Senin, 27 Juni 2011 , 11:07:00 WIB
Laporan: Ninding Julius Permana
MAHFUDZ SIDDIQ/IST
RMOL. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia yang menunjukkan popularitas SBY menurun ditanggapi oleh Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai anggota koalisi, PKS menilai kejatuhan citra SBY disebabkan berbagai masalah yang bertubi-tubi.
"Terlepas dari adanya survei, kalau kita lihat secara kompeten, observasi, opini publik dan media, ada sejumlah masalah-masalah yang muncul belakangan yaitu bisa dipastikan berdampak negatif terhadap popularitas Presiden SBY," ujar Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Mahfudz Siddiq, kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, sesaat lalu, (Senin 27/6).
Karena itu, Mahfudz menilai, terlepas siapa yang membuat survei dengan segala kontoversi dan motif politiknya, faktanya ada sejumlah kasus yang membuat opini publik dan media massa merendahkan popularitas Presiden SBY.
"Ini memang suatu warning yang sangat penting bagi pemerintahan bukan saja Pak SBY ya, untuk memicu kinerja mereka. Karena kan semuanya berharap pemerintahan ini bisa khusnul khotimah," pungkasnya.
Dari hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI), saat ini kepuasan pada kepemimpinan SBY hanya sebesar 47,2 persen. Survei ini dilakukan pada 1-7 Juni 2011 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang di 33 provinsi. Metode survei dilakukan dengan wawancara tatap muka langsung. Margin error hasil survei ini diperkirakan sebesar plus-minus 2,9 persen.
Peneliti senior LSI Sunarto mengatakan, pada Januari 2010 kepuasan terhadap kepemimpinan SBY sangat tinggi, mencapai 63,1 persen. Kepuasan ini terus menurun pada periode berikutnya. Pada September 201, tingkat kepuasan tinggal 60,7 persen, dan Januari 2011 menjadi 56,7 persen.[ald]
Monday, June 27, 2011
'Transformasi' PKS Jelang 2014
Minggu, 26 Juni 2011 13:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Suhu politik jelang Pemilu 2014 kian memanas. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan perubahan baik partai politk (Parpol). Tidak ada jaminan stabilitas politik hingga tidak terwakilinya masyarakat dengan keberadaan Parpol, semakin membuat citra buruk bagi Parpol itu sendiri.
Menurut Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mustafa Kamal, Parpol yang ada hanya mengadaptasi budaya masa lalu. Sehingga, tambahnya, Parpol yang ada kehilangan rencana poltik yang bersifat visioner.
Saat ini, ungkap Musatafa, PKS tengah melakukan perbaikan dalam menjawab persoalan tersebut. "Kita akan coba merubah mainset tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut Musatafa mengatakan, PKS akan terus mengedapankan nilai-nilai ke-Islaman dalam penerapan pola politik PKS. "Namun, tidak mengacu pada Negara Islam seutuhnya," tuturnya.
Nilai agama tersebut, jelas Mustafa, nantinya akan memberikan sebuah jawaban terkait permasalahan radikalisme bangsa Indonesia. Menurutnya, perangkulan para tokoh agama dapat menjadi senjata melawan serangan radikalisme. "Tokoh agama bukan menjadi alat politik untuk mengkotak-kotakan agama," tuturnya.
Tak hanya Musatafa, Anggota Komisi VII Fraksi PKS, Sohibul Iman mengatakan, penerapan nilai keagaman menjadi hal penting untuk diterapkan oleh nagara. Selain penerapan hukum yang masih kurang, sambungnya, perilaku buruk masih menjadi sifat keseluruhan masyarakat.
Selain itu, jelasnya, ketidakmampuan kita untuk merambah sektor ekonomi membuat sektor poltik menjadi pelarian. "Nantinya, sektor ekonomi harus juga menjadi sektor yang dikuasai secara keseluruhan," ujarnya.
Ke depan, terangnya, PKS akan terus menjadi media yang menjaga kepercayaan masyarakat. "Kepercayaan masyarakat yang rendah menghasilkan pembangunan yang tidak efektif," kata Iman.
Saat ini, tambahnya, PKS berada pada posisi tengah. Hal ini, sambungnya, menjadikan PKS sebagai Parpol yang dapat mengedepankan aspirasi masyarakat untuk menjawab permasalahan kepercayaan masyarakat. "PKS akan selalu terbuka dengan masukan dari siapapun," tutur Iman.
Redaktur: Djibril Muhammad
Reporter: C17
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Suhu politik jelang Pemilu 2014 kian memanas. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan perubahan baik partai politk (Parpol). Tidak ada jaminan stabilitas politik hingga tidak terwakilinya masyarakat dengan keberadaan Parpol, semakin membuat citra buruk bagi Parpol itu sendiri.
Menurut Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mustafa Kamal, Parpol yang ada hanya mengadaptasi budaya masa lalu. Sehingga, tambahnya, Parpol yang ada kehilangan rencana poltik yang bersifat visioner.
Saat ini, ungkap Musatafa, PKS tengah melakukan perbaikan dalam menjawab persoalan tersebut. "Kita akan coba merubah mainset tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut Musatafa mengatakan, PKS akan terus mengedapankan nilai-nilai ke-Islaman dalam penerapan pola politik PKS. "Namun, tidak mengacu pada Negara Islam seutuhnya," tuturnya.
Nilai agama tersebut, jelas Mustafa, nantinya akan memberikan sebuah jawaban terkait permasalahan radikalisme bangsa Indonesia. Menurutnya, perangkulan para tokoh agama dapat menjadi senjata melawan serangan radikalisme. "Tokoh agama bukan menjadi alat politik untuk mengkotak-kotakan agama," tuturnya.
Tak hanya Musatafa, Anggota Komisi VII Fraksi PKS, Sohibul Iman mengatakan, penerapan nilai keagaman menjadi hal penting untuk diterapkan oleh nagara. Selain penerapan hukum yang masih kurang, sambungnya, perilaku buruk masih menjadi sifat keseluruhan masyarakat.
Selain itu, jelasnya, ketidakmampuan kita untuk merambah sektor ekonomi membuat sektor poltik menjadi pelarian. "Nantinya, sektor ekonomi harus juga menjadi sektor yang dikuasai secara keseluruhan," ujarnya.
Ke depan, terangnya, PKS akan terus menjadi media yang menjaga kepercayaan masyarakat. "Kepercayaan masyarakat yang rendah menghasilkan pembangunan yang tidak efektif," kata Iman.
Saat ini, tambahnya, PKS berada pada posisi tengah. Hal ini, sambungnya, menjadikan PKS sebagai Parpol yang dapat mengedepankan aspirasi masyarakat untuk menjawab permasalahan kepercayaan masyarakat. "PKS akan selalu terbuka dengan masukan dari siapapun," tutur Iman.
Redaktur: Djibril Muhammad
Reporter: C17
PKS: Popularitas SBY Turun
Senin, 27 Juni 2011 11:42 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Survei awal Juni ini yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia mengungkapkan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merosot jauh. Namun, tanpa survei ini pun, Partai Keadilan Sejahtera telah melihat kemerosotan citra SBY dari sejumlah masalah yang muncul belakangan ini.
Sekalipun tidak merinci masalah yang dimaksudnya, Ketua Fraksi PKS di DPR, Mahfudz Shiddiq, mengatakan masalah tersebut telah beredar menjadi opini publik dan pembahasan di media. "Kalau kita melihat secara kompeten dan observasi, masalah yang muncul itu bisa dipastikan berdampak negatif pada popularitas Presiden SBY," ujar Mahfudz di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (27/6).
LSI mempublikasikan survei "Kepuasan Publik atas Kinerja SBY" awal Juni ini. Dari 56,7 persen pada Januari 2011, popularitas SBY turun menjadi 47,2 persen. Menurut LSI, popularitas yang di bawah 50 persen ini pertama kali sejak SBY terpilih kembali pada Pemilu 2009.
Terlepas dari penyelenggara survei maupun motif politiknya, Mahfudz mengatakan,"Faktanya memang ada sejumlah kasus yang men-down grade popularitas SBY." Hal ini harus menjadi peringatan bagi pemerintahan SBY untuk meningkatkan kinerjanya.
Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: C41
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Survei awal Juni ini yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia mengungkapkan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merosot jauh. Namun, tanpa survei ini pun, Partai Keadilan Sejahtera telah melihat kemerosotan citra SBY dari sejumlah masalah yang muncul belakangan ini.
Sekalipun tidak merinci masalah yang dimaksudnya, Ketua Fraksi PKS di DPR, Mahfudz Shiddiq, mengatakan masalah tersebut telah beredar menjadi opini publik dan pembahasan di media. "Kalau kita melihat secara kompeten dan observasi, masalah yang muncul itu bisa dipastikan berdampak negatif pada popularitas Presiden SBY," ujar Mahfudz di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (27/6).
LSI mempublikasikan survei "Kepuasan Publik atas Kinerja SBY" awal Juni ini. Dari 56,7 persen pada Januari 2011, popularitas SBY turun menjadi 47,2 persen. Menurut LSI, popularitas yang di bawah 50 persen ini pertama kali sejak SBY terpilih kembali pada Pemilu 2009.
Terlepas dari penyelenggara survei maupun motif politiknya, Mahfudz mengatakan,"Faktanya memang ada sejumlah kasus yang men-down grade popularitas SBY." Hal ini harus menjadi peringatan bagi pemerintahan SBY untuk meningkatkan kinerjanya.
Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: C41
Wednesday, June 22, 2011
Muhaimin Iskandar Abaikan DPR
Misbahol Munir - Okezone
Rabu, 22 Juni 2011 14:22 wib
JAKARTA - Komisi I DPR mengaku tidak mendapat respons dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, terkait upaya penebusan Darsem, TKI di Arab Saudi.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, kepada wartawan, Rabu (22/6/2011).
“Saya informasikan bahwa kami pimpinan Komisi I baru saja menghubungi Wakil Menlu untuk pastikan realisasi keputusan hasil raker Komisi I dengan Kemlu yang menyepakati bahwa uang tebusan saudara darsem Rp4,7 miliar itu sudah kita sepakati dibayar oleh pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri karena kami menunggu dari Kemenakertrans dan BNP2TKI tidak ada kejelasan,” ungkap Mahfudz.
Seperti diketahui, pascaeksekusi pancung terhadap Ruyati, Muhaimin Iskandar juga belum muncul di hadapan publik untuk memberikan penjelasan.
Terakhir, Muhaimin diketahui tengah berada di Tegal, Jawa Tengah, dalam rangka kunjungan kerja.
Apakah benar Muhaimin mengabaikan DPR?
(lam)
Rabu, 22 Juni 2011 14:22 wib
JAKARTA - Komisi I DPR mengaku tidak mendapat respons dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, terkait upaya penebusan Darsem, TKI di Arab Saudi.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, kepada wartawan, Rabu (22/6/2011).
“Saya informasikan bahwa kami pimpinan Komisi I baru saja menghubungi Wakil Menlu untuk pastikan realisasi keputusan hasil raker Komisi I dengan Kemlu yang menyepakati bahwa uang tebusan saudara darsem Rp4,7 miliar itu sudah kita sepakati dibayar oleh pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri karena kami menunggu dari Kemenakertrans dan BNP2TKI tidak ada kejelasan,” ungkap Mahfudz.
Seperti diketahui, pascaeksekusi pancung terhadap Ruyati, Muhaimin Iskandar juga belum muncul di hadapan publik untuk memberikan penjelasan.
Terakhir, Muhaimin diketahui tengah berada di Tegal, Jawa Tengah, dalam rangka kunjungan kerja.
Apakah benar Muhaimin mengabaikan DPR?
(lam)
Ketemu Anggota DPR, Ayah Darsem Pingsan
Rabu, 22 Juni 2011 - 14:27 WIB
Ketemu Anggota DPR, Ayah Darsem Pingsan
JAKARTA (Pos Kota) – Bermaksud menemui anggota Komisi I DPR RI untuk minta dukungan, ayah TKW Darsem yang terancam hukuman mati di saudi Arabia, Dawud Tawar mendadak pingsan dan jatuh tiba-tiba begitu hendak masuk ke dalam ruang Komisi I DPR, Rabu (22/6).
Dawud sempat mendapat pelukan hangat dari Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, serta sejumlah anggota dewan lainnya. Hanya Dawud tak kuasa menahan air mata, dan langsung jatuh ke lantai tiba-tiba.
“Pak, saya kangen sama anak saya. Tolong bantu saya untuk bebaskan anak saya,” ucap Dawud sebelum kemudian langsung terjatu karena pingsan..
Sementara Ketua Komisi I DPR RI Mahfud Siddiq sontak terkaget dan langsung mengangkat tubuh Dawud, dibantu beberapa anggota DPR lainnya. Tak beberapa lama, Pamdal langsung membawa Dawud ke klinik DPR. Dawud pun mendapatkan perawatan di klinik tersebut. (prihandoko/dms)
Ketemu Anggota DPR, Ayah Darsem Pingsan
JAKARTA (Pos Kota) – Bermaksud menemui anggota Komisi I DPR RI untuk minta dukungan, ayah TKW Darsem yang terancam hukuman mati di saudi Arabia, Dawud Tawar mendadak pingsan dan jatuh tiba-tiba begitu hendak masuk ke dalam ruang Komisi I DPR, Rabu (22/6).
Dawud sempat mendapat pelukan hangat dari Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, serta sejumlah anggota dewan lainnya. Hanya Dawud tak kuasa menahan air mata, dan langsung jatuh ke lantai tiba-tiba.
“Pak, saya kangen sama anak saya. Tolong bantu saya untuk bebaskan anak saya,” ucap Dawud sebelum kemudian langsung terjatu karena pingsan..
Sementara Ketua Komisi I DPR RI Mahfud Siddiq sontak terkaget dan langsung mengangkat tubuh Dawud, dibantu beberapa anggota DPR lainnya. Tak beberapa lama, Pamdal langsung membawa Dawud ke klinik DPR. Dawud pun mendapatkan perawatan di klinik tersebut. (prihandoko/dms)
Temui Anggota DPR, Ayah Darsem Pingsan
Maria Natalia | Inggried | Rabu, 22 Juni 2011 | 13:57 WIB
TKI Terancam Dihukum MatiMaria Natalia
Ayah Darsem, Daud, tiba-tiba pingsan saat bertemu dengan anggota Komisi I DPR, Rabu (22/6/2011), di Gedung DPR, Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ayah Darsem, TKI yang terancam dihukum mati di Arab Saudi, Daud Tawar, tiba-tiba pingsan saat menyampaikan harapannya kepada sejumlah anggota Komisi I DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/6/2011). Saat itu, Daud meminta agar Dewan turut membantu upaya pembebasan putrinya.
"Tolong anak saya Pak, tolong jangan sampai dihukum mati oleh Arab Saudi," ujar Daud.
Saat berbicara, ia tiba-tiba jatuh pingsan di tengah kerumunan petugas keamanan DPR dan awak media yang tengah meliput kedatangannya. Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq dan anggota Komisi I Teguh Juwarno yang menemuinya, langsung membawa Daud ke sebuah ruangan. Sesekali, terdengar isak tangisnya saat disadarkan.
Petugas dan para anggota DPR kemudian berusaha menenangkannya dengan menggosokkan minyak kayu putih ke sekitar hidungnya. Saat ini, Daud dibawa ke Pelayanan Kesehatan DPR RI menggunakan kursi roda. Ia tampak lemas.
"Kami bawa ke Yankes dulu. Sepertinya beliau capek, jadi biar dirawat di sana dulu," jelas Teguh yang turut mengantarkan Daud.
Darsem merupakan TKI asal Subang, Jawa Barat. Pada bulan Desember 2007, ia terbukti bersalah di Pengadilan Riyadh karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya seorang warga negara Yaman. Pada tanggal 6 Mei 2009, Darsem didakwa hukuman mati oleh Pengadilan Riyadh. Namun, berkat kerja sama antara pihak Lajnah Islah (Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf) Riyadh dan Pejabat Gubernur Riyadh, Darsem akhirnya mendapatkan maaf dari ahli waris korban dengan kompensasi membayar uang diyat sebesar 2 juta riyal atau sekitar Rp 4,7 miliar.
TKI Terancam Dihukum MatiMaria Natalia
Ayah Darsem, Daud, tiba-tiba pingsan saat bertemu dengan anggota Komisi I DPR, Rabu (22/6/2011), di Gedung DPR, Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ayah Darsem, TKI yang terancam dihukum mati di Arab Saudi, Daud Tawar, tiba-tiba pingsan saat menyampaikan harapannya kepada sejumlah anggota Komisi I DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/6/2011). Saat itu, Daud meminta agar Dewan turut membantu upaya pembebasan putrinya.
"Tolong anak saya Pak, tolong jangan sampai dihukum mati oleh Arab Saudi," ujar Daud.
Saat berbicara, ia tiba-tiba jatuh pingsan di tengah kerumunan petugas keamanan DPR dan awak media yang tengah meliput kedatangannya. Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq dan anggota Komisi I Teguh Juwarno yang menemuinya, langsung membawa Daud ke sebuah ruangan. Sesekali, terdengar isak tangisnya saat disadarkan.
Petugas dan para anggota DPR kemudian berusaha menenangkannya dengan menggosokkan minyak kayu putih ke sekitar hidungnya. Saat ini, Daud dibawa ke Pelayanan Kesehatan DPR RI menggunakan kursi roda. Ia tampak lemas.
"Kami bawa ke Yankes dulu. Sepertinya beliau capek, jadi biar dirawat di sana dulu," jelas Teguh yang turut mengantarkan Daud.
Darsem merupakan TKI asal Subang, Jawa Barat. Pada bulan Desember 2007, ia terbukti bersalah di Pengadilan Riyadh karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya seorang warga negara Yaman. Pada tanggal 6 Mei 2009, Darsem didakwa hukuman mati oleh Pengadilan Riyadh. Namun, berkat kerja sama antara pihak Lajnah Islah (Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf) Riyadh dan Pejabat Gubernur Riyadh, Darsem akhirnya mendapatkan maaf dari ahli waris korban dengan kompensasi membayar uang diyat sebesar 2 juta riyal atau sekitar Rp 4,7 miliar.
Tuesday, June 21, 2011
"Kasus Ruyati Tidak Akan Rusak Hubungan Bilateral"
Kristian Ginting
20/06/2011 22:38
Liputan6.com, Jakarta: Kerja sama bilateral, khususnya bidang militer, antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tidak akan terlalu terpengaruh kasus Ruyati. Pemerintah tidak boleh gegabah, terlalu emosional, atau bereaksi berlebihan.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq kepada wartawan, di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/6). Mahfudz mewanti-wanti jangan sampai hubungan kedua negara rusak akibat kasus tenaga kerja Indonesia.
"Kita juga harus ingat dalam bidang sosial, pendidikan, dan lainnya. Hubungan kita (dengan Arab Saudi) cukup bagus," kata Mahfudz. Kendati begitu, kasus kekerasan terhadap TKI memang harus diselesaikan. Mahfudz berpendapat penyelesaiannya bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem rekrutmen, pengiriman, dan pemulangan TKI.
Fungsi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) juga perlu diperjelas. "Kalau ini kita selesaikan, maka persoalan TKI ini akan segera tuntas," katanya anggota dewan dari Fraksi PKS ini. (YUS)
20/06/2011 22:38
Liputan6.com, Jakarta: Kerja sama bilateral, khususnya bidang militer, antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tidak akan terlalu terpengaruh kasus Ruyati. Pemerintah tidak boleh gegabah, terlalu emosional, atau bereaksi berlebihan.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq kepada wartawan, di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/6). Mahfudz mewanti-wanti jangan sampai hubungan kedua negara rusak akibat kasus tenaga kerja Indonesia.
"Kita juga harus ingat dalam bidang sosial, pendidikan, dan lainnya. Hubungan kita (dengan Arab Saudi) cukup bagus," kata Mahfudz. Kendati begitu, kasus kekerasan terhadap TKI memang harus diselesaikan. Mahfudz berpendapat penyelesaiannya bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem rekrutmen, pengiriman, dan pemulangan TKI.
Fungsi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) juga perlu diperjelas. "Kalau ini kita selesaikan, maka persoalan TKI ini akan segera tuntas," katanya anggota dewan dari Fraksi PKS ini. (YUS)
DPR Minta Dubes RI untuk Arab Saudi Dicopot
Ia dinilai gagal melindungi Warga Negara Indonesia di Arab Saudi.
Senin, 20 Juni 2011, 13:12 WIB
Anggi Kusumadewi, Suryanta Bakti Susila
Dubes RI untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur. (kemenag.go.id)
VIVAnews – Komisi I DPR yang menangani isu luar negeri, meminta pemerintah mencopot Duta Besar RI untuk Aran Saudi, Gatot Abdullah Mansyur Sirnagalih. Sang Duta Besar dinilai gagal melindungi Ruyati binti Satubi, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bekasi yang dipancung oleh pemerintahan Saudi pada Sabtu lalu, 18 Juni 2011.
“Saya minta secara resmi kepada Presiden untuk memberhentikan Dubes kita di Arab Saudi,” kata anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo saat rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 20 Juni 2011. Menurut Sekjen PDIP itu, Presiden harus memberi sanksi tegas kepada Gatot.
Anggota Komisi I lainnya, Muhammad Najib, menilai bahwa pemulangan Dubes RI untuk Saudi saja tidak cukup. Pemerintah, menurutnya, juga harus memanggil Dubes Arab Saudi untuk Indonesia untuk dimintai keterangan, dan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata Arab Saudi.
“Saya khawatir ada kasus-kasus Ruyati baru. Oleh karena itu kami berharap Kemenlu melakukan bargaining politik, sehingga posisi kita tidak kalah penting,” kata politisi PAN itu. Setelah Ruyati yang telah dieksekusi, saat ini memang ada TKI lain asal Subang bernama Darsem, yang juga terancam hukuman pancung.
Pemerintah masih kesulitan untuk mengumpulkan uang guna menebus Darsem, sementara batas waktu yang diberikan pengadilan Saudi semakin sempit, yakni 7 Juli 2011. Menlu Marty Natalegawa bahkan mengungkapkan, total masih ada 303 TKI dan WNI yang terancam hukuman mati.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq pun meminta Dubes RI untuk Saudi dihadirkan di DPR untuk dimintai keterangan. “Kalau sudah di Jakarta, bisa dihadirkan di sini,” kata Mahfudz kepada Menlu. “Hari Sabtu dipanggi pulang. Sekarang sepertinya sedang di perjalanan,” kata Natalegawa.
Ia menjelaskan, Gatot dipanggil pulang untuk konsultasi dengan Kemenlu. Pemanggilan Gatot itu, imbuh Natalegawa, nantinya diselaraskan dengan langkah-langkah diplomasi yang akan diambil pemerintah terkait kasus Ruyati. (eh)
• VIVAnews
Senin, 20 Juni 2011, 13:12 WIB
Anggi Kusumadewi, Suryanta Bakti Susila
Dubes RI untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur. (kemenag.go.id)
VIVAnews – Komisi I DPR yang menangani isu luar negeri, meminta pemerintah mencopot Duta Besar RI untuk Aran Saudi, Gatot Abdullah Mansyur Sirnagalih. Sang Duta Besar dinilai gagal melindungi Ruyati binti Satubi, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bekasi yang dipancung oleh pemerintahan Saudi pada Sabtu lalu, 18 Juni 2011.
“Saya minta secara resmi kepada Presiden untuk memberhentikan Dubes kita di Arab Saudi,” kata anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo saat rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 20 Juni 2011. Menurut Sekjen PDIP itu, Presiden harus memberi sanksi tegas kepada Gatot.
Anggota Komisi I lainnya, Muhammad Najib, menilai bahwa pemulangan Dubes RI untuk Saudi saja tidak cukup. Pemerintah, menurutnya, juga harus memanggil Dubes Arab Saudi untuk Indonesia untuk dimintai keterangan, dan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata Arab Saudi.
“Saya khawatir ada kasus-kasus Ruyati baru. Oleh karena itu kami berharap Kemenlu melakukan bargaining politik, sehingga posisi kita tidak kalah penting,” kata politisi PAN itu. Setelah Ruyati yang telah dieksekusi, saat ini memang ada TKI lain asal Subang bernama Darsem, yang juga terancam hukuman pancung.
Pemerintah masih kesulitan untuk mengumpulkan uang guna menebus Darsem, sementara batas waktu yang diberikan pengadilan Saudi semakin sempit, yakni 7 Juli 2011. Menlu Marty Natalegawa bahkan mengungkapkan, total masih ada 303 TKI dan WNI yang terancam hukuman mati.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq pun meminta Dubes RI untuk Saudi dihadirkan di DPR untuk dimintai keterangan. “Kalau sudah di Jakarta, bisa dihadirkan di sini,” kata Mahfudz kepada Menlu. “Hari Sabtu dipanggi pulang. Sekarang sepertinya sedang di perjalanan,” kata Natalegawa.
Ia menjelaskan, Gatot dipanggil pulang untuk konsultasi dengan Kemenlu. Pemanggilan Gatot itu, imbuh Natalegawa, nantinya diselaraskan dengan langkah-langkah diplomasi yang akan diambil pemerintah terkait kasus Ruyati. (eh)
• VIVAnews
DPR: Segera Layangkan Nota Protes ke Saudi
Nasional
Arab Saudi diminta menghormati norma dan kebiasaan hukum internasional.
Senin, 20 Juni 2011, 14:39 WIB
Bayu Galih, Suryanta Bakti Susila
Demo dukung TKW Ruyati di Kedubes Arab Saudi (VIVAnews/Siti Ruqoyah)
VIVAnews - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah Indonesia segera melayangkan nota protes kepada Arab Saudi atas eksekusi pancung terhadap Ruyati. DPR menyesalkan pelaksanaan hukuman yang tertutup dan mengabaikan norma serta kebiasaan internasional.
"Pemerintah harus segera menyampaikan nota protes," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Senin 20 Juni 2011.
Menurut Mahfudz, pemerintah juga harus menggalang kepedulian masyarakat internasional agar Arab Saudi menghornati norma dan kebiasaan hukum internasional.
"Kementerian Luar Negeri agar dapat fasilitasi keluarga almarhumah kunjungi makam Ruyati," ujarnya.
Komisi I juga mendesak Kemenlu segera mengevaluasi kinerja aparatnya di Arab Saudi dalam upaya melindungi warga di Arab Saudi.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN, Teguh Juwarno, juga mengkritisi kinerja aparat diplomasi Indonesia di Arab Saudi. Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dianggap lemah dalam memberikan perlindungan kepada WNI di wilayahnya.
"Kinerja kekonsuleran masih lemah dalam upaya perlindungan tenaga kerja kita di luar negeri," ujarnya.
Teguh juga mengusulkan DPR memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, agar dapat dimintai keterangannya. "Ya, Nanti kita atur," jawab Mahfudz.
• VIVAnews
Arab Saudi diminta menghormati norma dan kebiasaan hukum internasional.
Senin, 20 Juni 2011, 14:39 WIB
Bayu Galih, Suryanta Bakti Susila
Demo dukung TKW Ruyati di Kedubes Arab Saudi (VIVAnews/Siti Ruqoyah)
VIVAnews - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah Indonesia segera melayangkan nota protes kepada Arab Saudi atas eksekusi pancung terhadap Ruyati. DPR menyesalkan pelaksanaan hukuman yang tertutup dan mengabaikan norma serta kebiasaan internasional.
"Pemerintah harus segera menyampaikan nota protes," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Senin 20 Juni 2011.
Menurut Mahfudz, pemerintah juga harus menggalang kepedulian masyarakat internasional agar Arab Saudi menghornati norma dan kebiasaan hukum internasional.
"Kementerian Luar Negeri agar dapat fasilitasi keluarga almarhumah kunjungi makam Ruyati," ujarnya.
Komisi I juga mendesak Kemenlu segera mengevaluasi kinerja aparatnya di Arab Saudi dalam upaya melindungi warga di Arab Saudi.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN, Teguh Juwarno, juga mengkritisi kinerja aparat diplomasi Indonesia di Arab Saudi. Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dianggap lemah dalam memberikan perlindungan kepada WNI di wilayahnya.
"Kinerja kekonsuleran masih lemah dalam upaya perlindungan tenaga kerja kita di luar negeri," ujarnya.
Teguh juga mengusulkan DPR memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, agar dapat dimintai keterangannya. "Ya, Nanti kita atur," jawab Mahfudz.
• VIVAnews
Wednesday, June 15, 2011
PKS: Sikap Adang Daradjatun Wajar Lindungi Istrinya
Minggu, 12 Juni 2011 05:22 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq, memaklumi sikap Adang Daradjatun yang secara terang-terangan melindungi istrinya, Nunun Nurbaeti. Menurutnya, sebagai seorang suami dan seorang yang mengerti hukum hal itu dinilai wajar.
“Kalau saya secara pribadi bisa mengerti bagaimana posisi dan perasaan sikap Pak Adang,” ujarnya ketika dihubungi Republika.
Mahfudz menilai bahwa sikap Adang wajar begitu melihat tindakan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan istrinya sebagai tersangka. Sementara, alat bukti yang disajikan itu belum cukup.
Selain itu, sikap KPK dan pemerintah yang mengeluarkan red notice dan menetapkan Nunun dalam daftar pencarian orang (DPO) dari berbagai negara seolah mempromosikan Nunun sebagai otak suap cek pelawat tersebut.
“Padahal, kader suap atau yang menerima suap kan sudah diproses. Sekarang yang harus dicari adalah siapa yang memberi suap,” tegasnya. “Kasihan kalau aktor utama pemberi suap diduga jadi Nunun Nurbaeti. Jadi, wajar jika Adang bersikap begini.''
Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: C04
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq, memaklumi sikap Adang Daradjatun yang secara terang-terangan melindungi istrinya, Nunun Nurbaeti. Menurutnya, sebagai seorang suami dan seorang yang mengerti hukum hal itu dinilai wajar.
“Kalau saya secara pribadi bisa mengerti bagaimana posisi dan perasaan sikap Pak Adang,” ujarnya ketika dihubungi Republika.
Mahfudz menilai bahwa sikap Adang wajar begitu melihat tindakan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan istrinya sebagai tersangka. Sementara, alat bukti yang disajikan itu belum cukup.
Selain itu, sikap KPK dan pemerintah yang mengeluarkan red notice dan menetapkan Nunun dalam daftar pencarian orang (DPO) dari berbagai negara seolah mempromosikan Nunun sebagai otak suap cek pelawat tersebut.
“Padahal, kader suap atau yang menerima suap kan sudah diproses. Sekarang yang harus dicari adalah siapa yang memberi suap,” tegasnya. “Kasihan kalau aktor utama pemberi suap diduga jadi Nunun Nurbaeti. Jadi, wajar jika Adang bersikap begini.''
Redaktur: Didi Purwadi
Reporter: C04
Yusuf Supendi Buka Pintu Damai dengan Elite PKS
Selasa, 14/06/2011 18:43 WIB
Ari Saputra - detikNews
Jakarta - Sikap Yusuf Supendi, mantan pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terlihat melunak. Dia bersedia melakukan upaya damai (islah) dengan elite PKS dalam sidang mediasi di PN Jakarta Selatan. Bila sebelumnya dia terlihat bersemangat dan menyatakan tidak ada tawar menawar untuk damai, kali ini tidak.
"Fleksibel saja, bukan harga mati. Lihat dari pihak sananya, nanti bagaimana," kata Dani Saliswijaya saat mendampingi Yusuf di PN Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Selasa (14/6/2011).
Atas ajakan damai tersebut, pengacara tergugat menyatakan akan berkonsultasi dulu. Sebab, menurut pengacara elite PKS, Yusuf masih berkeinginan kembali ke pangkuan PKS.
"Tentu kami akan menyampaikan pada klien saya apa-apa yang menjadi keinginan penggugat, beliau ingin islah, ingin kembali, ingin menjadi bagian dari PKS," ujar kuasa hukum tergugat Zainudin Paru saat berbarengan.
Keinginan Yusuf Supendi berdamai dengan elite PKS akan disampaikan kepada para petinggi partai Islam tersebut. "Karena memang belum pernah ada permintaan, kami akan menyampaikan, tentu sebagai kuasa hukum personal lawyer membawa pesan-pesan yang diinginkan penggugat," ucapnya.
Sidang mediasi antara Yusuf dan elite PKS berlangsung selama 40 hari, mediasi ini di mediatori oleh Hakim Aksir. Selaku mediator, Hakim Aksir telah meminta agar Yusuf dan elite PKS duduk bersama.
"Pak Aksir sudah memberikan arahan kepada kami untuk mediasi dan penggugat memang minta kita islah, kami sebagai kuasa hukum tergugat dengan 9 orang principal dan 3 ahli waris, tidak mudah untuk mengumpulkan dan bertemu dengan mereka, kami minta 2 pekan tanggal 28 Juni akan ada pertemuan," ucap Paru.
(Ari/ndr)
Ari Saputra - detikNews
Jakarta - Sikap Yusuf Supendi, mantan pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terlihat melunak. Dia bersedia melakukan upaya damai (islah) dengan elite PKS dalam sidang mediasi di PN Jakarta Selatan. Bila sebelumnya dia terlihat bersemangat dan menyatakan tidak ada tawar menawar untuk damai, kali ini tidak.
"Fleksibel saja, bukan harga mati. Lihat dari pihak sananya, nanti bagaimana," kata Dani Saliswijaya saat mendampingi Yusuf di PN Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Selasa (14/6/2011).
Atas ajakan damai tersebut, pengacara tergugat menyatakan akan berkonsultasi dulu. Sebab, menurut pengacara elite PKS, Yusuf masih berkeinginan kembali ke pangkuan PKS.
"Tentu kami akan menyampaikan pada klien saya apa-apa yang menjadi keinginan penggugat, beliau ingin islah, ingin kembali, ingin menjadi bagian dari PKS," ujar kuasa hukum tergugat Zainudin Paru saat berbarengan.
Keinginan Yusuf Supendi berdamai dengan elite PKS akan disampaikan kepada para petinggi partai Islam tersebut. "Karena memang belum pernah ada permintaan, kami akan menyampaikan, tentu sebagai kuasa hukum personal lawyer membawa pesan-pesan yang diinginkan penggugat," ucapnya.
Sidang mediasi antara Yusuf dan elite PKS berlangsung selama 40 hari, mediasi ini di mediatori oleh Hakim Aksir. Selaku mediator, Hakim Aksir telah meminta agar Yusuf dan elite PKS duduk bersama.
"Pak Aksir sudah memberikan arahan kepada kami untuk mediasi dan penggugat memang minta kita islah, kami sebagai kuasa hukum tergugat dengan 9 orang principal dan 3 ahli waris, tidak mudah untuk mengumpulkan dan bertemu dengan mereka, kami minta 2 pekan tanggal 28 Juni akan ada pertemuan," ucap Paru.
(Ari/ndr)
Monday, June 06, 2011
DPR: Perjanjian Ekstradisi Harus Tanpa Syarat
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits
VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.
"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.
Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.
Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.
"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.
Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.
Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.
"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits
VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.
"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.
Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.
Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.
"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.
Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.
Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.
"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits
VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.
"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.
Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.
Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.
"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.
Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.
Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.
"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits
VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.
"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.
Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.
Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.
"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.
Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.
Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.
"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits
VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.
"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.
Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.
Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.
"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.
Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.
Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.
"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
"Kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura."
Senin, 6 Juni 2011, 09:48 WIB
Muhammad Hasits
VIVAnews - Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia kembali membuka pembicaraan dengan Singapura terkait perjanjian ektradisi antar kedua negara. Sebab, saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura.
"Namun, kali ini pemerintah harus berani mendesak pemerintah Singapura, perjanjian kerjasama tanpa syarat," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, kepada VIVAnews.com, Senin, 6 Juni 2011.
Perjanjian ektradisi kedua negara sempat mengalami jalan buntu setelah pihak Singapura mengajukan syarat yang memberatkan pihak Indonesia. Syarat itu meliputi kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA). Syarat ini waktu itu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
"Pembicaraan antara pemerintah dan Singapura waktu itu macet karena Singapura mengajukan usulan untuk bisa menggunakan salah satu daerah Indonesia untuk kawasan militer mereka, karena itu pemerintah dan DPR belum bisa menyetujui," jelas Mahfudz.
Baik Indonesia dan Singapura belum menemukan kata sepakat atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Waktu itu sikap Indonesia tetap menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Namun, Singapura menolak permintaan Indonesia.
"Sejak saat itulah pembicaraannya menjadi macet. Namun, karena saat ini banyak koruptor yang melarikan diri ke Singapura, DPR kembali mendorong agar pemerintah melakukan pembicaraan kembali," terangnya.
Polemik seputar kerjasama ektradisi antara Indonesia dengan Singapura kembali mencuat dalam tiga pekan ini. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. "Karena penjahat-penjahat kita, koruptor-koruptor itu yang lari ke sana, aman semua," kata Mahfud.
Pernyataan ini langsung membuat pihak Singapura berang. Melalui kedutaannya di Indonesia, pihak Singapura tidak mau disalahkan atas gagalnya kerjasama ekstradisi antara kedua negara.
"Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007," kata Sekretaris Pertama bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam penjelasan tertulis yang diterima VIVAnews.com.
Subscribe to:
Posts (Atom)