, lanjut Ferry, nantinya diserahkan pada lembaga yang memiliki otoritas di wilayah tersebut. Sebab, kondisi sehat seseorang itu ada ukurannya, baik dalam hal cacat fisik maupun sakit tertentu. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq, mengatakan usulan syarat pendidikan, umur, maupun sehat secara fisik, seharusnya tidak dimaknai sebagai pembatasan. Langkah-langkah itu semestinya dipandang sebagai upaya untuk mencari format memimpin yang baik.
''Kalau memang pembatasan-pembatasan seperti itu dianggap tidak perlu, semestinya hal-hal lain juga tidak perlu diatur agar tidak ada pembatasan. Semua umur boleh dicalonkan sebagai presiden. Begitu pula orang yang mengalami gangguan jiwapun boleh menjadi calon presiden, kalau memang ketentuan-ketentuan itu dipandang sebagai pembatasan,'' katanya. Gagasan PKS menaikkan syarat pendidikan capres menjadi sarjana, menurut Mahfudz, didorong keinginan meningkatkan kualitas sekaligus simbolisasi keinginan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. `'Kalau kita ingin meningkatkan pendidikan kita, semestinya itu tercermin dari presiden kita.''
Disinggung tentang tidak adanya jaminan presiden dari sarjana bisa memimpin negeri ini lebih baik, Mahfudz, mengatakan kalau memang sarjana saja tidak ada jaminan, apalagi kalau pendidikannya di bawah sarjana. ''Bagaimanapun juga pendidikan formal akan lebih membentuk struktur berpikir, maupun hal yang bisa dijadikan parameter kemampuan,'' ujarnya.
Sesuai konstitusi
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Tjahjo Kumolo, menyatakan tidak sepakat dengan usulan menaikkan syarat pendidikan menjadi minimal sarjana. Dijelaskannya, tingkat pendidikan formal tidak bisa dijadikan parameter mengukur kemampuan memimpin. '' Akan lebih baik kalau syarat capres mengacu saja pada ketentuan di UUD 1945. Syarat calon presiden cukup diusung oleh partai politik, berbadan sehat, dan bisa baca tulis,'' katanya.
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR, Effendy Choirie, menuding syarat sarjana dimaksud untuk mengganjal calon tertentu. Dia melihat syarat yang ada saat ini sudah cukup baik dan perlu diubah lagi. ''Kalau terus dipersoalkan justru dikhawatirkan akan menjadi polemik berkepanjangan.'' n dwo
PKB Dirayu Enam Kursi
PKB mengupayakan UU Pemilu mencerminkan keadilan dalam hal pembagian kursi di setiap dapil.
JAKARTA -- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi kunci dalam penetapan besaran kursi di setiap daerah pemilihan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan menambah kursi di Jawa Timur agar PKB tidak 'tergoda' usulan Partai Golkar dan PDIP.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq, mengatakan bahwa sejumlah fraksi di DPR (termasuk PKS), mengusulkan agar ada penambahan kursi DPR. ''Sangat mungkin akan kita usulkan bahwa jumlah kursi DPR sebanyak-banyaknya 575 kursi,'' jelas Mahfudz, di Jakarta, Senin (14/1). Dengan penambahan kursi ini maka akan ada penambahan kursi di Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat.
Dengan adanya tambahan alokasi kursi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kata Mahfudz, diharapkan akan semakin banyak parpol yang mendukung usulan kursi per daerah pemilihan (dapil) dengan rentang antara 3 hingga 12 kursi. Meski begitu Mahfudz tidak bersedia menyebut parpol yang dimaksudnya.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari PKS, Agus Purnomo, mengatakan, jumlah atau angka 575 kursi merupakan angka kesetaraan nasional. Maka jika diterapkan maka jumlah kursi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, NTB, Aceh, Papua, maupun Irian Jaya Barat, nantinya akan mengalami penurunan. Kursi mereka akan bergeser ke Jawa Tengah (2 kursi), Jawa Timur (6 kursi), maupun Jawa Barat (2 kursi).
''Padahal pada prinsipnya kan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan (dapil) pada Pemilu 2009 jangan sampai lebih kecil dibanding Pemilu 2004 lalu. Dan agar kursi di luar Jawa tidak berkurang, maka jumlah kursi pada 2009 diusulkan ditambah,'' ujarnya.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), persoalan jumlah kursi menjadi bahan perdebatan yang sengit. Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan jumlah kursi dapil antara 3 hingga 7 kursi, PKB usulkan 3 hingga 10 kursi.
Sementara parpol lain minta 3 hingga 12 kursi. Jika kursi 3-7 diterapkan bisa dipastikan partai kecil dan menengah akan banyak kehilangan kursi. Sementara PDIP dan PG diperkirakan jumlah perolehan kursinya akan semakin menggelembung.
Agus Purnomo lebih lanjut mengatakan, posisi PKB memang menjadi pemegang kunci lolos tidaknya usulan PDIP dan PG. Kalau PKB bergeser ke usulan PDIP dan PG, maka kalau dipakai mekanisme voting dalam pengambilan keputusan, bisa dipastikan usulan 3 hingga 12 kursi akan tumbang. ''Tapi kalau tujuh partai (dari PAN, PKS, PDS, PPP, Partai Demokrat, BPD, dan PKB) ini solid, kita bisa menang kalau voting.''
Usulan PKB agar jumlah kursi per dapil sebanyak 3-10 kursi, menurut dia, sebenarnya masih cukup bisa diterima. Persoalannya adalah adanya kekhawatiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan 'bermain' dalam penentuan dapil, yang ujung-ujungnya menguntungkan parpol tertentu.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari PKB, Saifullah Ma'shum, menegaskan PKB tidak terlalu berkeras dalam hal jumlah kursi. PKB hanya mengupayakan agar UU Pemilu mencerminkan proporsional dan keadilan dalam hal pembagian kursi di setiap dapil. ''Kami ingin diperdekatkan antara harga kursi di Jawa dan luar Jawa,'' jelas Saifullah.
Usulan kursi 3-10 per dapil, menurut Saifullah, akan bisa menjadi jalan tengah bagi perdebatan antara kubu yang ingin 3-7 kursi dan 3-12 kursi. Kalaupun 3-10 kursi diterapkan, tidak akan terlalu besar perubahan grouping maupun zone-nya.
Dapil yang akan mengalami perubahan kalau usulan 3-10 kursi di antaranya Jawa Timur dari 9 Dapil menjadi 10 Dapil, Jawa tengah 10 Dapil menjadi 11 Dapil, Jawa Barat 10 Dapil menjadi 11 Dapil, Sulawesi Selatan dari 2 Dapil menjadi 3 Dapil, Riau menjadi 2 Dapil, Banten dari 2 Dapil menjadi 3 Dapil. ''Jadi sebenarnya tidak terlalu banyak. Ada penambahan Dapil sekitar 10,'' jelasnya. Wakil Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS), Denny Tewu, mengatakan pihaknya akan all out memperjuangkan kursi tiga hingga 12 per dapil tetap dipertahankan.