Siyasah Tarbiyah-25
Ruhiyah Yang Ringkih (1)
Salah satu agenda perjuangan politik dakwah hari-hari ini adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Sesuai dengan kebijakan dan siasat dasar dakwah kita – yaitu musyarakah atau partisipasi aktif – maka kita akan terlibat dalam proses pilkada di tingkatan propinsi maupun kabupaten/kota untuk memilih pemimpin-pemimpin eksekutif tingkat daerah. Tujuannya tentu saja adalah untuk mengembangkan dan mengokohkan upaya-upaya membangun kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang mulia. Kekuasaan politik yang dimiliki dakwah di lapangan eksekutif akan memperbesar kekuatan, kewenangan dan peluang dakwah untuk melakukan program-program ishlahul-hukumah (reformasi pemerintahan) dan ishlahul mujtama' (reformasi kehidupan sosial) secara lebih nyata, cepat dan luas. Dan ini adalah bagian penting dari misi dakwah Islam sebagaimana yang telah dijalankan oleh Rasulullah SAW.
Namun kita sadar bahwa agenda politik ini berbobot besar. Besar dalam tanggungjawabnya, besar dalam pengorbanannya, besar pula dalam mobilisasi berbagai sumber daya struktural, personal, finansial, dan beragam lainnya. Pada sisi lain agenda politik ini juga memiliki konsekuensi, yaitu besarnya bobot resiko, tantangan, ancaman, hambatan sampai pada fitnah-fitnah, baik dari lingkungan eksternal maupun internal.
Dalam kaitan itu saya ingin mengingatkan kembali salah satu prinsip dasar dakwah kita, yaitu sumber daya atau aset utama dakwah adalah kekuatan kadernya. Kekuatan kader terletak pada berbagai potensi dan energi aktual yang dimiliki secara utuh dalam berbagai aspeknya; ruhiyah, ubudiyah, fikriyah, ilmiyah, manhajiyah, harakiyah, jasadiyah, fanniyah (seni-rasa), mihaniyah (ketrampilan), iqtishadiyah (ekonomi) dan juga maliyah (keuangan).
Sebelum berbagai potensi dan energi aktual kader-kader dakwah ini dimobilisasi dan didayagunakan untuk optimalisasi musyarakah siyasiyah pada pilkada, maka harus dipastikan bahwa upaya-upaya sistematis konsolidasi potensi dan energi semua jajaran kader sudah berjalan baik dan tuntas. Aspek konsolidasi yang pertama dan paling utama adalah konsolidasi ruhiyah-ubudiyah mereka. Kenapa demikian? Karena dengan kokohnya aspek ruhiyah-ubudiyah kader, maka berbagai upaya konsolidasi aspek-aspek lainnya akan menjadi mudah. Mengapa demikian? Karena setiap kader memiliki energi internal yang baik dan kuat yang berasal dari intensitas hubungan mereka dengan Allah SWT.
Namun seperti yang saya paparkan sebelumnya, dalam beberapa masa belakangan ini muncul fenomena kekeringan ruhiyah (al-jaaf ar-ruhiy) di sebagian kalangan kader. Ini mengindikasikan bahwa upaya-upaya konsolidasi internal kader belum tuntas atau bahkan tidak berjalan efektif. Jika hal ini tidak disikapi serius dan sistematis, saya khawatir agenda besar musyarakah siyasiyah pada Pilkada akan terasa sebagai beban berat yang harus dijalankan kader dengan penuh keluh-kesah, dan naudzu billahi min dzalik, dari kondisi ini sangat mungkin akan muncul fitnah-fitnah dakwah yang akan melemahkan soliditas dan produktivitas harakah dakwah kita.
Untuk itulah saya ingin menghadirkan kembali pesan, yang saya anggap sebagai wasiat, dari almarhum ustadz Ahmad Madani, Lc – semoga Allah memuliakan kedudukannya dan memelihara keluarganya – beberapa masa sebelum beliau menghadap kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Pesan dalam bentuk taujih tertulis itu berjudul "Ruhiyah Yang Ringkih". Saat itu almarhum masih memegang amanah sebagai naib mas'ul maktab tarbiyah (wakil ketua departemen kaderisasi). Berikut saya hadirkan kembali pesan sekaligus wasiat beliau secara bersambung.
-o0o-
Ada fenomena berbahaya yang menggejala pada sebagian kader dakwah. Fenomena tersebut dapat terbaca oleh mereka yang jeli memperhatikan tutur kata, pandangan mata serta gerak langkah kader tadi. Fenomena yang dimaksud berupa melemahnya aspek ibadah serta meringkihnya sisi ruhiyah. Bagi kalangan kader yang mengemban tugas menggerakkan roda dakwah (amilin), hal demikian sangat berbahaya dan berpotensi besar melemahkan kekuatan harakah, disamping sebagai bukti menjauhnya mereka dari manhaj yang mereka kenali.
Semua kita tahu bahwa aspek ruhiyah serta ibadah merupakan garapan terdepan manhaj tarbiyah. Penekanan terhadap kedua aspek tadi bukanlah suatu yang berlebihan sehingga mengesankan adanya upaya pembentukan arus tasawuf dalam harakah dakwah. Yang jelas kedua aspek tadi adalah amar (perintah) dari Allah yang harus ditegakkan di samping menjadi wasilah atau sarana yang akan menopang soliditas harakah.
Al-QurĂ n banyak sekali memberi penekanan terhadap aspek-aspek ruhiyah, ibadah, taqarrub, khasysyah, inabah, tsiqah serta tawakal kepada Allah. Begitupun sunnah nabawiyah memberikan perhatian besar terhadap semua aspek tadi seraya banyak sekali menuangkan permisalan agar dapat dipahami maknanya dengan baik. Aplikasi nilai-nilai tadi akan mampu mengokohkan ruhiyah dan memberikan peluang kepada diri untuk mengembangkan potensi yang selanjutnya mampu memikul amanah dakwah. Selain itu, setiap kader akan dapat merasakan manisnya iman, indahnya zuhud, mementingkan yang disediakan Allah di akhirat serta tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan.
Apabila nilai-nilai tadi lepas dari genggaman setiap kader, maka akan meringkihkan ruhiyahnya, kemudian sakit dan berakhir dengan kematian ruhiyah tersebut, nau`dzubillah. Fenomena ruhiyah yang ringkih dan lemah tidak sedikit jumlahnya. Di sini disebutkan sebagian sambil menurunkan beberapa kasus dilapangan agar dapat menjadi peringatan bagi setiap kader agar ia dapat segera mengatasinya.
1. Merasakan keras dan kasarnya hati, sampai-sampai seseorang merasakan bahwa hatinya telah berubah menjadi batu keras. Di mana tidak ada sesuatupun yang dapat merembes kepadanya ataupun mempengaruhinya. Ungkapan ini tidaklah berlebihan, bukankah Al-Qur’an telah menerangkan bahwa hati dapat mengeras sekeras batu. Allah berfirman, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi…”. (Q.S. Al-Baqarah: 74).
2. Perangai yang tersumbat dan dada yang sempit. Sampai-sampai terasa ada beban berat menghimpit dan nyaris terengah-engah kelelahan, sering mengomel dan mengeluh terhadap sesuatu yang tidak jelas atau gelisah dan sempit dalam pergaulan sehingga tidak peduli terhadap derita orang lain, bahkan timbul ketidaksukaan kepada mereka.
3. Tidak terpengaruh oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung ancaman, tuntutan, larangan atau tentang peristiwa kiamat. Dia mendengarkan Al-Qur’an seperti mendengar kalam-kalam lainnya. Lebih berbahaya lagi apabila dia merasa sempit ketika mendengarkan ayat Al-Qur’an seperti sempitnya dia ketika mendengarkan omongan orang lain. Dia tidak menyediakan waktu sedikitpun untuk tilawah dan apabila mendengarnya dari orang lain dia tidak melakukannya dengan khusyu’ dan tenang.
4. Peristiwa kematian tidak memberikan bekas pada dirinya. Begitu juga ketika menyaksikan orang mati, mengusung jenazah atau menguburkannya di liang lahat, sedikitpun tidak ada pengaruh pada dirinya. Jika melewati pekuburan seakan hanya berpapasan dengan batu-batu bisu, dan tidak mengingatkannya akan kematian.
5. Kecintaanya terhadap kesenangan duniawi senantiasa bertambah. Kesukaannya memenuhi syahwat selalu berkobar. Fikirannya tidak jauh dari pelampiasan syahwat tadi sehingga dia merasa tentram bila sudah memperolehnya. Apabila melihat orang lain memperoleh kenikmatan dunia seperti; harta, kedudukan, pangkat, rumah atau pakaian yang bagus, dia merasa tersiksa dan menganggap dirinya gagal. Lebih tersiksa lagiapabila yang mendapatkan kenikmatan duniawi itu adalah saudaranya sendiri atausahabatnya. Terkadang timbul pada dirinya penyakit hasad atau dengki di mana dia tidak ingin kenikmatan itu tetap ada pada saudaranya.
6. Ada kegelapan dalam ruhiyah yang berbekas di wajahnya. Hal ini dapat diamati oleh mereka yang memiliki ketajaman firasat dan memandang dengan nur Allah. Setiap mu’min memiliki nur sesuai dengan kadar keimanannya, dia mampu melihat sesuatu yang tidak mampu dilakukan orang lain. Kegelapan ruhiyah tadi ada begitu pekat sampai begitu jelas tergambar di wajahnya dan dapat diamati oleh mereka yang memiliki firasat imaniyah paling lemah sekalipun. Tetapi kegelapan yang remang-remang hanya dapat diamati oleh mereka yang memiliki firasat imaniyah yang kuat.
7. Bermalas-malasan dalam melakukan kebaikan dan ibadah. Hal tersebut terlihat dengan kurangnya perhatian dan semangat. Shalat yang dilakukan hanya sekedar gerakan, bacaan, berdiri dan duduk yang tidak memiliki atsar atau pengaruh sedikitpun. Bahkan tampak dia merasa terganggu oleh shalat seakan dia berada dalam penjara yang dia ingin berlepas darinya secepat mungkin.
8. Lupa yang keterlaluan kepada Allah. Sedikitpun dia tidak berdzikir dengan lisannya dan tidak juga ingat kepada-Nya. Padahal dia selalu menyaksikan ciptaan Allah SWT. Bahkan terkadang dia merasa keberatan untuk sekedar berdzikir atau berdo’a kepadanya. Jika dia mengangkat tangannya, cepat sekali dia turunkan kembali untuk segera pergi. (Bersambung...)
3 comments:
Artikel yang relevan sekali dengan kondisi ikhwah sekarang Pak. Senang sekali membacanya
http://isparmo.blogspot.com/
http://healthyfacts.blogspot.com/
http://geosintetik.blogspot.com/
Sepakat pak, ketika kita sudah memutuskan untuk menjadi prajurit di jalan Allah maka "ACC" dari Allah sangat bergantung dengan kedekatan kita dengan Allah ..
Sudah saatnya Umat Islam mampu membedakan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan transendental.
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia memaknai hidupnya berdasarkan perspektif manusia.
Kecerdasan transendental adalah kemampuan manusia memaknai hidupnya dalam perspektif Allah SWT.
Untuk sharing silahkan klik http://sosiologidakwah.blogspot.com
Post a Comment