Monday, December 05, 2005

F-PKS Sinyalir Kekuatan Orde Baru Kembali Lagi

F-PKS Sinyalir Kekuatan Orde Baru Kembali Lagi
02/12/2005 16:58 WIB

eramuslim-Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menempuh langkah-langkah baru guna memberantas korupsi. Alasannya, saat ini ada upaya-upaya untuk menghambat pemberantasan korupsi. Menurut Ketua F-PKS Mahfud Sidik, unsur-unsur kekuatan lama Orde Baru tengah berusaha bangkit kembali dan melakukan perlawanan balik terhadap upaya pemberantasan korupsi."Presiden harus berada berdiri di garis terdepan dalam pemberantasan korupsi ini," ujar Ketua FPKS Mahfud Jumat (2/12) di Gedung DPR/MPR, Jakarta. Dijeaskannya, indikasi ke arah kekuatan Orde Baru come back bisa dilihat dari berlarut-larutnya penanganan kasus-kasus korupsi besar yang telah membangkrutkan negara. Selain itu, masih banyaknya koruptor kelas kakap yang berkeliaran di luar.Lantaran itu pula, FPKS mendesak Kejaksaan Agung untuk lebih serius dan segera menyelesaikan kasus-kasus besar tersebut. "Kita berharap Kejaksaan Agung tidak terjebak menjadi alat yang akan dimanfaatkan oleh unsur-unsur kekuatan Orde Baru," tegasnya. (dina)

Thursday, December 01, 2005

Revisi Gaji Wapres Baru Diterima DPR

Revisi Gaji Wapres Baru Diterima DPR
Jakarta, Kompas - Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menggelar jumpa pers secara terpisah di Gedung DPR Jakarta, Senin (28/11). Dalam kesempatan itu, kedua fraksi membenarkan adanya dokumen tentang usulan gaji dan tunjangan wakil presiden yang besarnya Rp 167,7 juta per bulan. Namun, usulan itu telah direvisi oleh pemerintah menjadi lebih kecil, yaitu Rp 57,32 juta per bulan.
F-PKS dan F-PAN baru menerima dokumen revisi tersebut, Senin kemarin. Soalnya, menurut keterangan F-PKS dan F-PAN, Sekretariat Wapres baru memasukkan dokumen revisi bertanggal 14 November itu ke Komisi II DPR pada Senin pagi, 28 November.
Anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (PKS, Banten II), menyampaikan hal itu secara resmi dalam acara silaturahmi F-PKS dengan wartawan di Gedung Nusantara I, DPR. ”Sangat disayangkan, revisi usulan gaji dan tunjangan wapres itu baru datang setelah heboh,” ucap Jazuli.
Hadir juga sejumlah pengurus F-PKS yang baru, yaitu Ketua F-PKS Mahfudz Siddiq (Jawa Barat VII), Wakil Ketua F-PKS Zulkieflimansyah (Banten II), Fahri Hamzah (Nusa Tenggara Barat), serta Sekretaris F-PKS Mustafa Kamal (Sumatera Selatan I).
Fraksi PAN yang pertama kali membongkar ke pers tentang adanya usulan kenaikan gaji wapres ini memberi keterangan pers senada pada siang harinya.
Dalam acara itu, Ketua F-PAN Abdillah Toha (Banten II) menegaskan bahwa data-data yang disampaikan F-PAN adalah data- data yang benar karena memang masuk ke DPR. Data itu memang ada di RKAKL Setwapres Tahun 2006, ucap Abdillah.
Wakil Ketua F-PAN Djoko Susilo (Jawa Timur I) yang hadir dalam jumpa pers itu juga menunjukkan dokumen usulan kenaikan gaji yang tertera di Rencana Kegiatan dan Anggaran Kementerian/Lembaga Sekretariat Wakil Presiden Tahun Anggaran 2006 itu kepada wartawan. Dokumen itu kemudian dibagikan ke wartawan.Jadi, sumber data kami benar, ujar Djoko menanggapi berita yang muncul.
Wakil Ketua Komisi II dari F-PAN Sayuti Asyatri (Jawa Barat III) dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa dokumen yang diungkap F-PAN itu dibahas dalam Rapat Komisi II, 25 Oktober 2005. Dalam rapat itu, usulan tersebut dikritisi DPR, tetapi pemerintah belum memberikan revisinya. Baru siang tadi (kemarin Red) Setwapres menyerahkan revisi ke DPR tertanggal 14 November 2005 ujar Sayuti.
Menurut Jazuli, dalam waktu dekat ini, Komisi II akan membahas adanya revisi yang disampaikan pemerintah. Dikarenakan perubahan gaji itu akan memengaruhi anggaran lain dan setiap perubahan satuan tiga berdasarkan tata tertib DPR yang baru harus melalui persetujuan Komisi terkait. (win/sut)

Kompas, 29 Nov 2005

Bila Agama Jadi Instrumen untuk Ambisi Politik

Bila Agama Jadi Instrumen untuk Ambisi Politik
AGAMA sering kali dijadikan instrumen guna mencapai ambisi politik, ekonomi, dan kekuasaan. Seharusnya, moralitas agama menjadi dasar dalam kehidupan berpolitik dan bernegara sehingga tercipta kesejahteraan.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari diskusi bertajuk Pemilu dan Primordialisme Agama yang digelar di Samstag Cafe, Jakarta, Sabtu (21/2). Acara itu disiarkan langsung oleh Metro TV.
Hadir sebagai pembicara Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) AS Hikam, calon anggota legislatif dari Partai Damai Sejahtera (PDS) Antie Solaiman, dan Mahfudz Siddiq, caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut Hikam, agama sebaiknya dipandang sebagai sesuatu yang bergerak sejalan dengan nilai-nilai moralitas yang berlaku dalam masyarakat. "Agama di Indonesia selama ini selalu dipandang sebagai komplementer dari nilai-nilai moralitas yang berlaku di masyarakat. Sebaiknya tetap dipertahankan dengan membuka pintu dialog agar menjembatani berbagai perbedaan yang ada," katanya.
Terkait dengan berbagai persoalan dan perselisihan horizontal di kalangan masyarakat yang menggunakan isu agama sebagai pokok persoalan, Hikam menyatakan penyesalannya. "Sesuatu yang patut disesalkan jika malah agama dijadikan isu penyebab konflik. Untuk itulah dibutuhkan forum dialog menyelesaikan krisis moral tersebut."
Hikam lalu menyoroti persoalan agama yang sering kali dikaitkan dengan unsur primordialitas saat memilih wakil rakyat dalam pemilu. "Agama sebagai komplementer terhadap nilai-nilai moralitas masyarakat bukan berarti dapat dijadikan sebagai ideologi partai politik, apalagi yang bersifat untuk merebut perhatian dan dukungan masyarakat semata."
Jika ada partai yang memakai asas keagamaan hanya sebagai tameng untuk merebut dukungan dan menaikkan jumlah perolehan suara, kata dia, maka itu sudah jauh dari tujuan semula agama itu sendiri. "Patut pula dipertanyakan mengapa agama dijadikan sebagai alat bagi legitimasi kekuasaan. Seakan-akan bahwa agama itu adalah sesuatu yang bersifat politis," ungkapnya.
Sementara itu, Mahfudz Siddiq mengatakan bahwa kehidupan politik sudah seharusnya berdasar pada nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam ajaran agama.
"Tugas utama kita sebenarnya adalah untuk mengusahakan bagaimana kehidupan politik negara kita ini bisa bersandar pada nilai-nilai moralitas, antara lain yang terkandung dalam ajaran agama. Sehingga agama dapat dijadikan sebagai sumber yang dominan dalan kehidupan politik kita," katanya.
Menurut Mahfudz, agama tidak melulu mengatur perilaku pribadi seorang anggota masyarakat. Namun, katanya, juga mengatur perikehidupan sebuah negara yang berisi banyak orang dengan berbagai kepentingan.
"Agama sebagai hak yang paling asasi ternyata tidak hanya mengatur moralitas seseorang dalam sebuah wilayah yang sifatnya privat, pribadi. Namun, juga mengatur sebuah kehidupan yang kompleks dan terdiri atas pribadi-pribadi yang berlainan dalam wilayah publik."
Oleh karena itu, ia mengungkapkan hal yang senada dengan Hikam, bahwa sebaiknya ada penerapan nilai agama dalam kehidupan politik para pejabat dan politisi serta para penyelenggara negara lainnya.
"Kekuatan politik harus mampu mentransfer nilai agama sebagai wacana politik secara formal dan dalam realitas kehidupan mereka. Karena kehidupan politik pun perlu berlandaskan pada nilai-nilai agama."
Sedangkan Antie Solaiman menyarankan, sebaiknya kekuasaan dalam politik hanya dipandang sebagai alat bukanlah tujuan, sehingga upaya mendapatkan kekuasaan bukan dianggap segalanya.
"Politik sesungguhnya adalah upaya untuk merebut hati orang untuk mendapatkan kekuasaan, dengan simbol-simbol keagamaan salah satu caranya. Namun, politik yanbg sehat adalah memandang yang kekuasaan sebagai alat bukan tujuan," ujarnya. (CR-34/P-1)

Dimuat di MEdia Indonesia tgl: Selasa, 24 Februari 2004

Korupsi KPU Diduga Terencana* Mulyana Menyesal

Korupsi KPU Diduga Terencana* Mulyana Menyesal
Jakarta (Bali Post) -Dari hasil audit investigasi BPK, DPR menyimpulkan bahwa modus penyimpangan uang negara yang dilakukan KPU bukan karena keteledoran maupun karena kendala kondisi teknis di lapangan. Korupsi yang dilakukan KPU diduga telah direncanakan. Penilaian tersebut dikemukakan anggota Komisi II DPR Mahfudz Siddiq, Minggu (8/5) kemarin.
Karena itu, ujar Mahfudz, telah ada kesepakatan di internal Komisi II agar klarifikasi KPU dengan Komisi II DPR yang dijadwalkan Senin hari ini difokuskan pada aspek politiknya yaitu bagaimana KPU menjalankan amanat UU pada Pemilu 2004 lalu. Dalam hal ini, DPR mengindikasikan banyak UU yang dilanggar KPU.
DPR sepakat akan mempertanyakan dan mengkritisi bagaimana KPU menjalankan fungsi-fungsinya, sehingga terjadi banyak penyimpangan. Salah satu pertanyaan besar yang masih menyelimuti benak anggota Komisi II adalah penyimpangan fungsi anggota KPU yang seharusnya berfungsi sebagai pembuat kebijakan operasional pemilu saja, tetapi kenyataannya anggota KPU juga turut terlibat dalam menjalankan operasionalnya.
Dalam praktiknya, anggota KPU juga ikut dalam kepanitiaan pengadaan logistik. Padahal, menurut Mahfudz, hal itu tidak perlu dilakukan. Selain akan mengganggu konsentrasi saat merumuskan kebijakan, keterlibatan anggota KPU dalam kepanitiaan pengadaan logistik rentan dengan praktik korupsi. ''Hal-hal seperti ini yang akan kita soroti,'' tandasnya.
Sementara itu, terkait dengan tindak pidana korupsinya, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini mengatakan Komisi II sepakat pembuktian pelanggaran pidana korupsi oleh anggota KPU, termasuk kasus penyuapan anggota BPK oleh Mulyana W Kusumah, akan diserahkan padaproses pengadilan. Ia meyakini klarifikasi KPU di hadapan Komisi II DPR tentu berisi bantahan terhadap hasil audit investigasi BPK. Saat klarifikasi di Komisi II, kata Mahfudz, KPU bebas bicara apa saja, boleh menyangkal tuduhan yang diberikan BPK. ''Tetapi yang jelas, kita pertanyakan apa mereka telah benar-benar menjalankan fungsinya sesuai undang-undang. Alasan mepet karena realitas di lapangan dan sebagainya. Hal itu tentu perlu diuji,'' kata Mahfudz.
Selain mempersoalkan dugaan korupsi, Komisi II juga akan meminta saran KPU tentang nasib pilkada. Sebab bagaimana pun, Mahfudz mengatakan ada mata rantai antara KPUD sebagai penyelenggara pilkada dengan KPU yang membentuknya.

Sesalkan KPU

Di tempat berbeda, anggota KPU yang menjadi tersangka kasus penyuapan BPK, Mulyana W Kusuma, menyesalkan KPU yang tidak mengupayakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat memberi izin dirinya hadir dalam klarifikasi di DPR. Pernyataan tertulis Mulyana dibacakan putrinya, Gina Santiyana, saat menjenguk ayahnya itu di Rutan Salemba, kemarin.
Menurut pria berambut ikal ini, klarifikasi langsung dirinya ke DPR terhadap hasil audit BPK sangat penting, karena hal tersebut tidak sekadar klarifikasi, juga merupakan inovasi bagi hukum untuk menghadirkan tersangka dalam forum rapat dengar pendapat di DPR. Sekaligus Mulyana ingin menyatakan tentang sejumlah informasi untuk diketahui publik.
Selain itu, ia juga meminta Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dapat menjelaskan kepada DPR tentang pernyataan Kepala Biro Keuangan Hamdani Amin yang menyatakan bahwa semua anggota KPU menerima dana taktis KPU. Dana taktis itu, menurut Hamdani Amien, berasal dari komisi yang diberikan rekanan KPU yang besarnya mencapai Rp 20 milyar. (kmb4)

Dimuat di Bali Post

FPKS Desak Pemerintah Segera Revisi Perpres 36/2005

FPKS Desak Pemerintah Segera Revisi Perpres 36/2005

GATRA Jakarta, 12 Juni 2005 00:20
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, mendesak pemerintah untuk segera merevisi Perpres No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

"Aksi masyarakat menolak Perpres itu makin meluas karena menyangkut hak asasi dasar, yaitu hak kepemilikan tanah yang selama ini sering diabaikan oleh negara. Pemerintah hendaknya segera merevisi Perpres No.36 Tahun 2005. Jangan tunggu terjadi gejolak sosial terlebih dulu." kata Mahfudz Siddiq, Sekretaris F-PKS DPR RI di Jakarta, Jumat.

Menurut Mahfudz, anggota Komisi II DPR RI itu, komisinya sudah beberapa kali membahas masalah Perpres tersebut dan sampai pada kesimpulan merekomendasikan agar pemerintah melakukan revisi.

Rekomendasi ini dikeluarkan didasari pandangan bahwa ada sejumlah masalah krusial dalam peraturan tersebut.

Pertama, banyaknya pasal-pasal yang terbuka bagi penafsiran beragam, sehingga makin berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan hukum.

Kedua, ada sejumlah pasal yang saling bertabrakan satu sama lain dan juga bertentangan dengan UU.

Ketiga, adanya ketidakseimbangan posisi hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam proses sengketa tanah, dan keempat, ada sejumlah pasal yang dalam implementasinya di lapangan akan semakin merugikan kepentingan masyarakat.

Misalnya, pasal-pasal mengenai panitia pengadaan tanah, proses musyawarah, ganti rugi dan pencabutan hak atas tanah.

"Sampai saat ini, berdasarkan data yang kami kumpulkan, tercatat sekitar 1.148 kasus sengketa agraria di seluruh Indonesia. Baru 154 kasus yang diselesaikan. Yang memprihatinkan, sejumlah sengketa pertanahan berkaitan dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum menelan korban jiwa," kata Mahfudz Siddiq

Namun demikian, F-PKS DPR RI bisa memahami keinginan pemerintah untuk menjamin dan memperlancar proses pengadaan tanah bagi pembangunan yang berlangsung semakin cepat.

Menurut Mahfudz, pengaturan itu lahir dalam bentuk Perpres karena memang payung UU seperti diamanatkan oleh Tap MPR No. IX/2001 untuk lahirnya peraturan teknis dalam bentuk PP belum tersedia.

"Agaknya, pemerintah mengeluarkan Perpres No.36/2005 ini sebagai jalan pintas bagi pemenuhan kebutuhan tanah bagi proses pembangunan.

Namun jangan sampai Perpres ini malah memunculkan masalah baru," jelas Mahfudz.

Tap MPR No.IX/2001 mengamanatkan kepada pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan RUU Pembaruan dan Penataan Struktur Agraria, RUU Penyelesaian Konflik Agraria dan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dalam Program Legeslasi Nasional, DPR RI juga sudah disetujui pembahasan RUU tentang perubahan atas UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, RUU tentang Hak Milik Atas Tanah dan RUU Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum. [TMA, Ant]
GATRA

ParlementariaDesk Antiteror Bisa Kembalikan Depdagri ke Era Orde Baru

Minggu, 26 Juni 2005 22:20 WIB (Terbaca: 516)
ParlementariaDesk Antiteror Bisa Kembalikan Depdagri ke Era Orde Baru
PKS Online: JAKARTA—Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI memandang rencana Departemen Dalam Negeri (Depdagri) membentuk Desk Antiteror di seluruh jajaran dinasnya di daerah-daerah sebagaimana diusulkan Menteri Dalam Negeri M. Mar'uf sebagai hal yang aneh dan mengada-ngada. Rencana itu bahkan akan mengembalikan Depdagri seperti pada era Orde Baru.Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Mahfudz Siddiq mengemukakan hal tersebut di Jakarta, Kamis (9/6). Menurut Mahfudz, yang juga anggota Komisi II DPR ini, aksi terorisme harus diperlakukan sebagai masalah hukum dan keamanan. "Polri sudah membentuk Tim Anti Teror dan Menkopolhumkam juga sudah membentuk Desk Anti Teror. Lalu untuk apa Depdagri membentuk desk antiteror lagi di jajaran dinas-dinasnya?" tanya Mahfudz.Lebih jauh, FPKS-DPR RI menilai, rencana yang katanya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pencegahan aksi teror itu justru hanya akan memperluas kecemasan masyarakat terhadap isu terorisme. "Dan ini akan menampilkan kembali wajah Depdagri seperti era Orde Baru yang menakutkan!" cetus Mahfudz Siddiq. Di era Orde Baru, Depdagri menjalankan peran politik yang sangat kuat untuk mengawasi kehidupan masyarakat melalui jajaran dinasnya di daerah hingga kecamatan dan kelurahan. Berkaitan dengan hal itu FPKS mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana tersebut dan mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga penegakan hukum dan keamanan dalam upaya pencegahan dan pananganan masalah aksi teror di negeri ini.Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Mendagri di Istana Negara, Jakarta Rabu (8/6) mengemukakan, pemerintah berencana membentuk desk antiteror di daerah-daerah dengan memberdayakan Dinas Kesatuan Bangsa di setiap provinsi, kabupaten, dan kota sebagai unsur penanggulangan teror.Ma'ruf menjelaskan, secara struktural dinas-dinas itu terkait dengan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa Depdagri. Namun, untuk fungsi penanggulangan teror, dinas-dinas itu akan dipadukan dengan desk antiteror yang selama ini berada di bawah Kantor Kementerian Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Desk antiteror ini, lanjut Ma'ruf, sifatnya hanya koordinatif dan preventif. Untuk penindakan tetap wewenang aparat keamanan.Menurut Ma'ruf, alasan pembentukan desk antiteror ini karena Indonesia sangat terbuka bagi teroris dengan banyaknya pintu masuk dan diperlukannya peran masyarakat dalam pencegahan tindak terorisme.

F-PKS DPR RI tentang Revisi Perpres No 36/2005: Jangan Tunggu Gejolak Sosial

F-PKS DPR RI tentang Revisi Perpres No 36/2005: Jangan Tunggu Gejolak Sosial
PKS Online : "Sampai hari ini aksi-aksi masyarakat menolak Perpres ini makin meluas. Ini menyangkut hak asasi paling mendasar, yaitu hak kepemilikan tanah yang selama ini sering diabaikan oleh negara. Oleh karena itu, pemerintah harus sesegera mungkin merevisi Perpres No 36 Tahun 2005. Jangan tunggu terjadi gejolak sosial terlebih dulu." Demikian ditegaskan Mahfudz Siddiq, Sekretaris F-PKS DPR RI pada Jum'at, 10 Juni 2005 di sela rapat pleno fraksi.PKS Online : Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI kembali mendesakpemerintah untuk sesegera mungkin merevisi Perpres No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. "Sampai hari ini aksi-aksi masyarakat menolak Perpres ini makin meluas. Ini menyangkuthak asasi paling mendasar, yaitu hak kepemilikan tanah yang selama ini sering diabaikan oleh negara. Oleh karena itu, pemerintah harus sesegera mungkin merevisi Perpres No 36 Tahun 2005. Jangan tunggu terjadi gejolak sosial terlebih dulu." Demikian ditegaskan Mahfudz Siddiq, Sekretaris F-PKS DPR RI pada Jum'at, 10 Juni 2005 di sela rapat pleno fraksi.Lebih jauh, menurut Mahfudz yang juga anggota komisi II DPR RI, komisi II sudah beberapa kali membahas masalah Perpres ini dan sampai pada kesimpulan rekomendasi agar pemerintah melakukan revisi. Rekomendasi ini didasari pandangan ada sejumlah masalah masalah krusial dalam peraturan tersebut.Pertama, banyaknya pasal-pasal yang terbuka bagi penafsiran beragam, sehingga makin berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan hukum. Kedua, ada sejumlah pasal yang saling bertabrakan satu sama lain dan juga bertentangan dengan UU. Ketiga, adanya ketidakseimbangan posisi hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam proses sengketa tanah. Dan keempat, ada sejumlah pasal yang dalam implementasinya di lapangan akan semakin merugikan kepentingan masyarakat. Misalnya, pasal-pasal mengenai panitia pengadaan tanah, proses musyawarah, ganti rugi dan pencabutan hak atas tanah. "Sampai saat ini saja berdasarkan data yang kami kumpulkan, tercatat ada sekitar 1148 kasus sengketa agraria yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan baru sekitar 154 kasus yang berhasil diselesaikan. Yang memprihatinkan, sejumlah sengketa pertanahan yang berkaitan dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, ternyata ikut memakan korban jiwa." Mahfudz Siddiq menambahkan.Namun demikian, FPKS DPR RI bisa memahami keinginan pemerintah untuk menjamin dan memperlancar proses pengadaan tanah bagi pembangunan yang berlangsung semakin cepat. Menurut Mahfudz, pengaturan ini lahir dalam bentuk Perpres karena memang payung UU – seperti diamanatkan oleh Tap MPR No. IX/2001 – untuk lahirnya peraturan teknis dalam bentuk PP belum tersedia. "Makanya pemerintah mengeluarkan Perpres No. 36 ini sebagai jalan pintas bagi pemenuhan kebutuhan tanah bagi proses pembangunan. Namun jangan sampai perpres ini malah memunculkan masalah baru." jelas Mahfudz.Seperti diketahui, Tap MPR No. IX/2001 mengamanatkan kepada pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan RUU Pembaruan dan Penataan Struktur Agraria, RUU Penyelesaian Konflik Agraria dan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Prolegnas DPR RI juga sudah disetujui pembahasan RUU tentang perubahan atas UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, RUU tentang Hak Milik Atas Tanah dan RUU Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum. (F PKS DPR RI)