Monday, June 06, 2011

DPR: Perjanjian Ekstradisi Harus Tanpa Syarat

"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits


VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.

"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.

Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.

"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.

Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.

"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.

Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.

Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.

"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits


VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.

"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.

Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.

"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.

Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.

"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.

Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.

Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.

"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits


VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.

"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.

Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.

"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.

Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.

"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.

Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.

Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.

"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.

3 comments:

Anonymous said...

INDONESIA HARUS MENGINVENTARISIR POSISI TAWAR DALAM NEGOSIASI DENGAN SINGAPURA

Lihatlah Singapura, yang jadikan isu ekstradisi, sebagai kekuatan posisi tawar. Untuk kepentingan pelatihan militernya di wilayah Indonesia.

Sebaiknya Indonesia terlebih dahulu mempersiapkan inventarisasi posisi tawarnya. Untuk kepentingan ekstradisi para koruptor yang ngumpet di Singapura.

Misalnya, jadikan isu pelarangan penyulingan minyak mentah Indonesia di Singapura, pelarangan pembayaran ekspor Indonesia melalui perusahaan cabang di Singapura, dll. Sebagai kekuatan posisi tawar Indonesia menghadapi Singapura.

Lawanlah kelompok kepentingan yang memanfaatkan kekuatan Parpol, untuk melemahkan posisi tawar Indonesia.

Kapan Bangsa Muslim yang besar ini, berwibawa, dihadapan Negeri kecil, non Muslim ? Sekiranya kekuatan politik Muslim tak sungguh-sungguh memikirkannya ?

Anonymous said...

ADANG SANGAT SAYANG ISTRI

Adang Daradjatun sayang istri. Disembunyikanlah istrinya dari kejaran KPK. Atas kasus perantara Cek Pelawat, yang menangkan Miranda Gultom sebagai DGS.

Adang Daradjatun sayang istri. Diskenariokanlah, istrinya idap penyakit lupa berat. Tak ingat, kejadian-kejadian seputar sogokan yang politisi Golkar & PDIP masuk bui.

Adang Daradjatun sayang istri. Untuk menenangkan istrinya, maka dikirimlah dia rihlah ke Singapura dan sekitarnya. KPK dan MenKum HAM dibuat setengah hati. Untuk menarik pulang istrinya.

Kapan Adang Daradjatun menyayangi PKS ? Dengan memberi teladan keta'atan hukum. Menasehati istri untuk tabah dan sabar, menjalani proses hukum di Indonesia ?

Kapan Adang Daradjatun bersikap adil. Karena pelaku suap pemilihan DGS lainnya, telah diproses secara hukum ?

Semoga Adang memahami maksud ucapan mulia Nabi SAW : "sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri. Maka aku sendiri yang akan memotong tangannya..."

Anonymous said...

SEKIRANYA WA ODE NURHAYATI DARI PKS

Wa Ode Nurhayati, perempuan tabah dan tegar asal Sulawesi Tenggara. Wakil PAN di Badan Anggaran DPR. Bertutur tentang ketidak-adilan pembuatan anggaran.

Rapat Badan Anggaran memutuskan ada sekitar 120 daerah penerima Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID). Besarannya sekitar 30-50 milyar, per daerah. Sesuatu yang ideal dan baik bagi negeri ini.

Ketika mau realisasi, Anis Matta ( yang didukung Parpol lainnya ) bergaya bak preman. Menulis surat kepada MenKeu, merevisi rencana Anggaran. Hasilnya, 120 daerah tak menerima DPID.

Sekiranya Wa Ode Nurhayati PKS, dan Anis Matta bukan PKS. Tentulah PKS telah menjalankan misi Keadilan, dalam menyusun Anggaran.

Lalu tersungging-lah Senyum Allah SWT, atas amal PKS. Dan tak terbebani hati kader dan simpati, dengan julukan Parpol Preman Anggaran.

Semoga Allah SWT membuka hati PKS. Bahwa DIA MAHA KAYA, MAHA PEMBERI dan Tidak Kikir. Sehingga tak perlu PKS jadi Preman Anggaran. Dalam menghimpun bekal Da'wahnya.