Tuesday, December 18, 2007

Empat Fraksi Tolak Nego Golkar

Indopos. Senin, 17 Des 2007,
Empat Fraksi Tolak Nego Golkar

Tak ada Celah bagi Eks Napi Kejahatan Berat
JAKARTA - Golkar belum lempar handuk. Partai warisan Orde Baru itu terus melakukan nego untuk meloloskan klausul tentang eks napi kejahatan berat bisa menjadi caleg dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Akan tetapi, fraksi-fraksi besar juga ngotot menolak nego Golkar.

"Saya kira, keputusan Mahkamah Konstitusi sudah cukup jelas dan memadai," kata Ketua FPKS Mahfudz Sidiq kemarin (16/12). Keputusan MK itu hanya memberi ruang bagi eks napol/tapol dan eks napi kejahatan ringan untuk menjadi pejabat publik. "Untuk kejahatan berat, kami memang harus lebih ketat," tuturnya.

Sebaliknya, Golkar menilai keputusan MK tersebut membawa pesan agar DPR kembali menguraikan tipe-tipe kejahatan berat yang tidak terampuni. Artinya, patokannya tidak bisa bersifat umum, seperti klausul "tidak pernah dipidana" atau "ancaman minimal lima tahun penjara". Begitu juga, menggeneralisasi kasus pembunuhan, korupsi, ataupun narkoba.

Legislator Golkar yang juga Ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif Ferry Mursydan Baldan mencontohkan, tidak semua pelaku pembunuhan layak ditutup haknya untuk menjadi pejabat publik. Misalnya, membunuh karena membela diri. Begitu juga, tidak semua pelaku korupsi perlu ditutup hak politiknya seumur hidup.

"Kecuali korupsi itu bersifat terencana dan sistematis sehingga diancam hukuman berat, misalnya 20 tahun," jelasnya. Untuk narkoba, dia menyarankan agar dibatasi secara spesifik pada bandar narkoba. Di luar itu, tegas Ferry, para eks napi perlu diberi kesempatan untuk menjadi caleg. Tentunya, mereka terlebih dahulu membuktikan diri dalam tenggang waktu tertentu.

"Sudahlah, jangan terlalu toleran," tegas Mahfudz. Dia menyebut, pembatasan yang lebih ketat memang harus diberikan terhadap orang-orang yang sejarah hidupnya pernah melakukan kejahatan berat. "Bayangkan ada presiden, kepala daerah, atau anggota DPR yang eks napi pengguna narkoba, eks napi korupsi, atau eks napi pembunuh. Menyebutnya saja sudah nggak enak," katanya.

Ketua FPAN Zulkifli Hasan juga menilai koruptor, pembunuh, dan pengguna narkoba sudah masuk kategori cacat secara moral. Karena itu, pelaku yang sudah menjalani hukuman di penjara sebaiknya tidak diberi kesempatan untuk maju sebagai pejabat publik, misalnya caleg.

"Kami tetap tidak setuju dan menentang upaya kompromi, termasuk dengan memberi tenggang waktu pembuktian diri bagi eks napi kejahatan berat," tukasnya. Bukankah para eks napi itu juga punya hak politik yang harus dihargai? "HAM itu tidak sepihak. HAM bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk masyarakat yang dilayani," tegasnya.

"Kami juga tidak akan menoleransi," tegas Wakil Ketua Umum PKB Ali Masykur Musa. Menurut dia, para eks napol atau tapol dan mantan napi tindak pidana ringan bisa langsung mengabdikan dirinya melalui parpol atau menjadi pejabat publik setelah menjalani masa tahanan.

Namun, napi yang melakukan kejahatan berat tidak layak menjadi caleg maupun mengisi jabatan publik lain. Artinya, tak perlu ada kompromi tenggang waktu itu. "Kalau diberi kesempatan, DPR atau lembaga negara lainnya pasti akan menjadi tempat berlindung dari kejaran hukum," tandas anggota Pansus RUU Pemilu Legislatif tersebut.

FPPP juga menyatakan enggan berkompromi. Mereka menolak keras "tawaran nego" adanya masa tenggang waktu bagi para eks napi kejahatan berat sebelum diperbolehkan menjadi caleg. "Mereka yang pernah melakukan itu ya jangan jadi wakil rakyat," kata Ketua FPPP Lukman Hakim Syaifuddin.

Dia tetap berpatokan pada tipe tindak pidana yang masuk kategori berat dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih. Misalnya, korupsi, perampokan, pembunuhan, aksi terorisme, dan narkoba. "Toh, masih banyak medan pengabdian lain. Apa boleh buat, wakil rakyat ya mesti bersih," ujarnya. (pri)