Bila Agama Jadi Instrumen untuk Ambisi Politik
AGAMA sering kali dijadikan instrumen guna mencapai ambisi politik, ekonomi, dan kekuasaan. Seharusnya, moralitas agama menjadi dasar dalam kehidupan berpolitik dan bernegara sehingga tercipta kesejahteraan.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari diskusi bertajuk Pemilu dan Primordialisme Agama yang digelar di Samstag Cafe, Jakarta, Sabtu (21/2). Acara itu disiarkan langsung oleh Metro TV.
Hadir sebagai pembicara Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) AS Hikam, calon anggota legislatif dari Partai Damai Sejahtera (PDS) Antie Solaiman, dan Mahfudz Siddiq, caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut Hikam, agama sebaiknya dipandang sebagai sesuatu yang bergerak sejalan dengan nilai-nilai moralitas yang berlaku dalam masyarakat. "Agama di Indonesia selama ini selalu dipandang sebagai komplementer dari nilai-nilai moralitas yang berlaku di masyarakat. Sebaiknya tetap dipertahankan dengan membuka pintu dialog agar menjembatani berbagai perbedaan yang ada," katanya.
Terkait dengan berbagai persoalan dan perselisihan horizontal di kalangan masyarakat yang menggunakan isu agama sebagai pokok persoalan, Hikam menyatakan penyesalannya. "Sesuatu yang patut disesalkan jika malah agama dijadikan isu penyebab konflik. Untuk itulah dibutuhkan forum dialog menyelesaikan krisis moral tersebut."
Hikam lalu menyoroti persoalan agama yang sering kali dikaitkan dengan unsur primordialitas saat memilih wakil rakyat dalam pemilu. "Agama sebagai komplementer terhadap nilai-nilai moralitas masyarakat bukan berarti dapat dijadikan sebagai ideologi partai politik, apalagi yang bersifat untuk merebut perhatian dan dukungan masyarakat semata."
Jika ada partai yang memakai asas keagamaan hanya sebagai tameng untuk merebut dukungan dan menaikkan jumlah perolehan suara, kata dia, maka itu sudah jauh dari tujuan semula agama itu sendiri. "Patut pula dipertanyakan mengapa agama dijadikan sebagai alat bagi legitimasi kekuasaan. Seakan-akan bahwa agama itu adalah sesuatu yang bersifat politis," ungkapnya.
Sementara itu, Mahfudz Siddiq mengatakan bahwa kehidupan politik sudah seharusnya berdasar pada nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam ajaran agama.
"Tugas utama kita sebenarnya adalah untuk mengusahakan bagaimana kehidupan politik negara kita ini bisa bersandar pada nilai-nilai moralitas, antara lain yang terkandung dalam ajaran agama. Sehingga agama dapat dijadikan sebagai sumber yang dominan dalan kehidupan politik kita," katanya.
Menurut Mahfudz, agama tidak melulu mengatur perilaku pribadi seorang anggota masyarakat. Namun, katanya, juga mengatur perikehidupan sebuah negara yang berisi banyak orang dengan berbagai kepentingan.
"Agama sebagai hak yang paling asasi ternyata tidak hanya mengatur moralitas seseorang dalam sebuah wilayah yang sifatnya privat, pribadi. Namun, juga mengatur sebuah kehidupan yang kompleks dan terdiri atas pribadi-pribadi yang berlainan dalam wilayah publik."
Oleh karena itu, ia mengungkapkan hal yang senada dengan Hikam, bahwa sebaiknya ada penerapan nilai agama dalam kehidupan politik para pejabat dan politisi serta para penyelenggara negara lainnya.
"Kekuatan politik harus mampu mentransfer nilai agama sebagai wacana politik secara formal dan dalam realitas kehidupan mereka. Karena kehidupan politik pun perlu berlandaskan pada nilai-nilai agama."
Sedangkan Antie Solaiman menyarankan, sebaiknya kekuasaan dalam politik hanya dipandang sebagai alat bukanlah tujuan, sehingga upaya mendapatkan kekuasaan bukan dianggap segalanya.
"Politik sesungguhnya adalah upaya untuk merebut hati orang untuk mendapatkan kekuasaan, dengan simbol-simbol keagamaan salah satu caranya. Namun, politik yanbg sehat adalah memandang yang kekuasaan sebagai alat bukan tujuan," ujarnya. (CR-34/P-1)
Dimuat di MEdia Indonesia tgl: Selasa, 24 Februari 2004
No comments:
Post a Comment