DPR Harus Rintis Kontrol Internal
JAKARTA -- Untuk melihat keseriusan DPR dalam menggunakan
anggaran Kunjungan Kerja Perseorangan (KKP) dan Penyerapan
Aspirasi Masyarakat (PAM), anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Baharuddin Aritonang, meminta DPR harus merintis tradisi
pertanggungjawaban yang tercatat dan mekanisme kontrol internal.
Pertanggungjawaban yang hanya berupa pernyataan tertulis dan
kwitansi pengambilan uang, tidaklah cukup.
Harapannya, DPR memahami apa yang ingin dibangun bersama,
yaitu transparansi dan akuntabilitas anggaran. `'Kalau tidak dibangun
mulai dari sekarang, kapan lagi? Sebab, secara akuntansi, kedua hal
itu tidak cukup dijadikan bukti pemeriksaan BPK. Selain harus ada
standar operasional prosedur (SOP), bukti transaksi harus lengkap,''
kata Baharudin, dalam diskusi Dialektika Demokrasi: Kontroversi
Anggaran Penyerapan Aspirasi, di Gedung DPR, Jumat (28/7).
Sekjen DPR Faisal Jamal, Imam Churmen (mantan anggota DPR),
dan Koordinator Bidang Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)
Fahmi Badoh, ikut mernjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Faisal Jamal mengakui tidak ada tolok ukur yang jelas atas
pertanggungjawaban penggunaan dana reses tersebut. Tapi, kontrol
atas benar tidaknya meraka melakukan PAM dan KKP,
pertanggungjawaban ada di fraksi atau kepanjangan tangan parpol di
daerah. ''Pihak fraksi yang nantinya akan melaporkan kegiatan
penyerapan aspirasi itu,'' kata Faisal.
Ditanggapi Fahmi Badoh, kalau pertanggungjawaban hanya
didasarkan pada laporan yang disampaikan ke fraksi, justru akan sulit
dikontrol. `'Indikator yang akan digunakan masing-masing parpol atau
fraksi juga berbeda-beda,'' ujarnya. Bahkan, lanjut Fahmi, sekalipun
KKP dan PAM implementasinya belum selesai, ia sudah melihat
gelagat adanya masalah dalam hal pertanggungjawaban. Yaitu,
kecenderungan hanya akan dipertanggungjawabkan secara
administratif. Padahal, seperti dikemukakan Baharudin, sistem
penganggaran sudah beralih ke performance budgeting, dengan
menjadikan kwitansi maupun daftar hadir sangat penting dalam
pertanggungjawaban anggaran.
`'Kalau dana itu sengaja diadakan semata untuk meningkatkan
alokasi pendapatan bagi anggota DPR, bisa dikategorikan sebagai
indikasi korupsi karena tidak akan jelas pertanggungjawabannya,''
kata Fahmi Badoh, Jaringan ICW akan melakukan pemantauan di
sekitar 20 daerah bersama Forum Indnesia untuk Transparansi
Anggaran. Hasil pemantauan akan disampaikan pula ke BPK untuk
bisa menjadi masukan pada saat melakukan audit anggaran. `'Kami
akan melihat apa betul dilakukan konsultasi publik atau penyerapan
aspirasi di masing-masing daerah,'' kata Fahmi.
Sikap FPKS
Di tengah polemik dan belum jelasnya format pertanggungjawaban,
secara mengejutkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS)
bersikap bahwa pos anggaran tersebut--senilai Rp 31,5 juta-- 'halal'
untuk digunakan. Sebab, dikeluarkan berdasarkan anggaran resmi
yang disetujui Departemen Keuangan (Depkeu) dan sudah masuk
dalam nomenklatur anggaran DPR RI 2006. ''FPKS mendukung
sepenuhnya penggunaan dana serap aspirasi,'' tandas Ketua Fraksi
PKS, Mahfudz Siddiq, di Jakarta, kemarin.
Dari total 45 anggota FPKS, sebanyak 17 orang sudah mengambil
dana tersebut, dengan total mencapai sekitar Rp 535,5 juta. ''Dana ini
untuk membantu pembiayaan kegiatan komunikasi politik dan
pendidikan politik di daerah pemilihan. Ini bukan penghasilan
tambahan pribadi anggota DPR, dan akan kami
pertanggungjawabkan,'' kata Mahfudz.
Lebih lanjut ia mengatakan, FPKS sudah memiliki mekanisme
pertanggungjawaban internal. Khusus untuk dana penyerapan
aspirasi, menetapkan delapan item kegiatan yang mesti dilakukan, di
antaranya bantuan sosial ke daerah bencana, pembinaan agama,
kunjungan ke media daerah, dan audiensi dengan warga masyarakat.
FPKS berencana menyampaikan laporan pertanggungjawabannya
usai masa reses. Apabila ada anggotanya yang menyelewengkan
dana tersebut, akan mendapat sanksi berat.
Tim Investigasi Haji Jangan Asal-asalan
(Pikiran-rakyat, 8 Januari 2007)
JAKARTA, (PR).-
Ketua DPR RI Agung Laksono berharap agar tim investigasi haji tidak bekerja asal-asalan. Dengan demikian, kasus kelaparan haji yang menimpa jemaah Indonesia dapat diungkap dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Rencananya, tim investigasi ini akan bertolak ke Arab Saudi, Senin (8/1).
"Kita sambut baik langkah presiden yang bersikap tegas dan merespons secara cepat keluhan umat Islam di Indonesia terhadap pelaksanaan haji yang amburadul ini," kata Agung di Jakarta, Minggu (7/1). Menurut dia, kasus katering jemaah haji ini juga akan menjadi sorotan DPR dalam pembukaan masa persidangan hari ini.
Menurut dia, kasus kelaparan tersebut harus menjadi tanggung jawab Menag. "Kalaupun itu terjadi karena kealpaan Menag, harus ada tindakan dari presiden supaya ada kejeraan. Soal mundur tidaknya Menteri Agama, itu terserah presiden," kata Agung.
Di tempat terpisah, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta dan Ketua FPKS DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, kelaparan jemaah Indonesia adalah bukti kelalaian pemerintah dan menunjukkan sistem perhajian yang masih sarat dengan KKN.
Karena itu, pemerintah harus merombak total penyelenggaraan ibadah haji. "Yang kita inginkan dari presiden adalah tanggung jawab moral. Coba Anda lihat masyarakat yang dirugikan dalam kasus haji ini, kan sangat banyak. Jadi perlu ada reformasi total dalam manajemen haji," ujar Sekjen PKS Anis Matta, usai Temu Kader Muslimah PKS di Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta, kemarin.
Dikatakan, upaya DPR melakukan interpelasi terhadap pemerintah mempunyai alasan kuat. "Pertama, karena jumlah jemaah haji kita dua ratus ribuan. Itu kan angka yang sangat besar. Kedua, haji ini momentum internasional. Itu memengaruhi wajah Indonesia di mata dunia," katanya.
Ketiga, kasus ini tidak hanya diliput oleh televisi-televisi di negara Islam, tapi juga seluruh dunia. Oleh karena itu, selain mendukung interpelasi, Anis juga mengajak masyarakat tetap mendukung upaya investigasi dan tidak melakukan prasangka apa pun hingga proses tersebut selesai.
Sedangkan Mahfudz Siddiq mengatakan, sebagai bentuk pertanggungjawaban, pemerintah harus menjelaskan duduk persoalan tragedi katering jemaah haji Indonesia di Armina kepada rakyat Indonesia dan DPR sebagai lembaga perwakilan politik rakyat. Penjelasan itu penting karena keberadaan jemaah haji Indonesia di tanah suci adalah duta negara, dan tragedi ini telah mencoreng nama baik negara.
Ganti rugi
Sementara itu, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia akan meminta ganti rugi kepada pihak ANA Service and Supply (AFD). Perusahaan katering yang ditunjuk pemerintah itu dinilai tidak mampu melayani seluruh kebutuhan suplai makanan bagi jemaah Indonesia selama berada di Arafah dan Mina.
Menurut Ketua Tim Teknis Urusan Haji Arab Saudi, Nursomad Kamba, tututan itu sesuai dengan perjanjian kontrak yang telah dibuat. Antara lain disebutkan, jika pihak kedua yang tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, Misi Haji Indonesia sebagai pihak pertama berhak memperoleh ganti rugi terhadap seluruh kerugian dari penyelenggaraan itu.
"Kami akan minta ganti rugi minimal sebesar uang muka yang telah dibayarkan ke pihak ANA yakni sebesar 33 juta Riyal," ujar Nursomad di Jeddah.
Untuk itu, pihaknya sudah melakukan pembicaraan dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait, dan tampaknya ada sikap yang kooperatif di antara mereka.
No comments:
Post a Comment